Monday, December 22, 2008

Kamu Bohong!



Apakah kamu seorang yang beragama Islam? Sekali lagi apakah kamu seorang Muslim? Betulkah kamu seorang Muslim? Kamu yakin?

Tidak! Kamu bohong! Kamu bukan seorang Muslim! Agamamu bukan Islam!
Kalau kamu beragama Islam, kenapa kamu tidak melakukan perintah Allah? Kenapa kamu masih mengerja larangan-Nya? Kenapa kamu lalai shalat? Kenapa kamu tidak mengaji? Kenapa kamu tidak taat dengan orang tuamu? Kenapa kamu melihat aurat? Kenapa kamu memperlihatkan aurat? Kenapa kamu pacaran? Apa yang sudah kamu lakukan demi agama Allah?
Sungguh, kamu bukanlah orang Islam!

Thursday, December 11, 2008

Sendiri Ini

Sendiri ini sepi
Melukai, membunuh
Maka katakanlah "sudah"
Sebab jaga ini akan tidur
Sebab hidup ini akan mati

Di pergumulanku dengan senja
Ada kata yang harus kuucap
Ada agenda yang harus kukerja
Ada asa yang harus tercapai
Maka berjanjilah "sabar"
Sebab siang berakhir petang
Semoga hidup menjadi riang

The Zest

Aku hidup
Bukan karena aku ini arus
Aku ini ombak !
Sekarang aku bisa berenang
Di tengah atlantik sekalipun
Sudah lima tahun bukan kalatau lagi
Aku kecil, tapi aku ini udang jurassic !
Meski kau bakar aku dengan derajat celcius
Aku masih hidup !

Di belakangku juga sudah banyak hari yang berlompatan
Bukan cuma bumi, langit pun akan kuarungi
Jutaan bahaya akan kuselami
Jutaan gunung kesulitan akan kudaki dan kutancapkan bendera di puncaknya
Aku ingin menghirup kejutan setiap hari
Tiap detikku, pasti akan ada tantangan
Silakan! Bunuh saja aku!
Aku tak akan mati...!


Sayangku

Ombakku...
Lautan hatiku
Seindah senja jiwamu
Dan besok kita akan terbang
Bersama angin...
Seriang burung...
Pada awan
Kucatat bersih cintaku
Sayangku...


Sajadah

Jam kembali sayu
Kekosongan yang mencabik-cabik semua nalarku
Sudah Sudah
Tak adakah yang bisa menghentikan?
Sementara lagu semakin lapuk
Menyusun siasat demi siasat
Kemana sajadah?
Ingin kutenggelamkan dahiku di atasnya
Biar ku tak tahu lagi, siapa itu angin
Sekarang mungkin aku bisa menyulamnya
Tapi nanti entah
Saat dunia kembali mengeroyok
Dan aku tersungkur di atas tanah
Menikmati semua kekalahan


Kemana Lagi

Bila memang kau seindah ombak
Terbanglah bersama awan
Menarilah bersama angin

Tahukah kau
Gemuruh jiwa selalu tersemat dengan daun talas
Luapan hati selalu membuncah di setiap langkah

Aku masih berbincang
Seolah gurat gulana tak pernah membekas
Karena kau juga duduk di atas kenangan

Kemana lagi akan kutanya
Bila setiap bilik dari hatimu telah kaututup

Kita ini bom waktu
Siap meledak jika detik tak tertahan

Kemana lagi akan kucari
Lukisan perpaduan cinta kita
Sedang bingkainya hanya menggantung di kamarku


Mengharap Cahaya Bulan

Anak-anak bernyanyi dengan lagu malam
Sebuah lampu teplok temani mereka
Juga iringan jangkrik dan senyum kunang-kunang

Rumah mereka kecil 3 x 3 !
Di tengah himpitan gedung-gedung buta

"Anak-anak, cepatlah tidur!
Tak usah kalian nyanyikan pohon galam di muka rumah
Dunia akan terus menghimpit kita."

