Monday, January 25, 2021

Cerpen Haruki Murakami: Kerajaan yang Gagal

cerpen haruki murakami kerajaan yang gagal


Tepat di belakang kerajaan yang gagal mengalir sungai kecil yang indah. Airnya jernih dan tampak menawan, dengan banyak ikan yang hidup di dalamnya. Seekor ikan memakan gulma yang tumbuh di sana. Sang ikan tentunya tak peduli apakah kerajaan itu gagal atau tidak. Apakah itu berupa kerajaan atau republik tak ada bedanya bagi mereka. Mereka tidak melakukan pemungutan suara ataupun bayar pajak. Tidak ada bedanya bagi kami, pikir mereka.

Aku membasuh kaki di sungai. Air yang sedingin es itu membuat kakiku menjadi merah walau hanya terendam sebentar. Dari sungai ini, kamu bisa melihat tembok dan menara kastil kerajaan yang gagal. Di atas menara itu, bendera dengan dua warna tampak berkibar ditiup angin. Siapapun yang berjalan di tepi sungai akan melihat bendera itu dan berkata, "Hei, lihat. Itu bendera kerajaan yang gagal."


***


Q dan aku adalah teman--atau lebih tepatnya, 'pernah' berteman, saat kuliah. Sudah lebih sepuluh tahun sejak kami melakukan apapun yang dilakukan teman. Makanya aku pakai kata 'pernah'. Intinya, kami berteman.

Setiap kali aku mencoba menceritakan tentang Q--menjelaskannya sebagai pribadi--aku selalu merasa kesulitan. Aku memang tidak pandai menjelaskan apa pun, tapi meksipun tidak begitu, tetap saja menjelaskan tentang Q kepada seseorang adalah tantangan tersendiri. Dan ketika aku mencobanya, aku seperti berada di jurang keputusasaan.

Biar kubuat ini sederhana.

Q dan aku seumuran, tapi ia lima ratus tujuh puluh kali lebih tampan. Ia juga punya kepribadian yang baik. Ia tidak pernah memaksa atau sombong, dan ia tidak pernah marah jika seseorang secara tidak sengaja menimbulkan masalah baginya. Ia akan bilang, "Oh, tidak apa-apa, aku juga kadang begitu." Tapi nyatanya, ia tidak pernah melakukan hal buruk semacam itu, kepada siapa pun.

Ia juga tumbuh dengan baik. Ayahnya seorang dokter yang punya klinik sendiri di Pulau Shikoku, yang berarti Q tidak pernah kekurangan uang jajan, meskipun juga tidak kelebihan. Ia seorang penata rias terampil, juga seorang atlit hebat yang pernah bertanding di kejuaraan tenis antar sekolah saat SMA. Ia suka renang dan pergi ke kolam renang setidaknya dua kali seminggu. Secara politik, ia adalah seorang liberal moderat. Nilainya, jika tidak luar biasa, setidaknya bagus. Ia nyaris tak pernah belajar untuk ujian, tapi tidak pernah gagal dalam satu mata kuliah pun. Ia benar-benar mendengarkan saat dosen berceramah.

Ia sangat berbakat di piano, dan punya banyak rekaman Bill Evans dan Mozart. Penulis favoritnya cenderung penulis Prancis -- Balzac dan Maupassant. Kadang-kadang ia membaca novel Kenzaburo Oe atau penulis lain. Dan kritiknya selalu tepat sasaran.

Secara alami ia populer di kalangan wanita. Tapi ia bukan tipe pria yang "bisa menggaet wanita manapun". Ia punya pacar tetap, seorang mahasiswi cantik dari sebuah kampus khusus wanita yang mewah. Mereka jalan setiap hari Minggu.

Begitulah Q yang kuketahui selama di perguruan tinggi. Singkatnya, ia adalah sosok tanpa cacat.

Saat itu, Q tinggal di apartemen sebelahku. Lewat pinjam meminjam garam atau saus salad, kami menjadi akrab, lantas bergantian main ke tempat masing-masing sambil mendengarkan musik dan minum bir. Pernah suatu kali aku dan pacarku naik mobil ke pantai Kamakura bersama Q dan pacarnya. Kami sangat nyaman bersama. Lalu, saat liburan musim panas di tahun terakhirku, aku pindah, dan itu saja.

Kali berikutnya aku melihat Q, hampir satu dekade telah berlalu. Aku sedang membaca buku di tepi kolam renang sebuah hotel mewah di kawasan Akasaka. Q tengah duduk di kursi berjemur di sebelahku, sementara di sampingnya ada seorang wanita cantik dengan kaki semampai yang mengenakan bikini.

Aku langsung mengenali Q. Ia setampan biasanya, dan sekarang, dengan umurnya yang lebih tiga puluh tahun, ia seperti memancarkan kharisma tertentu yang sebelumnya tidak ia miliki.

Ia tidak memperhatikan aku yang duduk di sebelahnya. Aku laki-laki yang terlihat biasa saja, dan aku memakai kacamata hitam. Aku ragu apakah harus menyapanya, namun akhirnya kuputuskan untuk tidak melakukannya. Ia dan wanita itu sedang mengobrol dengan serius, dan aku tidak enak menyelanya. Lagipula tidak banyak yang bisa kami bicarakan. "Aku pernah meminjamkanmu garam, ingat?" "Oh, iya, dan aku meminjam sebotol saus salad." Kami akan kehabisan topik dengan cepat. Jadi aku menutup mulutku dan menempelkannya pada buku yang tengah kubaca.

Tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menguping apa yang dibicarakan Q dan rekan cantiknya itu. Sepertinya itu masalah yang rumit. Aku berhenti mencoba membaca dan fokus mendengarkan mereka.

"Tidak mungkin," kata wanita itu. "Kamu pasti bercanda."

"Aku ngerti, aku ngerti," kata Q. "Aku ngerti betul apa yang kamu bilang. Tapi kamu juga harus mengerti posisiku. Aku tidak melakukan ini karena aku mau. Itu maunya orang-orang di atas. Aku cuma ngasih tahu apa yang mereka putuskan. Jadi jangan lihat aku kayak gitu."

"Yah, baiklah," jawabnya.

Q menghela nafas.

Izinkan aku meringkas percakapan panjang mereka--dengan kutambah banyak imajinasiku, tentunya. Q tampaknya sekarang menjadi sutradara di stasiun TV atau tempat semacam itu, dan wanita itu adalah penyanyi atau aktris yang cukup terkenal. Dia dikeluarkan dari suatu proyek karena suatu masalah atau skandal yang melibatkannya, atau mungkin hanya karena popularitasnya yang turun. Tugas untuk memberi tahu dia diserahkan pada Q, yang merupakan orang paling bertanggung jawab langsung untuk operasi sehari-hari. Aku tidak banyak tahu tentang industri hiburan, jadi aku tidak bisa memastikan poin-poin pentingnya, tapi kurasa tidak akan jauh dari semua itu.

Menilai dari yang kudengar, Q menjalankan tugasnya dengan penuh ketulusan.

"Kami tidak bisa bertahan tanpa sponsor," katanya. "Aku tidak perlu memberi tahumu--kamu tahu sendiri cara kerjanya."

"Jadi makmudmu kamu tidak bertanggung jawab atau tidak bisa mengatasi masalah ini?"

"Bukan, bukan itu maksudku. Melainkan yang bisa aku lakukan sangat terbatas."

Percakapan mereka berbelok lagi menuju jalan buntu. Wanita itu ingin tahu seberapa banyak Q telah mengerahkan diri untuk dirinya. Ia bersikeras bahwa ia telah melakukan semua yang ia bisa, tapi ia tidak punya cara untuk membuktikannya, dan wanita itu tidak percaya. Aku juga tidak terlalu percaya padanya. Semakin tulus ia mencoba menjelaskan berbagai hal, semakin banyak kabut ketidaktulusan yang menutupi. Tapi itu memang bukan salah Q. Itu bukan salah siapa-siapa. Karenanya, tidak ada jalan keluar dari percakapan ini.

Tampaknya wanita itu selalu menyukai Q. Kurasa mereka rukun sampai masalah ini muncul. Dan justru karena dia selalu menyukai Q itulah yang membuatnya semakin marah. Namun pada akhirnya, dialah yang menyerah.

"Oke," katanya. "Aku sudah bisa menerimanya. Belikan aku cola, oke?"

Mendengar itu, Q menghela nafas lega dan pergi ke stand minuman. Wanita itu memakai kacamata hitamnya dan menatap lurus ke depan. Saat ini, aku telah membaca baris yang sama di bukuku beberapa ratus kali.

Tak lama, Q kembali dengan dua gelas kertas besar. Sambil menyerahkan satu kepada wanita itu, dia meletakkan badannya ke kursi berjemurnya. "Jangan terlalu risau tentang ini," katanya. "Sekarang, setiap hari kamu bakal--"

Tapi, sebelum dia bisa menyelesaikannya, wanita itu melemparkan gelas ke arahnya. Gelas itu tepat mengenai wajahnya, dan sekitar sepertiga dari cola itu mencipratiku. Tanpa sepatah kata pun, wanita itu berdiri dan, sambil menarik sedikit bikininya, melangkah pergi tanpa melihat ke belakang. Q dan aku hanya duduk terpana selama lima belas detik. Orang-orang di sekitar menatap kami dengan kaget.

Q adalah orang pertama yang mendapatkan kembali ketenangannya. "Maaf," katanya dan mengulurkan handuk padaku.

"Tidak apa-apa," jawabku. "Nanti aku mandi saja."

Tampak sedikit kesal, dia menarik handuk itu kembali dan menggunakannya untuk mengeringkan dirinya sendiri.

"Setidaknya biarkan aku bayar untuk bukunya," katanya. Memang benar bukuku basah kuyup. Tapi itu hanya paperback murah, dan tidak terlalu menarik. Siapa pun yang melemparkan cola ke atasnya dan mencegahku membacanya berarti telah menolongku. Ia menjadi cerah ketika aku mengatakan itu. Ia memiliki senyum yang sama seperti biasanya.

Q kemudian pergi, setelah sebelumnya meminta maaf padaku sekali lagi sambil berdiri untuk beranjak. Dia tidak pernah menyadari siapa aku.


***


Aku memutuskan memberi cerita ini judul "Kerajaan yang Gagal" karena aku kebetulan membaca artikel di koran sore hari ini tentang kerajaan Afrika yang telah gagal. "Melihat kerajaan yang indah memudar," katanya, "jauh lebih menyedihkan daripada melihat keruntuhan republik kelas dua."[]



Diterjemahkan dari 'The Kingdom that Failed' yang diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Jay Rubin.

https://www.newyorker.com/books/flash-fiction/the-kingdom-that-failed

No comments:

Post a Comment