Wednesday, September 6, 2017

0% (2)

Berapa persenkah cintamu padaku hari ini?
Kakak layak diperhitungkan, tapi mencintai, butuh waktu bukan? Anggaplah 30%, Kakak.

Berapa persenkah cintamu padaku hari ini?
Kakak tak perlu menungguku, aku belum punya cinta yang siap, sedangkan cinta Kakak telah begitu siap bukan? Anggaplah 40%, Kakak.

Berapa persenkah cintamu padaku hari ini?
Janganlah bertanya setiap hari, Kakak. Bukan hal mudah menjawabnya setiap hari bukan? Anggaplah 45%, Kakak.

Berapa persenkah cintamu padaku hari ini?
Perkenalan kita terlalu singkat. Aku belum lama mengenal Kakak, begitupun Kakak, tak mengenalku dengan baik. Cinta harus saling mengenal dulu bukan? Anggaplah 50%, Kakak.

Berapa persenkah cintamu padaku hari ini?
Telah kucoba membuka hatiku, Kakak. Namun seperti ada tempurung keras di sana, dan aku tak tahu cara memecahkannya. Tentu waktu yang lebih mengerti bukan? Anggaplah 60%, Kakak.

Berapa persenkah cintamu padaku hari ini?
Aku hanya bisa mengatakan maaf dan maaf, Kakak. Semua usahaku untuk mencoba tidak berhasil. Barangkali Tuhan punya rencana yang lebih baik untuk Kakak, juga diriku. Sementara takdir punya jalannya sendiri bukan? Maaf, anggaplah 0%, Kakak.

7.9.17, Pluit Dalam, Jakarta Utara

Thursday, August 24, 2017

Norwegian Wood dan Bagaimana Kenangan Bekerja

Sudah dua hari yang lalu menyelesaikan baca Norwegian Wood-nya Haruki Murakami, tapi sampai sekarang rasanya masih berada dalam suasana novel itu. Begitu menamatkannya, aku mencoba membaca novel lain, tapi tidak bisa. Aku seperti tidak bisa move on.
Norwegian Wood yang kupunya itu adalah cetakan pertama, dengan cover putih berlubang yang memperlihatkan warna merah di baliknya, sehingga terlihat seperti bendera Jepang, serta dengan ukuran buku masih kecil, namun tebal, dan dengan kertas hvs.
Aku membelinya di toko buku bekas yang tidak sengaja kutemukan ketika pada suatu malam jalan-jalan ke Pasar Grogol. Niatnya mau beli ketel listrik, tapi karena sudah malam, maka hampir semua toko barang elektronik di pasar itu tidak ada yang buka, kecuali satu, dan itu pun tidak menjual ketel listrik. Lalu, tersembunyi di balik toko buah, dari seberang jalan kulihat sesuatu yang berjajar di rak, tampak seperti buku-buku. Begitu aku mendekat, ternyata benar. Aneh sekali, ironis rasanya, di tengah pasar seperti ini, ada toko yang di dalamnya berjajar buku-buku hingga menutupi seluruh dinding, serta sebuah rak buku besar di tengahnya. Dari penampilannya, serta dari buku-buku yang sekilas kulihat di sana, aku menduga itu tempat penyewaan buku. Seorang ibu-ibu yang tampaknya berdarah chinese, menjaga toko itu.
