Wednesday, March 4, 2015

Ingress, Game yang Mengubah Hidup Saya

game Ingress

Sungguh, saya bukan orang yang suka game. Sebisa mungkin dalam hidup saya tidak melakukan hal-hal yang membuang waktu seperti ngegame. Ketika umur SD teman-teman saya berjam-jam di rental PS, saya justru membaca buku di rumah. Ketika orang-orang asik dengan Get Rich dan Clash of Clans di gadget android mereka, saya justru browsing membaca karya-karya sastra. Hidup saya benar-benar serius.
Saya langsung mengabaikan ketika Aya, teman saya saat di pesantren dulu menceritakan tentang game seru yang dimainkan Qori, teman saya yang lain saat di pesantren.
Aya menjelaskan bahwa game tersebut menggunakan dunia nyata dan si pemain harus mendatangi tempat-tempat tertentu untuk mengambil alih tempat tersebut. Kedengaran sangat menarik, dan sulit dipercaya. Ya, saya tidak percaya ada game semacam itu, tidak hingga kemudian Qori langsung yang menceritakannya. Namun bahkan saat Qori sendiri yang menjelaskan tentang game itu saya tetap mengabaikannya.
Dan hidup saya terus berlanjut, dengan serius.
Lalu pada suatu pagi Ahad, satu bulan yang lalu, saya merasa benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bukan, saya bukannya tidak punya pekerjaan yang harus dilakukan. Tugas laporan praktik di rumah sakit menunggu untuk ditulis, pakaian kotor menumpuk di sudut kamar, motor mio kesayangan sudah tak jelas warnanya karena cipratan becek, dan ada buku-buku bagus yang ingin sekali saya baca.
Saya hanya stress, perlu sesuatu yang baru yang mungkin menarik guna melepas stress, lalu saya kirimlah sebuah pesan melalui jejaring BBM pada Qori, sesuatu yang beberapa minggu kemudian akan sangat saya sesali karena akhirnya saya justru semakin stress.
"Apa nama game yang kamu tawarkan dulu?"
"Ingress," jawab Qori. "Pilih kubu biru, biar kita battle," tambahnya.
***