Saturday, August 15, 2015

Mengisi Libur ke Bukit Kaladan atau Bukit Lawangan, Desa Tiwingan Lama, Kec. Aranio, Kab. Banjar



Bukit Kaladan atau Bukit Lawangan - Mencari waktu luang untuk berlibur memang susah, apalagi di tengah kegiatan profesi ners dengan tugas-tugasnya yang seperti saling berebutan ini. Maka ketika kesempatan itu sedikit menampakkan diri, meski beberapa hari terakhir tekanan darahku sampai 90/70 mmHg, aku dan Tri langsung menyiapkan liburan tersebut. Segera tenda dipinjam, matras dibeli, dan beberapa orang diajak. Lalu berangkatlah kami hari Rabu tadi, jam 15.30, setelah sebelumnya aku menyelesaikan laporan dan konsul ke ruang Nifas RSUD Ulin, dan Tri menyelesaikan responsif ujiannya dengan pembimbing. Tujuan kami: Bukit Kaladan, (ada pula yang menyebutnya Bukit Lawangan), Riam Kanan.
Sekitar pukul lima, kami sudah tiba di desa Riam Kanan. Dari sana kami memarkir motor dan berjalan kaki. Perjalanan langsung disambut tanjakan curam. Lima menit rasanya seperti berlari 1 km. 

Aliran darah banyak mengalir ke kaki. 20 menit, wajahku pucat (ujar Tri), perut mual, pandangan kabur, napas sesak. Aku langsung terbaring di tanjakan curam tersebut. Beruntung ada Tri, yang walaupun sertifikat BTCLS-nya diperoleh setelah ujian dua kali, langsung mempraktikkan teori shock position: kaki ditinggikan.
Kubayangkan darah mulai lebih banyak mengalir ke otakku, sambil kucoba bernapas dalam.
Kondisiku memulih setelah Tri menghabiskan 2 batang rokoknya.
Perjalanan berlanjut tanpa hambatan sampai ke puncak. Menyisakan waktu yang cukup untuk kami mengambil banyak foto dengan berbagai fose dan mendirikan tenda.
Malam diisi dengan main uno, pagi foto-foto lagi, jam 8 turun dan pulang. Jam 2 siang buru-buru ke kampus untuk ikut pengarahan stage komunitas dan keluarga. Maka kesibukan yang padat pun berlanjut lagi...

Saturday, August 1, 2015

Penghuni Toilet


Penghuni toilet itu menghilang. Ia tak ada di toiletnya. Selama ini, selain ke kampus, ia selalu berada di toiletnya ini. Tapi hari ini, hingga larut malam kutunggu, ia masih belum pulang.
Namanya Yoyo. Pertemuan pertamaku dengan Yoyo adalah ketika pengumuman kelulusan masuk di sebuah perguruan tinggi swasta di Banjarmasin.
“Bagaimana, lulus?” tanyanya dengan gaya seperti kami sudah lama kenal.
Aku mengangguk dan balik bertanya, sekadar basa-basi untuk menghargai ajakannya bicara.
“Iya, lulus juga. Sudah dapat kost?” Kupikir itulah hal sebenarnya yang ia ingin tanyakan.
Kujawab bahwa belum, dan kujelaskan bahwa sementara ini aku ikut tinggal di rumah saudara.
“Bagaimana kalau tinggal di kontrakanku saja? Sewanya kita bagi dua.”
Aku tidak langsung menjawab. Tinggal serumah dengan orang yang belum dikenal tentu bukan sesuatu yang bijaksana. Seolah membaca pikiranku, Yoyo mengulurkan tangan.
“Namaku Yoyo. Kamu tidak perlu khawatir, kalau ada barangmu yang hilang selama tinggal denganku akan kuganti.”
Aku menyambut tangannya dan menyebutkan namaku. Kutanyakan di mana kontrakannya.
“Cukup jalan kaki dari sini.”
Pertemuan itu selesai. Aku tidak langsung menerima tawarannya, hanya mengatakan akan memikirkannya. Untuk sementara tempat tinggal bukanlah masalah buatku karena ada saudaraku di kota ini.

***