Monday, July 12, 2021

Cerpen Haruki Murakami: Charlie Parker Plays Bossa Nova




Bird kembali.

Betapa luar biasa! Ya, Bird yang Anda kenal dan cintai telah kembali, sayapnya yang kuat mengepak di udara. Di setiap sudut planet ini – dari Novosibirsk hingga Timbuktu – orang akan menatap ke langit, melihat bayangan Bird yang megah itu dan bersorak. Dan dunia akan dipenuhi sekali lagi dengan sinar mentari yang cemerlang.

Saat itu tahun 1963. Bertahun-tahun sejak orang terakhir mendengar nama Charlie 'Bird' Parker. Di mana Bird, dan apa yang dia lakukan? Para pecinta jazz di seluruh dunia membisikkan pertanyaan-pertanyaan ini. Dia belum bisa mati, kan? Karena kita tidak pernah mendengar tentang dia meninggal. Tapi Anda tahu, seseorang mungkin berkata, aku tidak pernah lagi mendengar apa pun tentang dia yang masih hidup.

Berita terakhir yang dimiliki seseorang tentang Bird adalah bahwa dia telah dibawa ke mansionnya, Baroness Nica, di mana dia berjuang melawan berbagai penyakit. Penggemar jazz sangat menyadari bahwa Bird adalah pecandu. Heroin – bubuk putih murni yang mematikan itu. Rumor mengatakan bahwa di atas kecanduannya dia berjuang dengan pneumonia akut, berbagai penyakit dalam, gejala diabetes dan bahkan penyakit mental. Seandainya dia cukup beruntung untuk selamat dari semua ini, dia pasti terlalu lemah untuk memegang instrumennya lagi. Begitulah Bird menghilang dari pandangan, berubah menjadi legenda jazz yang indah. Sekitar tahun 1955.

Maju cepat ke musim panas 1963. Charlie Parker mengambil saksofon altonya lagi dan merekam album di sebuah studio di luar New York. Dan judul album itu adalah Charlie Parker Plays Bossa Nova!

Bisakah Anda mempercayainya?

Sebaiknya Anda percaya. Karena itu terjadi.

Itu benar-benar terjadi.


***


Ini adalah pembukaan dari karya yang kutulis ketika kuliah. Itu pertama kalinya tulisanku diterbitkan, dan pertama kali aku dibayar untuk sesuatu yang kutulis, walaupun tidak banyak.

Tentu saja, tidak ada rekaman berjudul Charlie Parker Plays Bossa Nova. Charlie Parker meninggal pada 12 Maret 1955, dan baru pada tahun 1962 gaya bossa nova mencuat ke permukaan, berkat penampilan Stan Getz dan lainnya. Tetapi jika Bird masih hidup sampai tahun 1960-an, dan jika dia tertarik pada bossa nova dan menampilkannya. . . Maka itulah bahan untuk ulasan yang kutulis tentang rekaman imajiner ini.

Editor majalah sastra di universitas yang menerbitkan artikel ini tidak pernah meragukan bahwa itu adalah album yang sebenarnya dan menjadikannya sebagai kritik musik biasa. Adik sang editor, yang juga merupakan temanku, meyakinkannya dengan mengatakan padanya bahwa tulisan-tulisanku bagus dan bahwa mereka harus memuat tulisanku. (Majalah itu gulung tikar setelah empat edisi. Ulasanku ada di edisi no. 3.)

Sebuah kaset berharga yang ditinggalkan Charlie Parker telah ditemukan secara tidak sengaja di lemari besi sebuah perusahaan rekaman dan baru-baru ini dipublikasikan – itulah premis yang aku bangun untuk artikel tersebut. Mungkin aku seharusnya tidak menyebutkan hal itu, tapi kupikir toh cerita ini masuk akal: detailnya kuat, dan cukup bisa menohok secara nyata. Kubuat sedemikian rupa sehingga aku sendiri hampir percaya bahwa rekaman itu benar-benar ada.

