Saturday, September 27, 2014

Sunday, September 21, 2014

Saturday, September 20, 2014

Cerpen Malam Jumat


Pagi Jumat kali ini kupikir akan seperti pagi-pagi Jumat yang lalu. Aku mengambil kiriman-kiriman karya di kotak mading, memilih mana yang layak muat, lalu menempelnya di mading. Tidak ada yang berubah sebagaimana kegiatan-kegiatan lain di pesantren ini yang semua waktunya sudah diatur. Sama membosankannya seperti wajah para santri. Tapi ternyata aku keliru.
Pagi ini, aku dikejutkan dengan sebuah kiriman karya berupa cerpen yang ditulis dengan sangat menakjubkan. Ini sungguh menggangguku. Dan sialnya, penulis cerpen ini tidak mencantumkan namanya, bahkan sekadar nama samaran ataupun inisial.
Selama ini, semenjak aku pertama jadi santri hingga sekarang aku di tahun terakhir dan menjadi pengurus mading sekaligus ketua asrama, hanya aku seorang di pesantren ini yang belajar menulis cerpen. Setidaknya, akulah satu-satunya orang yang serius belajar menulis cerpen. Aku rela melanggar peraturan dengan keluar pondok demi berguru pada cerpenis-cerpenis handal di kota ini. Aku telah membaca ratusan bahkan mungkin ribuan cerpen. Aku tahu betul mana cerpen bagus, dan mana cerpen jelek. Aku melahap semua buku-buku sastra di perpustakaan pesantren. Aku tekun mempelajari panduan-panduan menulis cerpen baik dari buku maupun internet. Bahkan, aku telah berkali-kali menamatkan membaca KBBI demi memperbanyak penguasaan kosa kata. Semua itu demi cita-citaku yang agung: menjadi cerpenis hebat.
Tapi, meski telah melakukan semua itu, entah apa penyebabnya, aku tak pernah sekalipun berhasil menulis walau satu cerpen. Itulah yang membuatku sangat terganggu dengan cerpen ini. Aku tak akan segusar ini jika seandainya ini hanya cerpen jelek, seperti yang selalu kuterima. Sebab kalau hanya cerpen jelek, aku pun pasti bisa membuatnya. Dan siapakah penulis misterius ini?
Cerpen yang ditulisnya berjudul 'Jam yang Menuju Diam'. Bukankah itu sangat memukau? Tidak klise. Apalagi untuk para santri yang tak tahu apa-apa tentang cerpen. Cerpen ini menceritakan tentang jam dinding di kelas, tentang semua hal yang pernah terjadi pada jam dinding itu, benda yang menjadi pusat perhatian saat jam pelajaran terakhir. Diceritakannya bagaiman para ustadz sering terkecoh karena ulah santri yang sengaja mempercepat jam tersebut. Ya, cerita yang sederhana. Tapi bahasanya, teknik berceritanya, metafora-metafora yang digunakan si penulis, sungguh luar biasa!
Aku benar-benar iri. Bagaimana mungkin di pesantren ini ada yang bisa menulis dengan pencapaian estetik sehebat ini? Aku tak percaya ini memang karya santri. Bisa jadi ini hanya jiplakan, itulah kenapa si penulis enggan mencantumkan namanya. Takut jika nanti ketahuan. Untuk memastikan itu, aku browsing lewat hape yang kubawa diam-diam karena membawa barang elektronik tentunya dilarang di pesantren ini, terutama hape. Kucoba mengetik setiap kalimat yang tertulis dalam cerpen misterius ini di mesin pencari. Semuanya nihil.
Atau, bisa juga ia menjiplaknya dari sebuah buku. Tapi aku sudah membaca ribuan cerpen dari ratusan buku kumpulan cerpen, aku ingat semuanya, tak ada yang seperti ini. Kecuali kalau memang kebetulan aku belum membacanya.
Lalu kubaca lagi cerpen itu. Ceritanya memang sangat khas pesantren tempat kami belajar. Jam di kelas kami memang selalu diperlakukan seperti itu. Meski berat, harus kuakui cerpen ini memang karya orisinil, sebab selain santri di pesantren ini tak mungkin bisa menceritakan persis seperti itu. Berarti, siapapun dia, penulisnya adalah penulis yang hebat. Orang biasa yang hanya iseng menulis tak akan bisa memikirkan hal sesepele jam dinding menjadi cerita yang luar biasa, terlebih diceritakan dengan teknik yang menawan begini.
Semakin memikirkan cerpen tersebut, semakin aku penasaran siapa yang telah menulisnya. Setelah berpikir panjang, akhirnya aku menemukan cara agar mengetahuinya. Akan kubuat pengumuman di mading. Kepada si penulis cerpen tersebut agar mendatangiku ke asrama untuk mengambil hadiah berupa tiga buah buku kumpulan cerpen. Aku yakin cara ini akan berhasil. Saat bertemu nanti, sepertinya aku harus jujur mengakui kehebatannya. Berbagai cara akan kugunakan agar ia mau bercerita bagaimana bisa menulis cerpen sebagus itu. Diam-diam, aku akan belajar darinya, tentu saja.