Anak-anak beranjak tidur
Lagu malam berlanjut dalam mimpi
Sang ibu membuka jendela

"Dhai purnama, terangi rumah kami!"


Jeritan Bumi

Bumi adalah kehancuran juga kepalsuan
Adalah kanvas putih yang dilukis indah
Meraung-raung dengan penyakit komplikasi
Dengan coreta-coretan amburadul
Tak ada vaksin penyembuh

Bumi adalah rumput di tengah jalan
Menggigil menanti ajal dari tapak-tapak kiamat
Sambil berteriak memanggil kita
"Ooi... Di sini kuburan kalian!"

Tak ada rotasi ataupun revolusi
bumi diam
Hanya diam
Selalu malam
Selalu gelap
Semakin gelap...


Dalam Dosa

Iman yang layu
Hingga kutatap lautan keruh
Dan nyanyian dari-Nya
Terus memanggil...
memanggil hati batuku
memanggil umur hingar-bingarku
Memanggil hari gegap-gempitaku

Kekalahan dan kegagalan
Ketakutan dan kepasrahan

Akankah kau sambut aku dengan hangat
Ketika aku adalah sebutir pasir gelap
Karena kusadar
Setiap tingkah adalah dosa

Ampun...
Ampun...
Ampun...


Tak Ada

Sunyiku menusuk kelam
Tak ada yang bisa kuharapkan
Seperti jarum pendek di jam dinding
Nyaris diam

Tak ada yang mengerti aku
Selain angin semilir yang masuk
Saat kubuka jendela malam
Dan kutatap ejekan bintang

Duniaku
Sunyiku
Dan aku mati
Hingga kini


Hujan Yang Purba

Sungai hitam
Merangkul kesetiaan yang sudah memudar
Saat arus cinta begitu deras mengalir
Saat pucuk-pucuk hijau mulai tumbuh
Dan panas rupanya tak bersahabat
Kering!
Kerontokan menjalar di seluruh ranting
Aku diam
Ratapi nasib
Dan di sana
Entah, apakah engkau sadar
Bahwa hujan takkan datang lagi
Biarkan pohon itu kering
Biarkan sungai itu hitam
Sudahlah, aku memang bodoh
Tak mengerti kalau kemarau pasti datang


Pemain Yang Dipermainkan

Adakah lagi sebuah lagu yang iramanya syahdu
Teganya mereka dengan ibuku
Padahal sudah kami buang semua
Dan mereka kembalikan bersama selembar pedih

Arus terlalu kencang, dan mereka bukanlah pembendung
Mungkin seharusnya dia tidak membangun bendungan
Tapi kebohongan selalu jadi anting
Bagi hati-hati duri

Selain bahwa aku ialah pembunuh
Kini aku mati dalam dzalim
Melayangkan jutaan angan ke setiap pojok mimpi
Lihatlah, aku kalah


Rindu

Senyum rembulan mengiringi nyanyian cinta
Dengan denting dua hati dalam syahdu
Serta rindu yang memucuk
Dan daun rupanya telah lama lunglai bersama anyir dunia

Kapan lagi dalam pikirku merajut hari itu
Disambut setangkai senyum yang semerbak
Ya, kapan lagi senyum itu mekar di waktuku
Dan semua itu sudah resmi jadi kenangan

Hingga Kini

Hingga kini,
tak jua kudengar kicauan darakuku
yang merayu merdu lewat irama khasnya
sambil mengisyaratkan besarnya perhatian

Hingga kini,
tak jua kulihat pesona galam
yang memikat indah bersama naungan bahkan lindungan
dan timbulkan nyenyak serta ketenangan

Hingga kini,
aku selalu saja mencari
kicauan darakuku atau pesona galam.

