Monday, March 31, 2014

Stop Jualan

Mulai hari ini saya stop jualan buku karena mau fokus, fokus nulis.
Website BukuMurah.net  saya kasih ke teman.
Jika kamu pernah beli buku dengan saya, atau bahkan jadi pelanggan setia, saya hanya bisa bilang terimakasih banyak: kamu telah menyelamatkan hidup saya...

Thursday, March 6, 2014

Untuk Mesjid Baiturrahman yang di Depan, Pimpinan Habib Anu

Ini baru saja terjadi, sekitar satu jam lalu. Sebuah salam yang cukup mantap terdengar dari pintu depan. Aku keluar kamar. Seorang pemuda dengan kemeja kotak-kotak yang dimasukkan ke dalam celana hitam licin serta dengan sepatu pantofel berdiri di depan pintu. Ia menjabat tanganku. Sales, sepertinya. Tapi dugaanku salah.
"Dari mesjid Baiturrahman mas. Ada gotong royong satu bulan sekali." Aku suka gotong royong. "Juga mau ada habsyian. Pimpinan habib anu."
Lalu aku disodorkan map berisi daftar penyumbang. Saat itu juga aku menyadari, penipuan paling klise sedang coba dilancarkan. Di kertas itu sudah ada 7 nama penyumbang, ada yang menyumbang 40 ribu, 50 ribu, bahkan 100 ribu.
"Silakan, nomor delapan mas." Ia tersenyum.
Baiklah, kini giliranku. "Mesjid Baiturrahman ya... Itu di mana ya?"
"Di depan mas. Pimpinan Habib anu... Masa mas nggak tahu?"
"Di depan di mana ya?"
"Ya di depan mas. Mesjid Baiturrahman..."
"Di depan namanya Mesjid Arrahim."
"Ini ada fotonya mas. Coba mas buka di halaman belakang."
Aku menuruti permintaannya. Memang ada foto-foto mesjid di sana, namun entah mesjid di mana.
"Ada izin dari kepala RT nggak, atau dari lurah?"
"Ada mas, coba buka di belakangnya lagi."
"Nggak, maksud saya RT sini."
"Wah, kalau itu nggak ada mas."
Aku tersenyum. Pertahanannya sudah ambruk. Lalu kubalik lagi ke halaman di belakangnya. Ada beberapa cap di bawah suratnya. Stempel Kecamatan Anjir, stempel Desa Entah Apa, dan stempel-stempel lain.
"Lho, katanya tadi mesjid di depan, kok ini ada stempel kecatamatan Anjir?"
Kutatap wajahnya. Ia tidak menjawab. Meski masih mempertahankan senyumnya, namun jelas ia sangat gugup dan tidak menduga mendapat serangan seperti ini.
Karena ia masih terdiam, dan aku cukup kasian, maka kukembalikan mapnya tadi dan kututup percakapan itu.
"Ya sudah, karena tidak ada izin dari RT sini, saya belum bisa bantu." Ia langsung berbalik. Bahkan tak lagi menghadap ke arahku saat aku bilang "Ini buat jadi pembelajaran mas juga kan." Tanpa pamit ia segera beranjak.
Padahal, seandainya ia tak buru-buru mau pulang, aku mau menawarkan mengantarnya ke rumah Pak RT.

Wednesday, March 5, 2014

Trekking di Lembah Kahung, Desa Belangian, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalsel (3)

Hari III
Pagi ini kuawali dengan mandi. Mungkin itu sesuatu yang sia-sia, karena beberapa jam lagi bekas mandi itu pasti sudah terhapus. Mungkin aku harusnya seperti kawan-kawan lain yang hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Tapi mandi, bukan hanya untuk membersihkan tubuh bukan? Aku mandi untuk merasakan kesegaran air sungainya, merasakan nikmatnya alam!

