Tuesday, April 29, 2014

Review: The Virgin Suicides (Novel Jeffrey Eugenides)

The Virgin Suicides by Jeffrey Eugenides

Judul: The Virgin Suicides
Penulis: Jeffrey Eugenides
Penerbit: Dastan Books
ISBN: 978-979-3972-32-9
Cetakan: 5 (Februari 2010)
Tebal: 250 halaman

Novel The Virgin Suicides diceritakan lewat sudut pandang orang pertama jamak (kami). Kami adalah tetangga sekaligus teman sekolah gadis-gadis keluarga Lisbon yang tergila-gila dengan gadis-gadis tersebut.
"Kami" menceritakan bagaimana masa lalu mereka bersama gadis-gadis Lisbon tersebut baik sebelum bunuh diri, saat bunuh diri, dan sesudah bunuh diri. "Kami" menceritakan apa saja yang mereka tahu, atau duga, mengenai kehidupan keluarga Lisbon.
Satu demi satu lima gadis bersaudara keluarga Lisbon yaitu Cecilia (13), Lux (14), Bonnie (15), Mary (16), dan Therese (17) melakukan bunuh diri. Karena kehidupan mereka yang tertutup, tidak ada yang tahu alasan mereka mengakhiri hidup lewat bunuh diri. Padahal mereka adalah keluarga religius.
Rentetan bunuh diri gadis-gadis keluarga Lisbon diawali oleh Cecilia yang menyayat pergelangan tangannya sambil berendam di bak mandi dengan kedua tangan mendekap gambar Perawan Suci. Beruntung usaha bunuh diri ini gagal karena saat itu Paul Baldino, teman "kami", sedang melaksanakan ambisinya untuk menyelinap ke rumah keluarga Lisbon dan mengintip isinya. Paul Baldino segera menelepon polisi, seperti yang diajarkan ayahnya.
Cecilia memang anak yang aneh, hal tersebut juga diakui saudara-saudaranya. Seminggu setelah usaha bunuh diri itu, Mr. Lisbon dan Mrs. Lisbon mengadakan pesta untuk pertama kalinya guna menghibur Cecilia. Ironisnya, justru saat pesta itulah Cecilia kembali melakukan bunuh dirinya yang sempat gagal dengan melompat dari lantai atas. Tubuhnya tertancap di pagar.
Satu tahun kemudian, tepat dengan tanggal Cecilia mencoba bunuh diri, keempat saudaranya menyusul secara bersamaan pada suatu malam. Bonnie menggantungkan dirinya di lantai bawah, Mary memasukkan kepala ke dalam oven, Therese dengan meminum begitu banyak pil tidur, Lux mengurung diri dalam mobil yang telah kehabisan oksigen karena dipenuhi asap rokoknya. "Kami"-lah yang pertama mengetahui hal tersebut karena saat itu kami ingin mengajak mereka kabur dari rumah, dari kekangan ibu mereka.
Hanya Mary yang kemudian berhasil diselamatkan. Mary, secara teknis, bertahan hidup sekitar satu bulan kemudian, untuk kemudian menenggak begitu banyak pil tidur seperti yang dilakukan Therese.
Novel debutan Jeffrey Eugenides ini ditulis layaknya sebuah liputan, dengan jalinan cerita yang kuat, humor yang "kelam", detail yang rapi, yang disertai dengan barang-barang bukti yang seolah-olah memang ada. Fiksi yang meyakinkan yang hanya bisa ditulis oleh seorang jenius.
"Menunjukkan kebrilianan penulisnya," demikian puji Boston Globe. Dan "Begitu menggoda... Sebuah debut memikat dari seorang penulis berbakat yang imajinatif," puji Publishers Weekly.
Tidak salah jika novel ini masuk dalam list 1001 Books You Must Read Before You Die.

