Thursday, February 14, 2019

Cerpen Haruki Murakami: Pelancong Berusia 32 Tahun

32-Year-Old Day Tripper

Aku berusia 32 tahun sedangkan dia 18... Jika kau berpikiran seperti itu maka akan terkesan konyol.
Aku baru berusia 32 tahun, sementara dia sudah 18... Mungkin begitu lebih baik.
Kami berteman, tidak lebih, tidak kurang. Aku sudah beristri, dan dia memiliki enam orang pacar. Di hari-hari kerja, dia pergi kencan dengan enam pacarnya, dan sekali dalam sebulan, pada hari Minggu, dia berkencan denganku. Di hari-hari Minggu yang lain, dia duduk-duduk di rumah sambil menonton TV. Ketika dia menonton TV, wajahnya imut seperti anjing laut.
Pada tahun 1963, saat dia dilahirkan, Presiden Kennedy dibunuh. Juga, di tahun itu, aku mengajak kencan seorang gadis untuk pertama kali. Mungkinkah lagu yang sangat populer ketika itu "Summer Holiday"-nya Cliff Richard?
Ah, teserah.

Bagaimanapun juga, itu adalah saat dia dilahirkan.
Pada tahun 1963, aku tidak pernah terpikir suatu hari akan berkencan dengan seorang gadis yang terlahir di tahun tersebut. Sekarang pun masih terasa aneh, rasanya seperti pergi ke sisi gelap rembulan hanya demi mengisap sebatang rokok.
Menurut kebanyakan dari temanku, kencan dengan gadis remaja itu membosankan. Meskipun begitu, mereka juga berkencan dengan gadis-gadis remaja. Mungkinkah mereka telah berhasil menemukan gadis yang tidak membosankan? Tidak, bukan begitu. Sederhananya, justru sifat membosankan itulah yang menurut mereka menarik. Sementara kebosanan demi kebosanan memenuhi kepala mereka, teman-temanku itu justru berusaha untuk tidak membuat gadis-gadis mereka bosan. Ini memang permainan yang rumit, dan mereka menikmatinya.
Setidaknya, kupikir seperti itu.
Faktanya, sembilan dari sepuluh gadis memang membosankan. Tentu saja mereka belum menyadari hal ini. Mereka masih muda, cantik dan penuh rasa ingin tahu. Mereka pikir kata "membosankan" sama sekali bukan bagian dari diri mereka.
Astaga, astaga.
Bukan maksudku menyalahkan mereka, dan tidak berarti aku membenci mereka. Aku menyukai mereka. Mereka mengingatkanku saat aku masih menjadi bocah yang membosankan. Bisa dibilang, hal ini sangat menggelikan.
"Hey, pernahkah kamu terpikir untuk kembali ke usia 18 tahun?" dia bertanya.
"Tidak juga," jawabku.
"Sungguh? kamu sungguh tidak ingin kembali berusia 18 tahun?"
"Tentu."
"Kenapa?"
"Kurasa sekarang aku baik-baik saja."
Dia meletakkan sikunya di atas meja seraya menopang dagu di atas lengan. Sambil tenggelam dalam pikirannya, dia memutar-mutar sendok di cangkir kopi dengan suara berdenting. "Aku tidak percaya."
"Percaya saja lah."
"Tapi, bukankah keren kalau bisa kembali muda?"
"Mungkin."
"Lalu kenapa kamu tidak mau?"
"Karena berusia 18 sekali saja sudah cukup."
"Aku saja merasa belum cukup."
"Itu karena kamu masih menjalani usiamu yang 18 tahun."
"Hmmm."
Aku memberi kode kepada pelayan dan memesan bir untuk botol yang kedua. Di luar gerimis. Aku bisa melihat Pelabuhan Yokohama melalui jendela.
"Hey, ketika berusia 18, apa yang kamu pikirkan?"
"Tidur dengan banyak gadis."
"Selain itu."
"Hanya itu."
Dia tertawa kecil lalu menyesap kopi.
"Apakah berhasil?"
"Adakalanya berhasil, adakalanya gagal. Tentu saja gagalnya lebih banyak."
"Berapa banyak gadis yang berhasil kau tiduri?"
"Tidak pernah kuhitung."
"Benarkah?"
"Aku tidak mau menghitungnya."
"Andai aku seorang lelaki, aku pasti akan mengitung gadis yang berhasil kuajak tidur. Tidakkah itu menarik?"

*

Ada masa-masa di mana kupikir kembali berusia 18 tahun tidak begitu buruk, tetapi ketika kucoba membayangkan apa yang aku lakukan pertama kali seandainya aku kembali ke usia 18 tahun, tidak ada bayangan apapun yang terlintas.
Mungkin aku akan mengencani seorang wanita berusia 32 tahun. Tidak buruk juga.
"Pernahkah kau terpikir untuk kembali ke usia 18 tahun?" demikian kutanya wanita itu.
"Sebentar," dia akan menyeringai padaku sambil berpura-pura memikirkannya. "Tidak. Mungkin tidak."
"Yang benar."
"Ya."
"Aku tidak mengerti," kukatakan padanya. "Kau tahu semua orang bilang bisa kembali muda itu luar biasa."
"Benar, memang luar biasa."
"Lantas, kenapa kau tidak menginginkannya?"
"Kau akan mengerti ketika sudah lebih dewasa."
Tapi tentu saja, usiaku 32 tahun, dan aku telah mencapai titik di mana perutku menjadi lembek jika seminggu malas-malasan joging. Aku tidak dapat kembali ke usia 18 tahun. Semua orang tahu itu.
Setelah lari pagi, aku meminum sekaleng jus sayuran, duduk di kursi, dan memutar lagu The Beatles, Day Tripper.
"Daaaaaay-ay tripper…"
Sambil mendengarkan lagu itu, aku merasa seperti sedang duduk di kursi kereta dekat jendela. Di luar tampak tiang telepon, stasiun, jembatan penyeberangan kerera, sapi, kuda, cerobong asap, tumpukan sampah; benda-benda itu berlalu dengan cepat. Ke mana pun kau pergi, pemandangannya tidak banyak berubah. Dulu aku berpikir itu pemandangan yang cukup menakjubkan, tapi sekarang...
Terkadang, satu-satunya hal yang berubah adalah seseorang yang duduk di sebelahku. Dan saat ini, orang itu adalah seorang gadis 18 tahun.
"Mau bertukar tempat duduk?" tanyaku.
"Terima kasih," ucapnya. "Kamu baik sekali."
Bukannya aku baik. Aku tersenyum pahit. Kau hanya belum mengerti betapa membosankannya kondisi ini. Belum waktunya.
Aku pelancong berusia 32 tahun, yang bosan menghitung tiang telepon.

Catatan:
Cerpen ini diterjemahkan Farid Ma'ruf dari cerpen Haruki Murakami "32-Year-Old Day Tripper", terjemahan Kathryn dari bahasa jepang dengan judul asli "Sanjūnisai no deitorippā".

No comments:

Post a Comment