"Ini buku-bukunya dijual atau disewakan?" tanyaku pada ibu itu.
"Dijual mas."
Aku pun masuk, dan mataku merambati semua deretan buku itu. Semua buku-buku itu sudah disampul, dan jelas sekali semuanya buku original. Banyak sekali buku --yang menurutku--bagus, sebagian aku juga sudah punya. Kepada si ibu pemilik toko aku mengkonfirmasi dugaanku bahwa tempat ini dulunya adalah rental buku. Si ibu membenarkan, juga menjelaskan bahwa usaha rental buku sekarang tidak mungkin lagi bisa laku.
Buku pertama yang kuambil dan kutanyakan harganya adalah Memoirs of a Geisha. Karena letaknya agak tinggi, si Ibu mengambilkannya dengan menaiki kursi plastik. Buku itu ia bawa ke atas meja. Mengelap debu-debunya dengan kain. Membaca sinopsis di belakangnya. Membaca sebagian isinya. Lalu menimbang-nimbangnya.
"Yah.. Tiga puluh lah...," kata ibu itu akhirnya setelah kutunggu dengan sabar.
Aku tersenyum senang. Dan segera memilih-milih buku lain lagi.
Setiap aku menanyakan harga suatu buku, si ibu selalu melakukan ritual yang sama: mengelap debu-debunya, membaca sinopsis di cover belakang, membaca sebagian isinya, lalu menimbang-nimbang harga yang pantas, diiringi dengan pujian atas kelebihan buku tersebut.
Buku-buku yang kupilih adalah Catatan Seorang Demonstran edisi pertama, Bumi Manusia terbitan Hasta Mitra, Norwegian Wood terbitan pertama, Namesake, Interpreter of Maladise, Bochan, dan komik One Piece. Sejak aku memilih Catatan Seorang Demonstran dan buku Pram, si ibu langsung sadar bahwa aku adalah seorang pecinta buku yang rela membayar mahal demi buku yang diinginkan. Maka harga-harga yang diberikan si ibu tidak lagi semurah yang kuharapkan seperti pada kasus Memoirs of a Geisha. Pada akhirnya, karena keterbatasan uang yang kubawa, hanya Norwegian Wood, Catatan Seorang Demonstran, dan Memoirs of Geisha yang kubawa pulang, dengan niat akan kembali lagi ke sana untuk membeli Bumi Manusia terbitan Hasta Mitra yang hanya dijual 50 ribu oleh ibu itu, serta buku lainnya. (Ketika beberapa minggu kemudian aku kembali ke toko itu, ternyata Bumi Manusia, yang edisi langka itu, yang hanya 50 ribu itu, sudah terjual) 😭