Rami Lih Salamam

Setiap kali hujan turun, aku selalu mematung di depan pintu.
Kuingat masa lima tahun lalu, berenang menghambur buradis, batabunan di purun-purun, mencari kalayangan yang jatuh di hutan, tidur di balik purun, memancing saat hujan reda, mencari galam lurus, kemudian tidak lupa:
Datu! Urang halus, cucu umpat manabang galam.
Kuingat juga masa sembilan tahun lalu, takut bila di dekat rumah hantu, naik di atas PAH, berperan jadi pembeli, mengeluarkan semua mainan usang di dalam plastik, pulang sekolah berjalan baimbai, bila membawa makanan, sebagian ditinggal di cabang pohon dekat kuburan, kemudian tidak lupa:
Datu! Urang halus! Mun handak ambil haja..
Besoknya bilang:
"Rami lih samalam...."

Tuesday, December 9, 2008

Tarian Pedih

Hembusan angin

Telah mengapung di sungai hati

Dan melarutkannya ke sedih tak berujung

Haruskah kunyalakan apa

Untuk sekedar melihat tarianmu

Yang melagukan pedih

Angin masih berhembus

Hujan masih runtuh

Karena meihatmu ada;ah mati

Sungguh sulit bila aku terpana

Di atas runtuhan hati yang kian berserakan

Mengingatmu sungguh terlalu naif

Pasrah

Pengap aku terlena

Pada seluruh untaian tasbih subuh

Menebar gema

Padahal aku semakin lelap tidur

Karena panggilan yang sangat memaksakan

Maka terpaksa

Kubentangkan harapan sunyi

Yang meminta-Mu dengan seluruh doa yang runtuh

Hanya pasrah yang bisa kulakukan

Demi terkulai lemah

Sungguh

Hanya itu!

Walau dosaku membuai kelam

Walau serapah bukan lagi hujan

Sungguh, semua sudah suram

Dan kini, pagi beranjak

Apa Engkau masih menyiksaku, budak-Mu

Sekali lagi sungguh

Tak ada yang bisa kulakukan



Lagu Banjar




Saat ini lagu-lagu baru dari band-band musik yang kebanyakannya juga baru terus bermunculan.
Dalam dunia permusikan, mungkin ini adalah sebuah kemajuan. Namun di samping itu, ternyata lagu-lagu baru ini justru berdambak negatif bagi budaya kita, yaitu budaya Banjar. Karena dengan semakin banyaknya lagu-lagu baru yang mayoritasnya adalah lagu pop itu, lagu-lagu Banjar yang sarat akan nilai budayanya makin dilupakan.
Ingat sekali saya waktu dulu, yaitu ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, puluhan lagu Banjar saya hapal. Namun kini, satu lagu pun tidak ada yang masih melekat di kepala saya.
Beda dengan lagu-lagu baru, dalam beberapa hari saja saya sudah hapal. Itu karena seringnya mendengar teman-teman di asrama nyanyi keras-keras (padahal suara jelek, hehe..).
Nah, oleh karena itu saya mencoba mencari lagi teks lagu-lagu Banjar yang penuh dengan makna dan nilai budaya itu. Tapi ternyata itu tidak mudah. Buku-buku saya waktu SD semuanya sudah di bakar atau hilang entah ke mana. Tanya sama teman hasilnya juga nihil. Mereka bahkan judul-judulnya saja tidak tahu.
Aku pun lalu teringat bahwa ayahku dulu pernah beli kasetnya.

Kucari dengan penuh perjuangan (waduh... waduh...) di segala penjuru dan pelosok rumahku, hingga akhirnya benda keramat itu ditemukan. Dan ternyata letaknya di bawah lemari baju. Setelah dapat, aku masih harus berjuang mencari tape untuk memutarnya. Maklum, di zaman CD dan DVD ini pemutar kaset cukup sulit dicari. Di toko elektronik sih sebenarnya ada, namun uang jajanku sangat membutuhkan penghematan. Tapi syukurlah, salah seorang temanku membalas SMS yang kukirim: "Tnang, q pnya tpe rcrder, tp g' tw msh baik apa g"
Hari itu juga aku ke rumahnya. Barang keramat yang alhamdulillah masih baik itu kupinjam untuk beberapa hari selama liburan ini.
Baiklah, ini dia salah satu lagu Banjar yang sangat kurindukan itu. Bagi kamu yang masih punya jiwa Banjar, sebaiknya lagu ini disalin dan dihapal. Hehe..

