Thursday, May 2, 2024

Cerpen Haruki Murakami: Halaman Rumput Sore Terakhir


Umurku harusnya sekitar 18 atau 19 ketika mulai memotong rumput, 14 atau 15 tahun silam. Kisah zaman baheula.

Namun, terkadang, 14 atau 15 tahun tidaklah begitu lama. Kalau kuingat-ingat, saat itulah Jim Morrison menyanyikan "Light My Fire," atau Paul McCartney dengan "The Long and Winding Road"-nya—mungkin pula keduanya bukan di tahun-tahun itu, ingatanku tentang tahun-tahun itu agak berantakan, masalahnya kedua lagu itu tidak pernah jadi hits dan itu benar-benar sudah lama sekali. Maksudku, kurasa aku sendiri tidak banyak berubah sejak saat itu.

Tidak, kutarik kata-kata itu. Aku yakin tentunya aku banyak berubah. Terlalu panjang kalau harus kujelaskan.

Oke, aku sudah berubah. Dan perubahan-perubahan ini terjadi selama kurun 14, atau 15 tahun terakhir.

Di lingkunganku —aku baru saja pindah ke sana— ada SMP Negeri, dan setiap aku keluar baik untuk belanja atau jalan-jalan, aku pasti melewatinya. Jadinya aku selalu melihat anak-anak SMP, entah mereka berolahraga, menggambar atau hanya bermain-main. Bukannya aku suka melihat mereka; tapi memang tidak ada hal lain untuk dilihat. Bisa saja sih aku melihat deretan pohon sakura di sebelah kanan, tapi ya, mending melihat anak-anak SMP.

Maka seiring berjalannya waktu, dengan melihat anak-anak SMP ini setiap hari, suatu hari aku tersadar. Mereka semua baru berusia 14 atau 15. Bagiku itu fakta yang menarik, sesuatu yang mengejutkan. Empat belas atau lima belas tahun yang lalu, mereka bahkan belum lahir; jika pun sudah, mereka tidak lebih dari gumpalan daging merah muda setengah sadar. Dan di sinilah mereka sekarang, sudah memakai bra, masturbasi, mengirim kartu pos kecil bodoh ke DJ, merokok di belakang ruang olahraga, menulis FUCK di tembok orang dengan cat semprot merah, membaca—mungkin—War and Peace. Fiuh, untunglah itu sudah berlalu.

Aku beneran. Fiuh.

Aku, 14 atau 15 tahun yang lalu, memotong rumput.


***


Kenangan seperti fiksi; atau mungkin fiksilah yang seperti kenangan. Aku benar-benar merasakan ini ketika aku mulai menulis fiksi, bahwa kenangan tampak seperti fiksi, atau sebaliknya. Bagaimanapun juga, tidak peduli seberapa keras kamu mencoba mengatur segalanya dengan rapi, konteksnya malah kesana-kemari, hingga akhirnya bahkan tidak ada lagi konteksnya. Kamu ditinggalkan bersama tumpukan anak kucing yang berbaring. Hangat akan kehidupan, dan sangat tidak stabil. Dan kemudian, agar semua ini bisa keluar sebagai sesuatu yang dapat dijual, kamu akan menyebutnya produk jadi—kadang memikirkannya saja sudah sangat memalukan. Jujur, itu bisa membuat wajahku memerah. Dan jika wajahku saja bisa berubah warna seperti itu, tentu aku harusnya malu pada orang-orang yang membeli tulisanku.

Namun, kamu tentunya paham eksistensi manusia dalam hal-hal yang cukup absurd ini yang bergantung pada motif-motif yang relatif sederhana, dan pertanyaan-pertanyaan tentang benar dan salah tidak ada di sana. Di sinilah ingatan mengambil alih dan fiksi terlahir. Mulai dari titik itu, yang ada hanyalah mesin gerak abadi yang tidak bisa dihentikan. Terhuyung-huyung ke sepenjuru dunia, membuntuti seutas benang yang tak putus-putus di atas tanah.

Tidak ada gunanya. Semoga semuanya berjalan lancar, katamu. Tapi itu tidak pernah terjadi. Tidak akan pernah. Itu tidak akan pernah berjalan seperti itu.

Jadi di mana itu meninggalkanmu? Apa yang harus kamu lakukan?

Apa yang bisa dilakukan? Yang bisa kulakukan hanyalah kembali, mengumpulkan anak kucing dan menumpuknya lagi. Anak-anak kucing yang kelelahan, semua lemas dan terkulai. Tetapi bahkan jika mereka terbangun dan menemukan diri mereka disusun seperti kayu bakar untuk api unggun, memangnya apa yang akan dipikirkan oleh anak kucing? Nah, mungkin yang muncul di pikiran mereka hanyalah "Hei, apa ini?". Dalam hal ini—selama tidak ada yang benar-benar membuat kesal—itu akan membuat pekerjaanku sedikit lebih mudah. Begitulah cara pandangku.


***


Ketika usiaku 18 atau 19, aku memotong rumput, jadi yang kita bicarakan adalah kisah zaman baheula. Pasa masa-masa itu, aku punya pacar yang usianya sepantaranku, tetapi karena hal-hal sepele, ia tinggal di sebuah kota yang cukup jauh. Dalam kurun setahun jika ditotal kami mungkin hanya bisa berkumpul selama dua minggu. Dalam waktu singkat itu, kami akan berhubungan seks, pergi ke bioskop, makan dan minum di tempat-tempat yang cukup mewah, bercerita satu sama lain tanpa henti, topik demi topik. Dan pada akhirnya kami selalu menutupnya dengan pertengkaran yang hebat, lalu berbaikan lagi, dan berhubungan seks lagi. Dengan kata lain, kami melakukan apa yang biasanya dilakukan pasangan, namun dalam versi yang ringkas, seperti film pendek.

Pada titik waktu ini, aku sebenarnya tidak tahu apakah aku benar-benar mencintainya atau tidak. Maksudku, aku bisa mengingatnya, tapi aku tidak tahu. Meski aneh, begitulah kenyataannya. Aku suka makan di luar dengannya, suka melihatnya melepaskan pakaian satu per satu, suka bagaimana rasa lembut di dalam vaginanya. Dan setelah berhubungan seks, aku suka memandangi kepalanya yang berbaring di dadaku, berbicara pelan-pelan hingga ia tertidur. Tapi hanya itu. Di luar itu semua, aku tidak yakin satu hal pun. 

Selain periode dua mingguku bersamanya, hidupku sangat monoton. Aku pergi ke kampus ketika ada kelas dan dapat nilai rata-rata. Kadang pergi nonton film sendirian, atau jalan-jalan tanpa alasan khusus, atau mengajak kencan gadis yang sebelumnya kuajak bicara—tanpa seks. Aku tidak begitu suka pertemuan yang berisik, dan gadis-gadis itu selalu mengatakan aku orang yang pendiam. Ketika sendirian, aku akan mendengarkan musik rock 'n roll, tidak ada yang lain. Cukup bahagia, mungkin, meskipun barangkali tidak sangat bahagia. Tapi pada saat itu, kamu tidak bisa berharap terlalu banyak.