Ini hari terakhir, hari pulang. Hari yang santai, karena kami sudah di shelter 2, tidak di shelter 3 seperti yang sudah direncanakan. Namun itu juga menjadi masalah. Karena rencana semula menginap di shelter 3, dan dari shelter 3 menuju dermaga Desa Belangian pasti akan memakan waktu lama, kami minta jemput kelotok pada jam 3 siang. Di tengah gunung seperti ini kami tak mungkin menelepon si paman kelotok untuk minta dijemput lebih cepat. Satu-satunya tempat yang memungkinkan ada sinyal, menurut warga, hanyalah di dermaga. Itu pun hanya jika beruntung. Maka, dengan sedikit harapan itu, kami memutuskan berangkat pagi itu juga balik ke dermaga, kalau di dermaga ada sinyal kami akan menghubungi si paman kelotok agar dijemput lebih cepat. Pertimbangan lainnya adalah jika berangkat pagi panas matahari tidak semenyengat daripada siang hari. Jam 9 pagi, kami siap pulang.
Tak ada masalah selama perjalanan. Kami bahagia. Sekitar pukul 11 lewat, kami telah tiba di perkampungan warga. Satu-satunya warung minum yang buka menjadi tujuan pertama kami. Setelah lama istirahat di warung, kami terus menuju dermaga. Saat itu, waktu sudah pukul 1 siang. Ada sinyal atau tidak, kami tak perlu lagi menghubungi paman kelotok, karena jika sesuai perhitungan dan si paman tepat janji, tentu saat ini beliau sudah berangkat, atau setidaknya sudah mau berangkat dari dermaga Riam Kanan. Menghubuni paman kelotok saat ini tidak akan mempercepat kepulangan kami.

Maka sisa waktu itu kami habiskan dengan menunggu. Menunggu yang lama. Sebagian bermain UNO, sebagian masak mie instan, sebagian (termasuk aku) hanya tinggal makan, dan Tri tiduran.
Saat jam 3, kelotok yang ditunggu belum juga datang. Jam 4 lewat barulah yang ditunggu-tunggu itu datang. Tapi kami tak mengeluh, sekali lagi, kami bahagia.

Aku melanjutkan membaca Into the Wild selama di kelotok. Jam 9 kelotok sampai di dermaga Riam Kanan. Alhamdulillah, motor yang kuparkir di sana aman, meskipun harga parkirnya juga cukup mahal: 5.000/malam. Dua malam berarti 10.000. Tak masalah, aku bahagia. Dengan motor, kami pulang ke rumah masing-masing.
Aku telah mendapat pengalaman berharga, juga mendapat kawan-kawan baru, sesuatu yang sangat bernilai.

Berikut foto-foto lainnya:
Kakak MAPALA yang membantu menyeberang
Kakak MAPALA yang meninggalkan di depan
IAIN man!
Menyusuri jalan pulang
Memang ganteng kok
Yang gokil itu namanya Kak Rama
Jembatan gantung dekat shelter 1
Ini dia yang namanya Tri Yuliono Saputro
Pulaunya keren
Pemandangan sepanjang perjalanan dengan kelotok
Cukup puas dengan melihat fotonya
Mereka yang tangguh
Pemandangan dari Gunung Kahung

Tuesday, March 4, 2014

Trekking di Lembah Kahung, Desa Belangian, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalsel (2)

Hari II
Udara pagi terasa sangat segar. Aku memulai pagi dengan mandi di sungai besar yang airnya sangat deras dan sarapan sebungkus mie instan. Pagi ini kami akan melanjutkan trekking ke shelter 4 kemudian ke air terjun. Rencana semula, setelah ke air terjun kembali ke shelter 3 dan menginap di sana, namun rencana itu berubah karena ada dua orang cewek yang tidak bisa trekking hari ini lantaran fisik yang tidak memadai, sehingga setelah tiba di air terjun rencananya akan kembali langsung ke shelter 2. Kupikir itu akan jadi perjalanan yang sangat melelahkan. Dari yang kudengar, perlu  3 jam untuk sampai ke shelter 4, lalu dari shelter 4 perlu 2 jam lagi untuk tiba di air terjun. Kalau bolak-balik berarti 10 jam! Untuk menemani 2 cewek yang tinggal di shelter 2 tadi, kakak MAPALA yang pada malam harinya membantu menyeberang juga ikut tinggal.
siap berangkat dari shelter 2 lembah kahung

