Saturday, February 6, 2021

Cerpen Haruki Murakami: Urusan Keluarga

Mungkin memang selalu seperti ini, tapi sejak awal aku sudah tidak menyukai tunangan adik perempuanku. Dan semakin aku tidak menyukai lelaki itu, semakin besar keraguanku pada adikku. Aku kecewa atas keputusan yang dia ambil.

Mungkin aku hanyalah orang dengan pikiran yang sempit.

Adikku belakangan ini berpikir demikian. Kami tidak banyak bicara soal perasaanku, tapi dia tahu aku tidak menyukai tunangannya, dan dia menunjukkan kekesalannya.

"Kau melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang sempit," dia bilang.

Ketika itu, kami sedang berbicara tentang spageti. Dia tidak sedang bersama tunangannya, dan dia membicarakan tentang lelaki itu. Kami beradu argumen tentang seseorang yang bahkan tidak ada di tempat dan tidak mengerti apa pun tentang duduk permasalahannya.


Semua berawal dari Minggu siang ketika adikku mengajak pergi ke restoran Italia. "Ayo," jawabku setuju, karena kebetulan aku juga sedang menginginkannya. Kami pergi ke sebuah restoran spageti kecil yang baru saja buka di seberang stasiun. Aku memesan spageti dengan sayur terong dan bawang putih, adikku memesan saus pesto. Sementara menunggu, aku minum bir. Semua baik-baik saja. Itu adalah bulan Mei, di suatu hari Minggu, dengan cuaca yang sedang cantik-cantiknya.

Masalah bermula dari spageti itu sendiri, benar-benar buruk. Permukaan pastanya memiliki tekstur yang tidak enak di lidah, seperti mengunyah tepung. Bagian tengahnya masih keras dan tidak matang. Anjing sekalipun akan memalingkan hidungnya setelah membaui aroma mentega yang mereka gunakan. Aku tidak sanggup memakan lebih dari separuh isi piringku, dan aku meminta pelayan untuk menyingkirkan sisanya.

Awalnya adikku hanya melirik padaku sekali dua, namun tidak mengatakan apa pun. Dia bahkan tampak menikmati makanan yang disajikan untuknya hingga suapan terakhir. Aku duduk saja, melihat ke luar jendela sambil menenggak bir.

"Kau bisa saja meninggalkan makananmu tanpa harus menunjukkan ekspresi yang berlebihan," ucap adikku setelah pelayan pergi.

"Yak!"

"Makanannya tidak seburuk itu. Kau bisa saja memaksa dirimu untuk memakannya."

"Kenapa aku harus memaksa diriku? Ini perut-ku, bukan perutmu."

"Ini restoran baru. Kokinya mungkin belum terbiasa dengan dapurnya. Kau tidak akan mati hanya karena menunda penilaianmu," katanya, lalu menyesap secangkir kopi encer yang tampak tidak ada rasanya.

"Mungkin kau benar," jawabku, "Mungkin meninggalkan makanan yang tidak disukai hanya masuk akal bagi orang yang diskriminatif sepertiku."

"Baik, maafkan aku, Tuan Yang Tahu Segalanya."

"Apa masalah-mu? Kejadian bulan lalu itu lagi?"

"Oh diamlah. Aku berhak mendapatkan yang lebih baik dari itu darimu."

"Tenanglah," jawabku. "Kau sedang berbicara dengan orang yang tahu bahkan kapan kau mulai haid. Kau sangat telat ketika itu, Ibu membawamu ke dokter."

"Kau akan mengungkitnya lagi..."

Dia berubah serius, aku memutuskan untuk diam.

"Masalahmu adalah kau berpikiran sempit akan semua hal," katanya sembari menambahkan krim ke dalam kopi (yang berarti memang tidak ada rasanya). "Kau hanya melihat sisi negatifnya saja. Kau tidak mau bahkan sekadar mencoba melihat kepada sisi positif. Jika sesuatu tidak sesuai dengan standarmu, kau tidak akan mau menyentuhnya. Itu sangat menjengkelkan."

"Ya, mungkin. Tapi ini hidupku, bukan hidupmu."

"Dan kau bahkan tidak peduli seberapa jauh kau telah menyakiti orang lain. Kau membiarkan mereka membereskan kekacauan yang sebabkan. Bahkan ketika kau bermasturbasi."

"Apa lagi yang kau bicarakan?"

"Aku teringat ketika kau masih SMA, kau sering masturbasi di atas seprai. Para perempuan dalam keluarga harus membersihkan bekas yang kau tinggalkan. Padahal kau bisa masturbasi tanpa harus menghamburkan cairanmu di atas seprai."

"Aku akan berhati-hati mulai sekarang," kataku. "Sekarang, maafkan aku karena mengulang hal yang sama, tapi nyatanya hidupku adalah milikku. Aku tahu apa yang kusukai dan aku tahu yang tidak kusukai. Sesimpel itu."

"Oke, tapi kau tidak harus menyakiti orang lain. Kenapa kau tidak berusaha sedikit lebih keras? Kenapa kau tidak bisa, setidaknya, mengendalikan dirimu? Kenapa kau tak kunjung dewasa?"

Dia mulai membahas topik yang sensitif. "Aku telah dewasa. Aku bisa mengendalikan diriku. Aku pun bisa melihat sisi positif. Aku hanya tidak melihat dari sisi yang sama denganmu."

"Itu maksudku. Kau begitu arogan. Itulah kenapa kau belum mendapatkan pacar yang menetap. Maksudku, kau sudah dua puluh tujuh tahun."

"Tentu saja aku punya pacar."

"Maksudmu sebatang tubuh untuk kau setubuhi. Kau tahu aku benar. Apa kau menikmati bergonta-ganti pacar setiap tahun? Bagaimana dengan cinta dan pengertian dan kasih sayang?" Tanpa semua itu, apa intinya? Tidak ada bedanya dengan masturbasi."

"Aku tidak gonta-ganti pacar setiap tahun, apa aku gonta-ganti pacar setiap tahun?"

"Ya, kurang lebih. Kau harus lebih serius memikirkan hidupmu, bersikaplah seperti orang dewasa."

Itu menandai akhir dari percakapan kami. Dia langsung berpaling.

Entah kenapa perlakuannya terhadapku banyak berubah dalam setahun belakangan. Sebelumnya dia tampak menikmati hidup bersamaku berikut gaya hidupku yang tanpa tujuan, dan—jika aku tidak salah—dia bahkan menghormatiku sampai titik tertentu. Dia perlahan-lahan menjadi kritis terhadapku dalam bulan-bulan semenjak dia bertemu tunangannya.

Bagiku ini sangat tidak adil. Dia bersama lelaki itu selama beberapa bulan, tapi dia telah "bersama"-ku selama dua puluh tiga tahun. Hubungan kami baik-baik saja, hampir tidak pernah ada perkelahian. Aku tidak tahu apakah ada hubungan kakak-adik lain di luar sana yang dapat berbicara dengan begitu jujur dan terbuka satu sama lain, tidak hanya perkara masturbasi dan datang bulan: dia tahu kapan pertama kali aku membeli kondom (saat aku berusia tujuh belas tahun), dan aku tahu kapan dia pertama kali membeli pakaian dalam berenda (saat usianya sembilan belas tahun).

Aku mengencani beberapa temannya (tapi tidak sampai tidur bersama mereka, tentu saja), dan dia mengencani beberapa temanku (tapi tidak sampai tidur bersama mereka, tentu saja—kukira). Begitulah cara kami bergaul. Hubungan yang sempurna ini berubah menjadi suram hanya dalam waktu kurang dari setahun. Semakin kupikirkan, semakin hal itu membuatku marah.

Dia harus pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di dekat stasiun untuk membeli sepatu, katanya. Kami berpisah di depan restoran dan aku kembali ke apartemen seorang diri. Aku menelepon pacarku, tapi dia tidak mengangkat, yang mana tidak aneh. Pukul dua siang di hari Minggu memang bukan waktu yang tepat untuk mengajak kencan. Aku membolak-balik buku telepon kemudian mencoba menghubungi nomor seorang perempuan lain—seorang siswi yang kutemui di sebuah diskotek. Dia menjawab teleponku.

"Mau pergi cari minum?"

"Kau bercanda, ini pukul dua siang."

"Memangnya kenapa? Kita minum-minum sampai matahari terbenam. Aku tahu tempat yang sempurna untuk menikmati pemandangan matahari terbenam. Agar kebagian kursi dengan posisi yang bagus kita harus sudah berada di sana pukul tiga."

