Tuesday, December 27, 2016

Karu

Kepercayaan, konon tidak datang begitu saja. Namun bisa jadi kepercayaan memang begitu saja turun dari langit. Kepercayaan, pada banyak hal, acapkali juga menjadi penderitaan bagi yang menerimanya. Jauh lebih mudah menghadapi orang yang tidak percaya terhadap kita dibanding yang percaya.
Saya pernah memimpin sebuah organisasi kecil-kecilan, beberapa tahun setelahnya, saat kepemimpinan saya berakhir, organisasi tersebut tetap saja kecil-kecilan. Saya pernah satu kali (hanya satu kali) menjadi imam shalat di mushalla pesantren, usai salam, setengah mushalla melepaskan tawa mereka yang tertahan. Selama sekitar dua tahun, saya menjadi ketua asrama, selama itu pula saya memberikan contoh bagaimana santri yang buruk kepada junior-junior saya di asrama. Pernah pula saya menjadi ketua kelompok di stase gerontik, selama dua minggu dinas di stase itu setiap hari saya mendapat kritik dari anak buah.
Yang ingin saya katakan adalah, memimpin bukan bakat saya. Kalaupun saya punya bakat, tentu itu bukanlah sebagai pemimpin.
Tapi, kepercayaan tampaknya memang bisa turun begitu saja, dari langit yang entah mana. Walau demikian, menjaga kepercayaan yang diberikan ini tetap menjadi harapan saya. Semoga ruang ICU yang saya kepalai mampu menjadi divisi terbaik di rumah sakit ini. Semoga.

Thursday, December 1, 2016

Puisi


Besok pagi ujian
Maka malam ini aku membaca puisi
Karena puisi bisa membuatku mengingat hal-hal yang biasanya terlupakan

Tuesday, November 15, 2016

Thursday, November 10, 2016

Para Pelacurku


Aku punya beberapa orang pelacur
Mungkin delapan, atau sembilan
Kutemui mereka setiap tengah malam
Kadang di pojok taman, kadang di balik tembok
Atau kadang di motel murahan, kalau aku habis gajian
Kutemui mereka di malam yang dingin agar berbagi kehangatan
Aku menyayangi mereka
Meski parfum mereka kadang membuat kepalaku pusing
Walau lenguhan mereka juga dibuat-buat hanya agar aku senang
Mereka juga, menurutku, menyayangiku
Mereka biasa memberiku separuh harga
Kepada mereka, selalu kuceritakan kisahku
Bagaimana hari itu bos memarahiku
Bagaimana hari itu istriku mengeluh tentang atap yang bocor
Bagaimana anakku yang paling kecil merengek minta dibelikan mainan baru
Begitulah hidup, kata mereka biasanya
Ya, begitulah hidup, jawabku
Lalu kami bercinta, menghabiskan sisa malam itu

Tuesday, November 8, 2016

Hari Ini


Hari ini 9 November 2016.
Setahun yang lalu 9 November 2015.
Dua tahun yang lalu 9 November 2014.
Ternyata waktu tidak berlalu, tapi melesat. Cepat.

Tuesday, October 18, 2016

Manfaatkan Libur Singkat ke Air Terjun Mandin Tangkaramin dan Air Terjun Riam Hanai, Loksado, Kalimantan Selatan

Mendapati jadwal dinas Lepas-Libur-Malam rasanya seperti menemukan intan di tengah hamparan pasir. Seolah libur tiga hari. Memanfaatkan itu, aku ke rumah keluarga di Rantau dan Padang Batung, kecamatan yang bersebelahan dengan Loksado.
Jumat pagi, aku tiba di rumah sepupuku di Padang Batung tanpa memberi tahu sebelumnya. Beruntung Ansari, keponakanku, ada di rumah.
Aku mengajaknya (baca: minta antarkan) ke Air Terjun Mandin Tangkaramin. Ia mengusulkan agar berangkat setelah jumatan saja.
Maka bakda shalat Jumat, kami pun berangkat.

