Saturday, May 31, 2014

Serangan Balik

Malam kemarin, kepercayaan diriku benar-benar diuji, kepercayaan diri di hadapan paman penjual sate.
Cerita ini sebenarnya dimulai sejak beberapa minggu, atau beberapa bulan yang lewat. Aku tidak tahu kapan tepatnya. Itu adalah malam pertama kalinya aku membeli sate di tempat paman sate yang kumaksud di atas. Paman sate itu kelihatan masih cukup muda dan sepertinya masih lajang. Ia biasa memakai baju kotak-kotak. Dan rambutnya gondrong. Kita namai saja dia Paman Sate Berambut Gondrong.
Berapa tusuk biasanya kalau kamu beli sate? Bisa kupastikan jawabanmu adalah 10. Karena memang itulah angka kebiasaan seseorang bila ingin membeli sate untuk satu porsi. Tapi bagiku, yang cuma bisa mengharap uang 'jatah bulanan' dari orangtua sehingga harus hidup sehemat-hematnya, 10 tusuk rasanya terlalu banyak. Sebenarnya, kalau cuma untuk satu kali makan, 7 tusuk pun sudah cukup buatku. Jumlah itulah yang kupesan beberapa minggu, atau beberapa bulan yang lalu ketika pertama mencoba beli sate di tempat Paman Sate Berambut Gondrong.
"Tujuh, Man," pesanku.
"Hah?" tanyanya meyakinkan pendengarannya, seolah tidak percaya ada yang memesan 'cuma' 7 tusuk.
Aku merasa tidak enak. Pikiran cepatku mengatakan tak apalah menambah 3 tusuk lagi daripada terlihat memalukan, toh hanya menambah beberapa ribu rupiah. Pesanan pun kuralat. "Eh, sepuluh aja, Man."
"Sepuluh?" tanyanya lagi.
"Iya."
Sepuluh potongan kecil daging ayam yang ditusuk pun ditaruh di atas tungku. Si Paman Sate Berambut Gondrong mengipas-ngipasnya hingga matang. Sate yang sudah matang dibungkus, lengkap dengan sambal kacangnya.
"Pakai lontong?"
"Tidak." Tentu saja tidak. Aku punya nasi sendiri di kontrakan. Aku biasa memasak, dengan beras yang kubawa sendiri dari kampung hasil bertani orangtuaku.
Aku bertanya berapa, Paman Sate Berambut Gondrong menyebutkan harganya, aku membayar, Paman Sate Berambut Gondrong menyerahkan sate pesananku.
Tiba di kontrakan, sate dan sambalnya kutuang ke piring. Piring itu lalu kupenuhi dengan nasi hasil masakku. Aku makan. Dan seperti yang kupikirkan sebelumnya, 10 tusuk sate ini kebanyakan. Bahkan 5 tusuk pun sebenarnya sudah cukup.
Peristiwa itu kulupakan, hingga malam kemarin...
Entah mengapa--mungkin karena bosan dengan menu rutin yang selalu berupa telur dadar, tiba-tiba malam kemarin aku ingin beli sate lagi, di tempat Paman Sate Berambut Gondrong. Saat itulah aku kembali mengingat-ingat peristiwa beberapa minggu, atau beberapa bulan yang lewat. Ketika itu pula aku menyadari, bahwa pertanyaan 'Hah?' Paman Sate Berambut Gondrong hanyalah senjata yang ia siapkan jika menghadapi orang-orang sepertiku, orang-orang yang memesan di bawah angka 10 tusuk. Dengan kesadaran yang baru muncul itu, aku menggas motor matic-ku ke tempat Paman Sate Berambut Gondrong. Sekarang hanya soal kepercayaan diri, demikian ucapku berulang-ulang dalam hati.
Beberapa saat, motor matic-ku sudah tiba di tujuan.
"Tujuh, Man," pesanku.
"Hah?" serangnya, seolah mengatakan: tidak pernah ada saya menemui orang yang memesan 'cuma' 7 tusuk, kamu miskin atau apa?
Tapi kali ini aku sudah siap. "Tujuh," tangkisku percaya diri.
"Tujuh?" tembaknya lagi, mencoba meruntuhkan kepercayaan diriku.
"Iya, tujuh," jawabku lagi, semakin mantap.
Aku menang, ia kalah. Benar-benar budeg bila masih saja si Paman Sate Berambut Gondrong bertanya berapa tusuk.
Tapi ternyata, ia masih punya senjata cadangan. "Tujuh apa?" tanyanya seperti orang bingung. Memangnya 7 apa lagi?!
"Tujuh tusuk, Man," jawabku tenang.
"Oh... tujuh tusuk..."
"Iya, 'tujuh' tusuk." Aku memberi penekanan pada kata tujuh.
Dengan lesu, Paman Sate Berambut Gondrong itu pun lalu meraih tusukan-tusukan satenya yang masih mentah kemudian meletakkannya di panggangan.
Tapi aku belum puas. Sekarang, giliranku menyerang balik. "Bisa kan, 'cuma' tujuh tusuk?" Aku memberikan penekanan pada kata cuma.
Ia menjawab pelan, nyaris tidak kedengaran, "Iya, bisa..."
Aku tersenyum, tapi tertawa dalam hati. Lain kali, akan kucoba memesan 5 tusuk saja... []

Saturday, May 17, 2014

Review: Frankenstein (Novel Mary Shelley)

Frankenstein - Mary Shelley
Judul: Frankenstein
Penulis: Mary Shelley
Penerjemah: Anton Adiwiyoto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Ke-4 (November, 2012)
Tebal: 312 halaman
Ukuran: 13,5 x 20 cm
ISBN: 978-979-22-5096-1

“Konstruksi jiwa kita memang sangat aneh. Kita hanya dihubungkan oleh ikatan yang sangat tipis menuju kebahagiaan atau kehancuran.” -Mary Shelley, Frankenstein

Frankenstein, novel karya Mary Shelley ini sebenarnya saya beli dengan tanpa sengaja. Waktu itu saya punya janji dengan seorang teman untuk ngobrol di Coffee Toffee, tapi ternyata kawan saya ini tak bisa datang tepat waktu sementara saya sudah terlanjur berangkat, saya terus ke Toko Buku Gramedia di Jalan Veteran. Waktu itu ada bazar buku murah di tempat parkirnya. Di situlah pandangan pertama saya dengan novel Frankenstein. Saya tertarik membelinya karena covernya yang menurut saya keren; hitam polos dengan hanya ada tulisan judul, nama penulis, logo penerbit, dan gambar stempel zaman dulu. Juga, karena harganya yang sangat murah, cuma Rp 15.000! Ketika saya cek, ternyata novel Mary Shelley ini juga masuk list 1001 Books You Must Read Before You Die, saya merasa sangat beruntung. Sambil menunggu teman saya datang, saya mulai membaca novel ini di Coffee Toffee. Sudah beberapa bab saat teman saya muncul. Saya stop membaca, dan tidak meneruskan membacanya lagi, hingga kemarin lusa. Ada empat bulan jarak antara pertama saya membacanya, dan kemarin lusa. Karena ingatan saya yang tidak terlalu bagus, terpaksa saya membaca dari awal lagi. Dan... tadi sore, saya selesai membacanya.