PAMBATANGAN

Matan di hulu....
Mambawa rakit bagandingan
Bahanyut matan di udik Barito
Awal hari baganti minggu....

Siang wan malam...
Awal hari baganti hari
Istilah urang mancari rajaki
Kada talapas lawan gawi....

reff;
Panas hujan kada manjadi papantangan
Kada hiran tatap dirasaakan
Mananjak batang sambil barami-ramian
Akhirnya sampai ka tujuan..............

Inilah nasib...
Manjadi urang pambatangan
Lamun nasib sudah ditantuakan
Insya Allah ada harapan...

(cipt. Fadly Zour)

Lagunya menyentuh bukan? Menggambarkan bagaimana kehidupan seorang "pambatangan". (Di Kalsel yang gelarnya "Seribu Sungai" ini dulunya banyak yang pekerjaannya "mambatang")
Sangat beda dengan lagu-lagu sekarang yang isinya cuma berkisar masalah "cinta" (itu istilah mereka, kalau menurut saya sih lebaih tepatnya bernuansa "pacaran").

Saturday, December 6, 2008

Memoar Komikus




Kugoreskan pensilku di atas sobekan kertas HVS, kemudian gambar kepala robot tercipta, menyusul kemudian badannya, tangannya, lalu kakinya.

Ustadz Salim terus menjelaskan pelajaran Nahwu, pelajaran yang lebih sulit dari fisika, lebih rumit dari matematika dan lebih membosankan dari akuntansi. Jarum pendek di jam dinding telah menunjukkan angka 12, dan jarum panjang ke angka 2. Seperti biasa, pada jam pelajaran terakhir ini, 70% santri kelas 1 tsanawiyah G tertidur dengan gaya tidur masing-masing. Ustadz Salim tak peduli. Beliau terus saja membacakan kitab ‘Mukhtashar Jiddan’ sembari sesekali mata beliau terpejam dan mulut beliau menguap. Jelas sekali bahwa beliau sedang berjuang keras menahan rasa kantuk.

Tak terasa, sebuah dunia robot sudah tercipta di atas kertas HVS dan bel tanda pelajaran berakhir menggema.

“Wallahu a’lam bisshawa…b,” ucap Ustadz Salim mengakhiri pelajaran seraya merapikan kitab-kitab yang beliau bawa.

Harapan di Jembatan Barito




25 Juni 2014

Kupacu motorku 90 Km perjam. Jembatan Barito masih jauh, masih kira-kira 20 Km lagi.

Adzan ashar mengalun. Segera kuturunkan kecepatan hingga berhenti tepat di depan langgar*.

Seperti langgar-langgar yang lain, tak ada orang di dalamnya kecuali seorang muazzin yang sudah renta. Shalat berlangsung sunyi. Muazzin tadi jadi imam dan aku makmumnya. Hanya aku!

Usai shalat, kupanjatkan doa sebanyak-banyaknya pada Sang Rahman tentang hidupku, keluargaku, kuliahku, pekerjaanku, dan... jodohku.

Kesungguhan Cinta



2-3-2010

“Boleh ya, Ma…,” rengekku pada mama, “Martapura nggak jauh-jauh amat juga kok…” sambungku dengan sedikit argumen.

“Martapura itu jauh. Apalagi kalo setiap hari harus bolak-balik. Pemborosan!” Mama tak mau kalah.

“Tapi Irfan kan bisa sewa rumah di sana, Ma..”

“Mama malah hawatir kalo kamu tinggal sendirian. Lagian kamu ini Fan, kenapa kamu tidak cari yang baru saja? Masih banyak yang lebih cantik dan lebih baik daripada Winda…”

“Aduh, Ma… Winda itu kan pacar Irfan sejak kelas satu SMP, masa harus putus cuma gara-gara pindah sekolah…?”

“Ya nggak usah putus. Kamu kan bisa ke rumahnya seminggu sekali?”