Suatu pagi musim panas, awal Juli, aku menerima surat panjang dari pacarku, dan di dalamnya ia menulis bahwa ia ingin putus denganku. Aku selalu merasa dekat denganmu, dan bahkan sekarang pun aku masih menyukaimu, dan aku yakin bahwa dari sekarang aku akan terus ... dan seterusnya, dan seterusnya. Singkatnya, ia ingin mengakhirinya. Ia telah menemukan pacar baru. Aku menundukkan kepala dan mengisap enam batang rokok, pergi ke luar dan minum bir kaleng, kembali ke apartemen dan merokok lagi. Lalu kuambil tiga pensil HB di mejaku dan mematahkannya jadi dua. Bukan karena aku marah, sebenarnya. Aku hanya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pada akhirnya, yang kulakukan hanyalah mengganti pakaian dan pergi bekerja. Dan untuk sementara waktu, orang-orang di sekitarku mengomentari "sikapku yang tiba-tiba" itu. Apa yang salah dengan hidupku?

Tahun itu aku punya pekerjaan paruh waktu berupa perawatan rumput di dekat Stasiun Kyodo di Jalur Odakyu, bisnis yang cukup bagus. Sebagian besar orang, ketika membangun rumah di daerah tersebut, mereka memasang halaman rumput. Atau memelihara anjing. Kedua hal itu tampak sebagai alternatif cermin. (Meskipun ada juga yang melakukan keduanya.) Masing-masing memiliki keuntungannya sendiri: Rumput hijau adalah sesuatu yang indah; sedangkan anjing hewan yang lucu. Tetapi setelah setengah tahun berlalu, keduanya mulai menjengkelkan. Rumput perlu dipotong, dan kamu harus mengajak anjing jalan-jalan. Yang kedua hal itu janjikan ternyata tidak sepenuhnya sesuai.

Maka, kamilah yang akhirnya memotong rumput bagi orang-orang ini. Musim panas sebelumnya, aku dapat pekerjaan itu melalui serikat mahasiswa di universitas. Selainku, banyak orang lain yang juga mengambil pekerjaan tersebut saat itu, tetapi mereka semua keluar tidak lama setelahnya; hanya aku yang tetap bertahan. Ini mungkin pekerjaan rendahan, tetapi bayarannya tidak buruk. Apalagi, kamu tidak perlu bicara dengan siapa pun. Aku cocok sekali dengan itu. Sejak bergabung di sana, aku berhasil mengumpulkan sejumlah kecil uang. Cukup untukku dan pacarku pergi ke suatu tempat musim panas itu. Tetapi sekarang, apa gunanya? Ia sudah memutuskanku. Selama lebih seminggu setelah aku menerima surat perpisahan darinya, aku mencoba memikirkan segala macam cara untuk menggunakan uang itu. Atau lebih tepatnya, aku tidak punya hal yang lebih baik untuk dipikirkan selain bagaimana menghabiskan uang itu. Itu adalah satu minggu yang tak berguna. Penisku terlihat seperti penis orang lain. Sementara seseorang—seseorang yang tidak kukenal—sedang menggigit puting susunya. Sensasi yang aneh. Apa yang salah denganku?

Aku sangat kesulitan mencari cara untuk menghabiskan uang itu. Ada kesepakatan untuk membeli mobil bekas—sebuah Subaru 1000cc, kondisinya tidak buruk dan harganya pas, tapi entah bagaimana aku merasa tidak tertarik. Aku juga terpikir untuk beli speaker baru, tetapi di apartemen kecilku dengan dinding kayu dan papan gipsumnya, apa gunanya? Mungkin aku bisa pindah, tapi sebenarnya aku tidak punya alasan untuk melakukannya. Dan bahkan jika aku memutuskan pindah dari apartemenku, uang yang tersisa tidak akan cukup untuk beli speaker.

Aku tidak punya cara untuk menghabiskan uang itu. Aku membeli baju polo dan beberapa rekaman, dan sisanya masih ada. Jadi kemudian aku membeli radio transistor Sony yang sangat bagus—dengan speaker besar, penerima sinyal FM yang jernih, pokoknya lengkap.

Seminggu penuh berlalu sebelum aku tersadar. Fakta bahwa jika aku tidak punya cara untuk menghabiskan uang itu, maka tidak ada gunanya aku menghasilkannya.

Jadi suatu pagi aku membicarakan masalah ini kepada kepala perusahaan pemotongan rumput, memberi tahunya bahwa aku ingin berhenti. Kubilang tidak lama lagi aku harus mulai belajar untuk ujian, jadi sebelum itu kupikir sebaiknya pergi liburan. Aku tidak akan bilang kalau aku tidak lagi butuh uang.

"Nah, begini, maaf mendengarnya," kata kepala perusahaan (kurasa sebaiknya kita menyebutnya begitu, meskipun dia terlihat lebih seperti tukang kebun). Lalu dia menghembuskan nafas dan duduk di kursinya untuk menghisap rokoknya. Dia melihat ke atas pada langit-langit dan meregangkan lehernya yang kaku dari sisi ke sisi. "Kamu benar-benar melakukan pekerjaan dengan bagus. Kamu adalah inti dari operasi ini, yang terbaik dari para pekerja paruh waktuku. Juga punya reputasi baik di mata pelanggan. Apa yang bisa kukatakan? Kamu telah melakukan pekerjaan yang luar biasa untuk seseorang yang begitu muda."

Terimakasih, kataku kepadanya. Sebenarnya, aku memang punya reputasi yang baik. Itu karena aku melakukan pekerjaan dengan teliti. Sebagian besar pekerja paruh waktu hanya memotong rumput dengan sekali sentuhan menggunakan pemotong rumput listrik besar dan pada area yang tersisa barulah mereka potong dengan cara biasa. Dengan begini, mereka selesai dengan cepat tanpa merasa lelah. Metodeku persis kebalikannya. Aku akan memulainya dengan pemotong rumput, lalu memberikan waktu untuk pemangkasan manual. Jadi, tentu saja, hasil akhirnya terlihat bagus. Satu-satunya masalah adalah penghasilannya kecil, karena pembayaran dihitung berdasarkan perkiraan luas area halaman. Dan karena terlalu sering membungkuk, punggungku jadinya sangat sakit. Ini sesuatu yang tidak akan bisa benar-benar kamu mengerti kecuali kamu merasakannya sendiri. Saking seringnya, sampai-sampai kamu kesulitan naik turun tangga.

Sekarang, aku tidak lagi melakukan pekerjaan yang sangat teliti begitu demi membangun reputasi. Mungkin kamu tidak akan percaya, tetapi aku melakukan itu hanya untuk menikmatinya. Setiap pagi, aku akan merapikan gunting rumput, pergi ke pelanggan dengan minivan yang penuh dengan pemotong rumput, dan kemudian memotong rumput. Ada berbagai jenis halaman, berbagai jenis rumput, berbagai jenis ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga yang kalem serta yang bawel. Bahkan ada ibu rumah tangga yang akan jongkok tepat di depanku dengan kaus ketat dan tanpa bra sampai-sampai aku bisa melihat puting mereka.