***

Norwegian Wood bercerita tentang tokoh aku bernama Watanabe, serta hubungan asmaranya dengan dua gadis yang sangat berbeda, Naoko dan Midori. Sosok Naoko adalah sosok yang, menurutku, puitis. Cinta dengan Naoko adalah cinta yang puitis. Sementara Midori adalah gadis yang spontan, blak-blakan, dan, menurutku, menyenangkan.
Murakami menulis dengan banyak memanfaatkan metafora, jernih, detail, indah, serta dalam. Dan sebagaimana khas Murakami, di novel ini banyak adegan erotis, yang ditulis dengan vulgar, namun tetap indah. 😁
Judul Norwegian Wood sendiri diambil dari judul salah satu lagu The Beatles yang mana merupakan lagu kesukaan Naoko. Naoko rela memberikan uang jika Reiko-san, temannya satu kamar, mau menyanyikan lagu itu.

***

Aku menghabiskan Norwegian Wood cukup lama, entah berapa minggu. Sebagian besar kubaca dalam busway (transjakarta). Membaca dalam busway menurutku sangat nyaman (kecuali kalau berdiri menggantung karena kehabisa kursi). AC-nya yang dingin (jauh berbeda dengan kostku yang pengap), suasananya yang biasanya selalu tenang (karena penumpang busway cenderung orang yang tidak saling kenal, dan mereka biasanya hanya bercengkrama dengan hp masing-masing), bunyi mesin bis yang bagiku cukup menenangkan, seringkali juga terdengar radio yang melantunkan lagu-lagu yang enak, juga goyangan-goyangan dalam bis yang melenakan (seolah-olah kita duduk di ayunan).
Sebagian juga kubaca di toilet saat sedang BAB, yang kulama-lamakan agar bacanya tidak nanggung. (Aku sudah pernah bercerita bahwa aku punya kebiasaan BAB sambil baca buku, dan kebiasaan itu masih berlanjut hingga sekarang).
Sebagian lagi kubaca di emperan masjid samping rumah sakit tempatku bekerja sambil menunggu adzan zuhur (kalau aku dinas siang, jadi usai shalat zuhur langsung ke rumah sakit), atau adzan ashar (kalau dinas pagi, jadi pulang kerja, yang biasanya hampir pukul 3 sore, langsung ke masjid untuk shalat zuhur, lalu duduk menunggu adzan ashar).
Namun, di manapun itu, setiap aku membaca novel ini, entah mengapa selalu saja aku teringat kamu.
Aneh juga, padahal tidak ada satupun yang menghubungkan kita dengan novel ini. Kita tidak punya suatu momen yang berhubungan dengan novel ini. Bahkan kamu pastilah belum membaca novel ini, mungkin tahu pun tidak. Cerita dalam novel ini juga tidak ada yang mirip dengan cerita kita (kalaupun kita memang punya cerita). Tokoh-tokoh wanita di dalamnya juga tidak ada yang mirip dengan karaktermu. Jadi entahlah. Barangkali memang begitu kerja kenangan. Datang begitu saja, melalui sesuatu yang bahkan tidak ada sangkut pautnya.
Mungkin hal ini pula, bahwa 'setiap kali aku membacanya aku selalu teringat kamu' ini, yang membuatku belum bisa membaca novel lain. Walau telah berusaha sekuat tenaga melupakanmu, nyatanya, pada bagian terdalam diriku, aku ingin selalu mengingatmu.

Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, 24 Agustus 2017

Saturday, August 5, 2017

0%

Aku memilih pergi
Mendikte waktuku sendiri
Menyusun jalanku sendiri
Melupakan barangkali adalah kota
Rute berikutnya dalam petaku
Meski kompasku selalu terbelok oleh matamu
Sepasang padang rumput
Tempat angin menyelusup

Tapi aku memilih pergi
Menggambar warna langitku sendiri
Membaui peluhku sendiri
Dalam ingatan mungkin ada tempat sembunyi
Ruang semua bayang
Yang menyimpan aroma parfummu
Juga lentik jarimu

Dan aku memilih pergi
Dengan nelangsa
Karena aku tahu di sana memang tidak ada diriku

Thursday, June 15, 2017

Bersunyi pada Ingatan



Kadang, kamu teringat pada debar itu
Namun dingin yang menyublim
seperti membaca setiap cemasmu
tentang ingin yang enggan
"Pergi hanyalah satu kata," katamu
"Ruang segala napas menuju pulang," kataku

Sesunyi itulah aku ingin mengenalmu,
lalu rahasia-rahasia kecilmu
Bahwa kau benci cuaca, cuaca apapun
dan kau akan sesak setiap menyentuh benda-benda berwarna pastel
dan berharap ada peluk setelah sepi yang setengahnya telah kau tanam 
dalam pot bunga di beranda rumahmu

Seperti itulah mata kita yang senang berciuman,
memahat waktu, melukis tanggal,
menggerimiskan sedih yang gelap, raung yang panjang
Sebab nasib akan berjalan di punggungmu,
dan berhenti sejenak di leherku

Atau celakalah kita, yang merindu sajak
Kemudian menatap langit, meratap jarak
Menunggu menit menjadi kelak


(Puntik Dalam, 15.6.2017)

Wednesday, April 12, 2017

Bertemu pada Ingatan


Aku mengingatmu
Kamu mengingatku
Bukankah itu artinya kita sudah saling bertemu?