Untuk novel yang pertama kali terbit tahun 1818, ide dan cerita dalam novel ini sungguh luar biasa, yaitu tentang seorang jenius yang menciptakan manusia buatan. Hal tersebut menjadi meyakinkan dengan teknik bercerita melalui tokoh utama yang menceritakan kisahnya kepada tokoh lain. Namun jangan menyangka novel ini seperti novel-novel fiksi ilmiah, ini novel tahun 1800-an! Emosi yang sarat justru menjadi warna dasar cerita dalam novel ini; cerita banyak diwarnai kesedihan para tokohnya.
Seperti kebanyakan novel-novel tahun 1800-an, cerita bergerak lambat, dengan dialog-dialog panjang yang sepertinya tidak realistis dan narasi yang bertele-tele. Isinya lebih banyak telling daripada showing. Hal inilah yang membuat saya tidak meneruskan membacanya empat bulan lalu. Tapi saya merasa cukup puas setelah selesai membacanya karena karya legendaris ini ditulis dengan sangat rapi dan apik.

Novel dimulai dengan surat-surat Robert Walton yang dikirim kepada adiknya, Margaret. Walton menceritakan tentang ekspedisinya dalam rangka mencari penemuan baru di Kutub Utara, sesuatu yang sejak lama ia cita-citakan. Ia menyewa kapal beserta awak-awaknya yang bisa diandalkan. Semakin ke utara, kapal Walton terjebak di tengah-tengah lautan yang membeku. Saat itulah, ia melihat sesuatu yang tidak masuk akal di kejauhan: seorang manusia bertubuh besar di atas kereta salju yang ditarik beberapa ekor anjing. Beberapa jam barulah es pecah. Keesokan paginya, ia kembali menemui hal aneh. Ia menemukan seseorang terapung di atas bongkahan es yang hanyut ke kapalnya. Orang ini jauh berbeda dengan monster yang dilihatnya satu hari sebelumnya. Walton menolong orang ini dan merawatnya di kapal. Orang inilah Viktor Frankenstein, si jenius yang menjadi tokoh utama novel ini. Saat kondisi Frankenstein membaik, akhirnya ia menceritakan kisah hidupnya kepada Walton. Bab satu pun dimulai...
Frankenstein adalah warga Jenewa yang selalu haus akan ilmu pengetahuan. Ia punya orang-orang yang sangat menyayanginya dan sangat ia cintai: Ayah, Ibu, dua adiknya, Ernest dan William, saudara angkat yang cantik bernama Elizabeth, seorang sahabat bernama Henry Clerval, dan Justine Moritz, seorang pelayan yang sudah ia anggap seperti adik sendiri. Tidak ada sedikit pun cacat dalam kasih sayang di antara mereka.
Saat Frankenstein akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Ingolstadt, hal buruk menimpa keluarganya. Elizabeth sakit berat, ibunya merawat Elizabeth dengan penuh ketekunan bahkan tanpa memedulikan kesehatan sendiri. Elizabeth akhirnya sembuh, namun justru ibunya yang akhirnya sakit, dan berujung kematian. Setelah mereka lepas dari kesedihan yang mendalam, rencana Frankenstein yang tertunda dipikirkan kembali. Sahabatnya Clerval padahal ingin sekali ikut belajar ke Ingolstadt menemaninya, namun ayah Clerval, seorang pedagang yang berpikiran dangkal tidak mengizinkannya.
Didikan orang-orang hebat di perguruan tinggi serta kegigihannya yang luar biasa membuat Frankenstein maju pesat. Ia menjadi orang nomor satu di perguruan tinggi. Lewat penelitiannya, ia bahkan menemukan sesuatu yang tak pernah berhasil ditemukan ilmuwan mana pun, yaitu memberikan kehidupan pada benda mati. Dengan penemuannya itu, ia berambisi menciptakan manusia lewat mayat-mayat manusia yang sudah mati. Karena berbagai pertimbangan, ia membuatnya dengan ukuran yang besar.
Frankenstein bekerja keras tanpa kenal lelah, bahkan tanpa sempat mengirimkan surat pada keluarganya. Akhirnya, ia berhasil. Makhluk ciptaannya hidup. Namun dengan kondisi makhluk ini yang buruk rupa dan mengerikan layaknya monster, Frankenstein justru merasa jijik. Ia kecewa dengan hasil kerja kerasnya, dan pergi ke kamar tidur untuk menenangkan pikiran. Saat Frankenstein terbangun tengah malam karena mimpi buruk, makhluk mengerikan ciptaannya sudah ada di depannya. Makhluk itu mencoba berbicara dan tersenyum. Tapi itu justru membuat Frankenstein ketakutan. Ia lari keluar apartemen.
Keesokan paginya, di stasiun kereta, ia dikejutkan dengan kedatangan sahabatnya Clerval. Clerval pergi ke Ingolstadt untuk mengetahui kondisinya yang tak pernah memberikan kabar lewat surat, juga untuk belajar sastra di perguruan tinggi. Ayahnya sudah mengizinkannya. Beruntung makhluk ciptaannya tadi sudah tidak ada di apartemennya. Tapi Frankenstein jatuh sakit karena beban batin yang ia tanggung. Clerval merawatnya hingga ia pulih kembali. Saat ia sudah pulih, kabar buruk ia terima dari surat ayahnya: adiknya William meninggal. Seseorang dengan kejam telah mencekik lehernya ketika ia sedang bermain di luar rumah. Frankenstein pun pulang ke Jenewa. Ia sampai di Jenewa pada tengah malam, tidak bisa masuk karena pintu gerbang sudah ditutup. Ia berjalan-jalan dan tanpa sengaja melihat makhluk besar ciptaannya. Saat itulah ia tahu, siapa yang membunuh adiknya.
Pagi harinya ia pulang ke rumah. Dari keluarganya, ia tahu bahwa Justine Moritz dituduh sebagai pelaku karena saat kejadian tidak ada di rumah, menujukkan sikap yang aneh, dan sebuah barang bukti yang ditemukan di pakaian yang ia pakai saat kejadian, yaitu sebuah kalung yang sebelumnya dikenakan William. Tapi Frankenstein tak bisa apa-apa. Ia tak mungkin menceritakan soal makhluk ciptaannya, tidak akan ada yang percaya, dan dirinya hanya dianggap orang gila. Justine akhirnya diberi hukuman mati. Semua penghuni rumah seperti diterpa badai kesedihan yang tidak ada habisnya. Frankenstein merasa sangat bersalah, ia sadar ialah sebenarnya penyebab kematian William dan Justine. Kemarahannya pada makhluk ciptaannya semakin menjadi.
Untuk menenangkan pikiran, ia pergi ke lembah. Di situ, ia bertemu dengan makhluk ciptaannya itu. Makhluk itu memintanya menciptakan pasangan, seorang perempuan yang sama buruk rupanya dengannya. Dengan itu ia tak akan kesepian lagi, dan berjanji tidak akan lagi muncul di hadapan manusia. Bila tidak, makhluk itu bersumpah akan membuat hidup Frankenstein menderita, sebagaimana penderitaan yang ia rasakan. Setelah perdebatan yang panjang, makhluk itu akhirnya bisa menceritakan kisahnya kepada Frankenstein.