"Jadi kau semacam penikmat matahari terbenam?"

Dia tetap setuju pada akhirnya, mungkin karena tidak enak hati. Aku menjemputnya, dan kami berkendara di sepanjang tepian pantai ke luar kota Yokohama menuju sebuah bar dengan lanskap lautan. Aku minum empat gelas I.W. Harper dengan es, dan dia minum dua gelas banana daiquiri (aku pun tidak habis pikir). Kami menyaksikan matahari terbenam.

"Kau bisa menyetir dengan minum sebanyak itu?" dia bertanya.

"Tidak masalah. Aku tahu kapan alkohol mulai memengaruhi performaku."

"’Memengaruhi performamu?’"

"Empat gelas adalah jumlah yang normal buatku. Kau tidak perlu khawatir sedikit pun. Sedikit pun."

"Baiklah kalau begitu..."

Kami kembali ke kota Yokohama, makan, dan berciuman di dalam mobil. Aku mengajaknya ke hotel, tapi dia menolak.

"Aku sedang memakai pembalut."

"Lepaskan saja."

"Ya, ide bagus. Ini baru hari kedua."

Sekaligus hari yang buruk. Sudah cukup buruk ketika aku gagal berkencan dengan pacarku. Tidak, buruk karena hari ini seharusnya adalah hari di mana aku menghabiskan waktu bersantai dengan adikku, hal yang sudah lama tidak kami lakukan. Ternyata itu berlebihan untuk sekadar menjadi sebuah rencana.

"Maaf," ucap perempuan itu, "tapi aku mengatakan yang sebenarnya."

"Lupakan saja. Itu bukan salahmu, aku yang salah."

"Kau bersalah atas aku yang sedang haid?" dia bertanya dengan tatapan aneh.

"Tidak, itu hal yang wajar." Pertanyaan bodoh.

Aku mengantar perempuan itu ke rumahnya di Setagaya. Dalam perjalanan, kopling mobilku mulai mengeluarkan suara berderak aneh. Mungkin aku harus segera membawanya ke bengkel, pikirku sambil menghela napas. Seperti kata orang zaman dulu, jika hal buruk terjadi, hal-hal buruk lainnya akan mengikuti.

"Bisakah aku mengajakmu lagi nanti?" aku bertanya.

"Untuk berkencan? Atau ke hotel?"

"Keduanya," jawabku dengan senyuman. "Itu dua hal yang tidak terpisahkan. Kau tahu. Seperti sikat dan pasta gigi."

"Mungkin saja. Aku akan pikir-pikir lagi."

"Ya, pikirkanlah. Berpikir itu bagus, mencegah pikun."

"Kau tinggal di mana? Bolehkah aku berkunjung?"

"Maaf. Aku tinggal bersama adikku. Kami punya aturan. Aku tidak boleh membawa perempuan, dan dia tidak boleh membawa laki-laki."

"Ya. Seperti aku percaya saja."

"Menang benar. Nanti akan kubawakan salinan kontrak perjanjian kami. Minggu bagaimana?"

Dia tertawa. "Oke."

Aku melihatnya masuk ke dalam gerbang. Aku menyalakan mobil dan pulang, sambil mendengarkan kopling yang berbunyi.

Aku menemui apartemenku dalam keadaan gelap gulita. Aku menyalakan lampu dan memanggil adikku, tapi tidak ada jawaban. Apa yang dia lakukan di luar pukul sepuluh malam? Aku mencari koran sore tapi tidak menemukannya. Tentu saja. Ini hari Minggu.

Aku menuangkan segelas bir yang kuambil dari lemari pendingin dan membawanya ke ruang tengah. Aku menyalakan alat stereo dan memasukkan kaset vinil rekaman terbaru Herbie Hancock. Sembari menunggu musiknya, aku meminum birku. Tidak ada suara yang keluar. Kemudian aku teringat. Alat stereoku hanya berkedip sejak tiga hari yang lalu. Listrik pada alatnya baik-baik saja, ia hanya tidak mengeluarkan suara.

Ini juga pertanda aku tidak bisa menonton televisi. Televisi di apartemenku adalah jenis yang tidak memiliki pengeras suara bawaan dan harus tersambung ke pengeras suara yang terpisah.

Aku memelototi layar televisi yang bisu sambil minum bir. Mereka sedang menayangkan sebuah film lama tentang peperangan. Tank komandan Rommel dari Korps Afrika sedang berperang di gurun pasir. Meriam-meriam mereka menembakkan peluru tanpa suara, senapan-senapan mesin mereka menembakkan peluru tanpa suara, dan para prajurit berjatuhan satu demi satu, tanpa suara.

Aku menghela napas untuk yang keenam-belas kalinya hari itu.

***

Aku sudah tinggal bersama adikku sejak lima tahun yang lalu, saat musim semi, ketika aku berusia dua puluh dua tahun dan dia delapan belas. Aku baru saja lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan pertamaku, dan dia baru saja lulus SMA dan masuk kuliah. Orang tua kami telah mengizinkan adikku untuk melanjutkan pendidikan di Tokyo dengan syarat dia harus tinggal denganku, syarat yang kami terima dengan senang hati. Mereka menyewa apartemen yang besar dan nyaman dengan dua kamar, dan membayar separuh sewanya untuk separuhnya lagi menjadi tanggung jawabku.

Rencana untuk tinggal bersama adikku adalah sebuah penawaran yang cukup menyenangkan. Faktanya, kami tidak hanya hidup tenteram, seperti kuceritakan sebelumnya, namun jadwal sehari-hari kami juga sangat cocok. Bekerja pada divisi hubungan masyarakat di sebuah perusahaan manufaktur perkakas, aku berangkat pagi menjelang siang dan pulang larut malam. Adikku berangkat lebih pagi dan pulang menjelang matahari terbenam. Dengan kata lain, dia sering kali sudah berangkat saat aku bangun pagi, dan sudah tidur saat aku pulang bekerja. Dan karena aku berkencan hampir di setiap akhir pekan, aku tidak bicara dengan adikku lebih dari sekali atau dua dalam seminggu. Kami tidak punya waktu untuk bertengkar sekalipun kami menginginkannya, dan kami tidak memasuki wilayah privasi satu sama lain.

Aku berasumsi adikku memiliki urusannya sendiri, aku merasa tidak berhak untuk mengurusi hidupnya. Lagi pula dia sudah delapan belas tahun ketika itu. Apa urusanku dengan perkara siapa pria yang tidur bersamanya?

Tapi suatu ketika, aku menggenggam tangannya dan berada di sampingnya untuk beberapa jam—tepatnya dari pukul satu hingga pukul tiga dini hari. Sepulang kerja, aku menemuinya di meja dapur, menangis. Untuk ukuran seorang yang berpikiran sempit dan egois, aku cukup pintar untuk menangkap maksud dari adikku yang memilih menangis di dapur alih-alih di kamarnya sendiri: bahwa dia menginginkan kehadiranku untuk menenangkannya.

Maka aku duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya—mungkin untuk kali pertama sejak SD, ketika kami pergi berburu capung. Tangannya lebih besar dan kuat dari yang kuingat, tentu saja.

Dia menangis tidak kurang dari dua jam, tanpa berpindah dari tempatnya semula. Aku nyaris tidak percaya tubuhnya dapat memproduksi air mata sebanyak itu. Air mataku mungkin sudah kering setelah menangis hanya selama dua menit.

Memasuki pukul 3:00 dini hari itu, kantuk menyerangku. Aku nyaris tidak sanggup lagi membuka mata. Sekarang giliranku, sebagai kakak, untuk bicara, meskipun sebenarnya aku bukan tipe orang yang suka memberikan nasihat.

"Aku tidak ingin mencampuri urusanmu," aku memulai, "Ini hidupmu, dan kau bisa menjalaninya sesukamu."

Dia mengangguk.

"Tapi aku memberimu satu nasihat. Jangan membawa kondom di dalam tasmu. Mereka akan mengira kau pelacur."

Ketika adikku mendengar itu, dia meraih buku telepon yang ada di atas meja dan melemparkannya ke arahku dengan sekuat tenaga.

"Kau mengintip isi tasku!"

Adikku selalu melempar barang ketika dia marah, yang merupakan alasan kenapa kemudian aku memutuskan untuk tidak memberitahunya bahwa sebenarnya aku tidak pernah melihat isi tasnya.