Sunday, April 27, 2014

Snorkeling Menikmati Eksotisme Terumbu Karang di Teluk Tamiang, Kotabaru, Kalsel (Part 4/Habis)

Hari IV (Rabu, 23 April 2014)


Setengah delapan pagi, kami telah siap meneruskan perjalanan pulang. Ayah Lutfi katanya akan ke Banjarmasin hari ini, maka kami harus bergegas. Kami pamit dengan keluarga Tri dan beberapa karyawan Klinik Alfi Azhar, lalu melaju dengan motor yang sangat kotor.
Dekat terminal Batulicin, kami berhenti untuk sarapan ketupat Kandangan. Kami juga berhenti di daerah Pagatan untuk mencuci motor. Saat itu Pantai Pagatan sedang ramai oleh acara Pesta Pantai yang tengah berlangsung selama satu pekan. Tapi kami tak mampir, karena memang tak perlu, dan sekali lagi, kami harus bergegas.
Begitu sampai di daerah Angsana, saat itulah Tri menawarkan sebuah ide gila.
"Mau mampir ke Pantai Angsana?" katanya, dan itu hanya bercanda.
Akan tetapi Lutfi menanggapinya dengan serius. "Ayo ayo... Ayahku katanya tidak jadi ke Banjarmasin."
Mendengar itu, kami terdiam sejenak, dan langsung mengumpat Lutfi. Tahu begitu, mending berlama-lama di Teluk Tamiang!
"Tahu begitu kita tadi singgah di Pantai Pagatan!" timpal Tri.
Kami pun berbelok menuju Pantai Angsana. Aku sebenarnya tidak terlalu setuju, Pantai Angsana biasa saja, yang menarik hanyalah terumbu karangnya, namun kami tak mungkin menyewa kapal untuk snorkeling mengingat keuangan kami yang sudah sangat tipis. Singgah ke sini hanya akan membuang-buang waktu. Tepat pukul 10.50 kami tiba di pantai tersebut dan beristirahat sejenak di sana.
pantai angsana
Pantai Angsana

Ide gila ini membuat ide-ide gila lain juga bermunculan. "Habis ini kita singgah lagi di Batakan, terus Takisung...." Entah siapa yang mengatakan itu pertama kali.
Kupikir itu hanya bercanda, namun ketika kami melanjutkan perjalanan pulang dan sudah di Kota Pelaihari, Tri mengingatkan lagi ide gila itu. "Kita ke Pantai Batakan, gimana?"
Dan budak jajahan kamera yang satu, si Lutfi, langsung menyetujui.
Kali ini aku benar-benar tidak setuju. Tenaga kami sudah terkuras habis, dan waktu selama ke Pantai Batakan dan kembali lagi ke Pelaihari sama saja dengan waktu sampai ke Banjarmasin. Selain itu tidak ada yang menarik dari Pantai Batakan. Benar-benar pantai yang tidak direkomendasikan. Tapi karena kata Tri dia belum pernah ke sana, sedangkan Lutfi sudah lama sekali tidak ke sana, aku hanya bisa tunduk pada sang sopir. Kupikir biarlah, toh mereka akan menyesal juga nantinya.
Saat itu sudah sore, mengejar foto sunset di Pantai Batakan adalah targetnya. Dan saat kami akhirnya tiba di Pantai Batakan, sunset hanya tinggal beberapa menit.
Sunset di Pantai Batakan
Sunset di Pantai Batakan

Tak lebih dari 5 foto yang bisa diambil sebelum matahari lenyap. Pemandangan yang tersisa kemudian hanyalah langit yang memerah, dan bentangan sampah di sepanjang pantai. Sekali lagi, ini bukan pantai yang direkomendasikan...
Tri, Lutfi, dan Rofik hanya bisa mengeluhkan sampah yang memenuhi pantai tersebut, sementara aku tersenyum. "Apa kubilang...."
Seorang ibu pemilik penginapan menawarkan kami penginapan, tawaran itu segera kami tolak. Memangnya siapa yang mau menginap di pantai penuh sampah begini?
Tak begitu lama, kami melanjutkan perjalanan pulang.
"Habis ini kita ke Takisung?" celetuk seseorang. Beruntung, kali ini hanya bercanda dan tidak ada yang menanggapinya dengan serius.
Pukul setengah sepuluh malam barulah kami tiba di Banjarmasin.
Besoknya, Tri tak bisa ke kampus, sakit. Sampai tulisan ini dibuat, sepertinya ia masih meringkuk di kamarnya. Lutfi juga tak terlihat batang hidungnya di kampus, entah kenapa.[]