Thursday, October 6, 2016

Tanda Tanya


Kita bahagia
setelah menghapus tanda tanya
Kita menulis tanda tanya
setelah bahagia

Kopi


Cukuplah kamu membuatku begadang
Juga mengenang hal-hal yang tak seharusnya hilang

Saturday, September 24, 2016

Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Karang Intan, Banjar, Kalimantan Selatan

Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar
Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar

Desa Mandi Kapau berada di Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Desa ini merupakan desa percontohan di Kabupaten Banjar dan telah berkali-kali menerima penghargaan sebagai desa terbersih. Memang, saat saya ke desa ini sekitar satu bulan yang lalu, nyaris tidak ada sampah yang bertebaran sembarangan. Selain itu, rumah-rumah di desa ini tertata dengan rapi.
Yang menjadi daya pikat desa ini adalah pemandangannya yang memukau. Ada danau dengan airnya yang jernih, dengan lanskap pegunungan di kejauhan. Melengkapi keindahannya, di danau ini terdapat Jembatan Panjang, sebuah jembatan dengan tiang-tiang besi sepanjang kurang lebih 600 M. Dengan pemandangan yang memanjakan mata seperti ini, serta suasananya yang asri, saya rasanya ingin berlama-lama di sini. Dalam hati saya berdoa, semoga suatu saat bisa punya rumah dan tinggal di desa ini. Desa ini semacam desa impian buat saya. Tentu nyaman sekali menghabiskan sore sambil membaca buku dengan pemandangan danau dan gunung yang seperti di negeri dongeng ini.
Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar
Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar

Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar

Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar

Thursday, June 30, 2016

Nasi Kuning Malam


"Aku mau pamer, sekarang aku lagi makan nasi kuning..." seorang teman mengirim pesan lewan BBM yang disertai foto. Sama sekali bukan hal penting. Tapi dia teman yang 'penting'.
Saat itu aku juga sedang makan nasi kuning, tapi tidak kukatakan. Karena itu juga bukan sesuatu yang penting. Alih-alih, kubalas pesan itu dengan "Sejauh pengalamanku, tidak ada nasi kuning seenak yang di pondok."
"Ada apa dengan nasi kuning di pondok?" tanyanya.
Lalu kuceritakanlah secara singkat padanya.
Dan ini adalah versi lengkapnya, yang sebenarnya juga bukan sesuatu yang penting untuk dibaca.
***
Sudah menjadi tradisi, acara perpisahan di pondok kami diadakan dengan meriah. Yang artinya, perlu dana besar. Untuk jas (lengkap dengan celana, kemeja, dasi dan kaus kaki), konsumsi, peralatan, dan tetek bengek lainnya. Demi memenuhi semua keperluan itu, maka jauh sebelum acara perpisahan yang hanya satu hari itu (bahkan hanya beberapa jam), selama satu tahun penuh, sejak kami berada di kelas tiga aliyah, kami sibuk mengumpulkan uang.
Apapun yang bisa, kami lakukan. Menjaga kantin di sore hari, menghadiri salat fardhu kifayah (kami menyebut ini "bisnis mayat"), jualan majalah (yang ini tidak mendatangkan margin sama sekali, yang ada justru bangkrut), kerja sama mendatangkan gerobak mie ayam (hal ini mendapat sambutan luar biasa, menciptakan barisan antrian sepanjang lapangan basket), dan, jualan nasi kuning.
Nasi kuning ini kami memesannya di luar pondok, kami ambil setelah magrib, dan menjualnya ba'da shalat isya, pada jam makan malam. Nasi Kuning Malam, demikian istilahnya (menu nasi kuning sebenarnya identik dengan sarapan). Makan malam di pondok jarang sekalinya menunya enak. Maka kehadiran sebungkus nasi kuning, dengan lauk sepotong daging ayam masak habang  , sungguh sesuatu yang sangat menggiurkan. Sebungkus harga 5.000. Harga yang mahal untuk kantong santri. Jadi, hanya kalangan santri 'elit' yang bisa menikmatinya. Awal bulan, 100 bungkus akan habis dengan cepat. Namun awal bulan hanya berlangsung singkat. Seringkali, hingga pukul 10 malam, masih ada puluhan bungkus yang belum laku. Nasi kuning yang tersisa ini tidak bisa dijual keesokan harinya karena pasti sudah basi. Alhasil, jika jam sudah menunjuk angka 10 dan nasi kuning masih tersisa banyak, pilihan terbaik adalah menjualnya dengan harga murah. Awalnya 4.000. Jika masih tetap tidak habis, turun lagi jadi 3.000, jika masih juga tersisa, turun lagi jadi 2.500.
Nah, pada saat-saat seperti itulah, giliran santri-santri 'non-elite' merasakan kebahagiaan serupa. Bahkan melebihi yang dirasakan santri-santri 'elite'.
"Mampus kau beli duluan, dengan 5.000 kami bisa beli 2 bungkus!" Emoticon yang tepat barangkali adalah lidah menjulur.
Namun bagaimanapun, nasi kuning malam tetap memberi kebahagiaan (meski juga acapkali diiringi penderitaan batin), dan tetap saja, bagaimana pun rasanya, tak akan ada yang mampu menandingi kenikmatan si nasi kuning malam.
NB: Di tahun berikutnya setelah angkatan kami lulus, biaya perpisahan ditanggung pondok, sehingga santri yang akan lulus tidak perlu lagi patungan dan mencari uang sepanjang tahun.
Entah, apakah sekarang masih ada nasi kuning malam di pondok.