Setidaknya cara itu selalu berhasil. Dia berhenti menangis, dan aku bisa tidur.

Gaya hidup kami tidak berubah sedikit pun, bahkan setelah adikku lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di sebuah agen perjalanan. Jam kerjanya standar, pukul sembilan pagi sampai dengan pukul lima sore, sementara jadwalku, jika pun ada, menjadi semakin longgar. Aku hadir di kantor menjelang siang hari, membaca koran di atas meja, makan siang, dan akhirnya mulai bekerja sedikit serius sekitar pukul dua siang. Setelah itu, aku akan membuat janji dengan beberapa rekan dari agensi, dan kami akan pergi minum-minum sampai lewat tengah malam.

Untuk merayakan liburan musim panas pertamanya, adikku pergi ke California bersama beberapa teman dengan memanfaatkan paket tur dari agen tempatnya bekerja. Salah satu anggota tur tersebut adalah seorang insinyur komputer, satu tahun lebih senior dari adikku, dan adikku mulai mengencani pria itu ketika mereka kembali ke Jepang. Hal-hal seperti ini selalu saja terjadi, tapi tidak padaku. Pertama, aku benci paket tur, dan memikirkan menjalani hubungan yang serius dengan seseorang yang kau temui dalam grup semacam itu membuatku muak.

Setelah mulai sering bertemu dengan insinyur komputer ini, adikku jadi tampak berseri-seri. Dia mulai lebih memperhatikan penampilan, baik penampilan apartemen maupun penampilannya sendiri. Pada titik ini, adikku semakin berani mengeksplorasi caranya berpakaian, mulai dari pakaian kerja, jin berwarna pudar, sampai sepatu kets. Berkat ketertarikan barunya pada pakaian, lemari depan dipenuhi dengan sepatu dan semua lemari lainnya dipenuhi dengan gantungan kawat dari petugas pencuci pakaian. Dia terus mencuci dan menyetrika pakaian seperti tanpa henti (alih-alih membiarkannya menumpuk di kamar mandi seperti sarang semut Amazon), selalu memasak dan bersih-bersih. Ini adalah gejala yang berbahaya, aku teringat pengalamanku sendiri. Ketika seorang perempuan mulai bersikap seperti ini, sang lelaki hanya punya dua pilihan: segera pergi atau menikahi.

Kemudian adikku menunjukkan foto lelaki itu. Dia tidak pernah melakukan hal semacam ini sebelumnya. Satu lagi gejala berbahaya.

Sebenarnya, dia menunjukkan kepadaku dua buah foto. Salah satunya diambil saat mereka berada di Fisherman’s Wharf, San Francisco. Dalam foto tampak wajah adikku dan insinyur komputer itu berdiri di depan ikan todak dengan senyum lebar di wajah keduanya.

"Ikan todak yang bagus," ucapku.

"Jangan bercanda, aku serius."

"Apa yang harus kukatakan?"

"Tidak perlu. Ini pria yang kuceritakan."

Aku mengambil fotonya lagi dan mengamati wajah pria itu. Jika ada satu bentuk wajah di dunia ini yang didesain untuk membangkitkan gairah kebencianku secara instan, maka seperti itulah wajahnya. Lebih parahnya, sesuatu tentang pria itu mengingatkanku pada seorang kakak kelas di masa SMA dulu, seorang yang kubenci—bukan tampangnya yang jelek, tapi isi kepalanya benar-benar kosong dan dia sering mengeluh. Dia memiliki ingatan seperti seekor gajah; ketika dia sudah menandaimu, dia tidak akan melepaskanmu. Dia membayar lunas kebodohannya dengan kemampuan mengingat yang fenomenal itu.

"Sudah seberapa sering kalian melakukannya?" tanyaku.

"Jangan bodoh," jawab adikku, wajahnya memerah "Jangan menilai segala sesuatu berdasarkan standarmu. Tidak semua orang sama denganmu, kau tahu."

Foto kedua diambil setelah perjalanan itu. Di foto itu hanya ada sang insinyur komputer. Dia mengenakan jaket kulit dan sedang bersandar pada sebuah sepeda motor besar, helmnya bertengger di atas jok. Ekspresi wajahnya sama persis dengan yang di foto saat di San Francisco. Mungkin dia tidak punya ekspresi lain.

"Dia suka motor," kata adikku.

"Ya, jelas sekali. Tentu dia tidak mengenakan jaket kulit itu hanya untuk berfoto."

Mungkin itu contoh lain dari sifatku yang berpikiran sempit, tapi aku tidak pernah menyukai anak motor—dengan gaya sombong dan perilaku narsis mereka. Aku tidak berkomentar apa pun dan mengembalikan foto itu.

"Baiklah kalau begitu," kataku.

"Baiklah kalau begitu, apa?"

"Baiklah kalau begitu, selanjutnya apa?"

"Tidak tahu. Mungkin kami akan menikah."

"Dia sudah melamarmu?"

"Begitulah. Tapi aku belum memberikan jawaban."

"Aku mengerti."

"Sebenarnya, akut tidak yakin ingin menikah. Aku baru saja mulai bekerja, dan kupikir aku ingin santai saja, sedikit bermain-main. Tentu saja tidak sampai gila sepertimu..."

"Itu mungkin lebih menyehatkan," tawarku.

"Aku bingung, tapi dia baik sekali. Terkadang aku ingin menikah dengannya. Ini sulit."

Aku mengambil kedua foto itu lagi dan menatapnya. Aku menghela napas diam-diam.

Percakapan ini terjadi sebelum Natal. Suatu pagi setelah tahun baru, ibuku menelepon tepat pukul sembilan. Aku sedang menggosok gigi ketika itu sambil mendengarkan lagu "Born in the U.S.A" dari Bruce Springsteen.

Ibuku bertanya apa aku mengenal pria yang sedang menjalin hubungan dengan adikku.

Kujawab tidak.

Ibuku bercerita bahwa adikku mengirim surat, menanyakan apa dia boleh membawa pria itu pulang dua minggu setelah Sabtu depan.

"Sepertinya dia akan menikahi pria itu," jawabku.

"Itulah kenapa aku berusaha mencari tahu darimu, pria macam apa dia. Aku ingin tahu informasi tentangnya sebelum benar-benar bertemu dengannya."

"Oke. Aku belum pernah bertemu pria ini. Dia satu tahun lebih tua dari adikku dan dia adalah seorang insinyur komputer. Bekerja di salah satu perusahaan tiga huruf—IBM atau NEC atau TNT, atau apalah. Aku sudah melihat fotonya. Tidak ada kesan apa pun. Bukan seleraku, tapi bukan aku yang akan menikah dengannya."

"Dia lulusan mana? Apa dia punya rumah?"

"Bagaimana aku bisa tahu?"

"Kalau begitu bisakah kau menemui pria ini dan cari tahu informasi tersebut?"

"Tidak mau. Aku sibuk. Tanyakan saja langsung padanya nanti saat bertemu."

Namun akhirnya aku tidak punya pilihan lain selain menemui sang insinyur komputer. Adikku ingin melakukan kunjungan formal ke rumah keluarga pria itu dan dia ingin aku ikut bersamanya. Aku mengenakan kemeja putih dan dasi dan jas paling konservatif yang pernah kumiliki. Mereka tinggal di sebuah rumah yang megah di tengah sebuah lingkungan perumahan yang indah di kota Meguro. Honda 500CC yang kulihat di foto terparkir di depan garasi.

"Ikan todak yang bagus."

"Ayolah," ucapnya, "jangan bawa lelucon bodohmu. Aku mohon kendalikan dirimu untuk hari ini saja."

"Siap, Nyonya."

Orang tua pria itu tampak baik, sangat sopan—mungkin agak terlalu sopan. Ayahnya adalah seorang eksekutif perusahaan minyak. Ayahku memiliki jaringan SPBU di Shizuoka, ini secara tidak sengaja menjadi kecocokan yang luar biasa. Ibunya menyajikan teh di atas baki yang tampak elegan.

Aku menyodorkan kartu namaku, dan ayahnya menyodorkan kartu namanya. Kemudian aku berhasil menggali sampai batas terdalam kemampuanku untuk berbicara dengan sopan, bahwa aku datang untuk mewakili orang tua kami yang sayang sekali sedang tidak bisa turut berkunjung untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pertunangan; kami berharap bahwa di kesempatan berikutnya kedua keluarga dapat bertemu sehingga keluarga kami dapat memberikan penghormatan secara resmi.