***

Hari ini aku menunggu di asrama seharian. Hadiah yang kujanjikan sudah siap, namun belum juga ada yang datang mengambil. Barangkali besok, pikirku. Namun  tetap tidak ada yang datang dan mengakui kalau ia si penulis yang sedang kutunggu, bahkan hingga pagi Jumat berikutnya. Aku semakin penasaran!
Malam tadi setelah shalat Isya aku iseng memeriksa kotak mading, barangkali ia akan mengirim cerpen lagi untuk pekan ini. Tapi aku tak menemukannya, bahkan aku tidak menemukan satu pun karya berupa cerpen. Walau demikian, pagi Jumat ini aku mencoba mengecek kotak mading lagi. Dan kali ini jantungku berdebar hebat. Cerpenis misterius itu mengirimkan cerpennya lagi! Mungkin cerpen ini dikirim di atas jam 8 malam, bahkan mungkin tengah malam.
Cerpen baru ini ditulis dengan bahasa yang sangat puitis dan segar. Cerpen kali ini bahkan tak kalah baik dengan cerpen yang ia kirim sebelumnya. Ia ceritakan tentang santri putra yang menjalin kisah cinta dengan santri putri yang asrama mereka hanya dibatasi tembok tinggi berkawat. Mereka saling berkirim surat melalui buku tulis agar tidak mencurigakan. Di halaman buku tulis itulah surat itu mencatatkan perasaan, dan di halaman buku itu pula balasan diwakilkan. Buku itu lantas diantar oleh seorang kurir profesional yang punya tarif sendiri atas jasanya. Kurir itu seorang anak ustadz yang masih kecil sehingga bebas keluar masuk pesantren putra dan putri tanpa dicurigai satpam. Lalu diceritakannya pula bagaimana santri putra itu agar bisa mendengar suara kekasihnya. Kedua santri yang mabuk perasaan itu rela melanggar peraturan pondok pesantren. Mereka saling menyimpan hape dan sepakat digunakan pada jam-jam tertentu.
Aku sungguh kagum dengan cara penulis misterius itu bercerita. Seandainya ditulis oleh santri lain, pasti mereka akan menceritakan dengan cara yang biasa, mudah ditebak bahkan klise. Tapi penulis misterius itu seperti mengetahui bagaimana cerpen seharusnya ditulis. Bukan asal bercerita dan membuat pembacanya bosan.
Sudah empat kali aku membaca ulang cerpen misterius itu. Kali ini aku memerhatikan tema yang ditulisnya. Aku sungguh iri sekali. Apa yang ditulisnya juga pernah kulakukan. Aku bahkan juga pernah mencoba menuliskannya ke dalam cerpen. Sayangnya, hanya beberapa paragraf aku tak bisa lagi meneruskan cerpen itu, bingung memilih kalimat apa yang mesti kutuliskan. Namun ada satu hal yang membuatku semakin penasaran, mungkinkah ada santri lain yang memiliki cerita asmara sama persis denganku? Atau ia sengaja memperolokku setelah mengetahui kalau aku pernah berhubungan dengan salah seorang santriwati dengan cara yang kubilang sangat unik. Setahuku, hanya teman-teman terdekat yang tahu rahasia ini. Mungkinkah penulis misterius itu salah satu dari mereka? Tapi bisa juga mereka menceritakannya kepada santri lain, dan si penulis misterius itu mendengarnya. Akh..!