Ada banyak reaksi terhadap artikelku ketika majalah itu menerbitkannya. Ini adalah jurnal sastra sederhana dari sebuah perguruan tinggi kecil yang biasanya akan diabaikan. Tapi sepertinya ada beberapa pembaca yang masih mengidolakan Charlie Parker, dan editor menerima serangkaian surat yang mengeluhkan 'lelucon tolol' dan 'penistaan sembrono' tersebut. Apakah orang lain tidak memiliki selera humor? Atau selera humorku yang agak bengkok? Sulit untuk dikatakan. Beberapa orang tampaknya ada juga yang menelan begitu saja artikel itu dan bahkan pergi ke toko kaset untuk mencari album tersebut.

Sang editor memarahiku karena telah menipunya. Aku sebenarnya tidak membohonginya, aku hanya tidak menunjukkan bagian selanjutnya dari artikel itu. Lagipula, ia pasti diam-diam senang karena artikel itu mendapat begitu banyak perhatian, meskipun sebagian besar negatif. Itu terbukti ketika ia mengatakan bahwa ia ingin melihat apa pun yang aku tulis, baik itu kritik, atau karya orisinil. (Majalah itu menghilang sebelum aku bisa menunjukkan bagian lanjutannya.)

Artikelku berlanjut sebagai berikut:


...Siapa yang pernah membayangkan barisan yang tidak biasa seperti ini РCharlie Parker dan Ant̫nio Carlos Jobim tampil bersama? Jimmy Raney pada gitar, Jobim pada piano, Jimmy Garrison pada bass, Roy Haynes pada drum Рsebuah sesi ritme impian yang begitu menakjubkan hingga membuat jantung Anda berdebar hanya dengan mendengar nama-nama mereka. Dan pada alto sax Рsiapa lagi kalau bukan Charlie 'Bird' Parker.

Berikut judul-judul treknya:


SIDE A

(1) Corcovado

(2) Once I Loved (O Amor em Paz)

(3) Just Friends

(4) Bye Bye Blues (Chega de Saudade)


SIDE B

(1) Out of Nowhere

(2) How Insensitive (Insensatez)

(3) Once Again (Outra Vez)

(4) Dindi


Terkecuali 'Just Friends' dan 'Out of Nowhere', ini semua adalah karya terkenal yang disusun oleh Carlos Jobim. Dua karya yang bukan karya Jobim sama-sama standar yang familiar dari penampilan awal Parker yang luar biasa, meskipun tentu saja di sini dilakukan dalam ritme bossa nova, gaya yang sama sekali baru. (Dan pada dua lagu ini hanya pianisnya yang bukan Jobim melainkan veteran serba bisa Hank Jones.)

Nah, Anda pecinta musik jazz, apa reaksi pertama Anda saat mendengar judul Charlie Parker Plays Bossa Nova? Sebuah teriakan terkejut, saya bayangkan, diikuti oleh perasaan penasaran dan antisipasi. Tapi segera kewaspadaan menunjukkan kepalanya – seperti awan gelap yang tidak menyenangkan muncul di tempat yang tadinya merupakan lereng bukit yang indah dan cerah.

Tunggu sebentar. Apakah Anda memberi tahu saya bahwa Bird – Charlie Parker – sebenarnya bermain bossa nova? Serius? Apakah Bird sendiri benar-benar ingin memainkan musik seperti itu? Atau apakah dia menyerah pada komersialisme, dibujuk oleh perusahaan rekaman, memainkan apa yang pada saat itu populer? Bahkan jika, katakanlah, dia benar-benar ingin menampilkan musik semacam itu, dapatkah gaya pemain saksofon bebop alto tulen ini selaras dengan suara dingin bossa nova Amerika Latin?

Di luar semua itu – setelah delapan tahun hiatus, mungkinkah Bird masih menguasai instrumennya? Mampukah dia mempertahankan keterampilan pertunjukan dan kreativitasnya yang penuh energi?