Ayahnya menjawab bahwa anaknya telah banyak bercerita tentang adikku dan bahwa dengan melihat adikku sekarang, dia menyadari bahwa adikku lebih cantik dari yang anaknya pantas dapatkan. Dia tahu bahwa kami datang dari keluarga terhormat, dan sejauh yang dia dan istrinya perhatikan, mereka tidak memiliki keberatan atas "diskusi yang sedang berlangsung". Aku membayangkan dia pasti telah melakukan investigasi mendalam mengenai keluarga kami, tapi dia tidak mungkin menemukan informasi bahwa adikku tidak mengalami haid sampai usianya enam belas tahun dan bahwa adikku mengalami konstipasi kronis ketika itu.

Ketika seluruh formalitas telah selesai dan semua berjalan dengan mulus, ayahnya menuangkan brandy untukku—minuman yang cukup mewah. Sembari minum, kami berbicara tentang berbagai jenis pekerjaan. Adikku mencolekku berkali-kali dengan ujung sandalnya, mengingatkanku agar tidak minum terlalu banyak.

Sang insinyur komputer, sementara itu, diam saja sambil duduk di samping ayahnya dengan ekspresi tegang. Kau bisa langsung menilai bahwa pria itu berada di bawah ibu jari ayahnya, setidaknya ketika dia berada di rumah. Itulah yang terkesan. Sweter yang dikenakannya memiliki pola yang aneh, aku belum pernah melihat yang semacam itu sebelumnya, dan warnanya bertabrakan dengan warna kemejanya. Kenapa adikku tidak bisa menemukan pria yang sedikit lebih gagah?

Percakapan akhirnya terjeda pada sekitar pukul empat, dan kami beranjak untuk pulang. Sang insinyur komputer mengantarkan kami sampai ke stasiun. "Bagaimana kalau kita minum teh dulu?" ajaknya. Aku sedang tidak ingin minum teh, juga sedang tidak ingin duduk bersama orang yang mengenakan sweter aneh, tapi akan terasa canggung jika aku menolak ajakan itu, kemudian kami bertiga pergi ke kedai kopi terdekat.

Mereka memesan kopi dan aku memesan bir, tapi mereka tidak menyediakan bir jadi aku memesan kopi juga.

"Terima kasih sudah datang hari ini," ucap pria itu, "Aku menghargai bantuanmu."

"Hanya melakukan apa yang diharapkan dariku," jawabku simpel. "Tidak perlu berterima kasih." Aku kehabisan energi untuk mencari jawaban yang lebih pantas.

"Dia bercerita banyak tentang dirimu, Kak."

Kakak!?

Aku menggaruk kupingku dengan pegangan sendok kopiku lalu mengembalikannya ke piring cawan. Adikku kembali menendangku sambil bercanda, tapi sang insinyur komputer tidak menangkap maksudnya. Mungkin dia hanya mengerti lelucon dalam notasi biner.

"Aku iri pada kalian yang sangat dekat," ucap pria itu lagi.

"Kami saling menendang kaki saat kami bahagia." Jawabku.

Dia hanya merespons dengan mengeluarkan ekspresi bingung.

"Dia bercanda," sungut adikku. "Dia memang suka bicara seperti itu."

"Ya, hanya bercanda," aku menyetujui. "Kami berbagi pekerjaan rumah. Dia mencuci pakaian dan aku yang membuat lelucon."

Sang insinyur komputer—yang ternyata bernama Noboru Watanabe—tertawa tipis, dan ini cukup mengatasi masalah yang ada pada dirinya.

"Kalian berdua begitu riang gembira," katanya. "Begitulah kehidupan rumah tangga yang ingin kumiliki. Riang dan gembira adalah yang terbaik."

"Lihat," kataku pada adikku, "Riang dan gembira adalah yang terbaik. Kau terlalu kaku."

"Tidak jika lelucon-leluconmu memang lucu."

"Jika memungkinkan, kami ingin menikah di musim gugur," kata Noboru Watanabe.

"Musim gugur adalah waktu yang terbaik untuk melangsungkan pernikahan," kataku. "Kau masih bisa mengundang para tupai dan beruang,"

Dia tertawa. Adikku tidak, dan tampak mulai benar-benar marah. Aku undur diri dan pergi.

Di apartemen, aku menelepon ibuku dan menceritakan kesimpulan dari pertemuan siang itu.

"Dia bukan pria yang buruk," kataku, sambil menggaruk telingaku.

"Apa maksudnya?" ibuku bertanya.

"Dia orang yang serius. Setidaknya lebih serius dariku."

"Tapi kau tidak serius sama sekali."

"Aku senang mendengarnya. Terima kasih," ucapku, memandangi langit-langit apartemen.

"Jadi, dia lulusan mana?"

"Lulusan?"

"Dia dulu kuliah di mana?"

"Ibu tanya sendiri saja," jawabku, kemudian menutup telepon. Aku sudah muak dengan semua ini. Aku mengambil bir dari kulkas dan meminumnya sendiri.

***

Pagi hari setelah perdebatan dengan adikku mengenai spageti, aku bangun pukul delapan tiga puluh. Hari itu cerah tidak berawan, sama seperti hari sebelumnya. Bahkan hari-hari terasa seperti rangkaian yang berkelanjutan tanpa putus, dan aku seakan hanya memulai kembali hidup setelah jeda paruh waktu.

Aku melempar piamaku yang basah oleh keringat, mandi, dan bercukur. Selagi bercukur, aku  terpikir tentang gadis semalam yang gagal kuajak tidur. Ah, mungkin aku hanya sedang tidak beruntung. Aku sudah berusaha. Masih ada kesempatan lainnya, barangkali Minggu depan.

Aku memanggang dua potong roti dan menghangatkan kopi. Aku ingin mendengarkan saluran radio FM namun kemudian teringat alat stereo yang rusak. Kemudian aku memutuskan untuk membaca rubrik ulasan buku di koran sambil memakan roti panggang. Tidak ada satu pun dari buku yang diulas yang membuatku tertarik untuk membacanya: sebuah novel berjudul " the sex life of an old Jewish man, mingling fantasy and reality," sebuah studi sejarah mengenai perawatan bagi penyakit skizofrenia, sebuah paparan lengkap mengenai insiden polusi Tambang Ashio Copper dari tahun 1907. Di saat seperti ini lebih menyenangkan tidur dengan seorang gadis kapten tim sofbol. Pilihan buku yang diulas koran itu benar-benar menjengkelkan.

Dengan mulut yang mengunyah roti panggang, aku meletakkan koran di atas meja; kemudian mendapati sebuah memo di bawah kaleng selai. Adikku menuliskan bahwa dia telah mengundang Noboru Watanabe untuk makan malam hari Minggu depan, dan dia mengharapkanku untuk ikut bersama mereka.

Aku menyelesaikan sarapanku, membersihkan remah-remah roti yang berhamburan di atas kemejaku, dan meletakkan piring di wastafel. Kemudian aku menelepon sang petugas agem perjalanan. Adikku mengangkat telepon dan mengatakan, "Aku tidak bisa bicara sekarang. Aku akan menghubungimu sebentar lagi."

Dia menelepon dua puluh menit kemudian. Dalam waktu yang sangat sebentar itu, aku sudah melakukan empat puluh tiga push up; memotong kedua puluh kuku jari tangan dan kakiku; memilih baju, dasi, jaket dan celana yang akan kupakai; menggosok gigi; menyisir rambut; dan menguap dua kali.

"Kau sudah membaca pesanku?" dia bertanya.

"Yap. Maaf, tapi aku ada janji kencan hari Minggu depan. Sudah merencanakannya sejak lama sekali. Jika aku tahu kau akan mengajak makan malam, aku akan mengosongkan jadwalku untuk hari itu. Sayang sekali."

"Kau pikir aku percaya? Aku tahu rencanamu: kau akan pergi ke mana pun kau suka dan melakukan sesuatu dengan gadis yang kau bahkan tidak ingat siapa namanya. Kau, kan, bisa melakukan itu hari Sabtu."

"Hari Sabtu aku harus ke studio seharian untuk mengerjakan iklan selimut listrik. Kami sangat sibuk hari-hari ini."

"Batalkan saja kencanmu."