Tidak masalah, aku terus memotong rumput. Pada umumnya, rumput di halaman cukup tinggi. Tumbuh lebat seperti semak belukar. Semakin tinggi rumputnya, semakin menyenangkan rasanya menyelesaikan pekerjaan itu. Setelah pekerjaan selesai, halaman akan memberikan kesan yang benar-benar berbeda. Ini memberimu perasaan yang sangat baik. Seolah-olah gumpalan awan tebal tiba-tiba terangkat, membiarkan matahari masuk dari segala penjuru.

Hanya satu kali—setelah aku menyelesaikan pekerjaanku—aku pernah tidur dengan salah satu dari ibu rumah tangga ini. Umurnya 31, atau mungkin 32, badannya mungil, dengan payudara kecil dan kencang. Dia menutup semua daun jendela, mematikan lampu, dan kami melakukannya dalam kegelapan pekat. Walau begitu, dia tetap memakai gaunnya, hanya melepas celana dalamnya. Dia naik ke atasku, tetapi tidak membiarkanku menyentuhnya di bagian selain payudaranya. Dan tubuhnya sangat dingin; hanya vaginanya yang hangat. Dia hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku pun tetap diam. Hanya ada suara berdesir gaunnya, kadang lebih lambat, kadang lebih cepat. Telepon berdering ketika kami asyik-asyiknya. Bunyi dering berlangsung beberapa saat, lalu berhenti.

Kemudian, aku bertanya-tanya mungkinkah aku putus dengan pacarku karena insiden itu. Tidak ada alasan tertentu kenapa aku berpikir begitu. Tiba-tiba saja aku terpikir demikian. Barangkali karena panggilan telepon yang tidak terjawab. Yah, bagaimanapun juga, semuanya sudah selesai.

"Ini benar-benar membuatku bingung, tahu," kata bosku. "Jika kamu keluar sekarang, aku tidak akan bisa menggerakkan bisnis. Dan juga, ini puncak musim."

Musim hujan membuat rumput tumbuh luar biasa cepat.

"Bagaimana menurutmu? Bagaimana jika satu minggu lagi? Berikan aku satu minggu. Aku mungkin akan bisa menemukan tangan baru, dan semuanya akan baik-baik saja. Jika kamu bersedia melakukan itu untukku, aku akan memberimu bonus."

Baik, kataku kepadanya. Aku tidak punya rencana lain untuk saat ini, dan di atas segalanya, aku sama sekali tidak keberatan dengan pekerjaan itu. Meskipun begitu, aku tidak bisa tidak berpikir betapa anehnya situasi ini: Saat aku memutuskan aku tidak membutuhkan uang, uang mulai mengalir masuk.

Cuaca cerah tiga hari berturut-turut, lalu satu hari hujan, lalu tiga hari lagi cuaca cerah. Begitulah minggu terakhirku bekerja. Ini adalah musim panas, meski tidak ada yang istimewa dalam arti musim panas. Awan melayang-layang di langit seperti kenangan yang jauh. Matahari membakar kulitku. Punggungku mengelupas tiga kali, dan pada saat itu kulit di sekujur tubuhku berwarna gelap. Bahkan di belakang telinga.

Pagi hari terakhir aku berkerja, aku mengenakan pakaianku yang biasa—kaos oblong dan celana pendek, sepatu tenis, kacamata hitam—hanya saja sekarang saat aku naik ke dalam minivan, aku menuju ke halaman rumput terakhirku. Radio mobil bermasalah, jadi aku membawa radio transistor dari rumah untuk mendengarkan musik selama perjalanan. Creedence, Grand Funk, musik rock biasa di radio AM. Semuanya berputar di sekitar matahari musim panas. Aku bersiul dengan potongan musik, dan merokok saat tidak bersiul. Seorang pembaca berita FEN sedang terbata-bata dalam daftar nama tempat-tempat di Vietnam yang sulit diucapkan.

Pekerjaan terakhirku berada di dekat Taman Hiburan Yomiuri Land. Baguslah. Jangan tanya mengapa seseorang yang tinggal di luar batas Prefektur Kanagawa merasa terdorong untuk menghubungi layanan pemotong rumput Setagaya Ward. Meski begitu, aku tak punya hak untuk mengeluh. Artinya, aku sendirilah yang memilih pekerjaan itu. Pergi ke kantor segera setelah bangun tidur di pagi hari, dan semua pekerjaan hari itu akan ditulis di papan tulis; setiap orang kemudian mendaftar untuk tempat-tempat di mana dia ingin bekerja. Kebanyakan kru biasanya memilih tempat-tempat terdekat. Tidak memakan banyak waktu, sehingga bisa mengambil pekerjaan lain lagi setelahnya. Aku, di sisi lain, memilih pekerjaan yang paling jauh. Selalu begitu. Dan itu acap membingungkan yang lain. Namun seperti yang kukatakan sebelumnya, aku adalah orang nomor satu di antara pekerja paruh waktu, jadi aku mendapat pilihan pertama untuk pekerjaan apa pun yang kuinginkan.

Tidak ada alasan khusus untuk pilihan-pilihan itu, sebenarnya. Aku hanya suka memotong rumput ke tempat yang lebih jauh. Aku menikmati waktu di jalan, menikmati pemandangan yang lebih lama di sepanjang perjalanan. Aku tidak berniat memberi tahu siapa pun tentang itu—siapa yang akan mengerti?

Aku mengemudi dengan semua jendela terbuka. Angin terasa kencang saat aku meninggalkan kota, sekitar menjadi lebih hijau. Panasnya rumput dan bau tanah kering semakin kuat; awan tergambar tajam di langit. Cuaca yang menakjubkan. Sempurna untuk melakukan perjalanan singkat di musim panas bersama seorang gadis. Aku berpikir tentang laut yang sejuk dan pasir yang hangat. Dan kemudian aku memikirkan ruangan ber-AC yang nyaman dengan seprai biru lembut di tempat tidur. Itu saja. Selain itu, aku tidak memikirkan apa-apa. Pikiranku hanya tentang pantai dan seprai biru.

Aku terus memikirkan hal-hal ini sambil mengisi tangki di pompa bensin. Aku rebahan di rerumputan terdekat dan dengan santai memperhatikan petugas memeriksa oli dan menyeka jendela. Dengan mendekatkan telinga ke tanah, bisa kudengar segala macam suara. Aku bahkan bisa mendengar suara yang terdengar seperti ombak yang jauh, meskipun tentu saja bukan. Hanya guruh dari berbagai suara bumi yang diserap. Di depan mataku, seekor serangga merayap pada sehelai rumput. Serangga hijau kecil dengan sayap. Serangga itu berhenti saat mencapai pucuk rumput, merenung sejenak, lalu memutuskan untuk kembali dengan cara yang sama seperti saat datang. Tampak tidak begitu terganggu.

Aku bertanya-tanya apakah panas juga mempengaruhi serangga?

Siapa yang tahu?

Dalam sepuluh menit, tangki sudah penuh, dan petugas membunyikan klakson untuk memberi tahuku.

Alamat tujuanku ternyata ada di bukit. Bukit yang lembut, megah, dan bergelombang dengan deretan pohon zelkova di kedua sisi. Di salah satu halaman, dua anak laki-laki kecil yang telanjang bulat menyiram satu sama lain dengan selang. Semprotan air menciptakan pelangi kecil berkaki dua di udara. Dari jendela yang terbuka terdengar suara seseorang berlatih piano. Mengalun indah; kamu akan mengira itu rekaman.