Seperti Hujan


"Seperti hujan," katamu.
"Seperti hujan," kataku.

Rindu dan Dendam


Jangan ada dendam dan rindu
Antara aku dan bayanganmu
Dan bilang ingin hidup di dunia tanpa iklan dan kebohongan
Tanpa suara dan kata-kata
Hanya gerak bibir, melumat bibir
Juga jangan bilang apa-apa
Pada ibu kosmu, pada penjual gorengan, pada anak-anak kecil
Bahwa di rahim waktu
Ada anak puisi yang mau lahir
Membawa rindu dan dendam
Serta kata-kata yang tak perlu
Serta bayanganmu

Thursday, June 9, 2016

Di Kost


"Apakah aku bahagia?" Tanyamu pada pintu
Kostmu bau apak, bau laki-laki dan banyak debu
Bila malam panasnya minta ampun
Bila mati listrik panasnya tak ngasih ampun
Kadang kamu mendengar alunan gitar dari kamar tetangga, enak juga
Kadang kamu mendengar desahan wanita, iri juga
Dinding kostmu triplek, banyak coret-coret
Ada kaligrafi, ada puisi setengah jadi, ada pin BBM dengan nama Moli
Ada cicak dan kecoa, ada nyamuk di sarang laba-laba
"Apakah aku bahagia?" Tanyamu lagi pada pintu
Tapi pintu diam saja
Ia tidak peduli kamu bahagia atau tidak
Ia tidak peduli kamu menangis atau tertawa
Ia tidak peduli kamu sinting atau gila

Friday, June 3, 2016

Di Kafe


Ada daun kering yang jatuh ke meja di depan kita
Ada dua gelas soda es yang embunnya telah menjadi tetes
Ada langit dengan awan yang menghitam di atas kita
Ada orang-orang, orang lain
Ada kenangan-kenangan yang tumpah ke atas meja
Ada kata yang tak mampu menjelma suara
Ada musik sendu yang hanya mengalun di kepala kita
Ada getir yang mengendap di udara
Ada waktu yang tiba-tiba menjadi beku
Ada air mata yang tertahan dalam dada
"Aku ke sini bukan untukmu, tapi untuk kesedihan yang lain."
"Kita hanya dua orang di tempat duduk kita masing-masing."
"Dengan kesedihan kita masing-masing."
"Dengan kesedihan kita masing-masing."

Lagi

Aku sedang jatuh cinta padamu lagi
Seperti yang telah-telah
Seperti yang akan-akan

Aku Hanya Seorang Sial yang Seringkali Beruntung (Part 3)

Sehari setelah aku memberikan kabar gembira pada Arif soal tawaran menjadi kepala ruangan OK, giliran Arif yang membawakanku sebuah kabar.
Pagi itu ia datang ke Kedai Kebun saat aku dan Bang Harie tengah bermain remi. Aku dinas siang, sehingga paginya bisa jaga kedai.
"Bro, kamu lulus Uji Kompetensi?" Tanya Arif.
"Hah? Memangnya sudah diumumkan?"
"Sudah, bro. Aku lulus. Banyak yang tidak lulus ketimbang yang lulus."
Aku gugup. Jika tidak lulus, maka aku harus melewati proses panjang lagi: ikut try out lagi, mendaftar lagi, menunggu lagi, belajar lagi. Tapi aku mencoba tenang. Aku meneruskan permainan remi, yamg saat itu sudah jelas terlihat aku bakal kalah. Begitu permainan selesai, aku segera menyambar laptop dan mengetik URL ukners.dikti.go.id.