***

Kegelisahanku semakin menjadi-jadi. Jika semula aku hanya menduga kalau cerpenis misterius itu teman dekatku sendiri, sekarang aku bisa memastikannya. Setelah membaca cerpen ketiga yang dikirimnya pada malam Jumat berikutnya, bisa kupastikan ia adalah salah satu di antara mereka, teman-teman terdekatku. Buktinya cerpen ketiga kali ini persis menceritakan tentang diriku. Tokohnya seorang santri yang terpaksa nyantri agar tidak lagi dimarahi ibunya yang pemarah. Tapi ternyata meski sudah jauh dari ibunya, tokoh itu masih saja mendapat kemarahan ibunya ketika datang ke pesantren dan memergoki si tokoh tak ikut shalat berjamaah di mushalla. Aku ingin meremas kertas itu ketika selesai membacanya. Semua ini tentang diriku kemarin sore.
Ceritanya, aku tidur siang. Aku memang selalu mengantuk di siang hari, bagaimanapun aku harus tidur siang. Lalu adzan Ashar berkumandang. Aku terbangun sebentar, lalu melanjutkan tidurku. Kami para ketua asrama sedikit memiliki kebebasan untuk tidak shalat berjamaah. Peraturannya memang tidak boleh. Jika kami berani melanggar itu karena kami tahu tidak akan ada yang memberi hukuman. Selama ini kamilah yang menghukum para santri yang tak ikut shalat berjamaah.
Aku terbangun saat mendengar langkah kaki dan kegaduhan teman-teman dekatku sehabis dari mushalla. Bersamaan dengan datangnya mereka, ternyata ibuku juga datang. Aku tak tahu Ibu akan datang menjenguk. Ibu memang tak pernah bilang-bilang kalau mau datang. Melihat aku hanya tiduran di dipan, Ibu lantas marah besar di hadapan teman-temanku sendiri.
Siapa lagi yang tahu cerita itu kalau bukan penghuni asrama ini, teman-teman dekatku sendiri? Tapi masalahnya, tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa menulis cerpen!

***

Baiklah, tak peduli siapapun cerpenis misterius itu, harga diriku harus dikembalikan! Dengan semua yang telah kupelajari, harusnya akulah cerpenis terhebat di pesantren ini. Aku akan menulis cerpen malam ini. Aku telah lama sekali ingin menjadi cerpenis hebat, setidaknya, aku harus berhasil menulis satu cerpen yang bisa kubanggakan, yang bisa menyaingi karya si penulis misterius itu. Cerpen itu akan selesai malam ini, dan akan kupajang di mading besok pagi.
Kuambil kertas HVS dan pulpen. Kubuat secangkir kopi agar tidak mengantuk. Kudongakkan kepala agar bisa berpikir lebih cepat. Lalu aku seperti menceburkan diri dalam kepalaku sendiri, menyelam di kedalaman, mencari-cari ide untuk cerpen yang akan kutulis malam ini. Kemudian gelap.
Aku terbangun jam tiga dini hari. Kukucek mataku. Kemudian menguap. Di tanganku masih ada pulpen. Saat melihat kertas HVS di depanku, aku tersentak. Sebuah cerpen sudah tertulis rapi di sana. Aku bingung. Kuduga ini hanya mimpi, tapi ternyata tidak. Kubaca cerpen itu. Isinya cerita tentang seorang santri yang memiliki kepribadian ganda, yang selalu mengantuk pada siang hari karena kepribadian keduanya itu bangun setiap tengah malam, dan menulis cerpen setiap malam Jumat. []

Sultan Adam, Malam Jumat, 21-8-2014
(cerpen ini kupersembahkan untuk Bunda Ninin Susanti: Berhentilah mengurus mading! Menulislah, dan wujudkan mimpi itu!) 