Aku menghentikan mobil di depan rumah yang ditunjuk, keluar, dan menekan bel pintu. Tidak ada jawaban. Semuanya sunyi senyap. Tidak ada seorang pun terlihat, seperti saat siesta di negara-negara Latin. Aku menekan bel pintu sekali lagi. Lalu kembali menunggu.

Rumah kecil ini tampak bagus: dinding plester berwarna krim dengan cerobong asap persegi berwarna sama yang menonjol dari tengah-tengah atap. Tirai putih menggantung di jendela, yang dikelilingi bingkai abu-abu, kendati keduanya terpapar sinar matahari seiring waktu. Ini adalah rumah tua, rumah yang semakin indah karena usianya. Jenis rumah yang sering kamu temukan di resor musim panas, dihuni setengah tahun dan ditinggalkan setengahnya lagi. Kamu tahu lah tipe seperti apa.

Ada udara yang hidup di dalam rumah yang memberinya pesona.

Halaman dibatasi oleh dinding bata Prancis setinggi pinggang yang di atasnya ditumbuhi semak bunga mawar. Mawar-mawar itu sudah benar-benar rontok, hanya meninggalkan daun-daun hijau untuk menyerap sinar matahari musim panas yang menyilaukan. Aku belum benar-benar melihat rumputnya, tetapi halaman itu tampak cukup besar, dan ada pohon kapur barus besar yang membuat bayangan sejuk di atas rumah berwarna krim itu.

Pintu depan terbuka perlahan pada ketukan ketiga, dan seorang wanita paruh baya muncul. Seorang wanita besar. Aku sendiri tidak terlalu kecil, tetapi dia setidaknya satu setengah inci lebih tinggi dariku. Bahunya juga tampak lebar. Dia terlihat seperti marah pada sesuatu. Usianya sekitar lima puluh, menurutku. Tentu tak bisa lagi dibilang cantik, tetapi wajahnya tetap enak dilihat. Walaupun, tentu saja, "enak dilihat" yang kumaksud bukan berarti sangat menyenangkan. Alis agak tebal dan rahang persegi menunjukkan temperamennya yang keras, temperamen tidak pernah menarik kembali kata-katanya.

Dengan mata yang seperti mengantuk, dia menatapku dengan tatapan orang yang terganggu. Rambut kaku dan keriting yang sedikit beruban terlihat di ubun-ubun kepalanya; kedua lengannya yang tebal terkulai dari bahu gaun katun coklat lusuh. Lengannya pucat pasi. "Ada apa?" katanya.

"Saya datang untuk memotong rumput," kataku, melepaskan kacamata hitamku.

"Rumput?" Dia memutar lehernya. "Kamu memotong rumput?"

"Benar, dan karena Anda yang menelepon—"

"Oh, sepertinya aku memang ada menelepon. Rumput. Hari ini tanggal berapa?"

"Tanggal empat belas."

Dengan menguap, dia berkata, "Empat belas, ya?" Kemudian dia menguap lagi. "Eh, kamu punya rokok, tidak?"

Aku mengeluarkan sebungkus rokok Hope regular dari saku, menawarkan satu padanya, dan menyalakannya dengan korek api. Kemudian dia menghembuskan asap panjang dan santai ke udara terbuka.

"Sebelum itu ..." dia memulai. "Bagaimana hitung-hitungannya?"

"Mungkin waktunya dulu, sudah pas atau tidak?"

Dia mengangkat dagunya dan menganggukkan kepala.

"Tergantung ukurannya dan seberapa banyak pekerjaan yang diperlukan. Bolehkah saya melihatnya?"

"Silakan. Karena kamu harus menilainya terlebih dahulu."

Ada beberapa semak hortensia dan pohon kapur barus yang sisanya adalah rumput. Dua sangkar burung kosong diletakkan di bawah jendela. Tampaknya halaman itu dirawat dengan baik, rumputnya cukup pendek—hampir tidak perlu dipotong. Aku agak kecewa.

"Ini masih bagus untuk dua minggu ke depan. Tidak perlu memotongnya sekarang."

"Tapi itu keputusanku, benar kan?"

Aku meliriknya sebentar. Yah, dia benar.

"Aku mau rumputnya lebih pendek. Itu sebabnya aku membayarmu. Sepakat?"

Aku mengangguk. "Saya akan selesai dalam empat jam."

"Apa menurutmu itu tidak terlalu lambat?"

"Saya suka bekerja pelan."

"Yah, terserah kamu sendiri lah."

Aku pergi ke van, mengeluarkan pemotong rumput listrik, gunting rumput, sekop, kantong sampah, termos es kopiku, dan radio transistor, lalu membawanya ke halaman. Matahari terus naik ke tengah langit dengan mantap. Suhunya juga terus naik. Sementara itu, ketika aku mengeluarkan peralatan, wanita itu sudah menyusun sepuluh pasang sepatu di depan pintu dan mulai membersihkannya dengan kain. Semuanya sepatu wanita, tetapi dalam dua ukuran yang berbeda, kecil dan sangat besar.

"Boleh saya memutar musik selama saya bekerja?" tanyaku.

Wanita itu menoleh dari tempat dia jongkok. "Nah itu bagus. Aku juga suka musik."

Segera aku mulai menyingkirkan batu-batu yang tergeletak di sekitar halaman, barulah setelahnya memulai dengan alat pemotong rumput. Batu-batu bisa merusak pisau. Pemotong rumput dilengkapi dengan wadah plastik untuk mengumpulkan semua potongan rumput. Aku akan melepas wadah ini ketika sudah terlalu penuh dan mengosongkan potongan rumput ke dalam kantong sampah. Dengan dua ribu kaki persegi untuk dipotong, meskipun rumputnya masih pendek, potongan rumputnya bisa menjadi banyak. Matahari terus memanggangku. Aku melepaskan kaos yang basah karena keringat dan terus bekerja. Dengan celana pendek, aku pasti kelihatan seperti tengah memanggang barbekyu. Aku bersimbah keringat. Dengan keringat sebanyak ini, aku bisa terus minum dan minum, tanpa ada keinginan kencing.

Setelah sekitar satu jam memotong rumput, aku istirahat dan duduk di bawah pohon kapur barus untuk minum kopi es. Aku bisa merasakan seluruh tubuhku menyerap gula. Suara cengkerik berdengung di atas kepala. Aku menyalakan radio dan memutar tombol untuk mencari acara yang bagus. Aku berhenti ketika menemukan stasiun yang memutar lagu "Mama Told Me Not to Come"-nya Three Dog Night, berbaring telentang, dan hanya menatap matahari yang tersaring di balik cabang-cabang pohon kapur barus.

Wanita itu datang dan berdiri di samping kepalaku. Dilihat dari bawah, dia menyerupai pohon kapur barus. Tangan kanannya memegang gelas, dan di dalamnya wiski dan es berputar-putar di bawah cahaya musim panas.

"Panas, ya?" katanya.

"Benar sekali," jawabku.

"Jadi apa yang kamu makan untuk makan siang?"

Aku melihat jam tangan. Pukul 11:20.