Jujur, saya sendiri tidak bisa menahan perasaan tidak nyaman tentang hal itu. Saya sangat ingin mendengar musiknya, tetapi pada saat bersamaan saya merasa takut, takut kecewa dengan apa yang mungkin saya dengar. Tapi sekarang, setelah saya mendengarkan disk dengan seksama berulang-ulang, saya dapat menyatakan satu hal dengan pasti: Saya akan naik ke atap gedung tinggi dan meneriakkannya sehingga seluruh kota bisa mendengarnya. Jika Anda menyukai jazz, atau memiliki kecintaan sepenuhnya pada musik, maka Anda benar-benar harus mendengarkan rekaman yang menawan ini, buah dari hati yang bergairah dan pikiran yang sejuk...

Yang mengejutkan, pertama-tama, adalah interaksi yang tak terlukiskan antara gaya piano Jobim yang sederhana dan pengungkapan Bird yang fasih dan tanpa hambatan. Saya tahu Anda mungkin keberatan bahwa suara Jobim (dia tidak bernyanyi di sini jadi saya hanya mengacu pada suara instrumentalnya) dan suara Bird sama sekali berbeda kualitasnya, dengan tujuan yang kontras, bahkan bertentangan. Kita di sini membicarakan tentang dua suara yang sangat berbeda, sangat berbeda sehingga mungkin sulit untuk menemukan poin yang mereka bagikan. Selain itu, tampaknya tidak ada yang berusaha keras untuk mengubah musiknya agar sesuai dengan yang lain. Tapi justru perbedaan antara suara kedua pria inilah yang menjadi kekuatan pendorong di balik musik unik yang indah ini.


Saya ingin Anda memulai dengan mendengarkan lagu pertama di side A, 'Corcovado'. Bird tidak memainkan tema pembuka. Bahkan dia tidak mengambil tema sampai satu frase di akhir. Karya ini dimulai dengan Jobim secara tenang sendirian memainkan tema yang sudah dikenal itu di piano. Bagian ritme hanya bisu. Melodi itu mengingatkan kita akan seorang gadis muda yang duduk di jendela, menatap pemandangan malam yang indah. Sebagian besar dilakukan dengan nada tunggal, dengan akord tanpa embel-embel sesekali ditambahkan, seolah-olah dengan halus menyelipkan bantal lembut di bawah bahu gadis itu.

Dan begitu pertunjukan tema piano itu selesai, saksofon alto Bird masuk dengan tenang, bayangan senja yang samar menyelinap melalui celah di tirai. Dia ada di sana bahkan sebelum Anda menyadarinya. Frase yang anggun dan terputus-putus ini seperti kenangan indah, namanya tersembunyi, menyelinap ke dalam mimpi Anda. Seperti alunan angin halus yang Anda tidak ingin kehilangannya, meninggalkan jejak lembut di bukit pasir di hati Anda...

 


Aku tidak akan menyuguhkan sisa artikel, yang hanya merupakan deskripsi lebih lanjut, dengan semua hiasan yang sesuai. Hal di atas sudah cukup memberimu gambaran tentang jenis musik yang kubicarakan. Tentu saja musik yang sebenarnya tidak ada. Atau lebih tepatnya, musik yang tidak mungkin ada.


***


Aku akan menyudahi cerita itu sampai di sana dan berbicara tentang sesuatu yang terjadi bertahun-tahun kemudian.

Untuk waktu yang lama aku benar-benar lupa bahwa aku telah menulis artikel itu saat di perguruan tinggi. Kehidupanku setelah kuliah ternyata lebih tergesa-gesa dan sibuk daripada yang pernah kubayangkan, dan ulasan tentang album yang dibuat-buat itu tidak lebih dari lelucon ringan dan tidak bertanggung jawab semasa muda. Tapi hampir lima belas tahun kemudian, artikel itu tiba-tiba muncul kembali ke dalam hidupku seperti bumerang yang kamu lempar kembali ke arahmu ketika kamu tidak mengharapkannya.