Makhluk itu mengembara dari hutan ke hutan sambil belajar tentang makanan dan api. Ia beberapa kali menolong manusia, namun manusia justru menganggapnya monster. Ketika ia berada di perkampungan, orang-orang ketakutan dan menyerangnya. Saat musim dingin, ia menemukan sebuah kandang kosong yang menempel di sebuah rumah. Di situlah ia tinggal tanpa diketahui penghuni rumah. Penghuni rumah adalah orang-orang yang baik, ia mengetahui itu dari pengintaiannya melalui sebuah lubang. Dari pengintaiannya itu pula, ia belajar berbahasa dan belajar tentang kebajikan. Pelajarannya akan bahasa semakin mudah ketika keluarga itu kedatangan seorang perempuan Turki cantik yang pernah mereka tolong dan tinggal di rumah itu. Felix, pemuda penghuni rumah itu yang juga kekasih si perempuan Turki, mengajarkan perempuan Turki itu bahasa para penghuni rumah.
Ia sebenarnya sangat ingin menunjukkan diri kepada para penghuni rumah dan berbagi persahabatan serta kebaikan, namun ia masih tak berani mengingat rupanya yang buruk. Ia harus lebih banyak belajar lagi, agar saat menampakkan diri nanti para penghuni rumah akan memercayainya dan tidak memedulikan rupanya yang mengerikan. Maka ia pun hanya bisa memberikan kebaikan lewat jalan mengumpulkan kayu bakar saat malam hari sambil mencari makan di hutan. Kayu bakar itu ia tumpuk di depan rumah dan penghuni rumah hanya bisa menganggap itu sebuah keajaiban. Felix tidak lagi harus repot-repot mencari kayu bakar. Atau menyekop tumpukan salju di muka rumah. Suatu malam ia menemukan tas berisi beberapa pakaian dan tiga buah buku. Ia membawanya dan mempelajari isi buku itu.
Kemudian tibalah waktunya ia menunjukkan dirinya pada penghuni rumah untuk memulai persahabatan dan saling berbagi kebaikan. Tetapi, sesuatu yang selama ini ia takutkan terjadi. Para penghuni rumah langsung menjerit ketakutan dan Felix menyerangnya. Ia pun lari. Sejak itu, ia benci dengan manusia.
Kini ia benar-benar kesepian. Tujuannya kemudian adalah mencari penciptanya. Ia mendapat petunjuk lewat kertas catatan penciptanya di baju yang ia bawa dari apartemen tempat pertama ia hidup. Ia pergi ke Jenewa, membunuh William saat ia tahu William adalah keluarga Frankenstein, serta dengan cerdas memasukkan kalung yang dipakai William ke pakaian seorang gadis yang berteduh di sebuah kandang yang saat itu sedang tidur.
Karena takut kehilangan keluarganya, Frankenstein akhirnya menyetujui perjanjiannya dengan makhluk itu. Ia membuat alasan agar diperbolehkan ke Inggris, di sana ia akan menciptakan lagi seorang makhluk mengerikan meski dengan sangat terpaksa. Ia juga berjanji pada ayahnya akan menikah dengan Elizabeth sekembalinya nanti. Clerval ikut bersamanya. Frankenstein kemudian meminta Clerval agar berpisah sehingga ia bisa melakukan pekerjaannya tanpa diketahui siapa pun. Frankenstein pergi ke sebuah pulau terpencil dan mulai menciptakan satu lagi makhluk mengerikan. Tapi saat pekerjaannya hampir selesai, ia berubah pikiran. Menurutnya, satu orang makhluk saja sudah banyak menimbulkan kejahatan, apalagi jika nanti ada dua. Ia pun menghancurkan makhluk yang belum selesai itu. Si monster yang terus mengintai dan mengikutinya secara sembunyi-sembunyi marah besar. Mereka kembali terlibat perdebatan sengit. Makhluk itu bersumpah akan datang saat malam pernikahan Frankenstein nanti kemudian ia pergi.
Beberapa hari kemudian Frankenstein berlayar untuk pulang. Tanpa kompas, angin membawa perahunya ke sebuah daratan yang tidak ia kenali. Tapi orang-orang di pulau itu membencinya tanpa ia tahu kenapa. Ternyata, ia menjadi tersangka tindak pembunuhan di pulau itu. Ia dibawa ke hakim setempat. Saat hakim itu menyuruhnya melihat wajah korban untuk mengetahui reaksinya, Frankenstein langsung jatuh lunglai dan pingsan. Orang yang dibunuh dengan cekikan itu ternyata Clerval, sahabatnya sendiri.
Beberapa bulan dalam tahanan, akhirnya kondisi Frankenstein membaik. Ditambah dengan kedatangan ayahnya. Di persidangan, Frankenstein diputuskan tidak bersalah karena terbukti pada saat kejadian berada di sebuah pulau.
Bersama ayahnya ia pulang ke Jenewa. Sesuai janjinya, diaturlah tanggal pernikahan dengan Elizabeth. Ia gembira karena akan menikah dengan orang yang sangat disayanginya dan sangat menyayanginya, namun juga sangat sedih. Ia tahu, malam pernikahannya nanti makhluk itu akan mendatanginya, mereka akan duel. Itulah malam penentuan, apakah dirinya atau makhluk itu yang akan menemui ajal. Tapi ia tidak goyah. Pernikahan tetap dilangsungkan, dan ia berjanji akan menceritakan rahasianya itu pada Elizabeth sehari setelah pernikahan mereka nanti. Setelah pernikahan dilangsungkan, mereka pergi ke sebuah penginapan yang berada di tepi danau. Malam itu hujan. Frankenstein belum menceritakan rahasianya pada isterinya, ia hanya bisa menyuruh Elizabeth masuk ke kamar dan ia berjaga-jaga dengan pistol di tangan. Katanya, malam ini akan terjadi sesuatu yang mengerikan.
Ia menduga akan bertemu dengan makhluk itu, tapi yang kemudian ia temukan adalah pekikan keras dari kamar tempat isterinya berada. Saat ia menghambur ke kamar, Elizabeth sudah tidak bernyawa. Ia pun jatuh pingsan. Ayahnya yang sudah renta, yang mengetahui kabar itu, tak sanggup lagi menanggung tekanan, dan kemudian meninggal.
Hari-hari Frankenstein lalu dihabiskan dengan pengejarannya terhadap makhluk yang telah merenggut nyawa orang-orang yang ia cintai itu. Sampai ke bagian utara bumi.
Di kapal Walton, dengan kondisi kesehatan yang merosot, Frankenstein menutup matanya untuk selama-lamanya tanpa sempat menunaikan hasratnya. Sebelum meninggal, ia hanya bisa meminta Walton agar membalaskan dendamnya.
Walton bertemu dengan makhluk itu ketika makhluk itu mendatangi jenazah Frankenstein. Tapi ia tidak jadi membunuhnya sebagaimana yang dipesankan Frankenstein. Makhluk itu berjanji padanya untuk bunuh diri di kutub utara dengan cara membakar diri, agar tidak ada yang menemukan tubuhnya dan memanfaatkannya untuk diteliti. Setelah itu ia melompat dan mendarat di bongkahan es, ombak membawanya menjauh lalu lenyap di kejauhan.