"Kalau nanti jam 12, saya akan pergi mencari makanan di suatu tempat. Saya pikir ada warung hamburger di dekat sini."

"Tidak perlu repot-repot. Aku akan membuatkanmu sandwich atau apa lah."

"Sebenarnya, tidak apa-apa. Saya memang selalu pergi makan."

Dia mengangkat gelas wiski ke mulutnya dan menenggak setengahnya dengan satu tegukan. Kemudian dia mengkerutkan bibirnya dan menghembuskan napas. "Tidak merepotkan. Aku memang akan membuat sesuatu untukku sendiri. Ayo, biarkan aku memberi kamu makan."

"Nah, kalau begitu, baiklah. Terima kasih banyak."

"Tidak apa-apa," katanya, dan berjalan kembali ke dalam rumah, bahunya bergoyang pelan.

Aku bekerja dengan gunting rumput hingga pukul dua belas. Pertama, aku merapikan bagian-bagian yang tidak merata setelah dipotong; kemudian, setelah mengumpulkan potongan-potongan rumput, aku mulai memangkas di tempat pemotong rumput tidak bisa mencapai. Pekerjaan yang benar-benar memakan waktu. Jika aku hanya ingin melakukan pekerjaan seadanya, maka sampai segitu saja sudah cukup, tidak lebih; namun jika aku ingin melakukannya dengan benar, aku harus melakukannya dengan benar. Akan tetapi, hanya karena aku memperhatikan detail bukan berarti usahaku itu selalu dihargai. Beberapa orang mungkin menganggapnya suka cari-cari hal remeh. Meskipun begitu, seperti yang kukatakan sebelumnya, aku suka melakukan yang terbaik. Memang sudah sifatku. Terlebih, itu soal kebanggaan.

Peluit tengah hari terdengar di suatu tempat, dan wanita itu mengajakku ke dapur untuk makan sandwich. Dapurnya tidak besar, tapi bersih dan rapi. Dan kecuali dengungan lemari es besar, semuanya sunyi. Piring dan peralatan makan hampir bisa dibilang antik. Dia menawarkanku sebotol bir, yang kutolak, karena aku masih "dalam tugas". Maka dia memberiku jus jeruk. Namun dia sendiri, minum bir. Sebotol White Horse setengah kosong berdiri dengan tegas di atas meja, dan wastafel penuh dengan segala jenis botol kosong.

Aku menikmati sandwich itu. Daging ham, selada, dan mentimun, dengan saos mustard. Sandwich yang sangat enak, kataku. Dia hanya pandai membuat sandwich, katanya. Namun dia tidak makan sedikit pun—hanya menggigit sepotong acar, dan hanya fokus pada birnya. Dia tidak terlalu pandai berbasa-basi, dan aku sendiri tidak punya hal yang layak diomongkan.

Pukul dua belas lewat tiga puluh, aku kembali ke halaman. Halaman rumput sore terakhirku.

FEN sedang memutar musik rock saat aku memberikan sentuhan terakhir pemangkasan, kemudian mengumpulkan potongan-potongan rumput berulang kali dan memeriksa dari berbagai sudut kalau-kalau ada tempat yang terlewatkan, seperti yang dilakukan tukang cukur. Pukul satu lewat tiga puluh, aku sudah menyelesaikan dua pertiga pekerjaan. Berkali-kali, keringat masuk ke mata, dan aku akan pergi menyiram wajah di keran luar. Beberapa kali aku ereksi, lalu hilang lagi. Cukup konyol, mendapatkan ereksi hanya dengan memotong rumput.

Aku selesai bekerja pada pukul dua lewat dua puluh. Kumatikan radio, melepas sepatu, dan berjalan-jalan di seluruh halaman dengan kaki telanjang: tidak ada yang terlewat yang belum dipangkas, tidak ada bagian yang tidak rata. Halus layaknya permadani.

"Bahkan sekarang pun, aku masih menyukaimu," tulisnya dalam surat terakhirnya. "Kamu baik, dan salah satu orang terbaik yang pernah kukenal. Tapi entah mengapa, itu tidak cukup. Aku tidak tahu mengapa aku merasa seperti itu, aku hanya merasa begitu. Ini adalah hal yang mengerikan untuk dikatakan, aku tahu, dan itu mungkin tidak akan banyak menjelaskan. Sembilan belas adalah usia yang mengerikan. Mungkin dalam beberapa tahun aku akan bisa menjelaskan segalanya dengan lebih baik, tetapi setelah beberapa tahun itu, barangkali sudah tidak lagi penting, bukan?"

Aku membasuh wajahku di keran, lalu memuat peralatanku kembali ke van dan mengganti kaos dengan yang baru. Setelah melakukan semua itu, aku pergi ke pintu depan rumah untuk memberitahu bahwa aku telah selesai.

"Bagaimana kalau bir dulu?" tanya wanita itu.

"Tidak masalah," kataku. Memangnya masalah apa yang bisa ditimbulkan dari sebotol bir?

Berdiri berdampingan di tepi halaman, kami memandangi rumput, aku dengan birku, dia dengan long vodka tonik, tanpa lemon. Gelas tingginya persis seperti gelas di toko minuman keras. Cengkerik masih bersiul sepanjang waktu. Wanita itu sama sekali tidak terlihat mabuk; hanya napasnya yang tampak agak tidak wajar, ditarik pelan di antara giginya dengan sedikit mengi.

"Kamu bekerja dengan baik," katanya. "Aku sebelumnya sudah memanggil banyak orang untuk mengurus rumput, tetapi kamu yang pertama kali melakukan pekerjaan sebaik ini."

"Anda sangat baik," kataku.

"Mendiang suamiku dulu sangat cerewet soal rumput, tahu. Dia sendiri yang selalu mengurusnya, pekerjaannya sangat rapi. Mirip sekali dengan cara kamu bekerja."

Aku mengeluarkan rokok dan menawarkannya sebatang. Berdiri di sana sembari merokok, aku melihat seberapa besar tangannya dibanding tanganku. Cukup besar untuk menggenggam baik gelas di tangan kanannya dan Hope regular di tangan kirinya. Jari-jarinya pendek—tidak ada cincin—dan beberapa kuku memiliki garis vertikal kuat yang melintasinya.

"Setiap kali suamiku ada waktu luang, dia selalu merapikan rumput. Tetapi bukan berarti dia orang aneh."

Aku mencoba membayangkan suami wanita itu, namun aku tidak bisa membayangkan orang itu dengan jelas. Yang bisa kubayangkan tidak lebih jelas dari sepasang pohon kapur barus.

Wanita itu mengi lagi. "Sejak suamiku meninggal," katanya, "aku harus memanggil tukang potong rumput. Aku tidak tahan terlalu lama terkena sinar matahari. Dan anak perempuanku tidak mungkin bisa diharap, dia tidak suka kulitnya terbakar matahari. Selain untuk mendapatkan kulit coklat, gadis mana yang mau merawat rumput, ya kan?"

Aku mengangguk.

"Tetapi aku sangat suka cara kerjamu. Itulah cara merawat rumput."

Aku melihat rumput sekali lagi. Wanita itu bersendawa.

"Datang lagi bulan depan, oke?"

"Bulan depan tidak bisa," kataku.