Aku berada di New York untuk urusan bisnis dan, dengan sedikit waktu, berjalan-jalan di dekat hotel, menelusuri rak di dalam toko kaset bekas kecil yang aku temukan di East 14th Street. Dan di bagian Charlie Parker, dari semua hal yang mungkin kutemukan, aku justru menemuka sebuah rekaman berjudul Charlie Parker Plays Bossa Nova. Rekaman itu tampak seperti bajakan, yang direkam secara pribadi. Kafer putih tanpa gambar atau foto di bagian depan, hanya judul dengan huruf hitam gelap. Di bagian belakang ada daftar lagu dan musisi. Anehnya, daftar lagu dan musisi persis seperti yang kutulis dulu ketika di perguruan tinggi. Dan juga, Hank Jones menggantikan Jobim di dua lagu.

Aku berdiri terpaku di sana, diam, tidak bisa berkata-kata, dengan rekaman itu di tangan. Rasanya seperti beberapa bagian dalam diriku yang kecil telah mati rasa. Aku melihat sekeliling lagi. Apakah ini benar-benar New York? Ya, ini adalah pusat kota New York – tanpa diragukan lagi. Dan aku benar-benar ada di sini, di sebuah toko kecil yang menjual kaset-kaset bekas. Aku belum mengembara ke dunia fantasi. Dan aku juga tidak sedang bermimpi.

Aku melepaskan rekaman itu dari kafernya. Rekaman itu memiliki label putih, dengan judul dan nama lagu. Tidak ada tanda logo perusahaan rekaman. Aku memeriksa vinil itu dan menemukan empat trek berbeda di setiap sisi. Aku beranjak dan bertanya kepada pria muda berambut panjang di kasir apakah aku bisa mendengarkan albumnya. Tidak, jawabnya. Meja putar toko rusak. Mohon maaf.

Harga yang tertera adalah $35. Aku ragu-ragu untuk waktu yang lama tentang apakah akan membelinya. Akhirnya aku meninggalkan toko dengan tangan kosong. Kupikir, itu pasti ide seseorang tentang lelucon konyol. Seseorang, dengan iseng, telah memalsukan rekaman berdasarkan deskripsi lamaku tentang rekaman delapan trek imajiner. Mengambil rekaman berbeda yang memiliki empat lagu di setiap sisinya, direndam dalam air, dikupas labelnya dan direkatkan pada rekaman buatan sendiri. Bagaimanapun melihatnya, sungguh konyol membayar $35 cuma untuk rekaman palsu seperti itu.

Aku pergi ke restoran Spanyol di dekat hotel dan minum bir serta makan malam sederhana sendirian. Ketika aku berjalan-jalan tanpa tujuan setelahnya, gelombang penyesalan tiba-tiba muncul dalam diriku. Aku seharusnya membeli rekaman itu. Bahkan jika itu palsu, dan terlalu mahal, aku seharusnya mendapatkannya, setidaknya sebagai suvenir dari semua liku-liku yang telah diambil dalam hidupku. Aku segera kembali ke East 14th Street. Aku bergegas, tetapi toko kaset bekas itu sudah tutup saat aku tiba di sana. Di sana ada tanda yang mengatakan toko buka pukul 11.30 dan tutup pukul 19.30 pada hari kerja.

Keesokan paginya, tepat sebelum tengah hari, aku pergi ke toko itu lagi. Seorang pria paruh baya – rambut yang menipis, dengan sweter leher bulat yang acak-acakan – sedang menyeruput kopi dan membaca bagian olahraga di koran. Kopi itu sepertinya baru diseduh, karena aroma yang menyegarkan tercium samar-samar. Toko baru saja dibuka, dan aku adalah satu-satunya pelanggan. Sebuah lagu lama oleh Pharoah Sanders melantun melalui speaker kecil di langit-langit. Aku menduga pria itu adalah pemilik toko.