Tuesday, April 11, 2017

Jakarta, Kamu, dan Mimpi-mimpi yang Tertambat di Waktu Pagi

Aku bukan pendoa yang baik. Bahkan, aku jarang sekali melakukan doa. Yang ada seringkali hanyalah percikan harapan-harapan kecil, yang lebih lirih dari gumam, tersembunyi di sudut dada yang entah. Namun, rupanya Tuhan mendengar semuanya itu. Dan beberapa, Ia kabulkan.
Begitulah, saat lamaran sebagai perawat ICU di RS Atma Jaya (Jakarta Utara) kukirim, aku nyaris tak pernah berdoa atas nasib berkas-berkas itu. Aku tetap bekerja, dan tetap sesekali mencoba mengirim lamaran kerja ke tempat lain yang kemungkinan gajinya lebih tinggi. Ya, aku perlu uang. Aku perlu lebih mandiri. Aku perlu, untuk tidak lagi meminta uang pada orangtua. Aku perlu biaya untuk hidupku, untuk menikah, untuk membangun rumah tangga yang baik dengan seseorang (yang sampai sekarang masih disembunyikan Tuhan).

Sunday, April 2, 2017

Yang Kumaksud dengan 'Kacau'



Penyakit suntuk itu kambuh lagi. Mengurung diri di kamar seharian. Mencoba keluar, menaiki motor memutari kota tanpa tujuan apa pun, hingga lelah, dan kembali membusuk dalam kamar. Pergi ke tempat kerja, malas menyapa orang-orang, dan langsung pulang ketika jam kerja berakhir. Mencoba bermain catur online, tapi selalu kalah karena tak bisa konsentrasi. Memandangi HP dengan perasaan bingung. Tidak bisa membuat kalimat tepat dan justru menyakiti orang yang mendengar. Malas membalas chat. Malas mandi. Malas makan. Ogah membaca buku. Memukul-mukul bantal dan memaki diri sendiri.
Udara terasa pekat. Siang terasa sunyi, keributan seperti hanya ada di kepala sendiri.
Kembali lupa letak barang-barang. Kembali ketinggalan charger, bahkan HP. Menghapus akun-akun sosial media. Berbaring di teras memandangi langit. Membiarkan pakaian kotor menumpuk. Musik-musik terasa hambar. Film-film terasa menjengkelkan.
Aku menjadi sinis. Aku mulai membenci orang-orang di dekatku, bahkan mereka yang ingin menyembuhkanku.
Aku ingin pergi jauh, tapi aku bahkan enggan beranjak walau satu langkah. Aku ingin melupakan. Namun, aku bahkan tak tahu apa yang mesti kulupakan. Aku ingin waktu menyembuhkanku, tetapi waktu justru semakin kejam padaku.
Aku ingin napas yang lebih dalam. Hujan yang rinai. Malam yang lebih gigil. Aku ingin tidur yang nyenyak. Aku ingin menjadi bocah kecil lagi. Berenang di sungai berjam-jam sepulang sekolah. Mengejar layangan putus. Membuat rumah-rumahan di hutan. Aku ingin dunia menjadi ajaib lagi. Aku tidak ingin hal-hal yang pasti. Aku ingin menjadi orang lain, mungkin dirimu. Duduk di kursi nyamanmu dan menikmati matahari tenggelam.
Aku mencintai sepiku. Namun aku benci diriku. Aku ingin meminjam tawamu. Aku ingin menghiburmu, agar aku merasa sedang baik-baik saja. Aku menginginkan banyak hal, sekaligus tak tahu apa yang sebenarnya kuinginkan.
Aku marah. Aku kecewa. Namun tak tahu marah pada siapa, kecewa atas apa.
Aku menatap cermin, dan tidak tahu wajah siapa di sana. Dan aku begitu benci dengan wajah itu.
Ya, ini memang aku. Ya, ini hidupku. Ya, ini karmaku. Ya, kamu tidak perlu peduli dengan semua itu. Aku akan menjawab pertanyaanmu dengan ya, ya, dan ya. Tapi berhentilah bertanya. Berhentilah memintaku sembuh, karena aku tidak ingin sembuh.
Bencilah aku. Jahatlah padaku. Aku perlu itu.