"Kok gitu?" katanya.

"Pekerjaan ini di sini hari ini, adalah yang terakhir buatku," kataku. "Jika aku tidak memulai kembali studiku, IPK-ku akan benar-benar bermasalah."

Wanita itu menatapku dengan serius, lalu menatap kakiku, kemudian menatap kembali wajahku.

"Seorang mahasiswa, ya?"

"Ya," kataku.

"Kampus apa?"

Ekspresinya biasa-biasa saja setelah kusebut nama universitasku. Itu memang bukan universitas yang terlalu mengesankan. Dia hanya menggaruk belakang telinganya dengan jari telunjuknya.

"Jadi kamu akan berhenti dari pekerjaan ini, ya?"

"Ya, setidaknya untuk musim panas ini," kataku. Tidak ada lagi memotong rumput untuk musim panas ini. Juga tidak akan ada lagi untuk musim panas berikutnya, atau berikutnya.

Wanita itu memenuhi pipinya dengan vodka tonik seolah mau berkumur-kumur, lalu menelan racun di mulutnya setengah demi setengah teguk. Dahinya sepenuhnya tertutup keringat, seolah-olah itu sekumpulan serangga kecil yang sedang merangkak.

"Masuklah," kata wanita itu. "Terlalu panas di luar."

Aku melirik jam tanganku. Dua lewat tiga puluh lima. Sudah terlalu sore? Masih cukup pagi? Aku tidak bisa memutuskan. Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Mulai besok, aku tidak perlu lagi memotong rumput sama sekali. Aku benar-benar bingung.

"Kamu buru-buru?" tanyanya.

Aku menggelengkan kepala.

"Jadi, kenapa tidak masuk dan minum sesuatu yang dingin dulu sebelum kamu pulang? Tidak akan lama. Dan selain itu, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu."

Sesuatu yang ingin dia tunjukkan padaku?

Namun, sebelum aku setuju, tanpa ragu, dia sudah mulai berjalan lebih dulu di depanku. Dia bahkan tidak repot-repot untuk menoleh ke arahku. Tidak ada pilihan selain mengikutinya. Aku merasa agak pusing karena panas.

Bagian dalam rumah begitu sunyi sebagaimana sebelumnya. Bersembunyi dari banjir cahaya sore yang begitu tiba-tiba, aku merasa mataku berkedip dari jauh di belakang pupilku. Kegelapan—dalam larutan yang samar—meluap masuk, kegelapan yang tampaknya sudah menetap sejak puluhan tahun yang lalu. Udara dingin, tetapi bukan dari pendingin udara. Itu adalah dingin yang mencair dari udara yang bergerak: Di suatu tempat udara bergerak masuk, dan di suatu tempat ia menerobos keluar.

"Ke sini," kata wanita itu, mengendap menjauh ke lorong panjang nan lurus. Ada beberapa jendela di sepanjang lorong, tetapi dinding batu dari rumah tetangga dan pertumbuhan zelkova masih berhasil memblokir cahaya. Berbagai bau melayang di sepanjang lorong, masing-masing mengingatkan pada sesuatu yang berbeda. Aroma yang sudah usang, menumpuk seiring berjalannya waktu, hanya untuk menghilang dalam waktu. Aroma pakaian lama dan mebel tua, buku lama, kehidupan lama. Di ujung lorong ada tangga. Wanita itu berbalik untuk memastikan aku mengikuti, lalu menuju ke atas tangga. Setiap langkah membuat papan tangga itu berderit.

Di puncak tangga, akhirnya ada cahaya yang masuk ke rumah. Jendela di tangga tidak memiliki gorden, dan matahari musim panas tergenang di lantai. Hanya ada dua kamar di lantai atas, satu ruang penyimpanan, yang lainnya kamar tidur biasa. Sebuah pintu berwarna hijau dengan kaca buram kecil yang berembun. Cat hijau mulai agak mengelupas, dan gagang pintu dari kuningan yang mulai memutih.

Wanita itu mengatupkan bibirnya dan menghembuskan nafas perlahan, meletakkan gelas vodka-tonic-nya yang kosong di ambang jendela, mengeluarkan gantungan kunci dari saku bajunya, dan dengan berisik membuka kunci pintu.

"Masuklah," katanya. Kami masuk ke dalam ruangan. Di dalam, gelap dan pengap, penuh dengan udara panas yang tidak bergerak. Hanya segaris tipis cahaya perak yang masuk dari celah di antara daun jendela yang tertutup rapat. Aku tidak bisa melihat apa-apa, hanya titik-titik debu di udara yang berkelap-kelip. Wanita itu menarik gorden dan membuka jendela. Tiba-tiba, ruangan itu diterpa sinar matahari yang cerah dan angin selatan yang sejuk.

Kamar itu adalah kamar gadis remaja pada umumnya. Meja belajar dekat jendela, tempat tidur kecil berbingkai kayu di sisi lain ruangan. Tempat tidurnya dilapisi seprai berwarna biru koral—tidak ada kerutan di atasnya—dan sarung bantal dengan warna yang sama. Ada juga selimut yang terlipat di kaki tempat tidur. Di samping tempat tidur berdiri sebuah lemari pakaian dan meja rias yang di atasnya ditata beberapa perlengkapan mandi. Sikat rambut dan gunting kecil, lipstik, bedak tabur, dan yang lainnya. Dia tampaknya tidak terlalu menyukai riasan.

Di atas meja terdapat buku catatan dan dua kamus, bahasa Prancis dan Inggris. Keduanya tampak digunakan dengan baik. Secara harfiah begitu; tidak dirusak melainkan diperlakukan dengan hati-hati. Bermacam-macam pulpen dan pensil tertata rapi di dalam nampan kecil, beserta penghapus yang digunakan di salah satu sisinya saja. Lalu ada jam weker, lampu meja, dan penindih kertas dari kaca. Semuanya cukup sederhana. Di dinding berpanel kayu tergantung lima gambar burung dengan bermacam warna dan kalender yang hanya berisi tanggal. Jari yang menyentuh meja jadi putih oleh debu yang menumpuk selama satu bulan penuh. Kalender masih bertuliskan Juni.

Namun secara keseluruhan, menurutku ruangan itu sangat rapi dan menyegarkan untuk seorang gadis saat ini. Tidak ada boneka, tidak ada foto bintang rock. Tidak ada dekorasi meriah atau tempat sampah bermotif bunga. Hanya rak buku yang dipenuhi antologi, volume puisi, majalah film, katalog pameran lukisan. Bahkan ada beberapa novel berbahasa Inggris. Aku mencoba membentuk gambaran gadis pemilik kamar ini, tapi satu-satunya wajah yang terlintas di benakku hanyalah wajah mantan pacarku.

Wanita itu mendudukkan tubuh setengah bayanya di tempat tidur dan menatapku. Dia dari tadi mengikuti pandanganku tetapi sepertinya memikirkan sesuatu yang sama sekali berbeda. Matanya memang tertuju ke arahku, tetapi dia tidak benar-benar melihat apa pun. Aku menjatuhkan diri di kursi dekat meja dan menatap dinding plester di belakang wanita itu. Tidak ada yang tergantung di sana; hanya dinding kosong. Namun, jika menatapnya cukup lama, bagian atasnya mulai condong ke arahku. Seolah akan jatuh menimpa kepalanya kapan saja. Tapi tentu saja, hal itu tidak akan terjadi; bias cahaya membuatnya tampak seperti itu.