Aku membolak-balik bagian Charlie Parker, tetapi rekaman itu tidak bisa ditemukan di mana pun. Aku yakin aku telah mengembalikannya ke bagian ini kemarin. Berpikir itu mungkin tercampur di tempat lain, aku mengobrak-abrik setiap tempat di bagian jazz. Tapi sekeras apa pun aku mencarinya, hasilnya nihil. Apakah ada orang lain yang membelinya? Aku pergi ke kasir dan berbicara dengan pria paruh baya itu. "Saya sedang mencari rekaman jazz yang saya lihat di sini kemarin."

"Rekaman yang mana?" tanyanya, matanya tidak pernah goyah dari New York Times.

"Charlie Parker Plays Bossa Nova," kataku.

Dia meletakkan kertasnya, melepas kacamata bacanya yang tipis berbingkai logam dan perlahan berbalik menghadapku. "Maafkan saya. Bisakah anda mengulanginya?"

Aku melakukannya. Pria itu tidak mengatakan apa-apa dan menyesap kopi lagi. Dia menggelengkan kepalanya sedikit. "Tidak ada rekaman seperti itu."

"Tentu saja," kataku.

"Jika Anda ingin Perry Como Sings Jimi Hendrix, kami punya."

Perry Como Sings –’ Aku hampir saja percaya sebelum aku menyadari bahwa dia sedang mengolokku. Dia adalah tipe orang yang memasang wajah datar. "Tapi saya benar-benar melihatnya," aku bersikeras. "Saya yakin itu dibuat sebagai lelucon, maksud saya."

"Anda melihat rekaman itu di sini?"

"Kemarin sore. Di sini." Aku menggambarkan rekaman itu, kafer, dan lagu-lagu di dalamnya. Termasuk harganya yang $35.

"Pasti ada kesalahan. Kami tidak pernah memiliki rekaman seperti itu. Saya sendiri yang melakukan semua pembelian dan penetapan harga rekaman jazz, dan jika rekaman seperti itu melintasi meja saya, mau tidak mau saya pasti akan mengingatnya."

Dia menggelengkan kepalanya dan memakai kembali kacamata bacanya. Dia kembali ke bagian olahraga, tetapi kemudian, seolah-olah dia berpikir dua kali, dia melepas kacamatanya, tersenyum dan menatapku dengan mantap. "Tetapi jika Anda pernah mendapatkan rekaman itu," katanya, "biarkan saya mendengarkannya, oke?"


***


Ada satu lagi kejadian yang datang kemudian.

Ini terjadi lama setelah insiden toko rekaman (sebenarnya, baru-baru ini). Suatu malam aku bermimpi tentang Charlie Parker. Dalam mimpi, Charlie Parker membawakan 'Corcovado' hanya untukku – untukku sendiri. Solo alto saksofon, tidak ada bagian ritme.

Sinar matahari bersinar dari celah di suatu tempat dan Parker berdiri sendiri di tempat yang diterangi oleh sinar vertikal yang panjang. Pagi yang cerah, pikirku. Cahaya yang segar dan jujur, bebas dari makna yang berlebihan. Wajah Bird, di seberangku, berada dalam bayangan gelap, tapi entah bagaimana aku bisa melihat setelan jas double-breasted berwarna gelap, kemeja putih, dan dasi berwarna cerah. Sementara saksofon alto yang dipegangnya, yang sangat kotor, tertutup tanah dan karat. Satu kunci bengkok yang hampir tidak dia simpan di tempatnya dengan menempelkan gagang sendok ke sana. Ketika aku melihat itu, aku bingung. Bahkan seorang Bird tidak akan bisa mendapatkan suara yang layak karena buruknya sebuah instrumen.

Tiba-tiba, saat itu, hidungku mencium aroma kopi yang luar biasa wangi. Sungguh aroma yang memikat, aroma kopi hitam yang panas dan kuat. Lubang hidungku berkedut senang. Untuk semua godaan aroma itu, aku tidak pernah mengalihkan pandangan dari Bird. Jika aku melakukannya, bahkan untuk sedetik, dia mungkin sudah menghilang dari pandangan.

