Thursday, June 30, 2016

Nasi Kuning Malam


"Aku mau pamer, sekarang aku lagi makan nasi kuning..." seorang teman mengirim pesan lewan BBM yang disertai foto. Sama sekali bukan hal penting. Tapi dia teman yang 'penting'.
Saat itu aku juga sedang makan nasi kuning, tapi tidak kukatakan. Karena itu juga bukan sesuatu yang penting. Alih-alih, kubalas pesan itu dengan "Sejauh pengalamanku, tidak ada nasi kuning seenak yang di pondok."
"Ada apa dengan nasi kuning di pondok?" tanyanya.
Lalu kuceritakanlah secara singkat padanya.
Dan ini adalah versi lengkapnya, yang sebenarnya juga bukan sesuatu yang penting untuk dibaca.
***
Sudah menjadi tradisi, acara perpisahan di pondok kami diadakan dengan meriah. Yang artinya, perlu dana besar. Untuk jas (lengkap dengan celana, kemeja, dasi dan kaus kaki), konsumsi, peralatan, dan tetek bengek lainnya. Demi memenuhi semua keperluan itu, maka jauh sebelum acara perpisahan yang hanya satu hari itu (bahkan hanya beberapa jam), selama satu tahun penuh, sejak kami berada di kelas tiga aliyah, kami sibuk mengumpulkan uang.
Apapun yang bisa, kami lakukan. Menjaga kantin di sore hari, menghadiri salat fardhu kifayah (kami menyebut ini "bisnis mayat"), jualan majalah (yang ini tidak mendatangkan margin sama sekali, yang ada justru bangkrut), kerja sama mendatangkan gerobak mie ayam (hal ini mendapat sambutan luar biasa, menciptakan barisan antrian sepanjang lapangan basket), dan, jualan nasi kuning.
Nasi kuning ini kami memesannya di luar pondok, kami ambil setelah magrib, dan menjualnya ba'da shalat isya, pada jam makan malam. Nasi Kuning Malam, demikian istilahnya (menu nasi kuning sebenarnya identik dengan sarapan). Makan malam di pondok jarang sekalinya menunya enak. Maka kehadiran sebungkus nasi kuning, dengan lauk sepotong daging ayam masak habang  , sungguh sesuatu yang sangat menggiurkan. Sebungkus harga 5.000. Harga yang mahal untuk kantong santri. Jadi, hanya kalangan santri 'elit' yang bisa menikmatinya. Awal bulan, 100 bungkus akan habis dengan cepat. Namun awal bulan hanya berlangsung singkat. Seringkali, hingga pukul 10 malam, masih ada puluhan bungkus yang belum laku. Nasi kuning yang tersisa ini tidak bisa dijual keesokan harinya karena pasti sudah basi. Alhasil, jika jam sudah menunjuk angka 10 dan nasi kuning masih tersisa banyak, pilihan terbaik adalah menjualnya dengan harga murah. Awalnya 4.000. Jika masih tetap tidak habis, turun lagi jadi 3.000, jika masih juga tersisa, turun lagi jadi 2.500.
Nah, pada saat-saat seperti itulah, giliran santri-santri 'non-elite' merasakan kebahagiaan serupa. Bahkan melebihi yang dirasakan santri-santri 'elite'.
"Mampus kau beli duluan, dengan 5.000 kami bisa beli 2 bungkus!" Emoticon yang tepat barangkali adalah lidah menjulur.
Namun bagaimanapun, nasi kuning malam tetap memberi kebahagiaan (meski juga acapkali diiringi penderitaan batin), dan tetap saja, bagaimana pun rasanya, tak akan ada yang mampu menandingi kenikmatan si nasi kuning malam.
NB: Di tahun berikutnya setelah angkatan kami lulus, biaya perpisahan ditanggung pondok, sehingga santri yang akan lulus tidak perlu lagi patungan dan mencari uang sepanjang tahun.
Entah, apakah sekarang masih ada nasi kuning malam di pondok.

Seperti Hujan


"Seperti hujan," katamu.
"Seperti hujan," kataku.

Rindu dan Dendam


Jangan ada dendam dan rindu
Antara aku dan bayanganmu
Dan bilang ingin hidup di dunia tanpa iklan dan kebohongan
Tanpa suara dan kata-kata
Hanya gerak bibir, melumat bibir
Juga jangan bilang apa-apa
Pada ibu kosmu, pada penjual gorengan, pada anak-anak kecil
Bahwa di rahim waktu
Ada anak puisi yang mau lahir
Membawa rindu dan dendam
Serta kata-kata yang tak perlu
Serta bayanganmu

Thursday, June 9, 2016

Di Kost


"Apakah aku bahagia?" Tanyamu pada pintu
Kostmu bau apak, bau laki-laki dan banyak debu
Bila malam panasnya minta ampun
Bila mati listrik panasnya tak ngasih ampun
Kadang kamu mendengar alunan gitar dari kamar tetangga, enak juga
Kadang kamu mendengar desahan wanita, iri juga
Dinding kostmu triplek, banyak coret-coret
Ada kaligrafi, ada puisi setengah jadi, ada pin BBM dengan nama Moli
Ada cicak dan kecoa, ada nyamuk di sarang laba-laba
"Apakah aku bahagia?" Tanyamu lagi pada pintu
Tapi pintu diam saja
Ia tidak peduli kamu bahagia atau tidak
Ia tidak peduli kamu menangis atau tertawa
Ia tidak peduli kamu sinting atau gila

Friday, June 3, 2016

Di Kafe


Ada daun kering yang jatuh ke meja di depan kita
Ada dua gelas soda es yang embunnya telah menjadi tetes
Ada langit dengan awan yang menghitam di atas kita
Ada orang-orang, orang lain
Ada kenangan-kenangan yang tumpah ke atas meja
Ada kata yang tak mampu menjelma suara
Ada musik sendu yang hanya mengalun di kepala kita
Ada getir yang mengendap di udara
Ada waktu yang tiba-tiba menjadi beku
Ada air mata yang tertahan dalam dada
"Aku ke sini bukan untukmu, tapi untuk kesedihan yang lain."
"Kita hanya dua orang di tempat duduk kita masing-masing."
"Dengan kesedihan kita masing-masing."
"Dengan kesedihan kita masing-masing."

Lagi

Aku sedang jatuh cinta padamu lagi
Seperti yang telah-telah
Seperti yang akan-akan

Aku Hanya Seorang Sial yang Seringkali Beruntung (Part 3)

Sehari setelah aku memberikan kabar gembira pada Arif soal tawaran menjadi kepala ruangan OK, giliran Arif yang membawakanku sebuah kabar.
Pagi itu ia datang ke Kedai Kebun saat aku dan Bang Harie tengah bermain remi. Aku dinas siang, sehingga paginya bisa jaga kedai.
"Bro, kamu lulus Uji Kompetensi?" Tanya Arif.
"Hah? Memangnya sudah diumumkan?"
"Sudah, bro. Aku lulus. Banyak yang tidak lulus ketimbang yang lulus."
Aku gugup. Jika tidak lulus, maka aku harus melewati proses panjang lagi: ikut try out lagi, mendaftar lagi, menunggu lagi, belajar lagi. Tapi aku mencoba tenang. Aku meneruskan permainan remi, yamg saat itu sudah jelas terlihat aku bakal kalah. Begitu permainan selesai, aku segera menyambar laptop dan mengetik URL ukners.dikti.go.id.