“Kalo gitu Ma, nanti dia nggak ada yang ngontrol. Bisa-bisa dia malah selingkuh sama cowok di sana…”

“Yah, baiklah kalo gitu. Nanti kalo Papa pulang, Mama rundingin.”

“Yesss,” teriak hatiku lega. Wajah mama cemberut karena kalah berdebat.

Suara Hati Empat Jiwa




Tokoh 1 : Ustadz Badaruddin

Aku duduk bersila, menghadap ratusan santri. Kitab Al-Hikam kubacakan kata demi kata, lalu kata-kata itu kuartikan ke dalam bahasa Indonesia. Aku tidak ambil pusing dengan kosa kata yang tidak kuketahui artinya. Aku tinggal tak usah mengartikan kalimat itu. Dengan begitu, para santri akan berpikir : Mungkin Ustadz Badar menganggap kami sudah paham arti kalimat ini, jadi tidak perlu diartikan lagi.

Atau dengan cara yang lebih ’terhormat’, yaitu kuartikan saja kata itu dengan kata itu sendiri, seolah kata itu sudah menjadi istilah yang umum. Atau dengan isim masdarnya¹ namun diberi imbuhan me- dan -kan.

Suasana Mushalla tempat aku membacakan kitab ini lumayan gaduh. Mungkin karena isi kitab ini kurang menarik, atau karena suaraku yang pelan dan terlalu cepat. Ah, biarlah.

Situasilah yang telah membuatku menjadi seorang Ustadz.

Teroris





23.59, malam yang hening.

“Ustadz Abdurrahman...?”

“Ya, saya sendiri. Ada apa?”

“Saya sudah memasang dua buah bom di pesantren Anda...”

“Hah!? Apa kamu bilang? Jangan bercanda, ya!!!”

“Saya tidak bercanda, Ustadz...”

“Ah, sudahlah! Sebaiknya kamu jangan mengganggu tidur saya dengan lelucon yang tidak lucu itu!”

“Baiklah, kalau Ustadz tidak percaya, saya akan segera meledakkan bom yang pertama...”

DDHHHAAAAAAARRRRRRRR!!!!!!

Nini Jablay

“Lajui, Ni, bayar…!!!”
“Aku kada sing duitan, sasin sapirak kadada…”
“Kanyamanan pian mun kaitu. Pian badiam di sini maanam bulan sudah!”
“Pakai apa aku bayar, makan haja babaya kawa…”
“Bagawi !!!”
“Urang tuha nang kaya aku ngini kada tapi kawa lagi bagawi…”
“Kada tahuai! Saminggu lagi pian ulun bari waktu, munnya kada bayar jua ulun salukut rumah pian!!!”