"Aku tidak bisa. Dia akan menagih denda pembatalan. Dan situasiku cukup rumit dengan gadis yang satu ini."

"Yang berarti urusanku tidak cukup rumit bagimu?"

"Tidak. Aku tidak bermaksud begitu sama sekali," jawabku, seraya mengambil dasi di samping kemeja yang tergantung di sandaran kursi. "Tapi jangan lupa: kita punya aturan untuk tidak saling mencampuri urusan pribadi satu sama lain. Kau makan malam bersama tunanganmu dan aku akan berkencan dengan pacarku. Apa yang salah dengan itu?"

"Kau tahu itu di mana salahnya. Ingat sudah berapa lama sejak terakhir kali kau bertemu dengannya. Kau baru bertemu dengannya sekali, dan itu empat bulan yang lalu. Ini tidak baik. Setiap kali aku merencanakan sesuatu untuk kalian saling bertemu, kau menolaknya dan pergi. Kau sadar betapa tidak sopannya dirimu? Dia adalah tunangan adikmu. Kau tidak akan mati hanya karena makan malam dengannya sekali saja."

Dia ada benarnya, jadi aku diam saja. Aku memang sering menghindar untuk bertemu dengan pria itu, tapi menurutku itu adalah hal yang wajar-wajar saja. Kami tidak memiliki ketertarikan yang sama untuk dijadikan bahan pembicaraan, sungguh melelahkan bagiku jika harus melontarkan lelucon-lelucon namun harus melalui adikku terlebih dulu yang akan menginterpretasikannya, agar pria itu mengerti.

"Kumohon, bisakah kau ikut sekali ini saja? Jika kau mau melakukannya untukku, aku berjanji tidak akan mencampuri kehidupan seksmu sampai akhir musim panas."

"Kehidupan seksku sedikit suram belakangan ini. Mungkin tidak akan bertahan selama musim panas."

"Jadi, kau akan ada di rumah untuk ikut makan malam hari Minggu nanti, kan?"

"Mau bagaimana lagi?"

"Dia mungkin bisa membantu memperbaiki alat stereo yang rusak. Dia cukup pandai."

"Dia pandai memainkan tangannya, ya?"

"Mulai lagi pikiran kotormu," katanya, dan menutup telepon.

Aku mengenakan dasiku dan berangkat kerja.

Cuaca selalu cerah sepanjang pekan ini. Hari-hari seperti mengulang pola yang sama. Rabu malam, aku menelepon pacarku untuk memberitahu pembatalan rencana kencan kami. Responsnya cukup memusingkanku: kita sudah tiga minggu tidak bertemu. Dengan gagang telepon masih di tangan, aku menelepon gadis yang kukencani minggu sebelumnya, tapi dia sedang keluar. Dia juga keluar saat aku meneleponnya lagi di hari Kamis dan hari Jumat.

Adikku membangunkanku pukul delapan di hari Minggu pagi. "Tolong bangun dari tempat tidur, aku ingin mencuci sepreinya."

Dia melepaskan seprei dan sarung bantal, dia juga memintaku melepas piama. Tempat pelarianku adalah kamar mandi. Aku mandi dan bercukur. Adikku semakin hari semakin tampak seperti ibu kami. Para perempuan memang seperti ikan salmon: akhirnya, mereka akan berenang kembali ke tempat yang sama.

Setelah mandi, aku mengenakan sepasang celana pendek dan kaos yang sudah pudar, dengan kuap panjang aku meminum segelas air perasan jeruk. Pembuluh darahku masih mengandung sisa-sisa alkohol tadi malam; kondisi yang tidak mendukung untuk diajak membaca koran. Aku memakan beberapa biskuit soda dari stoples di meja dapur dan menganggap itu untuk cukup untuk sarapan.

Adikku memasukkan seprei ke dalam mesin cuci dan membersihkan kedua kamar kami. Berikutnya, dia mengambil sabun dan ember kemudian  membersihkan dinding dan lantai ruang tengah dan dapur apartemen kami. Aku berleha-leha di atas sofa sepanjang waktu, sambil melihat foto-foto bugil dalam salinan majalah Hustler yang berhasil dikirimkan oleh seorang teman di Amerika. Aku takjub melihat organ seksual perempuan dalam berbagai bentuk dan ukuran. Variasi yang begitu banyak, sebanyak variasi ukuran tinggi badan dan IQ manusia.

"Berhentilah bermalas-malasan dan tolong pergi belanja." Dia menyodorkan kepadaku daftar belanjaan. " Dan tolong sembunyikan majalah itu. Dia orang baik-baik."

Aku meletakkan majalah itu dan membaca-baca daftar belanjaan. Selada, tomat, seledri, salmon asap, sawi, bawang, air kaldu, kentang, peterseli, tiga potong daging panggang...

"Daging panggang? Aku baru makan daging panggang kemarin malam. Kenapa tidak membuat kroket saja?"

"Mungkin kau makan daging panggang kemarin malam, tapi kami tidak. Jangan egois. Kau tidak mungkin menghidangkan kroket untuk jamuan makan malam."

"Jika seorang gadis mengundangku makan malam di rumahnya dan dia memberiku kroket hangat yang baru saja digoreng, aku akan terharu bahagia. Dengan sajian kol putih dan semangkuk sup miso kerang... Hidup terasa nyata."

"Mungkin begitu, tapi aku sudah memutuskan daging panggang. Di kesempatan lain aku akan memasakkanmu kroket sampai kau pingsan, tapi hari ini kumohon kau setuju saja dengan daging panggang."

"Ya, tidak apa-apa," kukatakan padanya untuk meyakinkan. Aku mungkin sering membuat jengkel, tapi aku adalah tipe orang yang pengertian.

Aku pergi ke supermarket terdekat dan membeli semua yang ada dalam daftar. Dalam perjalanan pulang, aku mampir di toko minuman beralkohol dan membeli sebotol Chablis seharga 4.500 yen—hadiahku untuk sang pasangan muda. Hanya seorang yang pengertian yang terpikir akan hal semacam itu.

Di apartemen, aku menemukan selembar kaos polo Ralph Lauren berwarna biru dan celana katun bersih terlipat rapi di atas tempat tidur.

"Pakailah itu," kata adikku.

Dengan satu lagi tarikan napas, aku menuruti perintahnya. Membantahnya tidak akan mengembalikan hari mingguku yang damai dan bisa kuhabiskan dengan bermalas-malasan

***

Noboru Watanabe datang pukul tiga. Mengendarai sepeda motornya yang setia, dia tiba bersama hawa lembut musim semi. Aku bisa mendengar suara mengancam dari Honda 500CC-nya dari jarak seperempat mil. Aku menjulurkan kepalaku keluar dari tepi balkon untuk melihatnya memarkir sepeda motor di samping pintu apartemen kami dan melepaskan helm. Untungnya, setelah dia mencopot kubah berwarna putih dengan stiker STP itu dari kepalanya, pakaiannya tampak cukup memenuhi syarat sebagai manusia normal: kemeja kotak-kotak yang terlalu kaku dengan model kancing bawah, celana putih longgar, sepatu coklat berjumbai—meskipun warna sepatu dan ikat pinggangnya tidak cocok.

"Sepertinya temanmu dari Fisherman’s Wharf sudah datang," kukatakan pada adikku yang sedang mengupas kentang di wastafel dapur.

"Tolong temani dia sebentar. Aku menyelesaikan ini dulu."

"Ide yang buruk. Aku tidak tahu harus bicara apa. Kau yang ajak dia bicara, biar aku yang menyelesaikannya."

Bel berbunyi, aku membuka pintu dan menemui Noboru Watanabe berdiri di sana. Aku mengantarnya ke ruang tengah dan mempersilakan duduk di sofa. Dia membawa oleh-oleh berupa es krim Baskin-Robbin tiga puluh satu rasa. Aku kesulitan menjejalkannya ke dalam lemari es. Cukup melelahkan. Dari semua yang bisa dia bawa sebagai oleh-oleh, kenapa dia harus memilih es krim?

"Mau minum bir?"

"Tidak, terima kasih. Aku alergi terhadap alkohol. Minum segelas saja sudah membuatku sakit."

"Aku pernah minum satu wastafel penuh bir karena kalah taruhan dengan teman-teman kuliahku."

"Apa yang terjadi?"

"Kencingku berbau bir selama dua hari. Dan aku terus-terusan bersendawa dengan—"

"Kenapa kau tidak menunjukkan alat stereo yang rusak kepada Noboru?" sela adikku yang datang tepat waktu seakan mencium bau mencurigakan, dengan dua gelas air perasan jeruk.