Saturday, April 26, 2014

Snorkeling Menikmati Eksotisme Terumbu Karang di Teluk Tamiang, Kotabaru, Kalsel (Part 3)

Hari III (Selasa, 22 April 2014)

dermaga teluk tamiang
Dermaga Teluk Tamiang

Pagi ini kami sarapan di warung dan harganya sangat murah. Setelah itu Pak Kepala Desa menjamu kami dengan kue dan teh hangat. Apri, anak kepala desa, menjelaskan bahwa kapal nelayan yang akan disewa sudah siap. Sewanya 200 ribu, dan kami malas menawar.
Tujuan pertama ialah mercusuar peninggalan Belanda yang ada di puncak Pulau Tanjung Kunyit. Setengah sembilan pagi kami naik kapal dan tepat pukul sembilan kami sudah landing di Pulau Tanjung Kunyit.
pulau tanjung kunyit teluk tamiang kotabaru
Pulau Tanjung Kunyit

Selama setengah jam kami tracking hingga sampai di mercusuar.
Selain mercusuar, bangunan-bangunan di sekitarnya juga peninggalan Belanda. Bangunan-bangunan tersebut dibiarkan sebagaimana adanya. Ada seorang penjaga di sana. Kami meminta izin untuk naik ke mercusuar.

mercusuar tanjung kunyit desa teluk tamiang
Mercusuar Tanjung Kunyit
bangunan sekitar mercusuar tanjung kunyit desa teluk tamiang
Bangunan sekitar mercusuar Tanjung Kunyit

Lelah kami terbayar saat berada di atas mercusuar, pemandangan luar biasa menakjubkan terhampar di sekeliling kami. Dari atas sini, kita bisa melihat pulau-pulau yang ada di sekitar.

Aku tak butuh waktu lama di sini, tujuan utama ke Teluk Tamiang ialah snorkeling. Tapi Tri dan Lutfi justru menjadi budak kamera. Jika terlalu lama di sini, kami, tepatnya aku, tak akan bisa berlama-lama menikmati keindahan bawah laut Teluk Tamiang yang terkenal itu, karena Lutfi mendesak ingin cepat pulang. Katanya, ayahnya mau ke Banjarmasin dan ia harus menjemput ayahnya. Oleh karena itulah aku tak bisa membuang-buang waktu.
Mereka juga ingin cepat pulang karena kata mereka, saat malam tadi berbincang dengan warga, katanya di perjalanan kalau malam ada rampok. Tapi lihatlah apa yang Tri dan Lutfi lakukan, menghabiskan waktu hanya untuk bernarsis ria di depan kamera!
Satu jam kemudian, barulah kami turun.
“Itu WC peninggalan Belanda bro, kalian tak ingin foto di sana juga ya?” kataku. Tapi rupanya mereka tidak tersindir, dan justru kembali foto-foto sehingga perjalanan turun tertunda sekian lama.
Saat kami sudah kembali ke kapal, kapal tersebut membawa kami mengitari Pulau Tanjung Kunyit menuju gugusan terumbu karang. Ketika sudah sampai lokasi yang dimaksud, aku langsung menceburkan diri dengan alat snorkel. Dan, waw! Terumbu karangnya sungguh sangat menakjubkan!

Terumbu karang di sini besar-besar dan berlapis-lapis hingga ketinggian 2 meter. Aku tak bisa membayangkan waktu yang dibutuhkan terumbu-terumbu karang tersebut hingga bisa sebesar ini.
Selama dua jam kami snorkeling di sana. Jujur, itu rasanya belum memuaskan. Kapal kemudian membawa kami ke gugusan terumbu karang yang lain, di sekitar Pulau Semut, namun di sana airnya keruh, jadi kami kemudian kembali ke darat. Perjalanan dua hari dibayar dengan 2 jam snorkeling! Semua ini gara-gara dua orang pribumi yang sudah dijajah kamera itu!