(Radar Banjarmasin, 21-9-2014)

Friday, September 5, 2014

Drama

Satu pekan ini, hidupku seperti drama. Semacam jalinan antara kesialan dan keberuntungan. Itu dimulai soal skripsi.
Karena penguji 1 dan 2 sudah dosen luar, kupikir penguji 3 sidang skripsiku nantinya dosen dalam seperti kawan-kawan yang lain, bukan orang lahan (perawat yang bekerja di tempat kami penelitian). Itulah kenapa aku memberanikan diri melakukan hal terakhir setelah jalan buntu selalu menyambutku: manipulasi data. Ternyata aku keliru. Saat aku mendaftar sidang, ternyata penguji 3-ku orang lahan! Maka hari-hari sejak aku tahu penguji 3 adalah orang lahan sampai tanggal sidang yang telah disepakati adalah hari-hari penuh kekhawatiran.
Penguji 3-ku itu adalah kepala ruangan yang terkenal punya dedikasi tinggi. Beliau bahkan hapal semua pasien di ruangan beliau. Ditambah aku yang tak pernah menampakkan diri di ruangan itu (karena aku mencari data hanya di Instalasi Rekam Medik), maka kemungkinan terbesar data manipulasiku itu akan ketahuan beliau. Itu berarti, aku harus penelitian lagi dari awal. Itu berarti, aku tak akan bisa ikut wisuda gelombang pertama!
Sebenarnya itu salahku kenapa memilih judul skripsi dan metode pengumpulan data yang memang susah. Tapi aku punya alasan tersendiri kenapa judul itu tetap kupertahankan. Ada cerita, yang karenanya aku semangat mengerjakan skripsi ini. Akhirnya, memang benar, data yang kuharapkan tidak kudapatkan. Setelah mencoba semua usaha yang bisa dilakukan, jumlah sampel minimal 30 pasien tak tercapai. Sampel yang kudapat hanya 2. Sementara tanggal terus bergeser mendekati deadline. Kebiasaanku menulis fiksi pun akhirnya tertuang pada lembaran-lembaran skripsi. Ah, mana ada skripsi yang sepenuhnya jujur, hiburku dalam hati. Dan kini, semuanya harus dipertanggungjawabkan di hapadan penguji 3.

Rabu, 27 Agustus 2014
Aku sidang dua kali, karena penguji 2 hanya bisa pada hari Sabtu. Inilah hari sidang pertama, di mana penguji 3 akan membongkar semua hal-hal fiksi dalam skripsiku. Jam 3 siang, penguji 1 dan 3 telah datang, juga fasilitator. Sidang dimulai. Skripsi kupresentasikan dengan kegugupan yang tak biasanya. Lalu berlanjut pada sesi pertanyaan dan saran dari penguji, dimulai dari penguji 3. Pertanyaan bertubi-tubi pun kuhadapi. Sebagian kujawab dengan baik, sebagian tidak. Lalu saran-saran yang begitu banyak untuk direvisi. Mungkin ini bukan sidang yang mulus, tapi aku senang. Sangat senang. Karena tak ada pertanyaan soal data yang kudapatkan!