Sunday, May 29, 2016

Aku Hanya Seorang Sial yang Seringkali Beruntung (Part 2)

Sudah tiga bulan aku bekerja di Rumah Sakit "sebut saja namanya Mawar". Sudah kurasakan bagaimana jauhnya perbedaan antara dunia teori (yang sebenarnya juga tak begitu kupahami) dengan dunia kerja yang sesungguhnya. Sudah kulihat bagaimana konflik-konflik di dunia kerja, juga sudah kurasakan sakitnya bulan tua.
Sampai sekarang, aku masih belum mengerti mengapa nomor ponselku yang mereka hubungi, bukan yang lain yang sebelum berkasku mendarat di meja mereka sudah banyak berkas-berkas lain yang masuk, yang kata Arif (teman satu angkatan yang sudah kerja di sini satu bulan lebih dulu) banyak di antaranya adalah berkas teman-teman satu angkatan kami, yang nilai-nilai mereka di bangku kuliah, jauh lebih tinggi dariku.

Aku punya beberapa teori, meski ini belum teruji. Pertama, aku menyerahkan lamaran tepat di saat mereka membutuhkan, dan mereka memilih pelamar terbaru. Kata orang, momentum adalah segalanya. Tapi ini kurang terbukti, sebab perawat-perawat terdahulu yang sudah bekerja, mereka dipanggil tidak saat posisi berkas mereka berada di paling atas. Mereka dipanggil justru berbulan-bulan setelah mereka menyerahkan lamaran.
Teori kedua, karena riwayat pendidikanku yang berbasis pesantren. Orang-orang pesantren dikenal jujur (walaupun aku bukan orang jujur), sederhana, mandiri, survive, dan tidak banyak menuntut. Dan itulah kriteria yang mereka inginkan. Aku meyakini teori ini, meski sama sekali tidak ada bukti otentik, sebab para pendahuluku toh tidak ada yang pernah jadi santri.
Teori ketiga, mereka perlu tenaga S1 Ners dan laki-laki. Kebanyakan perawat di RS ini perempuan, dan hanya D3. Tenaga laki-laki dengan pendidikan S1 Ners sangat diperlukan demi meningkatkan mutu rumah sakit. Ini cukup diragukan karena selain aku, yang pendidikannya S1 Ners dan berjenis kelamin laki-laki cukup banyak yang mengajukan lamaran, dan mereka tidak dipanggil.
Teori keempat, bisa jadi, karena aku ganteng. Bagaimanapun, secara statistik, orang ganteng dan cantik seringkali memiliki nasib yang lebih baik (tolong jangan mempertanyakan kegantenganku).
Teori kelima, murni karena keberuntungan.
Entahlah, teori terakhir lebih masuk akal dan dapat diterima, dan tak bikin pusing. Itulah yang kupercaya, setidaknya hingga sekarang.

***

Selama tiga bulan itu pula, aku bekerja di Kedai Kebun Banjarbaru, sebuah kafe sederhana milik seorang teman karib, Bang Harie. Tujuan Bang Harie membangun kafe tersebut adalah memanfaatkan halaman rumahnya yang cukup luas sebagai tambahan penghasilan.
Awalnya, aku hanya numpang tinggal di rumahnya selama belum dapat gaji, dan akan pindah ngekost begitu sudah terima gaji pertama. Sebagai ucapan terimakasih karena diizinkan tinggal dan makan secara cuma-cuma, aku membantu mengurus kedai: mencuci piring dan gelas, melayani pembeli, menyapu, belanja, bikin minuman, bikin masakan. Karena kedai itu cukup ramai pengunjung (padahal lokasinya di dalam komplek) dan bartender yang awalnya bekerja di situ berhenti, maka pada bulan kedua, aku resmi sebagai karyawan kedai, mendapat upah dan fasilitas berupa kamar untuk tinggal dan makan gratis. 
Jadi, selama tidak jam dinas di rumah sakit, Kedai Kebun Banjarbaru-lah tempatku. Dua pekerjaan kudapatkan dengan mudahnya, di mana orang lain begitu mencarinya. Cukup melelahkan memang, bekerja di dua tempat sekaligus. Nyaris tidak ada waktu istirahat. Tapi karena aku masih cukup muda, itu bukan masalah berarti.