Pukul 13.30 kami sampai kembali ke rumah kepala desa. Kami numpang mandi, lalu kembali dijamu makan. Kali ini hidangannya jauh lebih nikmat dari malamnya. Seekor ikan, entah apa namanya, berukuran besar, dan dimasak dengan dengan cara apa, terhidang di hadapan kami. Ini restoran bintang lima, man!
Kami pulang pukul 15.30 dan tak sempat ke Tanjung Tengah karena cerita rampok yang mereka dengar tadi malam. Ini bagian yang sangat kusesalkan. Di Tanjung Tengah-lah padahal terumbu karang yang jauh lebih bagus dengan banyak warna. Dan menurut seorang teman, pantai di sana sangat indah.
Setengah tujuh malam, kami sampai di Pelabuhan Tanjung Serdang dan istirahat sejenak di sana. Satu jam berikutnya barulah kami naik fery penyeberangan.
Malam itu kami menginap di Batulicin, di tempat keluarganya Tri, di salah satu kamar karyawan Klinik Alfi Azhar. Kamar yang sempit tidak mengurangi nyenyaknya kami tidur malam itu.
(bersambung)

Friday, April 25, 2014

Snorkeling Menikmati Eksotisme Terumbu Karang di Teluk Tamiang, Kotabaru, Kalsel (Part 2)

Hari II (Senin, 21 April 2014)

Setelah shalat subuh berjamaah di mushalla pesantren dan membereskan barang-barang, kami pamit dengan Misnawi, tepat pukul 6 pagi. Tujuan berikutnya sebelum ke Teluk Tamiang adalah mengejar sunrise di Pantai Sarang Tiung. Bisa mati penasaran aku kalau sudah ke Kotabaru tapi tidak ke pantai itu.
Hanya perlu 15 menit dari pesantren Raudhatul Jannah menuju Pantai Sarang Tiung. Sepagi ini cuma kami berempat pengunjung pantai tersebut. Sayang, sunrise yang kami kejar keindahannya sedikit berkurang oleh awan yang menutupinya.
sunrise di pantai sarang tiung kotabaru

Di pantai itu juga ada dermaga yang terbuat dari batu dan semen. Kami banyak mengambil foto di sana.
pantai sarang tiung kotabaru
sunrise di pantai sarang tiung kotabaru

Setelah puas foto-foto di sana selama satu jam, kami mencari sarapan, kemudian melanjutkan perjalanan ke tujuan utama kami, Teluk Tamiang. Roh para pembalap kembali merasuki Tri dan Lufti. Dengan kecepatan setan, kami melaju menyusuri wilayah barat Pulau Laut melewati jalan yang penuh kelokan, tanjakan, dan turunan tanpa mengurangi kecepatan. Aku seperti berada di sirkuit motogp.
Kami singgah sebentar untuk mengambil foto dengan background gunung. Dan singgah cukup lama di dermaga yang menurut kami sangat-sangat eksotis. Tempat itu sangat nyaman, terlebih setelah perjalanan yang melelahkan. Aku bahkan sempat baca novel The Virgin Suicides yang kubawa. Saat itu masih pagi, tidak bisa kubayangkan bagaimana indahnya tempat ini saat matahari tenggelam. Baru setelah 30 menit di sana kami kembali melanjutkan misi.

Kini sirkuit motogp telah berubah menjadi sirkuti grasstrack. Menurut informasi kawan sekelas kami, Amat, yang merupakan penduduk asli Lontar dan sebenarnya sangat ingin ikut dalam perjalanan ini namun karena ada halangan sehingga tak bisa ikut, katanya jalan ke Teluk Tamiang tidak lagi separah dulu. Informasi itulah yang membuat kami tidak menduga kalau ternyata jalannya banyak rusak walaupun masih bisa dilewati. Roh pembalap yang merasuki Tri dan Lutfi terpaksa hengkang.

Jalan semakin bertambah parah dan menuju fase gawat darurat. Kami singgah di sebuah kios dan berbincang-bincang dengan bapak pemiliknya yang ramah. Orang sini memang terkenal ramah-ramah, dan gadisnya cantik-cantik.
“Makin ke sana jalannya makin parah. Yang kalian lewati itu belum ada apa-apanya.”
Kami ngeri.
“Anak-anak sini yang sekolah ke Lontar, sebelum jam 5 harus sudah berangkat supaya tidak terlambat. Kalau kami ke Lontar pakai motor setengah pakai, baut-bautnya harus dikencangkan dulu, soalnya sampai sana pasti sudah longgar.”
Kami tertawa.
“Saya dengar tadi, di sana beberapa mobil amblas dan tidak bisa lewat.”
Kami bergidik.
“Tapi ya, kalian coba saja dulu. Kalau pakai motor mungkin masih bisa.”
Kami semangat.
Saat meneruskan perjalanan, ternyata kata-kata pemilik kios tadi bukan sekadar bualan. Sirkuit grasstrack berubah jadi sirkuit motocross. Kami berkali-kali berhenti karena kelelahan dan karena motor Tri kembali cari masalah. Jalan baru membaik ketika memasuki daerah Lontar.