Jumat, 29 Agustus 2014
Revisi berdasarkan saran-saran dari penguji 1 dan 3 sudah kukerjakan. Pagi-pagi aku menyalin semuanya ke flashdisk dan membawanya ke tempat jasa print karena aku tak punya printer. Kemudian naskah skripsi yang telah kuperbaiki itu kubawa ke Banjarbaru untuk diserahkan pada penguji 2 yang akan menyidangku besok.
Jam 12 siang barulah aku tiba kembali di kontrakan. Dua temanku di kontrakan ini, Kamal dan Iqbal tidak ada di kontrakan. Mungkin sedang dinas di Rumah Sakit. Aku berbaring beberapa menit mengistirahatkan tubuh setelah perjalanan ke Banjarbaru. Setelahnya langsung mandi dan berangkat ke mesjid.
Pulang dari mesjid, aku singgah di salah satu kios membeli mie instan. Mie instan itu segera kumasak begitu tiba di kontrakan. Pintu kamar Iqbal yang sebelum berangkat ke mesjid tadi tertutup kulihat terbuka. Berarti tadi dia sempat balik ke kontrakan dan sekarang mungkin masih di mesjid. Mie instan matang. Aku membawanya ke kamar agar bisa makan sambil nonton One Piece yang beberapa hari sebelumnya ku-copy dari teman.
Sampai di dalam kamar, aku langsung terkejut. Laptop yang tadinya kutaruh di atas meja tidak ada. Aku mencari ke ruang tengah, tidak ada. Ke kamar Iqbal, mungkin ia meminjamnya, tapi tidak ada, bahkan Iqbalnya sendiri juga tidak ada. Aku panik. Aku mencari ponselku untuk menghubungi Iqbal atau Kamal. Ponsel itu sebelum ke mesjid tadi kutaruh sembarang di kasur. Dan ternyata ponsel itu juga raib! Itu ponsel yang baru saja dibelikan Ayah… Dua benda hilang sekaligus, tidak ada kemungkinan lain selain pencurian!
Aku teringat kamar Iqbal yang sebelum aku ke mesjid tadi pintunya tertutup dan kini terbuka. Kucek ke kamarnya. Sebuah netbook yang biasanya ada di mejanya juga hilang tanpa bekas. Kucek juga ke kamar Kamal, tapi kamarnya dikunci. Sebuah keberuntungan buatnya karena punya kebiasaan mengunci kamar, berbeda dengan aku dan Iqbal. Iqbal selalu membiarkan kamarnya tidak dikunci, sementara aku parah lagi, aku bahkan selalu membiarkan pintu kamarku terbuka.
Aku benar-benar panik kali ini. Aku harus memberitahukan masalah ini kepada dua temanku itu terlebih dahulu. Kucari ponselku yang satunya di dalam tas, beruntung ponsel itu tidak ikut lenyap. Pulsanya habis. Dan sialnya, saat itu uangku benar-benar sedang habis, bahkan minus. Aku tidak sempat berpikir ataupun mengecek bagaimana dan lewat apa maling itu masuk ke kontrakan kami. Yang kupikirkan hanya bagaimana memberitahu dua temanku itu terlebih dahulu. Lalu dengan motor yang bensinnya hanya tersisa sedikit, aku ke Handil Bakti ke rumah kakakku untuk meminjam uang. Dengan uang itu aku membeli pulsa. Sambil memacu motorku kembali ke kontrakan, aku mencari-cari nomor Kamal dan Iqbal. Lagi-lagi sial, nomor mereka berdua tidak ada di ponselku yang ini.
Sampai kontrakan, beruntung Kamal sudah ada di sana. Berarti hanya perlu memberitahu Iqbal, dan Kamal pastilah punya nomor Iqbal. Aku segera menceritakan kejadian barusan padanya. Ia tampak lega karena kamarnya dikunci, sehingga barangnya tidak ada yang dicuri. Sekarang tinggal menghubungi Iqbal. Tapi Iqbal tidak mengangkat ketika kami telepon, pastilah ia sedang sangat sibuk karena lagi dinas di Rumah Sakit. Pesan pendek kukirim kepadanya, menyuruhnya segera pulang karena ada suatu masalah di rumah.
Aku dan Kamal mengecek lewat mana maling itu masuk. Ternyata ia masuk lewat jendela kamar yang kami jadikan gudang. Jendela itu memang berada di sudut yang cukup terlindung. Di jendela itu juga ada bekas dicongkel dengan linggis. Satu jendela lagi juga tampak terbuka, kutebak itu jalan ia keluar (setahuku, ada aturan bagi maling bahwa jalan masuk dan keluar tidak boleh sama).
Iqbal masih tidak membalas pesan singkatku, hingga jam 4 sore. Ia segera pulang.
“Ada masalah apa, Kak?” tanyanya begitu tiba di depan pintu.
“Cek kamarmu, apa saja yang hilang,” jawabku.
Ternyata memang netbooknya yang hilang. Dan ia beruntung karena hanya itu yang hilang, uang yang ia taruh di lemari bahkan tidak dicuri si maling. Berarti akulah yang paling sial dalam insiden ini. Tapi aku beruntung, karena skripsiku sempat kusalin ke flashdisk tadi pagi. Aku juga beruntung karena tulisan-tulisanku sebagian sudah kuposting di blog, meskipun sisanya, juga data-data penting lainnya tak selamat.