Jam 8 pagi, 18 peserta yang akan trekking ke air terjun siap berangkat. Karena tidak ada acara menginap, aku dan Tri hanya membawa satu tas yang kami sepakati akan dibawa bergantian (meskipun akhirnya Tri-lah yang paling lama dapat jatah membawa :D). Perjalanan lebih banyak mendaki. Jalur trekking banyak yang berada di tepi jurang, sehingga harus benar-benar hati-hati. Sandalku yang alasnya sudah licin berkali-kali tergelincir, untungnya tidak sampai menimbulkan celaka.

Selama beberapa jam, belum ada masalah yang berarti. Hingga kemudian kawanan lintah menyerang kami. Akulah yang pertama diserang, setidaknya akulah yang pertama menyadarinya. Ia bersembunyi di bawah jari kaki kiriku dan sudah banyak mengisap darahku. Yang kedua juga aku, kali ini di tangan. Semakin ke atas, udara semakin lembab, dan lintah semakin banyak. Entah sudah berapa puluh lintah yang mengisap darahku selama perjalanan. Ia menyelinap ke balik baju, menyerang ketiak dan dada. Yang paling banyak ialah di kaki. Sedangkan kawan-kawan lain yang sudah terbiasa dengan lintah membiarkannya saja menempel di kaki. Saat di sungai barulah dibersihkan. Tidak terasa sakit memang, karena saat mengisap ia mengeluarkan semacam zat anastesi, jadi yang dihisap tidak merasa apa-apa dan tahu-tahu darah sudah banyak terisap. Tapi melihat puluhan lintah mengisap darah di kaki rasanya sungguh mengerikan. Sedikit tips, jangan memakai celana panjang dan sepatu, karena lintah suka bersembunyi di bagian-bagian tubuh yang tertutup. Juga berjalanlah dengan cepat agar lintah tidak sempat melompat ke kaki kita.
istirahat di shelter 3 lembah kahung


Di shelter 3, kami istirahat sejenak, lalu kembali berjalan menuju shelter 4. Lintah semakin banyak!
Sekitar jam 1 siang, barulah kami tiba di shelter 4 dan beristirahat sejenak. Jauh lebih lama dari perkiraan karena perjalanan banyak terhenti untuk membersihkan lintah yang menempel di tubuh. Aku minum sebanyak-banyaknya air sungai di dekat sana karena air yang kami beli sudah lama habis. Airnya jernih dan sangat dingin seperti air es. Kawan-kawan lain kulihat juga mengandalkan air sungai untuk minum, diminum langsung.