"Ide bagus," ucap Noboru.

"Kudengar kau pandai memainkan tanganmu," kataku.

"Ya, benar," jawabnya dengan polos. "Aku senang membuat model kit plastik dan radio kontrol. Kapan pun ada barang yang rusak di rumah, aku akan memperbaikinya. Apa kerusakan alat stereo ini?"

"Tidak ada suara," kujawab. Aku menghidupkan mesinnya dan memasukkan sebuah kaset untuk menunjukkan kerusakannya.

 Dia berjongkok di depan alat stereo seperti seekor luak yang siap melompat. Setelah mengutak-atik semua sakelar, ia mengumumkan, "Kerusakannya sudah pasti dalam sistem amplifier, tapi bukan bagian internalnya."

"Bagaimana kau tahu?"

"Dengan metode induktif."

Oh, ya,  tentu saja, dengan metode induktif.

Dia mengeluarkan mini-preamp dan power amplifier, melepaskan semua kabel yang menghubungkannya, dan mulai memeriksa satu persatu. Sementara dia sibuk melakukannya, aku mengambil sekaleng Budweiser dari kulkas dan meminumnya sendiri.

"Pasti menyenangkan bisa minum alkohol," ucapnya sambil mencungkil sebuah steker dengan pensil mekanik.

"Aku juga tidak tahu," ucapku. "Aku sudah minum alkohol sejak lama sampai tidak bisa membedakan bagaimana rasanya."

"Aku sudah sering berlatih."

"Berlatih minum alkohol?"

"Ya. Apa itu hal yang aneh?"

"Tidak, tidak sama sekali. Kau harus mulai dengan anggur putih. Tuangkan ke dalam gelas besar dengan es, campurkan sedikit Perrier dan perasan lemon. Itu lebih enak dari jus buah."

"Aku akan mencobanya," katanya. "Aha! Sudah kuduga."

"Apa itu?"

"Kabel penghubung antara preamp dan power amp. Sambungannya terputus pada steker dari kedua salurannya. Steker pin ini tidak boleh bergeser. Sudah begitu, ditambah lagi ini memang jenis yang dibuat sembarangan. Aku bertaruh pasti seseorang baru-baru ini memindahkan mesin amplifiernya."

"Aku memang memindahkannya beberapa hari yang lalu, ketika aku bersih-bersih," kata adikku.

"Itu dia."

Adikku menatapku. "Kita membeli ini dari perusahaan-mu. Ini kesalahan mereka karena menggunakan suku cadang yang buruk."

"Oke, tapi bukan aku yang membuatnya," aku bergumam. "Aku hanya memasarkannya."

"Jangan khawatir," kata Noboru Watanabe. "Aku bisa memperbaikinya dalam sekejap jika kau punya solder."

"Solder? Tidak ada."

"Tidak apa-apa. Aku akan keluar sebentar dan membelinya. Kau harus punya solder di rumah. Ia berguna."

"Ya, aku percaya. Tapi aku tidak tahu di mana toko perkakas."

"Aku tahu. Tadi aku melewatinya saat di perjalanan."

Aku menjulurkan kepalaku keluar dari tepi balkon lagi untuk melihat Noboru Watanabe memasang helmnya, menstarter sepeda motornya dan menghilang di tikungan.

"Dia baik sekali," ungkap adikku sembari menghela napas.

"Ya, manis sekali."

***

Noboru Watanabe selesai memperbaiki steker pin sebelum pukul lima. Dia bilang ingin mencoba sebuah lagu dengan vokal yang mengalun, adikku memutar kaset Julio Iglesias. Sejak kapan ada rekaman musik sampah itu di rumah ini?

Noboru bertanya, "Musik seperti apa yang kau suka?"

"Oh, ya yang semacam ini," kujawab sekenanya. "Kau tahulah, Bruce Springsteen, Jeff Beck, the Doors."

"Aneh, aku belum pernah mendengar satu pun dari yang kau sebutkan. Apa mereka seperti Julio?"

"Ya, sangat mirip dengan Julio."

Dia bercerita tentang sistem komputer baru yang sedang dikembangkan tim proyeknya. Sistem komputer itu didesain untuk mampu secara cepat menyajikan diagram ilustrasi mengenai metode paling efektif guna membawa kereta api yang mengalami kecelakaan untuk kembali ke stasiun. Sejujurnya, itu terdengar seperti ide yang luar biasa, tapi prinsip yang mendasarinya bagiku sama tidak masuk akalnya dengan konjugasi kata kerja dalam bahasa Finlandia. Sementara dia bercerita dengan penuh semangat, aku mengangguk di saat-saat yang tepat sembari berpikir tentang perempuan—seperti ke mana aku harus mengajaknya untuk minum minuman jenis apa di hari-hari libur mendatang, termasuk aku akan mengajaknya makan di mana dan tidur di hotel apa. Aku seakan terlahir dengan kesukaan akan hal-hal itu, sebagaimana seseorang juga bisa terlahir dengan kesukaan untuk membuat model kit plastik dan diagram ilustrasi kereta api. Aku suka mabuk-mabukan bersama perempuan kemudian tidur dengan mereka. Ini tentang garis takdir, sesuatu yang melampaui kemampuan nalar manusia.

Saat aku hampir menghabiskan gelas bir ketigaku, makan malam pun siap; salmon asap, sup vichyssoise, daging panggang, salad, dan kentang goreng. Seperti biasa, masakan adikku cukup enak. Aku membuka botol Chablis dan meminumnya sendiri.

Sambil memotong tenderloin-nya, Noboru Watanabe bertanya, "Kenapa kau memilih bekerja di perusahaan manufaktur perkakas? Kulihat kau tidak terlalu tertarik pada elektronik."

Adikku menjawabkan untukku. " Dia tidak tertarik pada bidang apa pun. Dia bisa bekerja di mana saja. Kebetulan dia sekarang bekerja di perusahaan itu."

"Itu benar sekali," aku mengamini.

"Yang dia suka hanya bersenang-senang. Dia tidak pernah berpikir serius tentang dirinya, untuk menjadi pribadi yang lebih baik."

"Itu kebenaran yang tak terbantahkan, wahai belalang musim panas."

"Dia menganggap aneh orang-orang yang memilih untuk menjalani kehidupan yang serius."

"Kali ini kau salah," aku menyela. "Apa yang kulakukan tidak ada hubungannya dengan apa yang orang lain lakukan. Aku hanya menyibukkan diriku dengan hal-hal yang sesuai dengan pendapatku tentang segala sesuatu. Aku tidak memusingkan apa yang orang lain lakukan. Aku tidak menganggap orang lain aneh, memikirkannya pun tidak. Aku mungkin tak berguna, tapi setidaknya aku tidak ikut campur urusan orang lain."

"Itu tidak benar!" seru Noboru Watanabe dengan refleks. "Kau orang yang berguna!" Orang ini pasti dibesarkan dengan baik.

"Terima kasih," ucapku, mengangkat gelas anggurku untuknya. "Dan ngomong-ngomong, selamat untuk pertunangan kalian. Maaf aku minum sendiri."

"Kami berencana merayakannya di bulan Oktober," katanya. "Mungkin sudah telat untuk mengundang para tupai dan beruang."

"Jangan khawatir," jawabku. Luar biasa, dia melucu!

"Jadi, ke mana kalian akan berbulan madu? Sepertinya kalian akan dapat harga diskon?"

"Hawaii," jawab adikku ketus.

Kami mengobrol sebentar tentang pesawat. Kebetulan aku baru saja membaca soal kecelakaan di Andes. Aku pun membawa topik itu ke dalam obrolan

"Ketika mereka memakan daging manusia, mereka memanggangnya terlebih dahulu di atas potongan-potongan aluminium pesawat."

Adikku menyorot padaku. "Kenapa kau membicarakan hal mengerikan semacam itu saat makan malam? Apa itu yang kau bicarakan saat makan bersama gadis yang sedang kau goda?"

Seperti seorang tamu yang sedang makan malam bersama sepasang suami istri yang tidak akur, Noboru Watanabe mencoba untuk menengahi kami dengan bertanya, "Apa kau pernah terpikir untuk  menikah?"

"Tidak sempat memikirkannya," kataku sembari memasukkan sejumput kentang goreng ke dalam mulutku. "Aku harus membesarkan adikku seorang diri, kemudian melewati tahun-tahun peperangan yang panjang."