Aku tidak yakin mengapa, tetapi aku tahu itu adalah mimpi. Bahwa aku melihat Bird dalam mimpi. Itu kadang terjadi. Saat aku bermimpi, aku tahu pasti ini adalah mimpi. Dan anehnya aku terkesan bahwa di tengah mimpi aku bisa menangkap, dengan sangat jelas, aroma kopi yang menggoda.

Bird akhirnya menempelkan bibirnya ke tempat mulut di saksofon dan dengan hati-hati meniup satu suara pelan, seolah memeriksa kondisi buluh. Dan begitu suara itu menghilang, dia diam-diam menyusun beberapa nada lagi dengan cara yang sama. Nada-nada itu melayang di sana untuk sementara waktu, lalu dengan lembut jatuh ke tanah, satu persatu. Begitu mereka ditelan oleh kesunyian, Bird mengirimkan serangkaian nada yang lebih dalam dan lebih tangguh ke udara. Begitulah 'Corcovado' dimulai.

Bagaimana menggambarkan musik itu? Jika ditinjau kembali, apa yang dimainkan Bird untukku dalam mimpiku terasa tidak lebih seperti aliran suara daripada sebuah penyorotan total yang sesaat. Aku dapat dengan jelas mengingat musik yang ada di sana. Tapi aku tidak bisa mereproduksinya. Seiring waktu, itu memudar dari ingatan. Seperti tidak mampu menggambarkan dengan kata-kata desain mandala. Apa yang bisa kukatakan adalah bahwa musik itu telah mencapai relung terdalam jiwaku, turun hingga menembus inti jiwa. Aku yakin jenis musik itu ada di dunia—sebuah musik yang setelah kamu bersentuhan dengannya akan membuatmu merasa seperti sesuatu dalam struktur tubuhmu secara samar telah dibentuk ulang.


***


"Saya baru berusia tiga puluh empat tahun ketika saya meninggal," kata Bird kepadaku. "Tiga puluh empat!" Setidaknya kupikir dia mengatakannya kepadaku. Karena hanya kami berdua di ruangan itu.

Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. Sulit dalam mimpi untuk melakukan hal yang benar. Jadi aku tetap diam, menunggu dia melanjutkan.

"Pikirkan - apa artinya mati pada usia tiga puluh empat," kata Bird.

Aku memikirkan bagaimana perasaanku jika aku meninggal pada usia tiga puluh empat. Ketika aku baru saja memulai begitu banyak hal dalam hidup.

"Betul sekali. Saya sendiri baru saja memulai banyak hal," kata Bird. "Baru mulai menjalani hidup. Tapi kemudian saya melihat sekeliling dan semuanya sudah berakhir." Dia diam-diam menggelengkan kepalanya. Seluruh wajahnya masih dalam bayangan, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya. Saksofonnya yang kotor dan usang menjuntai dari tali yang melingkari lehernya.

"Kematian selalu datang tiba-tiba," kata Bird. "Namun hal itu justru mengambil sisa waktu. Seperti frasa indah yang muncul di kepala Anda. Itu berlangsung sesaat, namun mereka bisa bertahan selamanya. Selama yang dibutuhkan untuk pergi dari Pantai Timur ke Pantai Barat – atau bahkan hingga tak terhingga. Konsep waktu hilang di sana. Dalam hal itu, saya mungkin sudah mati bahkan ketika saya menjalani hidup saya. Tapi tetap saja, kematian yang sebenarnya menghancurkan. Apa yang ada sampai saat itu tiba-tiba, dan sepenuhnya, lenyap. Kembali ke ketiadaan. Dalam kasus saya, keberadaan itu adalah saya sendiri."

Dia menunduk sebentar, menatap instrumennya. Dan kemudian berbicara lagi.