***

“Nini Jablay disaru jua Tuh lah!” Ujar Abah Inur manyuruh Jalal, anak lalakian sidin nang sudah kalas satu aliyah.
“Inggih Bahai,” sahut Jalal.
Dihidupinya sapida mutur, imbahitu inya langsung mangalunyur ka rumah-rumah urang gasan manyarui marga malam ini di rumahnya ada salamatan. Tunggal buahan rumah ditukuinya, lacit nang pahabisan rumah Nini Jablay.
Nini Jablay, kaitu pang sudah urang-urang di kampung Puntik nia manyambat sidin. Kada tapi tahu jua nangapa pungkalanya urang-urang manyambat kaitu, nang nyata, pas sidin matan manajak rumah wan badiam di sia maanam bulan nang liwat, wayahitu rahatan raramiannya lagu Jablay.
Bahari sidin badiam di sia badua lawan anak lalakian sidin nang bagawi jadi tukang. Tagal, hanyar dua bulan bagana di sia, nang anak sudah maninggal taranjah mutur trak di tikungan ‘S’ rahatan bulik bagawi malam-malam.
Pas Jalal datang, Nini Jablay rahatan manjuluk anak karangga – gasan umpan maunjun—nang basarang di puhun galam balakang rumah sidin.
Ah, kawa jua kah rumah sidin nang ukurannya baya 3×3, tihangnya batang galam, tawingnya papan jabuk, hatapnya daun rumbia, wan isinya baya tapih rabit wan tikar rumbis wara nangitu disambat rumah. Bisa mun disambat papundukan tacucuk sadikit.
“Assalamu‘alaikum…” Jalal maucap salam.
“Wa‘alaikumussalam… Nangapa, cu?” Batakun Nini Jablay. Di higa sidin kucing kasayangan sidin nang babalang putih-hirang.
“Basaruan, Ni ai…” Jawab Jalal.
“Pabila?” Batakun pulang sidin.
”Malam ini, imbah Magrib.”
“Naa….ham, Nini mun malam kada hawas lagi bajajanak. Uhhuuk…uhhuuuk….” ujar Nini Jablay sambil tabatuk-batuk.
“Ayuha Ni ai, kaina ulun maambili Pian,” Jalal mananangakan.
“Ih, amunnya kaitu tih ayuha,” ujar Nini Jablay sambil takurihing. “Uhhuuuk… uhhhuuuk….”
Sukur urang-urang di kampung nia maras lawan sidin. Marga asa maras urang-urang itu pang lagi sidin hidup. Bahanu ada nang mambari baras, mambari duit, manyaru atawa minta urutakan, imbahnya hanyar diupah. Umanya lawan abahnya Jalal tadi pang nang paling rancak mambantui sidin, jadinya sidin pinandu banar lawan si Jalal. Tagal urang kada mangiau uma wan abahnya Jalal itu lawan Uma Jalal wan Abah Jalal. Urang mangiau umanya wan abahnya itu lawan Uma Inur wan Abah Inur, marga anak sidin nang panuhanya ngarannya Nurul Jannah.
Imbah maucap salam laluai Jalal bulik.

***

Pambacaan Surah Yasin tuntung, disambung lawan mambaca Surah Al Waqiah. Di padu, buhan babinian aur manyiapakan sasurungan .
“Pian hakun lah Ni, mangawani Salasiah saban baisukan? Kami saban baisukan kadadaan kalu di rumah. Inur ka puskismas, Jalal sakulah, ulun lawan abahnya ka sakulahan maajar. Handak kami bawa ka sakulahan katia mangalihi, handak ditinggal di rumah katia inya saurangan haja. Jadi, hakunlah Pian? Kaina Pian ulun upah saban bulan,” ujar Uma Inur manawari Nini Jablay sambil mangaut nasi ka rangsang.
Himung banar sidin ditawari bagawi, maka gawiannya kada ngalih, baya mangawaniakan kakanakan lima tahun ha. Laluai sidin taingat lawan Uma Irsat nang manyuruh sidin mambayari tanah nang dipakai sidin gasan manajak rumah. Saban hari Uma Irsat managih sidin. Tagal tatapai jua kada dibayari sidin. Gasan makan haja ngalih, makinnya gasan mambayari tanah.
Kada bapikir lawas lagi, sidin gasak maiihakan tawaran Uma Inur, “Iih, ayuha. Uhhuuuuk….uhhhhuuuuk… Mulai pabila?”
“Mulai isuk pang Ni ai, inya Siahnya sudah kami padahi jua.