Nah, menurutmu, apa yang bisa dipetik dari cerita Frankenstein ini? []

Thursday, May 15, 2014

Review: Perempuan di Titik Nol (Novel Nawal el-Saadawi)

perempuan di titik nol - women at point zero - nawal el-saadawi


Judul: Perempuan di Titik Nol (Women at Point Zero)
Penulis: Nawal el-Saadawi
Penerjemah: Amir Sutaarga
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan: Ke-10 (Juni, 2010)
Tebal: xiv + 156 halaman
Ukuran: 11 x 17 cm

“Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka denga harga tertentu, dan bahwa tubuh paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang isteri yang diperbudak.”

Novel Perempuan di Titik Nol bercerita tentang Firdaus, seorang pelacur sukses yang kini menunggu hukuman mati di Penjara Qanatir karena telah membunuh seorang laki-laki. Ia menolak semua pengunjung dan tidak mau berbicara dengan siapa pun. Ia biasanya tidak menyentuh makanan sama sekali dan tidak tidur sampai pagi hari. Ia bahkan menolak menandatangani permohonan keringanan hukum dari hukuman mati menjadi hukuman kurungan. Ia telah benar-benar siap untuk mati. Lalu, kepada seorang peneliti, ia akhirnya mau menceritakan kisah hidupnya, sebelum ia diseret untuk hukuman mati.
Firdaus lahir dari keluarga miskin, parahnya, ayahnya merupakan seeorang egois pemarah yang hanya memikirkan perutnya sendiri. Firdaus, saudara-saudaranya, dan ibunya tak lebih dari para budak bagi ayahnya. Saudara-saudara Firdaus satu demi satu meniggal karena kelaparan.
Pengalaman seksual Firdaus dimulai sejak ia masih anak-anak, yaitu dengan teman bermainnya di ladang bernama Muhammadain. Orang kedua ialah pamannya, yang kerap menggerayangi tubuhnya.
Paman Firdaus kuliah di Kairo, ketika ayah dan ibu Firdaus juga meninggal, ia membawa Firdaus ke Kairo dan menyekolahkannya. Paman Firdaus menikah dengan puteri gurunya ketika Firdaus memasuki sekolah menengah. Tanpa Firdaus ketahui mengapa, suatu hari Paman dan isterinya marah kepadanya. Akhirnya Firdaus dimasukkan ke asrama sekolah.
Firdaus merupakan murid yang cerdas. Ia rajin membaca. Hingga kemudian ia lulus dari sekolah menengah dan pamannya membawanya pulang. Namun tak mungkin bagi pamannya untuk menyekolahkannya ke perguruan tinggi, atau mencarikannya pekerjaan hanya dengan modal ijazah sekolah menengah.
Isteri pamannya, yang tidak suka dengan keberadaan Firdaus di rumah mereka, mengusulkan untuk mengawinkan Firdaus dengan pamannya yang duda, Syeikh Mahmoud. Firdaus kemudian menjadi isteri Syeikh Mahmoud, seorang tua berumur enam puluh tahun lebih yang di dagunya terdapat bisul yang selalu mengeluarkan aroma busuk.
Hidup Firdaus jauh lebih tersiksa ketika menjadi isteri Syeikh Mahmoud. Syeikh Mahmoud suka memukulinya sampai berdarah hanya karena masalah sepele. Akhirnya Firdaus kabur dari rumah Syeikh Mahmoud, dan bertemu seorang lelaki bernama Bayoumi yang bersedia menampungnya. Mereka bercinta, dan Bayoumi tak pernah memukulnya. Sampai kemudian mereka bertengkar, Bayoumi memukul Firdaus dengan begitu keras, di wajah dan perut. Firdaus pingsan.
Bayoumi mengurungnya di sebuah kamar. Setiap malam Bayoumi ‘menindih’-nya, dan Firdaus hanya bisa terpejam tanpa bisa merasakan apa-apa. Kemudian bukan hanya Bayoumi yang ‘menindih’-nya, tapi juga teman-teman Bayoumi. Beruntung pada suatu hari tetangganya melihatnya lewat kisi-kisi pintu. Tetangganya itu menolongnya, dan ia akhirnya bisa keluar dari rumah Bayoumi.
Firdaus kemudian bertemu Sharifa, perempuan yang memberinya tempat tinggal yang nyaman, kamar yang wangi, kasur yang lembut, dan pakaian yang indah. Juga, para lelaki yang datang secara bergantian, yang ‘kuku-kukunya pun bersih dan putih, tidak seperti kuku Bayoumi, yang hitam seperti gelapnya malam, juga tidak seperti kuku Paman dengan tanah di bawah ujung kukunya’. Firdaus tidak sadar, bahwa dirinya telah dimanfaatkan Sharifa untuk menghasilkan uang. Salah seorang lelaki yang mendatangi kamarnya itulah yang kemudian menyadarkannya. Sekali lagi, Firdaus kabur dari tempatnya tinggal.
Waktu itu tengah malam. Di luar, seorang polisi ‘memakai’-nya dengan iming-iming satu pon serta ancaman dibawa ke kantor polisi jika menolak. Setelah polisi itu meninggalkannya tanpa memberinya uang satu pon yang telah dijanjikan, hujan turun. Kemudian seorang lelaki bermobil menawarkan tumpangan. Lelaki itu membawa Firdaus ke rumahnya yang mewah, memandikannya, dan menidurinya. Pagi harinya, saat Firdaus akan pergi, lelaki itu memberinya sepuluh pon. Uang pertama yang ia hasilkan dari ‘pekerjaan’-nya.