Saturday, April 1, 2017

Danau Sari Ambun, Bati-Bati, Tanah Laut, Kalimantan Selatan

Yang kuingat dari sore itu adalah bahwa saat itu sedang ada gladi untuk acara Grand Opening rumah sakit tempatku bekerja. Aku malas datang dan hanya tidur-tidur di kost seandainya tidak ada undangan acara "baarwahan" dari temanku Udin. Aku mandi, shalat ashar, dan mengarahkan motorku ke rumah mertua Udin. Usai baarwahan, aku mampir di rumah sakit. Acara gladi masih berlangsung, namun tidak jelas acaranya apa. Dengan Arif Gondang (selanjutnya disebut Gondang) yang saat itu jaga, aku nongkrong di IGD.
Saat itulah, pesan dari Rizky Abah (selanjutnya disebut Abah), mengatakan bahwa ia akan ke rs kami, mungkin mau lihat-lihat. Dan tak lama, ia datang.
Di antara obrolan kami yang panjang itulah, Gondang nyeletuk.
"Eh, kapan kita ke danau yang di Bati-bati itu?" (Sebelumnya aku pernah memberitahukan Gondang soal danau keren di Bati-bati, danau yang terbentuk secara alami, bukan hasil tambang batu bara atau tambang intan).
"Besok, gimana?" Abah langsung menyahut.
"Ayo," jawabku.
Maka sepakatlah kami, bahwa pada hari besok, Minggu, jam 3 sore (Gondang dan Abah dinas pagi, aku libur), kami akan berangkat ke Danau Sari Ambun.

***

Wednesday, March 8, 2017

Jatuh dan Patah


Setiap kita punya cara sendiri
untuk jatuh hati, juga patah hati

Dua Tamu Agung


Sudah lebih satu jam kami menunggu di masjid pesantren. Duduk berdesakan, berebut udara. Keringat membanjiri wajah. Kipas angin di atas kepalaku, yang entah sudah berapa tahun usianya, barangkali setua masjid ini, berputar terseok-seok, menderit, mencoba memberi sedikit kesegaran. Tapi udara yang panas membuat putaran kipas angin itu seperti sia-sia.
Gemuruh suara santri yang saling mengobrol terdengar dari segala penjuru. Staff keamanan berkali-kali memberikan teguran lewat pengeras suara supaya kami tidak ribut. Namun santri mana yang masih bisa tenang kalau satu jam lebih menunggu dalam suasana gerah begini?

Ke Loksado, Lagi #2: Air Terjun Haratai


Hari kedua, Hari Jumat. Habis shalat Jumat barulah kami memutuskan untuk jalan-jalan lagi, yaitu ke Air Terjun Haratai.
Aku belum pernah kesana sebelumnya, padahal air terjun ini terkenal sudah sangat lama karena ketinggiannya yang mencapai kurang lebih 13 meter, ditambah dengan debit airnya yang selalu banyak.
Dari jalan utama, kami menyeberangi jembatan gantung, jalan kemudian berubah jadi jalan setapak yang sudah dicor semen, yang sudah rusak parah. Beruntung saat itu hari cerah, sehingga jalan tidak licin. Sepanjang jalan kami diiringi oleh suara gemerisik air sungai Amandit yang mengalir deras di antara bebatuan dan sejuknya hutan Loksado. Beberapa kali kami juga harus melewati jembatan gantung. Ada pula perkampungan kecil warga suku Dayak yang mengisi waktu senggang dengan mengupas kayu manis. Sekitar satu jam, Air Terjun Haratai tampil menyambut kami.

