Sunday, May 29, 2016

Aku Hanya Seorang Sial yang Seringkali Beruntung (Part 2)

Sudah tiga bulan aku bekerja di Rumah Sakit "sebut saja namanya Mawar". Sudah kurasakan bagaimana jauhnya perbedaan antara dunia teori (yang sebenarnya juga tak begitu kupahami) dengan dunia kerja yang sesungguhnya. Sudah kulihat bagaimana konflik-konflik di dunia kerja, juga sudah kurasakan sakitnya bulan tua.
Sampai sekarang, aku masih belum mengerti mengapa nomor ponselku yang mereka hubungi, bukan yang lain yang sebelum berkasku mendarat di meja mereka sudah banyak berkas-berkas lain yang masuk, yang kata Arif (teman satu angkatan yang sudah kerja di sini satu bulan lebih dulu) banyak di antaranya adalah berkas teman-teman satu angkatan kami, yang nilai-nilai mereka di bangku kuliah, jauh lebih tinggi dariku.

Aku punya beberapa teori, meski ini belum teruji. Pertama, aku menyerahkan lamaran tepat di saat mereka membutuhkan, dan mereka memilih pelamar terbaru. Kata orang, momentum adalah segalanya. Tapi ini kurang terbukti, sebab perawat-perawat terdahulu yang sudah bekerja, mereka dipanggil tidak saat posisi berkas mereka berada di paling atas. Mereka dipanggil justru berbulan-bulan setelah mereka menyerahkan lamaran.
Teori kedua, karena riwayat pendidikanku yang berbasis pesantren. Orang-orang pesantren dikenal jujur (walaupun aku bukan orang jujur), sederhana, mandiri, survive, dan tidak banyak menuntut. Dan itulah kriteria yang mereka inginkan. Aku meyakini teori ini, meski sama sekali tidak ada bukti otentik, sebab para pendahuluku toh tidak ada yang pernah jadi santri.
Teori ketiga, mereka perlu tenaga S1 Ners dan laki-laki. Kebanyakan perawat di RS ini perempuan, dan hanya D3. Tenaga laki-laki dengan pendidikan S1 Ners sangat diperlukan demi meningkatkan mutu rumah sakit. Ini cukup diragukan karena selain aku, yang pendidikannya S1 Ners dan berjenis kelamin laki-laki cukup banyak yang mengajukan lamaran, dan mereka tidak dipanggil.
Teori keempat, bisa jadi, karena aku ganteng. Bagaimanapun, secara statistik, orang ganteng dan cantik seringkali memiliki nasib yang lebih baik (tolong jangan mempertanyakan kegantenganku).
Teori kelima, murni karena keberuntungan.
Entahlah, teori terakhir lebih masuk akal dan dapat diterima, dan tak bikin pusing. Itulah yang kupercaya, setidaknya hingga sekarang.

***

Selama tiga bulan itu pula, aku bekerja di Kedai Kebun Banjarbaru, sebuah kafe sederhana milik seorang teman karib, Bang Harie. Tujuan Bang Harie membangun kafe tersebut adalah memanfaatkan halaman rumahnya yang cukup luas sebagai tambahan penghasilan.
Awalnya, aku hanya numpang tinggal di rumahnya selama belum dapat gaji, dan akan pindah ngekost begitu sudah terima gaji pertama. Sebagai ucapan terimakasih karena diizinkan tinggal dan makan secara cuma-cuma, aku membantu mengurus kedai: mencuci piring dan gelas, melayani pembeli, menyapu, belanja, bikin minuman, bikin masakan. Karena kedai itu cukup ramai pengunjung (padahal lokasinya di dalam komplek) dan bartender yang awalnya bekerja di situ berhenti, maka pada bulan kedua, aku resmi sebagai karyawan kedai, mendapat upah dan fasilitas berupa kamar untuk tinggal dan makan gratis. 
Jadi, selama tidak jam dinas di rumah sakit, Kedai Kebun Banjarbaru-lah tempatku. Dua pekerjaan kudapatkan dengan mudahnya, di mana orang lain begitu mencarinya. Cukup melelahkan memang, bekerja di dua tempat sekaligus. Nyaris tidak ada waktu istirahat. Tapi karena aku masih cukup muda, itu bukan masalah berarti.