***

Sungsung-sungsung Nini Jablay sudah basisiap. Dipisiti sidin tapih nang sidin pakai. Imbahitu sidin pasang kakamban putih nang sudah tipis. Galai sidin bajalan ka jukung nang sidin jarat di higa sungai. Kucing kasayangan sidin mairingi di balakang.
“Uhhhuuuk…. uhhhuuuuk….uhhuuuuuk….uhhhuk…” tabatuk-batuk sidin sambil babuat ka jukung. Kucing sidin umpatan jua babuat.
Sukur banyunya ampah ka hilir, jadi sidin kada tapi ngalih lagi mangayuhnya.
Matahari makin batinggi, ambun sudah kadadaan lagi, kalaras sudah mangarapak amunnya dikacak, kada nang kaya subuh tadi, masih lamah. Kartak sudah rami lawan urang nang tulak bagawi lawan tulak sakulah. Kaitu jua hayam wan burung, sudah rami kujuk-kujuk ka sana ka mari mancari nang kawa dipatuk.
Lima walas manit Nini Jablay sudah sampai di muka rumah Uma Inur. Jukung sidin jarat di tihang jambatan muka rumah Uma Inur sakira kada larut.
“Handak tulakan kah hudah?” Batakun Nini Jablay. Muntung sidin takurihing.
“Iih nah, Siah… u…. Siah! Nih Nini datang sudah nah…!” Kuriak Uma Inur mangiau si halus Salasiah. Kada lawas tadangar bunyi batis Salasiah bukah-bukah matan kamarnya.
“Si galuh pang, hudahah tulak? Uhhhuuuk…uhhhuuuk…” Batakun pulang Nini Jablay sambil batukan.
“U…Inur tih sungsung, sudah tulak. Na, Ni, kami tulakan lah? Mun pian handak malihat tipi, minta satilakan lawan Siah,” ujar Uma Inur. Imbahitu Uma Inur wan Abah Inur nang kaduanya jadi guru di SDN Puntik tulak pakai sapida mutur.

***

Nini Jablay duduk haja di muhara lawang, malihatakan Salasiah nang mainan di palatar. Sasatumat sidin batukan.
Apa-apakah nang dimainakan Salasiah. Liwar himungnya inya kawa bamainan sakahandak, makinnya nangini dikawani lawan kucing ampun Nini Jablay, kada kaya nang rajin, bamainan dikawani lawan bunika wara.
Kada tarasa jam satangah dua sudah ari. Abah Inur wan Uma Inur datang matan di sakulahan.
“Uma… Abah… !” Salasiah bakuciak malihat kuitannya sudah datang.
“Kayapa tih, nak? Rami haja kalu di rumah?” batakun nang abah.
“Inggih, rami haja. Lihati Bah, kucing ulun langkar kalu?” Diampaiakan Salasiah kucing Nini Jablay tadi nang sudah dibingkinginya lawan kip wan jarat rambut. Gulunya digantunginya lawan kalung iincaan. Buntutnya dijarati Siah lawan pita nang babalang habang.
“Umaaa…ai, langkarnya! Sapa ngarannya?” takun abahnya.
”Nabila Bahai,” jawab Salasiah maumpati lawan ngaran artis kakanakan nang dikatujuinya. Imbahitu diampaiakannya pulang lawan Umanya.
“Na…Ma! Langkar kalu? Ngarannya Nabila Maai.”
“Umai lah, langkarnya! Kawa jadi artis tua…” puji nang Uma.
Nini Jablay takurihing haja malihatakan. Kada lawas Inur pulang nang datang. Diampaiakan Siah pulang kucing tadi lawan kakanya.
“U…Galuh!” Kiau Nini Jablay.
”Puun, nangapa Ni?” Sahut Inur.
“Ikam ada ah baisi ubat batukan? Lawas banar nah batukan kada sing ampihan… Kamarian ada nang darah kaluarnya…” garunum Nini Jablay.
Barataan nang mandangar takajut.
“Hadangi dahulu Ni lah, ulun mancariakan dahulu.” Inur masuk ka kamar mancariakan ubat batukan. Kada lawas inya kaluar, di tangannya ada palastik halus nang isinya ubat.
“Nah Ni. Manginumnya talu kali sahari,” ujarnya sambil manjulung palastik tadi.
“Barapa aku manggantii, cu?”
“Kada usah Ni ai, ulun mambarii haja.”
“Iya kah…. Tarimakasihai mun kaitu tih. Uhhhuuuk… uhhuuuk… uhhhuuuk…”
“Pian isuk umpat ulun ka puskismas haja gin, Ni lah?” tawar Inur.
“Iih Ni ai, Pian umpat haja gin, nyaman dipariksa,” tambah Uma Inur.
Sidin gair jua, mahakuniai sidin, padahal liwar indahnya sidin mangalihi urang.