Saturday, March 4, 2017

Ke Loksado, Lagi #1: Bukit Palawan dan Benteng Madang


Aku habis dinas malam, yang artinya ada dua hari libur. Yang artinya, ini jadwal untuk pulkam, bertemu orangtua. Dari rumah sakit, aku pulang ke kost. Istirahat sejenak. Mandi. Berpakaian. Memasang tas. Menutup pintu kamar. Menggembok pintu kamar. Menyalakan motor. Motor berjalan pelan. Dari kostku di Jalan Bogor, aku sampai ke Jalan Nusantara, belok kanan, sampai ke jalan R.O Ulin, belok kiri, sampai ke Jalan A. Yani, aku dicegat lampu merah. Sekian belas detik, lampu berubah hijau. Motor kembali berjalan pelan. Aku belok kanan. Sial. Rumah orangtuaku di Marabahan (sebenarnya bukan Marabahan, tapi di Mandastana, kota Marabahan masih satu jam lagi dari Mandastana, tapi sedikit yang tahu Mandastana, maka kusebut saja Marabahan). Jadi aku seharusnya belok kiri.
Tapi aku malas memutar. Aku terus saja. Dan, plang! Dua jam kemudian, aku sudah tiba di Loksado (sebenarnya masih belum di Loksado, melainkan di Padang Batung, kecamatan yang akan kamu lewati jika kamu ke kecamatan Loksado).

Aku tiba di rumah kakak sepupuku di Desa Durian Rabung. Ah, tidak, belum sampai rumahnya. Aku tiba di warungnya. Kakak sepupuku dan suaminya, dan anaknya, tersenyum menyambutku. Aku langsung ditawarkan kopi, disuguhkan kue pais hangat dan pisang goreng panas.
"Ansari masih di sekolah, paling sebentar lagi pulang," kata kakak sepupu. Ansari adalah anak tertua sepupuku. Tiga tahun lebih muda dariku. Dengannya, aku biasa menjelajahi Loksado dan Padang Batung. "Sekarang dia di Tsanawiyah, tidak lagi kerja di SD, lumayan lebih banyak upahnya," tambah suami kakak sepupuku.
Begitulah, usai makan siang, aku dan Ansari menerobos jalan yang basah usai hujan, menuju Bukit Palawan, sekitar lima kilometer dari rumahnya.
Bukit Palawan ini, kata Ansari, mulai booming sejak satu bulan terakhir, lantaran panggung yang dibikin di pohon dan pemandangannya yang bagus. Panggung itu dibuat oleh remaja sekitar, dan dikelola oleh warga. Ada biaya masuk (5K), dan biaya parkir (2K). Kalau mau foto-foto di atas panggung itu, biasanya harus antri yang lama, apalagi kalau hari Minggu. Dalam hati aku bersyukur, ini bukan hari Minggu, dan bersyukur karena habis hujan jadi kemungkinan pengunjung tidak banyak.
Hanya sekian menit, kami sudah tiba di kaki Bukit Palawan yang berlokasi di Desa Mawangi, Kecamatan Padang Batung. Tepatnya di halaman sebuah SD, di sana pula kami memarkir motor. Perjalanan dilanjutkan dengan pendakian. Jalur pendakian sudah dibuat senyaman mungkin oleh pengelola, tanahnya sudah dibuat bertangga-tangga dengan disangga kayu dan batu. Di kiri dan kanan jalan menaik itu juga dibuatkan pegangan tangan. Tapi karena hari itu usai hujan, jalur pendakian itu cukup becek. Selama naik, kami berpapasan dengan pengunjung-pengunjung lain yang turun. Sekitar lima belas menit, kami sudah sampai di puncak bukit, dengan napas tersengal-sengal. Ah, tidak, Ansari tidak, hanya aku yang tersengal lantaran tidak pernah olahraga.
Di puncak bukit, ternyata ada warung, banyak bahkan, kendati saat itu hanya ada satu yang buka. Yang lain mungkin khusus hari Minggu atau hari lain yang kemungkinan banyak orang.
Saat kami tiba di puncak, rombongan pengunjung terakhir sudah bersiap akan turun, maka otomatis hanya tinggal kami berdua. Benar-benar nasib baik. Aku bisa foto-foto sepuasnya tanpa harus menunggu, dan tanpa ditunggu.