***

Sudah tiga bulan aku bekerja di rumah sakit. Lingkungan baru memberi pengalaman baru, mengenalkan pada orang-orang baru, dan bagiku, itu berarti jaringan-jaringan baru. Di sini, aku menjadi kenal dengan dr. Suwandy, mantan direktur RS. Mawar yang sekarang menjadi direktur sebuah rumah sakit swasta baru, rumah sakit dengan ukuran yang cukup besar, dengan empat lantai. Pembangunan RS tersebut saat ini sedang berada pada tahap finishing: penyediaan alat-alat, pemasangan instalasi, dan, perekrutan.
Sebagian perawat di RS Mawar yang dulunya "anak buah" beliau, beliau rekrut lagi di rumah sakit baru tersebut. Karena alasan gaji dan sistem di bawah direktur yang baru, siapa yang tidak mau pindah ke RS yang lebih menjanjikan itu? Tapi tentu saja dr. Suwandy tetap selektif memilih perawat. Hanya beberapa yang beliau percaya. Dan di antara daftar nama orang-orang beruntung itu, terselip namaku (dan Arif).
"Kamu suka bekerja di OK (kamar bedah)?" tanya beliau pagi itu, usai visite ke kamar pasien.
"Oh, iya, suka, Dok. Suka." Dan saya gembira sekali mendapat pertanyaan itu, Dok.
"Kamu mau, jadi perawat OK di RS saya?"
"Tentu saja mau, Dok." Siapa yang tidak mau?
"Ya sudah, nanti kamu sama Arif jadi perawat OK di sana, satu asisten, satu instrumen. Nanti kalian (salah satu dari kalian, yang tentu saja itu Arif, sebab dia lebih dulu kenal dengan dr. Suwandy) jadi kepala ruangan di sana. Nah, nanti kalian pelatihan dulu, mungkin di RS Ulin selama dua bulan, Juli sampai Agustus. Biaya pelatihan ditanggung RS. Jadi begitu recruitment bulan September nanti kalian langsung masuk."

***

Tidak lama setelah itu, beliau berjalan entah ke ruangan mana, lalu kembali lagi ke tempat perawat, ke hadapanku.
"Saya masih mencari perawat untuk ruang ICU. Kamu lebih suka OKA atau ICU?" tanya beliau. Santai saja.
Tapi aku tak bisa santai menjawab pertanyaan itu. Itu dua hal besar yang harus kupilih. Lalu kujawab, "ICU, Dok."
"Ya sudah, berarti pas, kamu kepala ruangan ICU, Arif kepala ruangan OKA."
Aku senang sekali. Menjadi kepala ruangan ICU! Jabatan yang begitu prestisius. Bagi perawat biasa (bukan perawat beruntung), perlu waktu puluhan tahun untuk mencapai posisi itu. Menjadi perawat ICU saja sudah sangat keren, apalagi kepala ruangannya.
Begitu dr. Suwandy beranjak, aku segera mengirim pesan pada Arif, menyuruhnya ke Kedai Kebun sore ini jika tidak ada kesibukan. Ia bertanya ada apa, tapi hanya kujawab "Ada yang mau diomongkan." Ia bertanya tentang apa. Tapi tidak kujawab.
Jam dua siang, saat aku mau pulang setelah dinas pagi, Arif datang ke RS, menanyakan langsung ada apa. 
"Ayo, kita bicarakan di kedai aja."
Hal seperti ini, tidak bisa dibicarakan sembarangan, apalagi di RS, di tengah orang-orang yang pasti akan sangat iri dengan tawaran itu.
Kami berdua bukan orang yang pintar, tapi kami orang yang beruntung, sangat-sangat beruntung. Pekerjaan bagus dan jabatan menggiurkan datang begitu saja pada kami tanpa kami susah-susah mencari. Dan sore itu, di Kedai Kebun, kami berdua tertawa bahagia. []

NB: Setelah galau tingkat dewa, berbagai pertimbangan, masukan dari teman-teman, akhirnya pada dr. Suwandy aku bilang mau di OK saja. Pengalaman di ruang operasi kupikir lebih berharga daripada pengalaman memimpin ruang ICU.



Wednesday, May 25, 2016

Aku Hanya Seorang Sial yang Seringkali Beruntung (Part 1)

Aku memang bukan seorang yang pintar, aku tahu itu. Selama kuliah, IP-ku selalu buruk. Nilai-nilaiku tidak pernah memuaskan (kecuali mata kuliah Agama Islam). Aku tidak pandai mengingat istilah-istilah medis, nama-nama bagian anatomi, golongan-golongan obat, diagnosa-diagnosa keperawatan, apalagi cara kerja tiap sistem dan organ tubuh. Aku orang yang selalu memilih tempat duduk di barisan paling belakang, sebab aku tahu, jika di depan aku pasti mengantuk, sementara bila duduk di belakang aku juga tetap mengantuk, tapi setidaknya aku bisa tidur, hingga jam kuliah berakhir.
Saat wisuda sarjana, IP-ku hanya sedikit di atas angka tiga: 3,08. Aku ingin menyandang selendang cumlaude, namun aku tahu, itu tidak cocok untuk bahuku. Selama profesi ners, aku bukan hanya seorang yang tidak becus soal teori, tapi juga seorang yang malas mengerjakan tugas-tugas yang diberikan pembimbing klinik dan akademik. Ketika wisuda dan angkat sumpah profesi ners, ketika IP teman-temanku yang jauh lebih bodoh dari aku pun bisa 3,4, IP-ku hanya 3,18, dan aku tidak benar-benar merasa kecewa. Itu memang sudah selayaknya.