Di shelter 4, beberapa orang menyatakan menyerah untuk melanjutkan ke air terjun, kebanyakan yang cewek (hanya 1 cewek yang ikut lanjut ke air terjun). Tri yang fisiknya memang kuat tanpa ragu memilih lanjut. Sementara aku ragu-ragu. Tubuh terutama kakiku sangat capek, maka kupikir lebih bijaksana jika isitirahat lebih lama, lalu berbalik, sebab jika ikut lanjut fisikku pasti tidak akan sanggup, dan perjalanan pulang pastilah sampai malam hari. Meski ada kakak MAPALA yang memandu dan beliau bilang "tenang saja", tetap saja perjalanan malam hari sangat mengerikan. Di sini benar-benar hutan rimbun, berbeda dengan jalur dari desa Belangian menuju shelter 2 pada malam sebelumnya. Maka aku pun memutuskan tidak melanjutkan. Tapi.... sudah sejauh ini, sayang sekali jika tidak lanjut. Lalu, tiba-tiba aku berubah pikiran. Aku akan lanjut. Pada diriku sendiri kukatakan bahwa aku akan sanggup!
Namun, setelah beberapa puluh meter melangkah, fisikku tak lagi bisa ditoleransi. Ia benar-benar membutuhkan istirahat.
"Kenapa?" tanya Tri.
"Sepertinya aku sebaiknya balik saja," jawabku. Tas kuserahkan pada Tri. Kami berbagi roti yang masih tersisa.
Aku pun berbalik arah. Dengan cepat, dengan berlari. Aku takut kawan-kawan yang memutuskan hanya sampai shelter 4 tadi sudah berjalan balik. Lalu mendadak kakiku sakit. Keram. Ia tak bisa ditekukkan, jika ditekuk pasti sakit. Padahal shelter 4 tinggal sedikit lagi, bahkan sudah kelihatan. Terlihat pula kawan-kawan yang masih beristirahat di sana sambil mencelupkan kaki ke sungai. Mau tidak mau aku hanya bisa terduduk sambil merenungi betapa bodohnya tindakanku barusan, berlari-lari setelah kaki dipakai selama berjam-jam.
Beberapa menit, kakiku sudah bisa digerakkan lagi. Di seberang sungai, kawan-kawan menanyaiku kenapa kembali. Kujawab karena kakiku keram. Padahal keramnya baru saja.
Ternyata di shelter 4 mereka cukup lama istirahat. Kekhawatiranku akan ditinggal terlalu berlebihan. Aku bahkan masih sempat tiduran di atas batu. Jam 2 siang, barulah kami kembali dengan meninggalkan pesan pada kawan-kawan yang meneruskan perjalanan.
Kami berjalan dengan cepat, meski beberapa kali terhenti karena bingung menentukan jalan yang tepat. Siang saja membingungkan apalagi kalau malam, pikirku. Karena berjalan dengan cepat, hanya sedikit lintah yang berhasil melompat ke kaki kami. Lagipula kami sudah mulai terbiasa dengan lintah. Langkah kami semakin cepat ketika melihat ada babi hutan. Selama perjalanan kembali itu aku sempat terjatuh dan mengakibatkan celanaku robek di bagian bokong. Sekitar jam 5 sore, kami, 8 orang yang tak sanggup meneruskan perjalanan ke air terjun itu sudah tiba kembali di shelter 2.
Yang kupikirkan saat tiba di shelter 2 hanyalah mandi. Aku mandi sangat lama. Usai mandi dan ganti baju aku memasak mie instan dengan meminjam kompor milik kakak MAPALA yang membantu menyeberang. Sambil menyantap mie instan aku terlibat perbincangan menarik dengannya. Dan saat itulah kakak MAPALA itu memberitahuku, bahwa gunung Kahung ini sebenarnya sangat angker, terutama di shelter 4. Nama desa Belangian sendiri artinya ialah "balai berkumpulnya makhluk halus".

Selesai menyantap mie instan, aku meneruskan membaca Into the Wild-nya Jon Krakauer. Dan tak lama, tanpa kuduga, kawan-kawan yang tadi melanjutkan perjalanan ke air terjun sudah tiba kembali di shelter 2, termasuk Tri.
"Gimana?" tanyaku.
"Mantap bro air terjunnya!"
"Kok cepat banget?"
"Kami berjalan tanpa stop..."
Kami juga membicarakan logistik kami yang hampir habis, hanya tersisa 2 bungkus mie instan. Jadi malamnya mau tak mau aku dan Tri menerima ajakan makan kawan-kawan lain.
Tidak banyak yang terjadi malam itu, kecuali udara dingin yang semakin ganas dari malam sebelumnya. Dan bayangan lintah yang menempel di kaki terus membayang hingga aku tertidur.