***

Aku sudah puas foto-foto,  saat itu pukul tiga sore. Kami duduk minum di warung yang buka tadi.
"Ri, kamu tahu Benteng Madang?" tanyaku.
"Tentu saja. Dekat dari sini, masih Kecamatan Padang Batung, kalau mau ke sana sekarang masih sempat."
"Boleh, tapi hapeku baterainya habis."
"Sama, hapeku juga. Ya sudah, berarti kita balik dulu ke rumah ngambil power bank, baru ke sana."
Kami pun turun. Sesuai rencana, balik ke rumah mengambil power bank, dan meluncur ke Benteng Madang.
Benteng itu berada di puncak bukit. Dari bawah, jalan tangga dengan jumlah ratusan bahkan mungkin ribuan anak tangga harus dinaiki untuk mencapainya.

Benteng ini merupakan peninggalan saat Perang Banjar pecah. Dibuat sebagai basis pertahanan pasukan Banjar menghadapi penjajahan Belanda.
Aku foto-foto di sana. Ansari tidak. Ia sudah terlalu sering ke sini.


Dari atas Benteng Madang ini (yang bisa dipanjat dengan suatu keahlian khusus), pemandangan Pegunungan Meratus dan persawahan warga tampak membentang, hijau, dan menawan. Kabut yang tercipta akibat air hujan yang menguap tampak di mana-mana. Indah sekali.

Kami turun, balik ke rumah, mandi, dan menghabiskan malam dengan istirahat (dan upload foto buat pamer).

Monday, February 20, 2017

Ke Gudang Peninggalan Belanda, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan



Katanya, tempat ini disebut Gudang Peninggalan Belanda, entah benar atau tidak. Berada di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Tidak jauh dari Stadion Demang Lehman, Martapura.

Sebenarnya sudah lama ingin ke Gudang Peninggalan Belanda ini. Tapi karena tidak ada teman yang bisa diajak, baru kemarin bisa ke sana, dengan Farid. Alasan malas ke sini sendirian yaitu tidak ada yang jadi juru foto. :)

Rute menuju Gudang Peninggalan Belanda ini kudapat dari sebuah blog, dan cukup mudah untuk ditemukan. Tidak ada tersesat untuk mencapainya. Bagian tersesat justru ada saat ingin pulang, karena melihat jalan lain yang kami kira lebih baik. Tapi setelah kami coba, ternyata kami tidak berakhir di mana-mana kecuali tempat yang semakin sunyi, di tengah padang rumput.
























Sunday, February 19, 2017

Kematian Cerpen


Penulis itu tersenyum sendiri karena mendapat ide bagus lagi. Dibukanya program pengolah kata dan mulai mengetik kata demi kata. Jari-jarinya begitu lincah seperti penari balet. Isi otaknya seperti mengalir deras, melewati bahunya, tangannya, lalu ke ujung-ujung jarinya, berpindah ke keyboard, kemudian muncul di layar monitor. Kali ini ia yakin cerpennya akan selesai, tidak akan seperti yang sudah-sudah. Ia tegang begitu cerpennya mencapai baris terakhir halaman pertama.
Lewat… lewat… lewat….

