Wednesday, April 12, 2017

Bertemu pada Ingatan


Aku mengingatmu
Kamu mengingatku
Bukankah itu artinya kita sudah saling bertemu?

Tuesday, April 11, 2017

Jakarta, Kamu, dan Mimpi-mimpi yang Tertambat di Waktu Pagi

Aku bukan pendoa yang baik. Bahkan, aku jarang sekali melakukan doa. Yang ada seringkali hanyalah percikan harapan-harapan kecil, yang lebih lirih dari gumam, tersembunyi di sudut dada yang entah. Namun, rupanya Tuhan mendengar semuanya itu. Dan beberapa, Ia kabulkan.
Begitulah, saat lamaran sebagai perawat ICU di RS Atma Jaya (Jakarta Utara) kukirim, aku nyaris tak pernah berdoa atas nasib berkas-berkas itu. Aku tetap bekerja, dan tetap sesekali mencoba mengirim lamaran kerja ke tempat lain yang kemungkinan gajinya lebih tinggi. Ya, aku perlu uang. Aku perlu lebih mandiri. Aku perlu, untuk tidak lagi meminta uang pada orangtua. Aku perlu biaya untuk hidupku, untuk menikah, untuk membangun rumah tangga yang baik dengan seseorang (yang sampai sekarang masih disembunyikan Tuhan).

Sunday, April 2, 2017

Yang Kumaksud dengan 'Kacau'



Penyakit suntuk itu kambuh lagi. Mengurung diri di kamar seharian. Mencoba keluar, menaiki motor memutari kota tanpa tujuan apa pun, hingga lelah, dan kembali membusuk dalam kamar. Pergi ke tempat kerja, malas menyapa orang-orang, dan langsung pulang ketika jam kerja berakhir. Mencoba bermain catur online, tapi selalu kalah karena tak bisa konsentrasi. Memandangi HP dengan perasaan bingung. Tidak bisa membuat kalimat tepat dan justru menyakiti orang yang mendengar. Malas membalas chat. Malas mandi. Malas makan. Ogah membaca buku. Memukul-mukul bantal dan memaki diri sendiri.
Udara terasa pekat. Siang terasa sunyi, keributan seperti hanya ada di kepala sendiri.
Kembali lupa letak barang-barang. Kembali ketinggalan charger, bahkan HP. Menghapus akun-akun sosial media. Berbaring di teras memandangi langit. Membiarkan pakaian kotor menumpuk. Musik-musik terasa hambar. Film-film terasa menjengkelkan.
Aku menjadi sinis. Aku mulai membenci orang-orang di dekatku, bahkan mereka yang ingin menyembuhkanku.
Aku ingin pergi jauh, tapi aku bahkan enggan beranjak walau satu langkah. Aku ingin melupakan. Namun, aku bahkan tak tahu apa yang mesti kulupakan. Aku ingin waktu menyembuhkanku, tetapi waktu justru semakin kejam padaku.
Aku ingin napas yang lebih dalam. Hujan yang rinai. Malam yang lebih gigil. Aku ingin tidur yang nyenyak. Aku ingin menjadi bocah kecil lagi. Berenang di sungai berjam-jam sepulang sekolah. Mengejar layangan putus. Membuat rumah-rumahan di hutan. Aku ingin dunia menjadi ajaib lagi. Aku tidak ingin hal-hal yang pasti. Aku ingin menjadi orang lain, mungkin dirimu. Duduk di kursi nyamanmu dan menikmati matahari tenggelam.
Aku mencintai sepiku. Namun aku benci diriku. Aku ingin meminjam tawamu. Aku ingin menghiburmu, agar aku merasa sedang baik-baik saja. Aku menginginkan banyak hal, sekaligus tak tahu apa yang sebenarnya kuinginkan.
Aku marah. Aku kecewa. Namun tak tahu marah pada siapa, kecewa atas apa.
Aku menatap cermin, dan tidak tahu wajah siapa di sana. Dan aku begitu benci dengan wajah itu.
Ya, ini memang aku. Ya, ini hidupku. Ya, ini karmaku. Ya, kamu tidak perlu peduli dengan semua itu. Aku akan menjawab pertanyaanmu dengan ya, ya, dan ya. Tapi berhentilah bertanya. Berhentilah memintaku sembuh, karena aku tidak ingin sembuh.
Bencilah aku. Jahatlah padaku. Aku perlu itu.

Saturday, April 1, 2017

Danau Sari Ambun, Bati-Bati, Tanah Laut, Kalimantan Selatan

Yang kuingat dari sore itu adalah bahwa saat itu sedang ada gladi untuk acara Grand Opening rumah sakit tempatku bekerja. Aku malas datang dan hanya tidur-tidur di kost seandainya tidak ada undangan acara "baarwahan" dari temanku Udin. Aku mandi, shalat ashar, dan mengarahkan motorku ke rumah mertua Udin. Usai baarwahan, aku mampir di rumah sakit. Acara gladi masih berlangsung, namun tidak jelas acaranya apa. Dengan Arif Gondang (selanjutnya disebut Gondang) yang saat itu jaga, aku nongkrong di IGD.
Saat itulah, pesan dari Rizky Abah (selanjutnya disebut Abah), mengatakan bahwa ia akan ke rs kami, mungkin mau lihat-lihat. Dan tak lama, ia datang.
Di antara obrolan kami yang panjang itulah, Gondang nyeletuk.
"Eh, kapan kita ke danau yang di Bati-bati itu?" (Sebelumnya aku pernah memberitahukan Gondang soal danau keren di Bati-bati, danau yang terbentuk secara alami, bukan hasil tambang batu bara atau tambang intan).
"Besok, gimana?" Abah langsung menyahut.
"Ayo," jawabku.
Maka sepakatlah kami, bahwa pada hari besok, Minggu, jam 3 sore (Gondang dan Abah dinas pagi, aku libur), kami akan berangkat ke Danau Sari Ambun.

***