Berkat sepuluh pon itu, keberanian dan kepercayaan diri Firdaus mulai tumbuh. Ia mulai berani menolak dan memilih lelaki yang diinginkannya, dan memasang harga yang mahal atas tubuhnya. Firdaus merasa memiliki kebebasan, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia dapatkan selama dua puluh tahun hidupnya. Ia kemudian menjadi pelacur yang sukses, yang memiliki sebuah apartemen, seorang koki, seorang ‘manajer’, rekening bank yang terus bertambah, waktu senggang untuk bersantai atau jalan-jalan, serta kawan-kawan yang ia pilih sendiri.
Lewat diskusinya dengan salah seorang kawan, Firdaus mulai mengerti arti “tidak terhormat”, dan terus memikirkannya. Hidupnya lalu berubah drastis lewat sepatah kalimat pendek itu.
Dengan ijazah sekolah menengah serta kesungguhannya, Firdaus mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan industri besar. Karena gajinya yang kecil, ia hanya bisa menyewa sebuah bilik kecil tanpa kamar mandi di sebuah gang kumuh. Di perusahaan tempat ia bekerja, terjadi kesenjangan yang lebar antara karyawan berpangkat tinggi dan karyawan rendahan. Banyak karyawati yang merelakan tubuh mereka pada para atasan agar lekas naik pangkat atau agar tidak dikeluarkan. Namun Firdaus tidak akan menghargai dirinya semurah itu, terlebih karena pengalamannya yang biasa dibayar dengan harga sangat mahal. Tidak seorang pun di perusahaan itu yang bisa menyentuhnya.
“Saya menyadari bahwa seorang karyawati lebih takut kehilangan pekerjaan daripada seorang pelacur akan kehilangan nyawanya. Seorang karyawati takut kehilangan pekerjaannya dan menjadi seorang pelacur karena dia tidak mengerti bahwa kehidupan seorang pelacur menurut kenyataannya lebih baik dari kehidupan mereka. Dan karena itulah dia membayar harga dari ketakutan yang dibuat-buat itu dengan jiwanya, kesehatannya, dengan badan, dan dengan pikirannya. Dia membayar harga tertinggi bagi benda-benda yang paling bernilai rendah.”
Karena jual mahalnya itulah, para penguasa perusahaan itu justru mempertahankannya. Bahkan mereka justru berlomba-lomba untuk mendapatkannya.
Di perusahaan itu juga ia kenal dengan salah seorang karyawan bernama Ibrahim, seorang revolusioner, memimpin komite rovolusioner yang memperjuangkan hak-hak karyawan rendahan. Mereka saling mengungkapkan cinta, bahkan tidur bersama. Firdaus menjadi cerah oleh cinta yang melenakannya. Namun perasaannya itu mendadak amblas ketika Ibrahim bertunangan dengan putri presiden direktur. Ini penderitaan paling sakit yang pernah ia rasakan. Selama menjadi pelacur, perasaannya tak pernah ambil bagian, namun dalam cinta, perasaanlah yang jadi pemain utama.
Firdaus memutuskan keluar dari perusahaan itu. Ia kembali menjadi pelacur. Pelacur yang sukses.
“Seorang pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh terlalu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.”
Tapi kemudian ia didatangi germo bernama Marzouk yang mengancamnya. Firdaus pergi ke polisi untuk mencari perlindungan, namun ternyata Marzouk punya hubungan yang baik dengan para polisi. Ia lalu mencoba lewat prosedur hukum, tapi ternyata undang-undang menghukum pelacur. Maka kemudian germo itu pun memperoleh bagian dari penghasilan Firdaus, bahkan jauh lebih besar.
Firdaus tidak tahan, ia mencoba pergi jauh, namun di depan pintu, Marzouk mencegatnya. Terjadilah perkelahian. Saat Marzouk menampar mukanya, Firdaus membalasnya. Keberanian yang selama ini tidak pernah ia miliki. Dengan keberanian itu pulalah, ketika Marzouk ingin mengambil pisau dari kantungnya, Firdaus cepat mendahuluinya, dan menikamkan pisau itu dalam-dalam ke leher Marzouk, mencabutnya, menusukkan ke dada Marzouk, mencabutnya lagi, lalu menusukkan lagi ke perut Marzouk, lalu menusukkannya ke hampir seluruh bagian tubuh Marzouk. Dengan perasaan lega, Firdaus meninggalkan tempatnya.
Di sudut jalan, seorang lelaki dengan mobil mewah mengajaknya ikut. Firdaus menolak. Lelaki, yang mengenalkan diri sebagai seorang pangeran Arab itu terus mendesaknya, terjadi tawar-menawar, hingga bertemu pada harga tiga ribu.
Selama di ranjang, pangeran Arab itu terus bertanya “Apakah kau merasa nikmat?”
Bagi Firdaus, itu pertanyaan yang sangat bodoh, namun ia tetap menjawab “Ya.”
Tetapi karena pertanyaan itu terus diulang, Firdaus tidak tahan, akhirnya ia menjawab “Tidak.”
Firdaus masih marah ketika pangeran Arab itu menyerahkan uang. Maka uang itu ia cabik-cabik menjadi serpihan-serpihan kecil. Pangeran Arab itu heran, dan menduga bahwa Firdaus seorang puteri. Mereka terlibat perdebatan dan berujung pertengkaran. Pangeran Arab itu berteriak sampai datang polisi. Firdaus diborgol dan dibawa ke penjara.
Firdaus menolak untuk mengirim surat permohonan keringanan hukum karena menurutnya ia bukan pejahat, para lelakilah yang penjahat.