Sunday, February 12, 2017

Foto di Puncak


Aku tidak benar-benar sedang tidur ketika Tri menepuk bahuku dua kali.
“Waktunya summit attack, bro!”
Meski sudah mengenakan baju tebal, udara dingin pegunungan masih seperti leluasa memelukku. Aku bangun perlahan sambil mengucek mata. Kulihat arloji, tepat pukul satu dini hari. Aku bangkit, keluar dari tenda dan mencari air minum.
“Dimajukan ya, bro?” Aku mencuci muka. Jika menurut jadwal, harusnya summit attack satu jam lagi.
“Iya, soalnya banyak pemula yang ikut,” jawab Tri sambil memasang head lamp.
Kemudian terdengar seseorang berteriak, mengajak berkumpul.
Aku cepat memilih barang-barang yang harus dibawa dan memasukkan dalam ransel kecil: air minum, kamera, P3K, makanan ringan. Wajah kututup masker. Kupasang kaca mata dan head lamp. Lalu berkumpul dengan kerumunan.
Seseorang memimpin doa bersama.
“Tos.. tos..!”
Kami pun mengumpulkan tangan dan bersama-sama meneriakkan “Puncak Rinjani!”

Wednesday, February 1, 2017

Danau Hatiwin dan Bukit Talikur, Tapin, Kalimantan Selatan: Tentang Teman dan Perjalanan

Dua Januari. Masih hari libur. Berbaring di kost seharian tentu akan membosankan. Maka pagi itu aku browsing, mencari destinasi yang memungkinkan untuk dijangkau dan yang kira-kira tidak akan terlalu banyak orang. Dari sebuah blog, aku menemukan Danau Hatiwin, di kabupaten Tapin. Lokasinya tidak jauh dari rumah Kamal. Maka Kamal pun kuhubungi, dan kebetulan, hari itu ia lepas dinas usai dinas malam.
Aku segera bersiap, dan meluncur dengan Scoopy merahku, seorang diri (maklum, jomblo). Mampir di Binuang untuk sarapan yang sangat terlambat sekalian menyapa teman lama, Ansyar. Yeah, sudah lama sekali tidak ketemu si gendut itu, saat ia resepsi aku juga tidak bisa menghadiri.
Sesuai dugaan, ia cukup sibuk saat aku tiba di toko bahan bangunannya.
"Masih menulis?" tanyaku. Jawabannya aku sudah tahu. Dengan kesibukannya sebagai bos di toko bahan bangunan keluarganya, serta lingkungan yang tidak mendukung, menulis barangkali adalah hal paling terakhir dalam prioritas kegiatannya.
Perjalanan berlanjut. Sampai di Makam Datu Sanggul. Di sana aku menunggu Kamal. Tidak lama ia datang. Kami langsung menuju Danau Hatiwin. Jalan aspal mulus. Hanya beberapa menit, kami sudah sampai. Tidak dipungut biaya seperserpun untuk masuk juga untuk parkir, alias gretong, kecuali kalau kamu nusuk pentol.

Sunday, January 8, 2017

Yang Seperti Waktu


Hidup itu sampah. Bau amis yang kau cium saat berjalan di pasar ikan. Kotoran anjing yang ia tinggalkan di bawah tiang listrik. Sebagaimana kematian, siapa yang peduli soal kehidupan?
Aku pernah membaca sebuah puisi. Saat itu aku baru bangun, dan tidak tahu harus melakukan apa. Wanita yang malam tadi mengajakku tidur di apartemennya ini masih meringkuk di atas kasur dengan napas teratur dan mata yang masih terpejam. Selimut putih dengan bahan lembut menutupi sebagian tubuhnya.
Mataku merayapi kamar ini. Malam tadi, karena sedikit mabuk, aku tak sempat memerinci apa-apa yang ada di kamar ini, bahkan aku baru sadar kalau cat temboknya berwarna biru muda. Mataku berhenti pada deretan buku yang berjajar rapi pada rak bertingkat tiga. Aku bangkit dan mendekat untuk membaca judul yang tertera di punggung buku-buku itu. Semuanya hampir sama saja, abstrak. Maka kupilih dengan sembarang. Dan rupanya itu buku puisi. Aku sudah lupa siapa penulisnya, juga judul buku itu. Namun aku ingat dua baris puisi yang kubaca:
Kepada rahasia, hidup menceritakan dirinya
Serta waktu-waktu yang tak pernah jadi miliknya

***