"Perang? Perang apa?"

"Itu lagi-lagi hanya lelucon bodohnya," sahut adikku sambil mengocok botol saus salad.

"Ya, hanya lelucon bodohku," aku menambahkan. "Tapi memang benar aku tidak sempat memikirkannya. Aku selalu menjadi orang yang berpikiran sempit, aku tidak pernah terbiasa mencuci kaus kakiku sendiri, jadi tidak pernah ada gadis yang mau menghabiskan sisa hidupnya bersamaku. Tidak sepertimu."

"Apa ada yang salah dengan kaus kakimu?" tanya Noboru Watanabe.

"Itu juga lelucon," adikku menjelaskan untuk ke sekian kalinya. "Aku yang mencuci kaus kakinya, minimal sehari sekali."

Noboru Watanabe mengangguk dan tertawa selama satu setengah detik. Aku bertekad untuk membuatnya tertawa selama tiga detik nanti.

"Tapi dia sudah menghabiskan waktunya hidup bersamamu, kan?" katanya, menunjuk ke arah adikku.

"Ya, mau tidak mau, karena aku kakaknya."

"Ya, dan kita mampu bertahan hidup bersama karena kau melakukan semua sesuka hatimu dan aku diam saja. Tapi itu bukan kehidupan sesungguhnya. Dalam kehidupan orang dewasa yang matang, pertentangan satu sama lain dilakukan secara jujur. Aku tidak mengatakan lima tahun belakangan ini tidak menyenangkan hidup bersamamu. Aku menikmati kebebasanku. Tapi kemudian aku sadar, ini bukan kehidupan sesungguhnya. Ini tidak terasa seperti—aku tidak tahu—bagaimana rasanya menjalani kehidupan sesungguhnya. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri, dan jika seseorang mencoba bicara serius denganmu, kau malah mengejeknya."

"Sejatinya aku adalah orang yang pemalu."

"Tidak, kau hanya orang yang arogan."

"Aku pemalu dan arogan," aku menjelaskan kepada Noboru Watanabe sembari menuang anggur lagi. "Aku memiliki sifat pemalu dan arogan dalam mengembalikan kereta api ke stasiun setelah kecelakaan."

"Kurasa aku mengerti maksudmu," katanya, mengangguk. "Tapi apa kau tahu apa yang kurasakan? Kurasa setalah kau sendirian—maksudku, setelah kami menikah—kau juga akan mulai berpikir untuk menikah."

"Kau mungkin benar," jawabku.

"Benarkah?" adikku menyambar. "Jika kau benar-benar ingin menikah, aku punya seorang teman, gadis yang baik, dan aku akan dengan senang hati memperkenalkannya denganmu."

"Tentu. Saat tiba waktu yang tepat. Sekarang terlalu berbahaya."

***

Seusai makan malam, kami pindah ke ruang tengah untuk minum kopi. Kali ini adikku memainkan Willie Nelson—sebuah kemajuan setelah Julio Iglesias.

Adikku di dapur, bersih-bersih, ketika Noboru Watanabe berkata padaku dengan segenap kepercayaan diri, "Jika boleh jujur padamu, sebenarnya aku ingin hidup sendiri sampai usia tiga puluhan, sepertimu. Tapi setelah bertemu dengannya, yang kupikirkan hanya menikah."

"Dia anak yang baik," kataku. "Dia sering keras kepala dan kadang mengalami konstipasi, tapi, sejujurnya, kurasa kau membuat keputusan yang tepat."

"Namun tetap saja, gagasan untuk menikah itu lumayan menakutkan, iya kan?"

"Mungkin. Jika kau berusaha untuk selalu melihat sisi positifnya, selalu memikirkan hal-hal baik, tidak ada yang perlu kau takutkan. Jika ternyata hal buruk terjadi, kau tinggal kembali ke poin pertama."

"Mungkin kau benar."

"Aku pandai memberikan nasihat."

Aku ke dapur dan memberitahu adikku aku ingin pergi keluar untuk jalan-jalan. "Aku tidak akan pulang sebelum pukul sepuluh, jadi kalian bisa melakukan apa pun yang kalian suka. Sepreinya masih baru."

"Apa cuma itu yang ada di pikiranmu?" jawabnya dengan ekspresi jijik, namun tidak mencegahku untuk pergi.

Aku kembali ke ruang tengah dan memberitahu Noboru Watanabe aku ada urusan di luar dan mungkin akan pulang larut malam.

"Aku senang kita punya kesempatan untuk mengobrol," katanya. "Sering-seringlah berkunjung jika kami sudah menikah nanti."

"Terima kasih," ucapku, untuk mengusir imajinasiku.

"Jangan naik mobil," teriak adikku saat aku akan pergi, "Kau minum banyak sekali."

"Jangan khawatir, aku akan jalan kaki."

Waktu menunjukkan pukul delapan ketika aku memasuki bar yang lokasinya tidak jauh dari apartemenku. Aku duduk di kursi, minum segelas I.W. Harper dengan es. Televisi di belakang bar menayangkan pertandingan bisbol antara tim Giant melawan tim Shallows. Suaranya dimatikan, yang terdengar malah lagu Cyndi Lauper. Pelemparnya Nishimoto dan Obana, dan tim Shallows memimpin dengan skor 3-2. Menonton televisi dengan suara yang tak terdengar ini cukup menjadi masalah.

Aku minum tiga gelas wiski selama menyaksikan pertandingan itu. Memasuki jeda istirahat babak ketujuh, skor ketat 3-3, dan siaran langsungnya berhenti tepat pukul sembilan. Televisi dimatikan. Terpaut dua kursi dari kursiku, ada seorang gadis yang sudah sering kulihat di bar ini. Sebelumnya dia juga tampak menyaksikan pertandingan bisbol. Aku pun mengajaknya bicara tentang bisbol.

"Aku penggemar tim Giants," katanya. "Kau tim mana?"

"Semua tim sama saja bagiku. Aku hanya suka menonton pertandingannya."

"Di mana keseruannya? Bagaimana kau bisa semangat menontonnya?"

"Aku tidak harus bersemangat. Bukan aku yang sedang bertanding, tapi mereka."

Aku meminum dua wiski lagi dengan es, dan menraktir gadis itu dua gelas daiquiri. Dia mahasiswi desain periklanan di Tokyo University of Arts, jadi aku mengajaknya bicara tentang seni dalam dunia periklanan. Pukul sepuluh, kami pindah ke bar lain dengan kursi yang lebih nyaman, di mana aku minum wiski dan dia minum grasshopper. Dia sudah cukup mabuk, dan aku juga. Pukul sebelas, aku menemaninya pulang ke apartemen, dan kami bercinta, sebagai hal yang wajar, sewajar keberadaan bantal dan secangkir teh ketika kau menginap di hotel.

"Matikan lampunya," katanya, maka kumatikan. Dari jendelanya kau dapat melihat menara iklan Nikon. Televisi di kamar apartemen sebelah terdengar sedang menyiarkan hasil pertandingan bisbol hari itu. Dengan kondisi mabuk dan kamar yang gelap, aku nyaris tidak menyadari apa yang sedang aku lakukan. Kau tidak bisa menyebutnya bercinta. Aku hanya menggerakkan penisku kemudian mengeluarkan cairan sperma.

Setelah menyelesaikan aktivitas yang cukup singkat itu, dia sudah tidak sanggup mempertahankan kesadarannya dan tertidur. Tanpa perlu repot-repot membersihkan ini itu, aku berpakaian dan pergi. Hal tersulit adalah menemukan kaos polo dan celana dalamku di antara barang-barangnya dalam kegelapan.

Di luar, kondisi mabuk menyiksaku sampai terasa seperti tertabrak kereta malam. Aku merasa seperti sampah. Sendi-sendiku berderak seperti Tin Woodman dalam cerita The Wizard of Oz. Aku membeli sekaleng jus dari mesin penjual otomatis untuk membantuku pulih dari mabuk, tapi seketika setelah aku meminumnya, aku memuntahkan seluruh isi perutku ke jalan—sisa-sisa dari daging panggang dan salmon asap dan selada dan tomat.

Sudah berapa tahun sejak terakhir kali aku muntah setelah minum alkohol? Apa yang sudah kulakukan akhir-akhir hari ini? Hal yang sama secara terus-menerus. Setiap pengulangan adalah versi yang lebih buruk dari sebelumnya.