Dengan bahasa yang tajam, serta metafora-metafora yang indah, novel ini berhasil membuat saya terkagum-kagum pada kelihaian penulisnya, Nawal el-Saadawi, seorang dokter kebangsaan Mesir. Wajar jika karya ini juga masuk dalam 1001 Books You Must Read Before You Die.
Membaca novel ini, mau tidak mau, membuat kita memikirkan lagi berbagai kekurangan dan ketidakadilan yang masih menimpa hak-hak dan kedudukan perempuan di negeri kita dalam masyarakat kita sekarang. []

Sunday, May 11, 2014

Review: Orang Asing (Novel Albert Camus)

Orang Asing - The Outsider - Albert Camus

Judul: Orang Asing (L’Etranger/The Outsider/The Stranger)
Penulis: Albert Camus
Penerjemah: Apsanti Djokosujatno
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia 
Cetakan: Pertama (November, 2013)
ISBN: 978 979 4618 62 2

Bagaimana jika hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kasusmu justru memberatkan kasusmu dan membuatmu dihukum gantung? Itulah yang terjadi pada Meursault, tokoh utama dalam novel Orang Asing (L’Etranger/The Outsider/The Stranger) karya Albert Camus. Seseorang yang terasing dengan lingkungannya, seseorang yang tanpa emosi, dan menganggap wajar apa yang sudah terjadi.
Cerita diawali dengan kabar kematian ibu Meursault yang berada di panti wreda. Alasan Meursault menitipkan ibunya ke panti wreda karena penghasilannya memang tak cukup untuk membiayai ibunya, lagipula di panti wreda ibunya tidak akan kesepian.
Meursault pun cuti kerja dan berangkat ke panti wreda. Meursault ditawari untuk melihat wajah jenazah ibunya, namun ia bilang itu tidak perlu. Meursault cukup tabah. Ia bahkan tidak menangis dan tidak menunjukkan emosi kesedihan.
Malam itu ia menunggui jenazah ibunya di sebuah ruangan di panti wreda. Teman-teman ibunya sesama penghuni panti wreda berdatangan. Meursault merokok, dan menerima kopi susu yang ditawarkan penjaga panti wreda karena ia sangat mengantuk. Meursault tertidur karena tidak kuat menahan kantuk yang menderanya. Keesokan harinya jenazah ibunya dikuburkan. Meursault masih tenang dan tabah.
Sehari setelah pemakaman ia bertemu dengan Marie, dan mereka berkencan.
Meursault juga mau tidak mau terlibat dalam masalah Raymond, tetangganya. Raymond menceritakan bahwa ia punya pacar yang suka berbohong dan ia memukulnya. Raymond memintanya menuliskan surat kepada pacarnya itu agar ia mau datang, dan mereka bisa bercinta untuk terakhir kali, juga agar Raymond bisa memukulnya untuk terakhir kali. Saat pacar Raymond itu datang, Raymond memaki dan memukulinya. Lalu datanglah polisi, dan Raymond ditahan. Raymond meminta Meursault untuk memberi kesaksian, maka Raymond pun dibebaskan.
Setelah bebas, Raymond mengajak Meursault dan Marie ke pantai ke sebuah rumah pantai milik teman Raymond. Di pantai itulah mereka bertemu saudara mantan pacar Raymond beserta teman-temannya dan mereka terlibat perkelahian. Raymond terluka dan mereka kembali ke rumah pantai. Raymond ingin membalasnya dengan mengambil sebuah pistol. Tapi Meursault mengambil pistol itu karena takut terjadi hal buruk.
Meursault kembali ke pantai sendirian, dan ia bertemu dengan salah satu yang menyerang mereka tadi. Meursault mengalami disorientasi karena panas dan silau. Dalam kondisi disorientasi itu, ia melihat orang tadi mencabut pisau. Ia pun menembaknya dengan pistol yang ia sita dari Raymond. Karena silau, ia kembali menambah empat tembakan pada orang tadi.
Meursault akhirnya disidang karena pembunuhan itu. Selama persidangan, Meursault lebih banyak diam. Penuntut memanfaatkan itu untuk menggambarkan kepribadiannya yang buruk. Ia dianggap bukan orang baik karena mengirim ibunya ke panti wreda, tidak ingin melihat wajah ibunya yang meninggal, tidak sedih saat pemakaman ibunya, merokok,  menerima tawaran kopi susu, dan tertidur saat menunggui jenazah ibunya, dan berkencan sehari setelah kematian ibunya. Meursault juga dianggap pembunuh yang kejam, tenang dan jitu dengan penuh perencanaan karena setelah satu kali tembakan, ia kembali menambah empat tembakan.
Hakim akhirnya memutuskan hukuman gantung atas Meursault. Ia digantung atas hal-hal yang ia lakukan tanpa sengaja. Bahkan ia, tetap tabah atas kematian yang akan mendatanginya itu.
Novel tipis yang menggunakan sudut pandang orang pertama ini terdiri dari dua bagian, masing-masing bagian terdiri dari 6 dan 5 bab. Terbit pertama kali dalam bahasa Prancis dengan judul L’Etranger pada tahun 1942, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul The Outsider dan The Stranger. Novel filsafat yang mengusung tema absurd dan eksistensi ini secara permukaan tidak menghadirkan pergolakan emosi yang mengaduk-aduk, namun sesungguhnya memiliki makna yang sangat mendalam. Orang Asing juga menjadi kritik Albert Camus atas hukuman mati yang saat itu diterapkan.
Novel ini masuk dalam daftar 1001 Books You Must Read Before You Die. []

Sunday, May 4, 2014

Review: The Old Man and The Sea (Novel Ernest Hemingway)

The Old Man and The Sea - lelaki tua dan laut - ernest hemingway
Judul: The Old Man and The Sea
Penulis: Ernest Hemingway
Penerbit: Selasar Publishing
Tahun: 2009
Tebal: 132 halaman

Ketika mendengar nama Ernest Hemingway, yang pertama terlintas pastilah The Old Man and The Sea yang merupakan karya masterpiece penulis ledendaris yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri tersebut.
The Old Man and The Sea berkisah tentang seorang tua bernama Santiago yang selama 84 hari tidak pernah mendapatkan ikan. Sebelumnya ia dibantu seorang bocah bernama Manolin, namun setelah 40 hari mereka tak juga mendapatkan ikan, orangtua si bocah menyuruh anaknya ikut dengan nelayan lain yang lebih beruntung. Namun meski tidak lagi membantu di laut, si bocah tetap membantu Santiago menyiapkan dan membereskan peralatan, juga memberinya makanan. Mereka berdua biasa berbincang soal pertandingan bisbol.
Santiago selalu berpikir bahwa setiap hari adalah hari baru. Ia yakin, 85 adalah angka keberuntungan. Di hari ke-85, ia mencari ikan lebih ke tengah dengan hanya berbekal sebotol air karena ia yakin akan pulang saat matahari tenggelam, dan optimis akan mendapatkan ikan besar. Sambil berbicara dengan dirinya sendiri, tiba-tiba seekor ikan besar mematuk umpan dan kailnya, membuktikan keyakinannya akan keberuntungan di hari ke-85. Karena cukup dalam, ia tidak tahu sebesar apa ikan itu, yang pasti, ikan itu mampu menyeret perahunya semakin jauh dari daratan selama berhari-hari setelahnya. Di hari kedua, saat ikan itu melompat ke udara untuk menghirup oksigen, barulah Santiago tahu ukuran sebenarnya ikan itu: dua kali lipat lebih besar dari perahunya! Seekor ikan marlin yang belum pernah ia lihat dengan ukuran sebesar itu, bahkan tak akan ada yang pernah membayangkannya. Santiago hanya bisa berharap ikan itu lengah dan ia bisa membunuhnya. Bahkan, saat ia akhirnya mampu menaklukkan ikan marlin raksasa itu, ia masih harus berjuang melawan kawanan hiu yang menggerogoti tangkapan besarnya itu.
Cerita selama berhari-hari penaklukan ikan marlin raksasa itulah, serta dialog-dialognya dengan diri sendiri selama di laut yang menjadi inti cerita ini.
Kebersahajaan, kesabaran, kekuatan hati, serta semangat yang tak pantang menyerah pada keadaan. Itulah yang bisa saya ambil dari novel yang memenangkan Pulitzer Prize tahun 1953 dan membawa Ernest Hemingway menjadi peraih nobel sastra tahun 1954 ini.
Novel ini, tentu saja, masuk dalam daftar 1001 Books You Must Read Before You Die. []

Saturday, May 3, 2014

Memang Tidak Pintar (Catatan tentang Ujian Tengah Semester)

Senin
Aku pulang ke rumah. Ibu bertanya apakah hari ini tidak ada kuliah. Kujelaskan bahwa mulai hari ini hingga empat hari ke depan adalah minggu tenang, sebelum Ujian Tengah Semester.
Sebenarnya bukan itu penyebab aku pulang ke rumah, melainkan kondisi keuanganku yang habis, bahkan minus, gara-gara beberapa hari sebelumnya jalan-jalan ke Teluk Tamiang. Tapi aku tak perlu menjelaskan itu pada Ibu, Ibu sudah tahu tanpa aku harus mengatakannya.
“Jangan lagi jalan-jalan! Menghabiskan uang! Belajar, nanti tidak bisa menjawab soal ujian! Jangan jalan-jalan lagi, ya! Jangan jalan-jalan!”
Inggih, Ma,” jawabku.