"Kamu tidak mau minum sesuatu?" tanyanya. Kujawab tidak.

"Sungguh, jangan terlalu formal. Ini bukan seperti kamu akan menyesal hanya karena minum sesuatu."

Maka kujawab baiklah, aku mau yang sama, menunjuk ke vodka toniknya, tolong campurkan sedikit air. Lima menit kemudian, dia kembali dengan dua vodka tonik dan asbak. Aku menyesap vodka tonikku. Itu sama sekali tidak dicampur air. Kuputuskan merokok sebatang dan menunggu es mencair.

"Kamu punya tubuh yang sehat," katanya. "Kamu tidak akan mabuk."

Aku mengangguk dengan samar. Ayahku juga begitu. Tetap saja, belum ada satu pun manusia yang menang dalam pertarungan melawan alkohol. Yang ada hanyalah orang-orang yang tidak pernah memahami sesuatu sampai mereka benar-benar tenggelam. Ayahku meninggal ketika aku berumur enam belas tahun. Contoh kasus nyata yang sangat bagus. Sangat bagus hingga aku bahkan hampir tidak ingat apakah dia masih hidup atau tidak.

Wanita itu diam saja untuk waktu yang lama. Satu-satunya suara yang dia keluarkan hanyalah dentingan es di gelasnya setiap kali dia menyesapnya. Sesekali angin sejuk bertiup masuk melalui jendela yang terbuka dari bukit lain di seberang sana. Suatu sore musim panas yang tenang yang sepertinya ditakdirkan untuk membuatku tertidur. Di suatu tempat, jauh di luar sana, ada telepon berdering.

“Coba lihat ke dalam lemari,” dorong wanita itu. Aku berjalan ke lemari dan membuka pintu ganda, sebagaimana yang diperintahkan. Bagian dalamnya benar-benar penuh dengan gantungan baju. Separuhnya gaun, separuh lagi rok, blus, dan jaket, semuanya pakaian musim panas. Ada yang tampak kuno, ada pula yang seolah-olah tidak pernah dicoba. Semua roknya merupakan rok mini. Semuanya cukup bagus, menurutku. Baik model maupun bahannya tidak ada yang begitu menarik perhatian, tapi tidak buruk.

Dengan pakaian sebanyak ini, seorang gadis bisa memakai pakaian yang berbeda setiap kencan selama satu musim panas. Kulihat lagi rak pakaian itu sebentar, lalu menutup pintunya.

"Pakaian yang bagus," kataku.

"Lihatlah di dalam laci," kata wanita itu. Aku ragu, tetapi apa yang bisa kulakukan? Aku menyerah dan membuka laci di bagian bawah lemari satu per satu. Masuk ke dalam kamar seorang gadis dalam ketidakhadirannya dan membolak-balikkan semuanya—bahkan dengan izin ibunya—bagiku bukan hal yang pantas dilakukan, tetapi akan sama merepotkan jika menolaknya. Jauh lebih baik bagiku untuk mencari tahu apa yang ada dalam pikiran seseorang yang mulai minum sejak jam sebelas pagi. Di laci besar pertama di atas terdapat sweater, kemeja polo, dan kaos, dicuci dan dilipat rapi tanpa kerutan. Di laci kedua ada tas, ikat pinggang, saputangan, gelang, ditambah beberapa topi kain. Di laci ketiga, pakaian dalam, kaus kaki, dan stoking. Semuanya bersih dan rapi. Entah bagaimana, itu membuatku merasa agak sedih, seolah ada sesuatu yang membebani dadaku. Aku menutup laci terakhir.

Wanita itu masih duduk di tempat tidur, menatap pemandangan di luar jendela. Vodka tonik di tangan kanannya hampir kosong.

Aku kembali ke kursi dan menyalakan sebatang rokok lagi. Jendela itu menghadap ke lereng landai yang mengarah ke lereng lain. Sejauh mata memandang hanya ada pepohonan, bukit dan lembah, dengan jalan dan rumah-rumah menempelinya. Setiap rumah punya halamannya sendiri, dan setiap halaman merupakan halaman rumput.

"Bagaimana pendapatmu?" tanya wanita itu, matanya masih terpaku pada jendela. "Tentang gadis itu..."

"Bagaimana saya menjawabnya tanpa pernah bertemu dengannya?" kataku.

"Sebagian besar wanita, hanya dengan melihat pakaian mereka, kita bisa tahu seperti apa mereka," katanya.

Aku terpikir tentang pacarku. Kemudian kucoba mengingat jenis pakaian yang ia kenakan. Aku tidak bisa mengingatnya. Apa yang bisa kuingat darinya begitu samar. Tidak lama setelah aku mulai melihat roknya, aku kehilangan pandangan atas blusnya; aku berhasil membayangkan topinya ketika wajahnya berubah menjadi wajah gadis lain. Aku tak bisa mengingat satu hal pun dari hanya setengah tahun sebelumnya. Ketika sampai pada hal yang benar-benar penting, apa yang aku tahu tentangnya?

"Bagaimana saya menjawabnya?" ulangku.

"Kesan umum sudah cukup. Apa pun yang terlintas di pikiran. Apa pun yang ingin kamu katakan, bahkan hanya sepotong kecil."

Aku menyesap vodka tonik untuk memberi diriku waktu. Es hampir semuanya meleleh, membuat air tonik terasa seperti lemonade. Vodka masih memberikan efek ketika diminum, menciptakan rasa hangat di perut. Angin sepoi-sepoi melewati jendela dan menerbangkan abu rokok putih ke atas meja.

“Kelihatannya dia baik—sangat baik—menjaga semuanya tetap teratur,” kataku. “Tidak terlalu memaksa, meski juga bukan tanpa karakter. Nilainya berada di kisaran menengah atas di kelasnya. Masuk perguruan tinggi wanita atau perguruan tinggi junior, tidak punya banyak teman, tapi punya teman dekat…  Apakah saya benar?”

"Teruskan."

Aku mengaduk-aduk gelas di tanganku beberapa kali, lalu meletakkannya di atas meja. "Saya tidak tahu harus berkata apa lagi. Pada dasarnya, saya bahkan tidak tahu apakah apa yang sudah saya katakan sejauh ini mendekati."

"Kamu cukup tepat," katanya dengan datar, "cukup tepat."

Sedikit demi sedikit, aku mulai bisa merasakan keberadaan gadis itu; kehadirannya menyelimuti segala sesuatu di ruangan itu seperti bayangan putih yang samar. Tanpa wajah, tanpa tangan, tanpa apa pun. Hanya gangguan yang nyaris tak terlihat di lautan cahaya. Aku menyesap tonik vodkaku lagi.

"Ia punya seorang pacar," lanjutku, "atau dua. Saya tidak tahu. Saya tidak bisa mengatakan seberapa dekat mereka. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah ... ia belum benar-benar merasa harus melakukan apa pun. Baik itu tubuhnya sendiri, hal-hal yang ia pikirkan, apa yang ia cari, apa yang orang lain cari darinya ... semuanya sudah berhasil."