"Apakah Anda tahu apa yang saya pikirkan ketika saya mati?" Bird bertanya. “Saya hanya memikirkan satu hal – sebuah melodi. Saya terus menyenandungkan melodi itu berulang-ulang tanpa membiarkannya menghilang. Hal itu bisa terjadi, kan? Sebuah lagu terjebak di kepala Anda. Melodi itu adalah frasa dari gerakan ketiga Beethoven's Piano Concerto No. 1. Melodi ini."

Bird dengan lembut menyenandungkan melodi. Aku mengenalinya. Bagian piano solo.

"Ini adalah satu-satunya melodi Beethoven yang benar-benar berayun," kata Bird. “Saya selalu menyukai Concerto No. 1. Saya telah mendengarkannya, saya tidak tahu berapa kali. Rekaman SP dengan Schnabel di piano. Tapi tidakkah Anda pikir itu aneh? Bahwa saya – Charlie Parker – ketika saya meninggal, yang saya senandungkan dalam pikiran saya, dari semua hal, justru melodi Beethoven, berulang dan berulang. Dan kemudian datanglah kegelapan. Seperti tirai yang dijatuhkan.” Bird tertawa kecil, suaranya serak.

Aku tidak punya jawaban. Apa yang bisa kukatakan tentang kematian Charlie Parker?

"Ngomong-ngomong, saya harus berterima kasih," kata Bird. "Anda memberi saya hidup sekali lagi. Dan menyuruh saya bermain bossa nova. Tidak ada yang bisa membuatku lebih bahagia. Tentu saja menjadi hidup sungguhan dan benar-benar bermain akan lebih mengasyikkan. Tetapi bahkan dalam kematian, ini adalah pengalaman yang benar-benar luar biasa. Karena saya selalu menyukai musik baru."

Jadi, apakah kamu muncul di sini hari ini untuk berterima kasih kepadaku?

"Itu benar," kata Bird, seolah membaca pikiranku. "Saya mampir untuk mengucapkan terima kasih. Untuk mengucapkan terima kasih kepada Anda. Saya harap Anda menikmati musik saya."

Aku mengangguk. Aku seharusnya mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa. Seumur hidup aku tidak pernah bisa memberikan tanggapan yang tepat.

Perry Como Sings Jimi Hendrix, hah?” Bird bergumam, seolah sedang mengingat. Dan tertawa lagi dengan suara serak.

Dan kemudian dia menghilang. Pertama saksofonnya menghilang, selanjutnya cahaya bersinar dari suatu tempat. Dan, akhirnya, sosok Bird menghilang.


***


Ketika aku terbangun dari mimpi, jam di samping tempat tidurku menunjukkan pukul 3.30 pagi. Di luar masih gelap, tentu saja. Aroma kopi yang seharusnya memenuhi ruangan itu menghilang. Tidak ada aroma sama sekali. Aku pergi ke dapur dan meneguk beberapa gelas air. Aku duduk di meja makan dan mencoba sekali lagi untuk mengingat, meskipun hanya sebagian, musik menakjubkan yang dimainkan Bird hanya untukku. Tapi aku tidak bisa mengingat satu lagu pun. Namun, aku bisa mengingat apa yang dikatakan Bird. Sebelum kata-katanya memudar dari ingatan, aku menuliskannya dengan pulpen di buku catatan, seakurat yang aku bisa ingat. Itulah satu-satunya tindakan yang bisa kulakukan. Bird telah mengunjungi mimpiku untuk berterima kasih – terima kasih banyak, seingatku. Berterima kasih kepadaku karena telah memberinya kesempatan, bertahun-tahun sebelumnya, untuk bermain bossa nova. Dan dia mengambil instrumen yang kebetulan ada di sekitar dan memainkan 'Corcovado' hanya untukku.

Bisakah Anda mempercayainya?

Sebaiknya Anda percaya. Karena itu terjadi.

Itu benar-benar terjadi.[]



Cerpen ini saya terjemahkan dari terjemahan Inggris Philip Gabriel dalam buku kumpulan cerpen Haruki Murakami 'First Person Singular'

No comments:

Post a Comment