Selasa
Seperti setiap kali pulang ke rumah, aku mengambil sebuah novel tipis yang mungkin untuk diselesaikan dalam satu hari dan membacanya. Kali ini aku membaca The Old Man and The Sea karya masterpiece Ernest Hemingway yang, tentu saja, masuk dalam 1001 Books You Must Read Before You Die. Aku membacanya dari pagi, dan selesai sore.
Karena sepanjang hari kuhabiskan hanya membaca novel, Ibu kembali berang. “Kalau mau ulangan itu belajar, jangan baca ‘buku cerita’ terus!”
“Catatannya di kontrakan, Ma. Ulun mau ke Banjarmasin, tapi tidak ada uang.” Sebenarnya, kalau aku memang ingin belajar, bisa saja mencari bahannya dengan mencolok modem.
Lalu Ibu kembali memulai ceramahnya, soal gajian, soal bagaimana cara beliau berhemat, soal pentingnya hemat, dan soal jangan jalan-jalan.

Rabu
Rencana aku ke Banjarmasin siang, atau sore. Menunggu waktu itu, aku kembali membaca novel, kali ini Women at Point Zero (Perempuan di Titik Nol) karya penulis hebat Mesir, Nawaal El Saadawi yang juga masuk list 1001 Books You Must Read Before You Die, berkisah tentang pelacur yang akan dihukum gantung.
Lalu siangnya, sebelum novel itu selesai kubaca, Ayah memberiku uang untuk beberapa hari (bukan untuk sebulan karena belum tanggal gajian) dan Ibu menyiapkan sekantung beras dan beberapa butir telur bebek untuk makanku di kontrakan nanti.
Sore hari, aku kembali ke kontrakan. Hujan. Berteduh di Handil Bakti di rumah saudaraku, dan malamnya barulah aku tiba di kontrakan. Aku tahu, Ibu memintaku cepat kembali ke kontrakan agar aku bisa belajar, tapi karena UTS masih dua hari lagi, aku bersantai saja malam ini.

Kamis
Dari pagi hingga sore, aku masih belum belajar. Malas, itu saja. Baru sehabis shalat ashar aku ke kontrakan temanku, Rizky, untuk melengkapi materi yang harus dipelajari. Di kontrakan Rizky, aku justru main catur, hingga hampir magrib. Baru pada malam harinya aku sedikit membaca-baca materi. Tidak terlalu banyak, karena kemudian aku tertidur.

Jumat
Ini adalah hari yang berat, hari pertama dari dua hari Ujian Tengah Semester. Tapi aku tetap tersenyum sebelum ujian berlangsung meskipun aku tidak begitu siap.
“Aku memang tidak pintar,” kataku pada Rizky, “tetapi selalu beruntung.”
Ada dua mata kuliah yang diujikan hari ini, Keperawatan Gawat Darurat, dan Disaster Nursing. Hal yang tak terduga terjadi pada soal mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat. Ada dua dosen yang mengajar pada mata kuliah tersebut, Pak Zaenal dan Pak Imanuddin. Karena Pak Imanuddin jarang masuk, dan beliau tidak memberikan materi (beberapa hari perkuliahan beliau hanya berupa diskusi), kami tentu hanya mempelajari bahan Pak Zaenal. Ternyata, soal yang diujikan hanya soal Pak Imanuddin. Aku tertawa, karena merasa beruntung dengan tidak menghabiskan banyak waktu membolak-balik materi Pak Zaenal.
***
Sehabis shalat Jumat, aku ke rumah saudaraku, meminjam uang untuk membayar uang setor buku pada Bang Harie yang sudah habis kubelanjakan. Menggali lobang untuk menutup lobang lain. Siang ini aku memang berencana ke Banjarbaru meskipun besok masih ada ujian. Selain untuk menyetor uang buku dan mengembalikan buku-buku titipan Bang Harie yang tersisa (aku dulu jualan buku, banyak kawan yang menitip bukunya padaku untuk dijualkan, Bang Harie adalah salah satu yang paling banyak menitip, karena ia ‘pernah’ punya penerbitan, pernah punya toko buku, dan punya banyak buku-buku yang juga titipan), aku akan menghadiri acara lounching novel Kak Nanda, Kebisingan Hati, di halaman PUSTARDA Banjarbaru jam empat sore. Yang kedua inilah tujuan utamanya, karena saat Kak Nanda mengundang, aku sudah berjanji akan datang.
Saat akan berangkat, suara Ibu kembali terdengar di telingaku, “Jangan lagi jalan-jalan! Belajar!”
Lalu hujan turun, lebat, seolah alam juga berada di pihak Ibu. Aku bisa saja menerobos hujan, aku biasa melakukannya. Tapi itu akan membuat basah sekardus buku-buku titipan Bang Harie.
Lewat jam empat sore, barulah hujan mereda. Aku tetap berangkat. Masih sempat. Ini soal janji. Dan memang benar, begitu aku tiba di Kopi Kepo di halaman PUSTARDA Banjarbaru, acara baru memasuki sesi bincang-bincang dengan peserta. Bang Hari berada di samping Kak Nanda sebagai moderator. Tentu saja, karena Bang Harie-lah manajer para novelis yang berada di bawah naungan On-Off Solutindo.
Usai acara, aku mengobrol dengan Bang Harie soal buku titipan dan uang setoran. “Tapi karena uang ulun tidak banyak, sekarang ulun baru bisa setor separuhnya, Bang.”
Bang Harie bilang tak apa.
“Gimana novelmu?” tanyanya.
Aku hanya bisa tertawa getir menanggapinya.
Bang Harie juga memintaku membantunya malam ini mengangkut rak buku bekas taman bacaan beserta komik-komiknya yang baru saja ia borong.
Aku seharusnya pulang secepatnya, tapi tak mungkin menolak permintaan Bang Harie. Jadilah malam ini aku layaknya kuli kasar.
Pelajaran moral nomor 1: melanggar larangan orangtua bisa mengakibatkan kau menjadi pekerja kasar yang bahkan tidak digaji.
Perlu dua kali balik untuk mengangkut semua komik dan 5 raknya dengan mobil pick-up. Tiga rak bisa diangkat oleh dua orang, namun dua sisanya, 4 orang saja kewalahan. Dan kami hanya mengangkatnya 3 orang, aku, sopir pick-up, dan Bang Harie yang bertubuh mungil. Bukan hal aneh jika rak itu tidak stabil di tangan kami saat menaikkannya ke dalam pick-up. Sialnya, Gendhis, anak Bang Harie yang ikut menonton, berada tepat di lokasi rak itu akan jatuh. Gendhis hanya tertawa-tawa. Bang Harie sebagai seorang Ayah tentu memarahi anaknya karena Gendhis tak mau ketika disuruh menjauh. Beruntung, rak itu tidak roboh. Secara fisik, Gendhis selamat, namun entah dengan psikologisnya setelah Bang Harie marah sedemikian rupa. Sekali lagi, ini hari yang berat, sungguh-sungguh berat, juga dalam makna yang sebenarnya.
Pekerjaan itu baru selesai menjelang jam 11 malam. Meski kebanyakan komik, ada juga beberapa novel dari dua pick-up buku tersebut. Aku meminta dua novel, Nemesis karya Agatha Christie, dan Omera karya Mario Puzo. Dari wajahnya, kulihat Bang Harie tidak ikhlas. Tapi dua novel tersebut tetap kubawa. Bahkan dua novel tersebut tidak akan lunas membayar tenagaku malam ini.
Lewat dini hari barulah aku tiba di kontrakan. Aku belajar sebentar, sebagai ucapan maafku pada Ibu karena melanggar pesannya, kemudian tertidur sampai pukul 3 pagi. Aku tak bisa tidur lagi kemudian karena efek kopi yang kuminum saat di rumah Bang Harie tadi. Aku mandi, shalat isya, kemudian belajar.
Aku membuat semacam kerpean tentang Keperawatan Kritis, karena menurutku materi pelajaran akan lebih meresap jika ditulis, tidak hanya dibaca. Beruntung bila catatan tersebut nantinya bisa dijadikan contekan.
Catatan tersebut selesai ketika sampai waktu subuh. Aku shalat subuh, mencharge ponsel di colokan di luar kamar, lalu tidur, dengan damai...