***

Sudah tiga bulan aku bekerja di rumah sakit. Lingkungan baru memberi pengalaman baru, mengenalkan pada orang-orang baru, dan bagiku, itu berarti jaringan-jaringan baru. Di sini, aku menjadi kenal dengan dr. Suwandy, mantan direktur RS. Mawar yang sekarang menjadi direktur sebuah rumah sakit swasta baru, rumah sakit dengan ukuran yang cukup besar, dengan empat lantai. Pembangunan RS tersebut saat ini sedang berada pada tahap finishing: penyediaan alat-alat, pemasangan instalasi, dan, perekrutan.
Sebagian perawat di RS Mawar yang dulunya "anak buah" beliau, beliau rekrut lagi di rumah sakit baru tersebut. Karena alasan gaji dan sistem di bawah direktur yang baru, siapa yang tidak mau pindah ke RS yang lebih menjanjikan itu? Tapi tentu saja dr. Suwandy tetap selektif memilih perawat. Hanya beberapa yang beliau percaya. Dan di antara daftar nama orang-orang beruntung itu, terselip namaku (dan Arif).
"Kamu suka bekerja di OK (kamar bedah)?" tanya beliau pagi itu, usai visite ke kamar pasien.
"Oh, iya, suka, Dok. Suka." Dan saya gembira sekali mendapat pertanyaan itu, Dok.
"Kamu mau, jadi perawat OK di RS saya?"
"Tentu saja mau, Dok." Siapa yang tidak mau?
"Ya sudah, nanti kamu sama Arif jadi perawat OK di sana, satu asisten, satu instrumen. Nanti kalian (salah satu dari kalian, yang tentu saja itu Arif, sebab dia lebih dulu kenal dengan dr. Suwandy) jadi kepala ruangan di sana. Nah, nanti kalian pelatihan dulu, mungkin di RS Ulin selama dua bulan, Juli sampai Agustus. Biaya pelatihan ditanggung RS. Jadi begitu recruitment bulan September nanti kalian langsung masuk."

***

Tidak lama setelah itu, beliau berjalan entah ke ruangan mana, lalu kembali lagi ke tempat perawat, ke hadapanku.
"Saya masih mencari perawat untuk ruang ICU. Kamu lebih suka OKA atau ICU?" tanya beliau. Santai saja.
Tapi aku tak bisa santai menjawab pertanyaan itu. Itu dua hal besar yang harus kupilih. Lalu kujawab, "ICU, Dok."
"Ya sudah, berarti pas, kamu kepala ruangan ICU, Arif kepala ruangan OKA."
Aku senang sekali. Menjadi kepala ruangan ICU! Jabatan yang begitu prestisius. Bagi perawat biasa (bukan perawat beruntung), perlu waktu puluhan tahun untuk mencapai posisi itu. Menjadi perawat ICU saja sudah sangat keren, apalagi kepala ruangannya.
Begitu dr. Suwandy beranjak, aku segera mengirim pesan pada Arif, menyuruhnya ke Kedai Kebun sore ini jika tidak ada kesibukan. Ia bertanya ada apa, tapi hanya kujawab "Ada yang mau diomongkan." Ia bertanya tentang apa. Tapi tidak kujawab.
Jam dua siang, saat aku mau pulang setelah dinas pagi, Arif datang ke RS, menanyakan langsung ada apa. 
"Ayo, kita bicarakan di kedai aja."
Hal seperti ini, tidak bisa dibicarakan sembarangan, apalagi di RS, di tengah orang-orang yang pasti akan sangat iri dengan tawaran itu.
Kami berdua bukan orang yang pintar, tapi kami orang yang beruntung, sangat-sangat beruntung. Pekerjaan bagus dan jabatan menggiurkan datang begitu saja pada kami tanpa kami susah-susah mencari. Dan sore itu, di Kedai Kebun, kami berdua tertawa bahagia. []

NB: Setelah galau tingkat dewa, berbagai pertimbangan, masukan dari teman-teman, akhirnya pada dr. Suwandy aku bilang mau di OK saja. Pengalaman di ruang operasi kupikir lebih berharga daripada pengalaman memimpin ruang ICU.



Wednesday, May 25, 2016

Aku Hanya Seorang Sial yang Seringkali Beruntung (Part 1)

Aku memang bukan seorang yang pintar, aku tahu itu. Selama kuliah, IP-ku selalu buruk. Nilai-nilaiku tidak pernah memuaskan (kecuali mata kuliah Agama Islam). Aku tidak pandai mengingat istilah-istilah medis, nama-nama bagian anatomi, golongan-golongan obat, diagnosa-diagnosa keperawatan, apalagi cara kerja tiap sistem dan organ tubuh. Aku orang yang selalu memilih tempat duduk di barisan paling belakang, sebab aku tahu, jika di depan aku pasti mengantuk, sementara bila duduk di belakang aku juga tetap mengantuk, tapi setidaknya aku bisa tidur, hingga jam kuliah berakhir.
Saat wisuda sarjana, IP-ku hanya sedikit di atas angka tiga: 3,08. Aku ingin menyandang selendang cumlaude, namun aku tahu, itu tidak cocok untuk bahuku. Selama profesi ners, aku bukan hanya seorang yang tidak becus soal teori, tapi juga seorang yang malas mengerjakan tugas-tugas yang diberikan pembimbing klinik dan akademik. Ketika wisuda dan angkat sumpah profesi ners, ketika IP teman-temanku yang jauh lebih bodoh dari aku pun bisa 3,4, IP-ku hanya 3,18, dan aku tidak benar-benar merasa kecewa. Itu memang sudah selayaknya.