***

“Sidin kana TBC sakalinya, Ma ai..!” Tagasak-gasak Inur mamadahi Umanya pas inya sudah bulik matan Puskismas.
“Hah, iya kah? Pusitip lah?” Asa kada parcaya Umanya mandangar.
“Iih, pusitip!”
“Sidinnya pang, tahu lah?”
“U..Kada, maras ulun mun sidin dipadahi….”
“Apa pang jar duktur?”
“Dibawa ka rumah sakitai Maai, tagal sidinnya nang kada hakun. Jar sidin mangalihi haja, batukannya bakurang jua sudah jar.”
“Kada usah lagi ai Umanya ai kita minta kawaniakan Siah lawan sidin, kaina Siah nang tajangkit.” Abah Inur umpatan jua bapandir. “Kita jangan bakisah lawan sisiapa, kaina kadada nang hakunnya lagi mangawani sidin,” ujar Abah Inur lagi.

***

Uma Irsat hanyar datang matan di Banjar. Pas lalu di muka rumah Nini Jablay, inya takajut malihat urang pina hibak di muka rumah nini Jablay. Laluai inya datangi urang-urang nang bagarumutan tadi.
“Ada nangapa nih, pina rami banar?” batakun Uma Irsat.
“Nini Jablay maninggal…!!!” ujar urang-urang nang di sana.
Liwar takjutnya sidin mandangar. Manggarunum sidin dalam hati, ”Tanah balum dibayari, mati sudah…!”

***

Isuknya, pas urang kadadaan, sambil mambawa ting minyak gas, didatangi Uma Irsat rumah Nini Jablay. Biar Nini Jablay sudah maninggal, Uma Irsat tatap muar banar lawan sidin.
Brakkk!!!
Ditinjak Uma Irsat lawangnya hinggan tabuka. Minyak gas nang dibawa tadi inya tumpahakan di sakalilingan rumah. Imbahnya hanyar inya titis kurik api ka papan nang takana minyak gas.
Satumat haja api sudah barau. Rahatan Uma Irsat handak kaluar, inya talihat batu nang ganalnya kaya biji kacang, mancilang-cilang di higa tikar rumbis. Diambil Uma Irsat batu nangitu.
“Ai, nia intan!!! Kada salah lagi, nia intan!!!”
Api makin babarau. Uma Irsat masih maitihi intan tadi. Satangah kada parcaya inya kanapa Nini Jablay baisi intan nang sing ganalan kaya nia.
Kada tarasa api sudah mangalilingi Uma Irsat. Kadada lagi jalan gasan inya kaluar. Hatap nang tasalukut guguran ka awaknya.
“AAAAAAA………!!!”

***

Ari ini rumah Nini Jablay rami pulang, biar rumahnya sudah lingis dimakan api. Uma Irsat nang awaknya sudah hangit didapatakan urang di sana. Di tangan mayat nagitu ada papacahan kaca mutur trak. []

Malik 2, 24 April 2008

(Radar Banjarmasin, Minggu )
(Malam Kumpai Batu, Tahura Media, 2012)

Catatan Senja





Senja di sungai Barito selalu tampak indah. Aku tak pernah bosan menikmati lukisan alam yang demikian memukau ini. Ketenangan dan kedamaian menyatu dalam keindahan desa Anjir di senja ini.

Dari atas jembatan Barito Kuala yang panjangnya satu kilometer lebih ini, mataku bisa menangkap dengan jelas gerak matahari yang turun di balik pepohonana galam di tepi sungai. Sungai Barito jadi menguning kemerahan, serupa sungai emas. Memukau. Satu kedipan pun tak akan kubiarkan demi menikmati pesona senja ini, karena hanya di menit-menit senja sajalah rasanya berton-ton bebanku berubah menjadi kapas, atau bahkan jadi udara.

Dari surau di samping sungai sana, adzan menggema. Mengganti waktu senja menjadi malam. Waktuku berakhir. Perlahan langkahku meningalkan jembatan menuju rumahku yang punya segudang masalah.