Monday, March 3, 2014

Trekking di Lembah Kahung, Desa Belangian, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalsel (1)

Hari I
Belangian merupakan sebuah desa di Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan yang menjadi pintu masuk ke Gunung Kahung. Untuk sampai ke sana diperlukan waktu kurang lebih empat jam: 2 jam lewat darat, dilanjutkan 2 jam menggunakan perahu mesin (kelotok).
Aku dan Tri berangkat sekitar jam 2 siang hari Jumat kemarin (28/2/14) dari Banjarmasin menggunakan motor Mio-ku. Sebagai pemula yang tidak mengerti bagaimana naik gunung, tidak banyak yang kami siapkan, hanya beberapa lembar pakaian, sarung buat selimut, peralatan mandi, sebuah tenda yang kami pinjam dari Adit (teman yang mengajakku, lalu aku mengajak Tri), dua botol besar air mineral, beberapa bungkus roti, dan beberapa bungkus mie instan. Saat itu kami terlalu bodoh untuk berpikir apakah makanan sesedikit itu cukup untuk 3 hari, dan apakah pakaian semacam itu mampu melindungi tubuh kami dari dinginnya udara malam di pegunungan. Kami benar-benar menyesali kebodohan kami setelahnya.
Sekitar jam 4 sore, tibalah kami di dermaga Riam Kanan, meeting point para peserta yang akan berangkat ke Lembah Kahung. Bersamaan dengan kami, tiba juga 2 orang MAPALA yang nantinya akan memandu kami karena sudah sangat hapal dengan Gunung Kahung. Setelah kami, datang 4 peserta lagi yang keempatnya merupakan mahasiswa IAIN. Maka lengkaplah sudah peserta yang akan berangkat, yaitu 21 orang.
bendungan riam kanan
bendungan riam kanan