"Uh-huh," kata wanita itu setelah jeda sejenak. "Aku mengerti apa yang kamu maksudkan."

Aku sendiri tidak mengerti. Oh, aku tentu tahu apa arti kata-kata itu, tetapi kepada siapa arahnya? Dan dari sudut pandang siapa? Aku merasa lelah, hanya ingin tidur. Seandainya aku bisa tidur, banyak hal pasti akan jadi lebih jelas. Meskipun begitu, aku tidak yakin bahwa dengan segala sesuatunya lebih jelas akan membuatnya lebih mudah.

Mendengar itu wanita itu terdiam cukup lama. Aku juga menahan lidahku. Sepuluh, lima belas menit seperti itu. Tidak ada yang lebih baik untuk dilakukan dengan tanganku, akhirnya aku meminum setengah vodka tonik. Angin sedikit berhembus, dan daun-daun bundar pohon kapur barus mulai bergoyang.

"Maaf, seharusnya aku tidak menahanmu di sini," kata wanita itu beberapa saat kemudian. "Kamu sudah membuat halamanku menjadi indah, aku hanya terlalu senang."

"Terimakasih," kataku.

"Biarkan aku membayar," katanya, mendorong tangan putih besarnya ke dalam saku gaunnya. "Berapa biayanya?"

"Nanti mereka akan mengirimkan tagihan resmi kepada Anda. Anda bisa bayar lewat transfer bank," kataku.

"Oh," kata wanita itu.

Kami kembali turun melalui tangga yang sama, melalui lorong yang sama, keluar ke pintu depan. Lorong dan ruang depan sama dinginnya seperti saat kami masuk, dingin dan gelap. Aku merasa seperti kembali ke masa kanak-kanak, kembali pada musim panas ketika aku dulu suka berjalan di sungai yang dangkal dan melewati bawah jembatan besi besar. Rasanya persis sama. Gelap, dan tiba-tiba suhu air menjadi turun. Dan kerikil-kerikil di dasarnya akan punya lendir yang lucu. Ketika aku sampai di pintu depan dan mengenakan sepatu tenisku, rasanya sungguh lega!

"Pangkasan yang sangat indah," kata wanita itu, sekali lagi memandang halaman.

Aku juga melihat halaman itu lagi. Pekerjaan yang sangat indah, tentu saja.

Wanita itu merogoh sakunya, dan mulai mengeluarkan segala macam barang—benar-benar segala jenis barang—dari situ dia mengambil uang kertas sepuluh ribu yen yang sudah kusut. Uang itu bahkan tidak terlalu tua, hanya saja sudah kusut. Seolah sudah berusia empat belas, lima belas tahun. Setelah ragu sejenak, aku memutuskan sebaiknya tidak menolak.

"Terimakasih," kataku.

Wanita itu tampaknya masih meninggalkan sesuatu yang belum diucapkan. Seolah-olah dia tidak tahu bagaimana mengatakannya. Dia menatap ke bawah ke gelas di tangan kanannya, agak bingung. Gelasnya kosong. Lalu dia melihat kembali ke arahku.

"Jika kamu memutuskan untuk mulai memotong rumput lagi, pastikan untuk meneleponku. Kapan saja."

"Baik," kataku. "Akan saya lakukan. Dan terima kasih atas sandwich dan minumannya."

Wanita itu terlihat bimbang, lalu segera berbalik badan dan berjalan kembali ke pintu depan. Aku menghidupkan mesin mobil van dan menyalakan radio. Sudah hampir pukul tiga.

Aku berhenti di tempat makan untuk mengambil napas sejenak dan memesan Coca-Cola dan spaghetti. Spaghetti itu sangat menjijikkan sehingga aku hanya bisa makan setengahnya. Tapi sebenarnya, jika kamu ingin tahu, aku tidak lapar sama sekali. Seorang pelayan yang terlihat kurang sehat membersihkan mejaku, dan aku tertidur di sana, duduk di kursi berlapis vinil. Tempat ini sepi, dan pendingin ruangannya cukup nyaman. Itu hanya tidur singkat—tanpa mimpi. Jika ada, tidur itu sendirilah mimpinya. Meskipun ketika aku membuka mata, sinar matahari tidak seterik sebelumnya. Aku minum Coca-Cola lagi, lalu membayar tagihannya dengan uang sepuluh ribu yen yang baru saja kudapat.

Aku keluar ke tempat parkir, masuk ke dalam van, menaruh kunci di dashboard, dan mengisap sebatang rokok. Rasa sakit kecil secara bersamaan merambati otot-ototku yang lelah. Mengingat semuanya, aku benar-benar lelah. Aku menyingkirkan gagasan untuk mengemudi dan hanya tenggelam di kursi. Aku mengisap rokok lainnya. Semuanya terasa sangat jauh, seperti melihat melalui ujung yang salah dari sepasang teropong. "Aku yakin kamu pasti menginginkan banyak hal dariku," tulis pacarku, "tapi aku sendiri tidak bisa membayangkan ada satu pun dalam diriku yang kamu inginkan."

Satu-satunya yang aku inginkan, terbersit dalam pikiranku, adalah memotong rumput dengan baik. Melakukan sekali putaran dengan mesin pemotong rumput, mengumpulkan serpihan-serpihan rumput, dan kemudian memotongnya rapi dengan gunting—itu saja. Dan itu, bisa kulakukan. Karena kurasa cara itulah yang seharusnya dilakukan.

Benarkah begitu? Teriakku.

Tidak ada jawaban.

Sepuluh menit kemudian, manajer tempat makan datang dan membungkuk di samping van untuk bertanya apakah semuanya baik-baik saja.

"Aku merasa agak pusing," kataku.

"Ya, cuaca memang panas. Apakah aku harus membawakanmu air?"

"Terimakasih. Tapi sebenarnya, aku baik-baik saja."

Aku keluar dari tempat parkir dan bergerak ke arah timur. Di kedua sisi jalan ada rumah-rumah yang berbeda, halaman yang berbeda, orang-orang yang berbeda, semuanya menjalani kehidupan yang berbeda. Dengan tangan di kemudi, aku melihat seluruh panorama yang berlalu, mesin pemotong rumput berderak di kompartemen belakang.


***


Sejak itu aku tidak pernah lagi memotong rumput. Suatu hari nanti, jika aku tinggal di sebuah rumah yang ada halamannya, aku mungkin akan memotong rumput lagi. Tapi itu pasti akan memakan waktu yang lama. Tapi saat waktunya tiba, aku pasti akan melakukannya dengan benar.[]


Catatan:

Cerpen ini saya terjemahkan dari versi Inggris terjemahan Alfred Birnbaum, The Last Lawn of the Afternoon dalam kumpulan cerpen The Elephant Vanishes (Murakami, 2003, London: Vintage)


Haruki Murakami lahir di Kyoto pada tahun 1949 dan sekarang tinggal di dekat Tokyo. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan yang terbaru dari banyak penghargaan internasionalnya adalah Jerusalem Prize, yang penerima sebelumnya termasuk J. M. Coetzee, Milan Kundera, dan V. S. Naipaul.


No comments:

Post a Comment

Cerpen Haruki Murakami: Keheningan