Hingga pukul 14.10 kami akhirnya memasuki Desa Teluk Tamiang, itu pun setelah berkali-kali bertanya jalan dengan warga sekitar. Seperti yang sudah direncanakan, kami mencari rumah kepala desa. Ternyata rumah kepala desa tepat di bibir pantai. Kami sampai di rumah beliau pukul 14.25, dan dijamu Apri, anak si kepala desa karena saat itu beliau sedang tidak di rumah. Kami mengutarakan tujuan kami dan berkenalan dengan Apri. Umurnya tak jauh beda dengan kami, dan baru tahun tadi menamatkan kuliah di STMIK Indonesia Banjarmasin.
“Aku punya teman di STIKES Muhammadiyah, namanya Amat.”
“Rahmad Khairin?” tanyaku.
“Ya, ya.. Betul. Teman main bulu tangkis. Dia orang Lontar.”
“Dia teman sekelas kami,” terangku.
Aku ingat, saat beberapa bulan yang lalu aku mengatakan pada Amat akan ke Teluk Tamiang, ia memberitahuku bahwa anak kepala desa Teluk Tamiang adalah temannya, namun saat itu aku tak terlalu peduli.
Kami juga bertanya di mana bisa menginap, Apri menjawab bahwa itu gampang saja, bisa di rumahnya, atau di rumah sebelah. Rumah sebelah itu kosong karena baru saja dipakai menginap teman-temannya di kampus yang baru pagi tadi pulang.
Dengan Apri, kami mendiskusikan jadwal selama di sana. Karena lokasi-lokasi terumbu karang yang bagus harus dijangkau dengan kapal, sedangkan sewa kapal dihitung per hari, maka kami baru akan menyewa kapal nelayan besoknya. Sebenarnya, aku sangat ingin ke tempat-tempat terumbu karang yang bagus siang itu juga, namun yang lain menolak dengan berbagai alasan. Aku tahu, tujuan mereka ke sini memang hanya untuk foto-foto, bukan snorkeling. Karena kami tidak ada yang punya plastik pelindung HP dari air, apalagi kamera underwater, maka tentu saja mereka tidak terlalu semangat snorkeling, tidak seperti aku.
Setengah empat sore, sehabis ngobrol-ngobrol dengan Apri sambil melepas lelah, kami snorkeling di pesisir pantai yang ada di belakang rumah pembakal. Di sana juga banyak terumbu karang, namun tidak bagus dan rapat. Tak apa, itu pun sedikit menghibur. Jadwalku benar-benar berantakan gara-gara mengajak orang yang salah.
Selesai snorkeling yang tak memuaskan itu, kami foto-foto dengan anak-anak di sana sembari menikmati matahari terbenam di dermaga.

Malamnya, usai magrib, kami dijamu makan malam di rumah kepala desa. Hidangannya luar biasa nikmat, seperti di restoran, kendati aku juga belum pernah makan di restoran. Beginilah makanan penduduk sini setiap hari....
Kami menginap di rumah sebelah. Aku tidur lebih dulu sementara teman-temanku yang lain jalan-jalan di sekitar desa.
(bersambung)

Thursday, April 24, 2014

Snorkeling Menikmati Eksotisme Terumbu Karang di Teluk Tamiang, Kotabaru, Kalsel (Part 1)