Sabtu
Saat aku terbangun, cahaya matahari yang menerobos lewat jendela telah memenuhi kamarku. Aku gelagapan. Aku segera keluar kamar untuk meraih ponsel. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan dua sms dari Tri, menanyakan di mana aku, dan memberitahukan bahwa ibu pengawas ujian sudah masuk. Namun yang penting ialah jam di ponselku: sudah pukul 10!
Aku cepat mencuci muka, mengganti baju, mengeluarkan motor dari gudang, lalu memacunya sekencang mungkin. Ada dua mata kuliah yang diujikan hari ini, yang pertama Keperawatan Kritis, pukul 8.30, dan yang kedua Keperawatan Transkultural, pukul 10.00. Aku jelas tak bisa mengikuti yang pertama, dan hanya bisa berharap tidak terlambat untuk yang kedua.
Kontrakanku yang sekarang cukup jauh dengan kampus, paling cepat 20 menit baru bisa sampai. Sepanjang jalan, aku mengutuki diriku sendiri. Andai ada Ibu di dekatku, aku akan berlutut memohon maaf padanya.
Pelajaran moral nomor 2: jangan tidur di subuh menjelang ujian.
Aku tiba di ruang ujian. Beruntung Ibu Isna, dosen yang mengawas ujian di ruanganku masih mau memberikan soal ujian. Ia dosen baru, dan sangat baik. Saat aku duduk, ia memanggil lagi. “Kenapa jam pertama tadi tidak masuk?” tanyanya.
“Ketiduran, Bu,” jawabku.
“Ini, kerjakan sekalian.” Ia menyerahkan soal ujian jam pertama: Keperawatan Kritis.
Aku senang sekali. Kuucapkan terimakasih padanya. Masalahku teratasi dengan kebaikannya yang luar biasa!
Kedua soal mata kuliah itu berupa soal essai, aku tidak yakin mampukah aku menyelesaikan keduanya dengan waktu yang hanya tersisa sedikit ini. Dengan dosen pengawas sebaik itu, tanpa pikir panjang kukeluarkan kerpean yang telah kubuat, dan mulai menyalin.
Ibu Isna duduk jauh di belakang, tak akan melihat apa yang kulakukan. Saat Ibu Isna mulai berjalan-jalan untuk mengambil lembar jawaban yang telah selesai, aku menutup kerpeanku, dan mengerjakan soal Keperawatan Transkultural. Aku tak punya catatan tentang mata kuliah ini, dan soal memang berupa hasil pemikiran, bukan hapalan atau ingatan. Dengan waktu yang hampir habis, aku menjawab seadanya. Lalu ketika Ibu Isna di belakang, aku kembali melanjutkan menjawab soal-soal Keperawatan Kritis. Saat itulah, tahu-tahu Ibu Isna sudah ada di belakangku untuk meminta kartu ujian dan menyerahkan absen untuk ditandatangani. Aku cepat menutup kerpean itu di balik kertas-kertas yang lain. Namun terlambat, Ibu Isna sudah melihatnya.
Ia mengambil semua kertas-kertas di mejaku, mengambil kertas contekanku dan mengembalikan yang lain setelah kartu ujianku ia tandatangani.
“Kerjakan sendiri sisanya, ini Ibu ambil,” katanya tanpa ekspresi. Kebaikannya yang luar biasa padaku justru kunodai, siapa yang tidak marah?
Keperawatan Keritis apa 4 soal. Aku sudah nyaris menyelesaikan 3 soal padahal, tapi itu tidak akan ada artinya lagi. Dengan pelanggaran yang kulakukan, tidak akan ada nilai untukku. Lalu kujawablah yang sisanya dengan seadanya.
Pelajaran moral nomor 3: berhati-hatilah saat membuka contekan di ujian, meskipun pengawasnya baik.
Ketika mengumpulkannya ke meja Ibu Isna, aku hanya bisa tertunduk.
“Ini tidak Ibu kembalikan,” katanya padaku sambil memegangi kertas catatanku tadi, wajahnya masih tanpa ekspresi. Kemudian, ia tersenyum. “Tenang, tidak akan Ibu laporkan...”
Aku terlonjak, tenggorokanku seperti tercekat. Aku terdiam dan tak bisa berkata-kata.
“Terimakasih bu, terimakasih..., terimakasih banyak...,” kataku akhirnya. Hanya itu yang bisa kukatakan.
Aku berjalan keluar ruangan. Teman-temanku yang sudah lebih dulu keluar asyik berbincang-bincang di bangku.
“Aku tadi berencana mau ke kontrakanmu setelah ini, kukira kamu kenapa-kenapa, ternyata ketiduran!” sungut Tri, ia memang teman yang bisa diandalkan.
Aku tidak memberitahunya bahwa aku ketiduran, tapi rambut dan wajahku yang berantakanlah yang mengatakannya.
“Aku sudah berpikir yang macam-macam...” kali ini Reno.
Lalu kuceritakan tentang soal Keperawatan Kritis yang tetap diberikan Ibu Isna. Mereka tidak berkomentar karena sudah tahu soal itu. Lalu kuceritakan lagi soal catatanku yang kedapatan namun tidak dilaporkan. Mereka langsung menyumpah-nyumpah! Aku hanya bisa tertawa.
“Terbukti kata-katamu, Zian...,” kata Rizky, saat sumpah-serapah itu mereda. “Memang tidak pintar, tetapi selalu beruntung!” []