Sabtu, 30 Agustus 2014
Ini sidang skripsiku yang kedua. Jam 11 aku maju sidang. Kali ini sidangku benar-benar lancar. Aku tampil dengan sangat percaya diri. Memangnya apa lagi yang bisa membuatku gugup? Penguji 2-ku ini tak akan tahu soal data yang kumanipulasi. Selain itu, karena aku sudah pernah sekali mempresentasikannya, maka semuanya telah kukuasai. Sidangku berlangsung dengan sangat singkat. Penguji 2-ku itu bahkan tampak sekali kebingungan mencari kekurangan skripsiku. Selesai sidang, aku memohon pada fasilitator agar mau memperlihatkan nilaiku. Nilaiku tinggi, di atas rata-rata.

Selasa, 2 September 2014
Aku baru menginap di rumah Bang Harie karena ada beberapa urusan di Banjarbaru, salah satunya meminta tanda tangan pada penguji 2-ku. Pulangnya aku mampir ke rumah Pak Aliansyah karena aku sudah janji kalau ke Banjarbaru akan mampir ke rumah beliau untuk memperbaiki setting Ms. Word beliau yang bermasalah. Tapi ternyata masalah itu sudah teratasi.
Saat kuceritakan soal insiden kemalingan di kontrakanku, beliau langsung mencari-cari sesuatu di lemari.
“Aku punya laptop, tapi rusak. Tidak mau nyala. Keyboardnya juga rusak. Buat kamu aja. Tinggal diperbaiki.”
Tentu saja pemberian itu kuterima dengan suka cita. Katanya, sudah dua tahun yang lalu laptop itu rusak, tidak bisa nyala. Beliau juga malas memperbaikinya karena kata beliau mengetik di laptop sangat tidak nyaman. Pointer sering terpindah sendirinya karena tangan tidak sengaja menyentuh touchpad.  Layaknya barang rusak, anak-anak beliau bahkan menjadikannya buat mainan.
Aku menduga, itu hanya masalah baterai. Dan saat kucoba, memang benar. Hanya baterainya yang rusak. Itu tidak masalah karena seperti yang kawan tahu, tanpa baterai pun asalkan sambil dicolok ke listrik tetap bisa nyala. Lalu kucoba keyboardnya. Tidak rusak! Semua tutsnya berfungsi dengan baik.
“Memang rejeki kamu, Zian…” komentar istri Pak Aliansyah.

Kamis, 4 September 2014
Melengkapi keberuntunganku, kakakku memberiku uang. Cukup banyak. Untuk beli hp baru, katanya.
Hari ini, naskah skripsiku selesai dijilid, demikian pula dengan manuskripnya, dan file PDF-nya telah kuburning dalam keping-keping CD. Semuanya telah siap dikumpul. Setelah itu, hanya yudisium dan wisuda yang kutunggu.
skripsi zian armie wahyufi
Selesai juga akhirnya... :)