Setelah mencoba snorkeling di Angsana, aku jadi ketagihan ingin snorkeling lagi. Menurut informasi dari kawan-kawan, terumbu karang di Teluk Tamiang (Kotabaru) jauh lebih indah dari yang ada di Angsana (Tanah Bumbu). Kebetulan, aku sudah sejak lama ingin ke Kotabaru, dan keinginan itu beberapa bulan terakhir makin menggebu-gebu. Untuk memuluskan niatku itu, kuajak Tri yang belakangan ini suka jalan-jalan karena baru punya kamera DLSR. Ia sudah beberapa kali ke Kotabaru, setidaknya tahu jalan menuju kotanya. Tri mengajak Lutfi dan Rofik, mereka berdua sama sepertiku, ingin tahu bagaimana Kotabaru (Beberapa hari kemudian Rofik mengaku bahwa ia mengira perjalanan ini hanya ke kota Kotabaru, tidak sampai ke Teluk Tamiang). Berempat, kami berangkat hari Minggu tadi, dan nekat membolos kuliah untuk beberapa hari setelahnya.

Hari I (Minggu, 20 April 2014)

Kami berkumpul di kontrakanku di Sultan Adam pagi hari sekitar pukul sembilan. Saat ini kami hanya memegang satu snorkel set (masker & pipa) yang kupinjam malam sebelumnya dari Bang Fadil. Rencananya kami akan meminjam satu lagi dari Adit. Tapi karena Adit baru ada di rumahnya kisaran pukul 10, kami harus bersabar menunggu. Ketika pukul 10.40 Adit mengirim SMS bahwa ia sudah ada di rumah, aku dan Tri bergegas ke rumahnya. Selain dua alat snorkel, kami juga membawa satu kacamata renang yang kupinjam dari Yudis.
Sebelum berangkat, kami sepakat untuk jalan dengan santai saja. Semua setuju, mengingat beberapa kecelakaan yang menimpa orang-orang terdekat kami akhir-akhir ini. Pukul 11.40, kami berempat berangkat dari kontrakanku dengan dua Yamaha V-ixion: aku menumpang di motor Tri, dan Lutfi membonceng Rofik di motornya. Kedua motor besar tersebut knalpotnya sudah diganti Tri dan Lutfi dengan knalpot yang bunyinya seperti rentetan petasan.
Karena Tri yang lebih mengetahui jalan (ia sering pulang-pergi ke rumahnya di daerah Tanah Bumbu), maka kami berdualah yang memimpin di depan. Ketika sudah keluar dari Banjarmasin, dengan naluri pembalap Tri, serta jalan yang sudah dikuasainya, kami melesat serupa kilat, diiringi Lutfi dan Rofik di belakang, menyalip mobil-mobil besar, menyingkirkan motor-motor lain dengan knalpot meriam kami, dan mengurungkan niat orang-orang yang ingin menyeberang jalan.
Aku berkali-kali memperingatkan Tri. “Asa ganting paparutanku!” (Rasanya ususku mau putus)
Namun ia dan Lutfi seperti kerasukan. Kesepakatan untuk jalan dengan santai seolah tak pernah terjadi.
Para Pembalap