Sunday, March 20, 2016

Hujan

Ada yang terpaku di jendela menatap hujan
Ada yang berciuman di bawah hujan
Ada yang air matanya bercampur tetes-tetes hujan
Ada yang berteduh sambil memaki-maki hujan
Ada bermain dan tertawa bersama hujan
Di sini, ada seseorang telah menjelma menjadi hujan.

Monday, March 14, 2016

Malam Larut

Mungkin malam telah larut
Mungkin tak ada mimpi malam ini
Hanya matamu yang mengembun
Dan air mata yang hampir jatuh

Malam mungkin telah larut
Mimpi mungkin tak ada malam ini
Tapi matamu telah basah
Dan air mata telah jatuh...

Monday, February 15, 2016

Goa Liang Bangkai, Mentewe, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan

Sebenarnya, perjalananku ke Batulicin tidak ada niat buat jalan-jalan, melainkan karena suatu urusan.

Minggu, 7 Februari 2016. 
Aku berangkat dengan naik taksi (mini bus/L300) dari terminal Km. 6 setelah sebelumnya motor aku titipkan di rumah teman yang tidak jauh dari terminal. Ongkos taksi 85 ribu, dan berangkat ketika jumlah penumpang sudah 11 orang. Jumlah 11 orang itu cukup nyaman, karena artinya di baris belakang hanya ada 3 penumpang untuk setiap barisnya. Tidak sesak.

Tuesday, February 2, 2016

Saturday, January 30, 2016

Hanif dan Magnet Kesayangannya

Hanif tertelan magnet. Magnet berbentuk koin tersebut adalah mainan kesayangannya yang selalu ia bawa ke mana saja.
Ceritanya, saat itu ia dan Salma, kakaknya yang baru kelas 1 SD dititipkan dengan tetangga. Sejak lebih dari satu minggu ini ibunya, kakakku, ikut kursus menyetir setiap sore. Sementara ayah mereka baru pulang dari kantor jam 7 malam. Maka mau tidak mau kakakku harus membayar tetangga agar mau dititipkan mereka berdua selama ia kursus menyetir.
Saat di rumah tetangga itulah, Hanif yang iseng memasukkan magnetnya ke mulut, digelitiki oleh kakaknya. Dalam keadaan digelitiki, magnet itu sontak tertelan, tersangkut di kerongkongan, lalu masuk ke perut, ke lambung. Hanif menangis. Demikian pula Salma.
Kakakku yang saat itu sedang kursus menyetir tidak langsung mengetahui kejadian tersebut karena si tetangga tidak memiliki nomor teleponnya. Saat ia pulang, barulah ia tahu. Menurut si tetangga, magnet tersebut sebenarnya sudah ia singkirkan, namun Hanif mengambilnya lagi.

Tuesday, January 12, 2016

Surat Panggilan

Percayalah, tidak ada bagian dari “menjadi pengangguran” yang menyenangkan. Bangun tidur dengan perasaan bingung, menjalani hari dengan bermalas-malasan, menghabiskan malam dengan kesia-siaan. Dan yang lebih buruk lagi adalah ketika kamu berhadapan dengan orangtuamu, orang yang menghabiskan banyak uangnya demi sekolah dan kuliahmu. Betapa malunya kamu berhadapan dengan mereka ketika kamu harus meminta uang untuk sekadar beli pulsa. Lihat, bahkan untuk pulsa saja kamu masih harus meminta! Belum lagi beratnya menghadapi pertanyaan-pertanyaan bertema “Kapan kerja? Sudah kerja? Kerja di mana sekarang?”
Oh… semua itu sungguh mimpi buruk! Mimpi buruk yang kamu tidak mungkin bisa bangun darinya. Begitulah yang kujalani sejak dengan gembiranya, 19 November lalu, aku dan teman-teman seangkatan lainnya diangkat sumpah.