Kemudian, aku memikirkan hal yang tidak ada hubungannya sama sekali. Aku teringat Noboru Watanabe dan alat solder yang dia belikan untukku. "Kau harus punya solder di rumah. Ia berguna," katanya.

Benar-benar ide yang bermanfaat, aku berkata padanya dalam hati sembari menyapu bibirku dengan saputangan. Sekarang, berkat idemu, tempat tinggalku dilengkapi dengan solder. Tapi karena solder sialan itu, apartemenku tidak terasa seperti tempat tinggal lagi.

Itu mungkin karena aku memiliki kepribadian yang sempit.

***

Aku sampai di apartemen lewat tengah malam. Sepeda motornya, tentu saja, sudah tidak ada lagi terparkir di gerbang masuk. Aku naik elevator ke lantai empat, membuka kunci pintu apartemen, dan masuk. Semua tampak gelap, hanya ada cahaya pijar dari lampu di atas wastafel. Adikku mungkin sedang tidur dalam ketidakpuasan. Aku tidak menyalahkannya.

Aku menuangkan air perasan jeruk dan menghabiskannya sekali teguk. Aku mandi dan menghabiskan banyak sekali sabun untuk menghilangkan bau keringat di tubuhku, kemudian menyikat gigi sambil termenung. Pantulan wajahku di cermin kamar mandi cukup membuatku panas dingin. Aku tampak seperti para pria paruh baya di kereta terakhir dari pusat kota, tergeletak dalam keadaan mabuk di atas bangku, mengotori diri mereka dengan muntah mereka sendiri. Kulitku kasar, mataku tampak tenggelam, dan rambutku tampak kusam.

 Aku memalingkan wajahku kemudian mematikan lampu kamar mandi. Dengan tanpa memakai apa pun kecuali handuk yang terlilit di pinggang, aku pergi ke dapur dan meminum air putih. Hal baik pasti terjadi besok, pikirku. Dan jika tidak, besok aku akan mulai berpikir tentang hidupku. Ob-la-di, ob-la-da, hidup terus berjalan.

"Kau datang sangat larut," adikku menghampiri di tengah kesuraman. Dia duduk di sofa ruang tengah, meminum bir.

"Aku minum-minum," sahutku.

"Kau kebanyakan minum."

"Aku tahu."

Aku mengambil bir dari kulkas dan duduk di seberangnya.

Sejenak, kami tidak saling bicara, hanya duduk, sambil sesekali minum dari kaleng bir masing-masing. Daun-daun tanaman pot di balkon berkibar tertiup angin, dan di atasnya mengapung bulan setengah lingkaran yang tertutup kabut.

"Asal kau tahu, kami tidak melakukannya," ucapnya.

"Melakukan apa?"

"Apa saja. Sesuatu membuatku jengkel. Aku tidak bisa melakukannya."

"Oh." Sepertinya aku selalu kehilangan kemampuan untuk bicara di malam-malam bulan separuh.

"Apa kau akan bertanya apa yang membuatku jengkel?"

"Apa yang membuatmu jengkel?"

"Ruangan ini! Tempat ini! Aku tidak bisa melakukannya di sini."

"Oh."

"Hei, apa yang terjadi padamu? Apa kau sakit?"

"Aku lelah. Aku juga bisa lelah."

Dia menatapku tanpa berkata. Aku meminum tegukan terakhir birku dan membaringkan kepalaku pada sandaran sofa, dengan mata terpejam.

"Apa ini salah kami berdua? Apa kami yang membuatmu lelah?"

"Tidak," jawabku dengan mata masih terpejam.

"Apa kau lelah untuk bicara?" dia bertanya dengan suara halus.

Aku menegakkan kepalaku dan menatapnya, kemudian menggelengkan kepala.

"Aku khawatir. Apa aku mengatakan hal yang buruk padamu hari ini? Sesuatu tantang dirimu, atau tentang caramu menjalani hidupmu?"

"Tidak sama sekali," jawabku.

"Benarkah?"

"Semua yang kau katakan itu benar. Jadi tidak usah khawatir. Tapi, kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?"

"Aku tidak tahu, pikiran itu tiba-tiba saja muncul setelah dia pergi dan selagi aku menunggumu. Aku ingin tahu apa aku kelewatan?"

Aku mengambil dua kaleng bir dari kulkas, menyalakan stereo dan memutar rekaman Richie Beirach, dengan volume yang sangat rendah. Itu adalah rekaman yang selalu kuputar jika aku pulang larut malam dan mabuk.

"Aku mengerti jika kau merasa sedikit bingung," kataku. "Perubahan-perubahan dalam hidup ini seperti perubahan tekanan barometrik. Aku juga bisa bingung, dengan caraku sendiri."

Dia mengangguk.

"Apa aku terlalu keras padamu?" dia bertanya.

"Semua orang bersikap keras pada seseorang dalam hidupnya," kataku. "Tapi jika kau memang memilih untuk bersikap keras padaku, kau membuat pilihan yang tepat. Jadi tidak perlu cemas."

"Terkadang. Aku tidak tahu. Aku sering takut akan masa depan."

"Kau harus berusaha untuk selalu melihat sisi positifnya, selalu memikirkan hal-hal baik. Maka tidak ada yang perlu kau takutkan. Jika ternyata hal buruk terjadi, kau tinggal kembali ke poin pertama." Aku memberinya pidato yang sama dengan yang kuberikan pada Noboru Watanabe.

"Tapi bagaimana jika segala sesuatu tidak berjalan seperti yang kau inginkan?"

"Jika itu terjadi, itulah saatnya untukmu berpikir kembali."

Dia tertawa kecil. "Kau aneh."

"Begini, boleh aku bertanya?" aku membuka satu kaleng bir lagi.

"Tentu."

"Sudah berapa pria yang tidur bersamamu sebelum dia?"

Dia tampak ragu selama sesaat sebelum mengacungkan dua jarinya. "Dua."

"Dan, salah satunya seusiamu, dan yang satunya lagi lebih tua?"

"Bagaimana kau tahu?"

"Itu sudah menjadi pola." Aku meminum satu tegukan bir. "Selama ini aku tidak sekadar bermain-main. Aku banyak belajar dari pengalamanku."

"Jadi, aku seperti orang kebanyakan."

"Katakan saja, ‘normal.’"

"Berapa gadis yang sudah tidur bersamamu?"

"Dua puluh enam. Aku menghitungnya tempo hari. Ada dua puluh enam sejauh yang bisa kuingat. Mungkin ada sekitar sepuluh yang tak terhitung. Aku tidak mencatatnya dalam diari atau apa pun itu."

"Kenapa kau tidur dengan banyak sekali gadis?"

"Aku tidak tahu," kujawab sejujurnya. "Kukira aku pasti akan berhenti pada satu titik dalam hidupku, aku cuma tidak tahu bagaimana aku akan berhenti."

Kami sama-sama diam untuk sesaat, termenung dengan pikiran masing-masing. Dari kejauhan terdengar bunyi knalpot sepeda motor, tapi itu pasti bukan milik Noboru Watanabe. Tidak pada pukul satu dini hari.

"Katakan padaku," katanya, "Apa pendapatmu tentangnya?"

"Noboru Watanabe?"

"Ya."

"Dia pria baik, kurasa. Hanya saja bukan tipeku. Selera berpakaian yang lucu, itu satu hal." Aku diam untuk berpikir, kemudian melanjutkan, "Tidak ada salahnya punya seseorang seperti dia dalam keluarga."

"Itu juga yang kupikirkan. Dan sudah orang seperti kau dalam keluarga: orang yang kusebut kakakku. Aku sangat menyukaimu, tapi jika semua orang sepertimu, mungkin dunia akan menjadi tempat yang mengerikan."

"Kau mungkin benar."

Kami meminum bir yang tersisa dan beringsut ke kamar masing-masing. Seprei kami masih baru dan bersih dan kencang. Aku berbaring di atasnya sembari memandang bulan di luar jendela. Akan pergi ke mana kita? Aku penasaran. Tapi aku terlalu lelah untuk berpikir terlalu dalam akan hal semacam itu. Ketika aku memejamkan mataku, tidur membawa ragaku mengapung seperti jaring-jaring gelap nan sunyi.[]


Diterjemahkan dari Family Affair dalam kumpulan cerpen The Elephant Vanishes.

No comments:

Post a Comment