Hanya 90 menit kami telah sampai di Pelaihari! Kami singgah di sana, shalat (aku menjamak shalat), lalu mencari makan. Warung makan yang kami singgahi ternyata merupakan sarang lalat. Namun karena sudah singgah, kami malas mencari warung lain, dan pasrah menjadi sahabat para lalat.
Pukul 14.15, kami meneruskan perjalanan. Saat itu gerimis mencoba menciutkan nyali kami. Nyali kami tak tergoyahkan, gerimis itu pun menambah amunisi dan perlahan berubah jadi hujan deras. Kali ini nyali kami menciut dan terpaksa berteduh. Karena kami tak ingin membuang waktu, dan keinginan untuk tiba di daerah Kotabaru tak terbendung lagi, kami mengeraskan nyali. Aku dan Lutfi memakai jas hujan (karena hanya kami berdua yang membawanya), Tri mengamankan Canon-nya dalam kantong plastik, dan Rofik terlihat pasrah dengan apapun keputusan kami. Lalu kami kembali meneruskan perjalanan meski hujan deras menyemprot kami dari langit. Kami juga singgah di bengkel untuk memperbaiki rem belakang motor Tri (ini singgah karena masalah motor Tri yang pertama, setelahnya kami akan lebih sering lagi singgah karena sumber masalah yang sama: motor Tri).
Dua Yamaha V-ixion itu masih melesat dengan kecepatan terbaiknya, pukul 16.20 kami memasuki Kabupaten Tanah Bumbu, dan pukul 18.30, kami sampai di Kota Batulicin. Di Mesjid At-Taqwa kami singgah untuk membasuh diri, shalat dan istirahat sejenak.
Pelabuhan Penyeberangan Batulicin tidak jauh dari mesjid tersebut. Pukul 19.30 motor kami bergerak ke sana. Tiket menyeberang untuk satu motor harganya Rp 25.000. Sambil menunggu keberangkatan fery, kami menyantap mie instan di warung dekat pelabuhan tersebut. Kami memilih mie instan karena yakin harganya murah. Tapi keyakinan kadang memang tidak berguna, terlebih saat di pelabuhan.
Tepat setengah sembilan malam, kami telah tiba di seberang, di Pelabuhan Tanjung Serdang, di Pulau Laut, bagian terbesar dari Kabupaten Kotabaru. Ini pertama kalinya untukku (juga Lutfi dan Rofik) menginjakkan kaki di pulau ini, sesuatu yang selalu kuangankan sejak bertahun-tahun silam. Tujuan kami semakin dekat! Namun di sini pun kami juga harus bertahan sejenak, memperbaiki motor Tri yang kembali minta perhatian.
Tidak jauh dari pelabuhan, jalan bercabang dua, ke utara merupakan arah ke Kota Kotabaru, ibukota Kabupaten Kotabaru, sedang ke selatan menuju Lontar dan Teluk Tamiang, lokasi gugusan terumbu karang yang akan kami kunjungi itu berada. Namun karena sudah malam, kami berbelok ke kiri, menuju kota Kotabaru (ini sebenarnya sudah kami rencanakan dan memang masuk destination perjalanan kami).
Kami sampai di pusat Kota Kotabaru, Siring Kota, yang terletak tepat di depan Kantor Bupati Kotabaru pukul 21.40. Di sini kami cukup lama bertahan.
siring kota kotabaru
Haru Biru Kotabaru

Meskipun kami sudah berencana akan ke kota ini, kami belum memutuskan dengan pasti di mana menginap malam ini. Tri menawarkan di kost temannya, aku menawarkan di pesantren tempat temanku mengajar atau di Pantai Sarang Tiung, sementara Lutfi dan Rofik hanya mengikut bagaimana keputusan kami. Tri cukup setuju dengan usul keduaku, katanya di Pantai Sarang Tiung ada rumah-rumah penginapan yang bisa disewa. Dua teman Tri yang dimaksud datang, demikian pula temanku saat di pesantren dulu yang sekarang sudah menjelma menjadi Ustadz Misnawi.
Tanpa harus berunding, kami tahu Misnawi lebih tulus, ia sendiri yang ‘meminta’ menginap di tempatnya, sementara kedua teman Tri tadi hanya ‘bersedia’.
Pesantren Raudhatul Jannah, pesantren itu berada di Hilir Muara, hanya beberapa menit dari Siring Kota. Pukul sebelas malam kami tiba di sana. Kami dijamu dengan banyak kue kering, buah pampakin, sprite, dan mizone. Temanku si Misnawi tadi rupanya satu-satunya ustadz yang tinggal di pesantren itu karena hanya ia ustadz yang belum berkeluarga.
Misnawi, atau sebaiknya kusebut Ustadz Misnawi, punya kisah hidup yang memukau yang membuatku selalu kagum sampai sekarang. Motor baru yang dipakainya sekarang, dan niatnya menikah tahun depan, semakin menambah kekagumanku padanya. Tapi karena kali ini aku ingin menulis cerita perjalananku, bukan cerita hidup temanku itu, dan lagipula aku tak pandai bercerita, maka cerita tentang Misnawi kita lewati saja.
istirahat di pesantren raudatul jannah kotabaru
meluruskan pinggang
Hanya ada beberapa belas santri yang bermukin di pesantren ini, sementara yang lain PP, sehingga cukup banyak tersedia ruang kosong untuk kami menginap. Di ruang tamu yang sangat luas, kami melepas lelah, mengembalikan posisi-posisi otot dan tulang ke tempat semula, untuk melanjutkan perjalanan besok.
(bersambung)