Dari dermaga, kelotok membawa kami menyusuri air bendungan PLTA Riam Kanan dengan pemandangan yang sungguh memikat. Deretan pegunungan sambung menyambung di kanan-kiri, perumahan penduduk, serta binantang-binatang peliharaan.
Sekitar jam 6, kelotok menepi di dermaga Desa Belangian. Sebuah papan bertuliskan Selamat Datang di Desa Belangian yang dipaku di cabang pohon menyambut kami. Di sini sinyal sudah tidak ada, dan power ponselku hanya tersisa sedikit. Kami berjalan menuju rumah kepala RT untuk melapor dan membeli beberapa keperluan.
Trekking pun dilanjutkan. Perumahan warga sudah kami lewati. Kami mulai memasuki hutan dengan jalan setapak yang sudah dicor semen dan sesekali berupa jalan titian kayu ulin. Gelap semakin merambat, hingga melingkupi seluruh permukaan langit, menampilkan percikan-percikan bintang. Dan sejauh ini tidak ada masalah kecuali kaki yang mulai terasa pegal.
Jalan semen telah habis. Yang tersisa tinggal jalan tanah yang tidak lebih lebar dari sebelah tanganku dan seringkali muncul kubangan becek. Kami beberapa kali istirahat. Yang cukup lama ialah di jembatan gantung, bersebelahan dengan shelter 1. Pemandangan malam hari ternyata cukup memukau, apalagi dengan kawanan kunang-kunang yang berterbangan, makhluk indah yang terakhir kali kulihat ialah saat masih SD. Hingga sampailah kami di pepohonan yang (mungkin) merupakan sarang kawanan kunang-kunang itu. Ada sungai kecil di bawahnya. Saat senter kami matikan, maka semakin jelaslah kunang-kunang yang tak terhitung jumlahnya berterbangan mengitari pepohonan itu. Setelah lama terpukau oleh pemandangan menakjubkan tersebut, kami melanjutkan trekking. Saat itu kami tidak sadar bahwa barisan telah terbagi dua, ada jarak yang cukup jauh antara barisan di depan dan barisan di belakang. Aku sendiri berada di barisan depan.
Tak jauh setelah kerajaan kunang-kunang tadi, kami tiba di sungai yang lebih besar dengan air yang cukup deras. Salah seorang kakak MAPALA membantu kami menyeberang, sementara yang satunya lagi memimpin di depan. Kami melanjutkan perjalanan, tapi kemudian terhenti saat jalan tidak terlihat jelas di depan kami. Kami memanggil kakak MAPALA yang memimpin di depan, namun ternyata beliau sudah cukup jauh di depan sehingga tak mendengar panggilan kami. Tri juga ikut menghilang di depan bersama kakak MAPALA itu tadi. Maka kami pun menunggu kawanan di belakang. Cukup lama, hingga sadarlah kami bahwa kami sudah terpisah cukup jauh. Dan sekarang lebih parah, karena kelompok terbagi menjadi 3.
Karena sangat lama, kami mulai curiga kawanan di belakang tersesat. Kakak MAPALA yang tadi membantu kami menyeberang mengajakku untuk mencari kawanan di belakang. Kami berdua pun bergegas berbalik arah, dan berjalan ke tiap tikungan yang kami temukan sambil teriak-teriak memanggil. Aku cukup kewalahan mengiringi langkah cepat kakak MAPALA tersebut. Setelah kesana-kemari berteriak dan memberi tanda-tanda lewat senter, kami tak juga menemukan tanda-tanda keberadaan kawanan yang lain. Lalu lewatlah dua orang warga dengan menggunakan motor. Mereka merupakan para pemburu Menjangan. Kepada mereka, kami menanyakan apakah ada melihat kawan-kawan kami. Namun jawabannya adalah "kadada malihat". Kami berdua kembali melanjutkan pencarian. Namun hasilnya tetap nihil.
"Ya sudah, besok pagi saja kita mencarinya. Malam begini memang susah," demikian akhirnya kata kakak MAPALA tadi. Maka kami pun berjalan kembali menuju kawan-kawan yang menunggu di depan.
Lalu, di dekat istana kawanan kunang-kunang tadi, kami menemukan belokan yang sebelumnya luput dari pencarian. Kami berdua sepakat untuk mencoba mencari ke belokan tersebut. Setelah masuk cukup jauh, teriakan kami pun mendapat balasan. Kami lega. Dari salah seorang yang tersesat itu, aku tahu bahwa mereka beruntung karena bertemu dengan rumah seorang warga. Beliaulah yang memberitahu mereka bahwa mereka salah jalur, dan bersedia mengantarkan mereka kembali ke jalur yang tepat.
Rombongan pun meneruskan perjalanan. Kakiku sudah sangat capek karena sebelumnya ke sana-sini mencari. Di perjalanan kami bertemu dengan kakak MAPALA yang sebelumnya memimpin di depan. Beliau sudah sampai di shelter 2, berpesan pada Tri untuk membuat api unggun, dan berjalan berbalik mencari kami.
Kemudian, entah bagaimana, aku dan si kakak MAPALA yang tadi membantu menyeberanglah yang kemudian berada paling depan. Kami berjalan cepat, sehingga menciptakan jarak yang cukup jauh dengan kawan-kawan di belakang. Tapi si Kakak MAPALA itu jauh lebih cepat, sehingga aku tertinggal. Aku malas menunggu yang di belakang, aku ingin cepat istirahat. Tanpa senter, aku memberanikan diri berjalan sendirian, dengan lebih cepat, sehingga tak terlihat lagi kawan-kawan di belakang. Tak bisa kubayangkan seandainya saat itu aku tersesat, hanya sendirian. Namun beruntung, akhirnya aku tiba di shelter 2, dan langsung berbagi kisah dengan Tri dan kakak MAPALA yang sudah lama tiba di sana. Entah jam berapa saat itu, mungkin jam 10 atau 11. Yang pasti aku sangat kelelahan. Yang kupikirkan hanyalah istirahat.
di shelter 2 lembah kahung

Hanya beberapa langkah dari shelter, sungai besar dengan air yang sangat deras memenuhi pendengaran kami dengan gemuruhnya. Malam yang pekat. Hamparan bintang membentang di hadapanku. Aku tertidur, terbangun, pindah ke "loteng", tertidur, dan terbangun lagi. Dinginnya sungguh tak terbayangkan. Dingin yang tak bisa kulawan hanya dengan baju lengan panjang, celana panjang, dan selembar sarung. Aku memakai jaket. Mencoba tidur lagi, namun tak bisa karena kakiku masih kedinginan. Aku mengambil celana panjang di dalam tas, lalu melapisi celana yang sudah kupakai. Memasukkan tubuh ke dalam sarung, dan mencoba tidur kembali.