Thursday, August 24, 2017

Norwegian Wood dan Bagaimana Kenangan Bekerja

Sudah dua hari yang lalu menyelesaikan baca Norwegian Wood-nya Haruki Murakami, tapi sampai sekarang rasanya masih berada dalam suasana novel itu. Begitu menamatkannya, aku mencoba membaca novel lain, tapi tidak bisa. Aku seperti tidak bisa move on.
Norwegian Wood yang kupunya itu adalah cetakan pertama, dengan cover putih berlubang yang memperlihatkan warna merah di baliknya, sehingga terlihat seperti bendera Jepang, serta dengan ukuran buku masih kecil, namun tebal, dan dengan kertas hvs.
Aku membelinya di toko buku bekas yang tidak sengaja kutemukan ketika pada suatu malam jalan-jalan ke Pasar Grogol. Niatnya mau beli ketel listrik, tapi karena sudah malam, maka hampir semua toko barang elektronik di pasar itu tidak ada yang buka, kecuali satu, dan itu pun tidak menjual ketel listrik. Lalu, tersembunyi di balik toko buah, dari seberang jalan kulihat sesuatu yang berjajar di rak, tampak seperti buku-buku. Begitu aku mendekat, ternyata benar. Aneh sekali, ironis rasanya, di tengah pasar seperti ini, ada toko yang di dalamnya berjajar buku-buku hingga menutupi seluruh dinding, serta sebuah rak buku besar di tengahnya. Dari penampilannya, serta dari buku-buku yang sekilas kulihat di sana, aku menduga itu tempat penyewaan buku. Seorang ibu-ibu yang tampaknya berdarah chinese, menjaga toko itu.
"Ini buku-bukunya dijual atau disewakan?" tanyaku pada ibu itu.
"Dijual mas."
Aku pun masuk, dan mataku merambati semua deretan buku itu. Semua buku-buku itu sudah disampul, dan jelas sekali semuanya buku original. Banyak sekali buku --yang menurutku--bagus, sebagian aku juga sudah punya. Kepada si ibu pemilik toko aku mengkonfirmasi dugaanku bahwa tempat ini dulunya adalah rental buku. Si ibu membenarkan, juga menjelaskan bahwa usaha rental buku sekarang tidak mungkin lagi bisa laku.
Buku pertama yang kuambil dan kutanyakan harganya adalah Memoirs of a Geisha. Karena letaknya agak tinggi, si Ibu mengambilkannya dengan menaiki kursi plastik. Buku itu ia bawa ke atas meja. Mengelap debu-debunya dengan kain. Membaca sinopsis di belakangnya. Membaca sebagian isinya. Lalu menimbang-nimbangnya.
"Yah.. Tiga puluh lah...," kata ibu itu akhirnya setelah kutunggu dengan sabar.
Aku tersenyum senang. Dan segera memilih-milih buku lain lagi.
Setiap aku menanyakan harga suatu buku, si ibu selalu melakukan ritual yang sama: mengelap debu-debunya, membaca sinopsis di cover belakang, membaca sebagian isinya, lalu menimbang-nimbang harga yang pantas, diiringi dengan pujian atas kelebihan buku tersebut.
Buku-buku yang kupilih adalah Catatan Seorang Demonstran edisi pertama, Bumi Manusia terbitan Hasta Mitra, Norwegian Wood terbitan pertama, Namesake, Interpreter of Maladise, Bochan, dan komik One Piece. Sejak aku memilih Catatan Seorang Demonstran dan buku Pram, si ibu langsung sadar bahwa aku adalah seorang pecinta buku yang rela membayar mahal demi buku yang diinginkan. Maka harga-harga yang diberikan si ibu tidak lagi semurah yang kuharapkan seperti pada kasus Memoirs of a Geisha. Pada akhirnya, karena keterbatasan uang yang kubawa, hanya Norwegian Wood, Catatan Seorang Demonstran, dan Memoirs of Geisha yang kubawa pulang, dengan niat akan kembali lagi ke sana untuk membeli Bumi Manusia terbitan Hasta Mitra yang hanya dijual 50 ribu oleh ibu itu, serta buku lainnya. (Ketika beberapa minggu kemudian aku kembali ke toko itu, ternyata Bumi Manusia, yang edisi langka itu, yang hanya 50 ribu itu, sudah terjual) 😭

***

Norwegian Wood bercerita tentang tokoh aku bernama Watanabe, serta hubungan asmaranya dengan dua gadis yang sangat berbeda, Naoko dan Midori. Sosok Naoko adalah sosok yang, menurutku, puitis. Cinta dengan Naoko adalah cinta yang puitis. Sementara Midori adalah gadis yang spontan, blak-blakan, dan, menurutku, menyenangkan.
Murakami menulis dengan banyak memanfaatkan metafora, jernih, detail, indah, serta dalam. Dan sebagaimana khas Murakami, di novel ini banyak adegan erotis, yang ditulis dengan vulgar, namun tetap indah. 😁
Judul Norwegian Wood sendiri diambil dari judul salah satu lagu The Beatles yang mana merupakan lagu kesukaan Naoko. Naoko rela memberikan uang jika Reiko-san, temannya satu kamar, mau menyanyikan lagu itu.

***

Aku menghabiskan Norwegian Wood cukup lama, entah berapa minggu. Sebagian besar kubaca dalam busway (transjakarta). Membaca dalam busway menurutku sangat nyaman (kecuali kalau berdiri menggantung karena kehabisa kursi). AC-nya yang dingin (jauh berbeda dengan kostku yang pengap), suasananya yang biasanya selalu tenang (karena penumpang busway cenderung orang yang tidak saling kenal, dan mereka biasanya hanya bercengkrama dengan hp masing-masing), bunyi mesin bis yang bagiku cukup menenangkan, seringkali juga terdengar radio yang melantunkan lagu-lagu yang enak, juga goyangan-goyangan dalam bis yang melenakan (seolah-olah kita duduk di ayunan).
Sebagian juga kubaca di toilet saat sedang BAB, yang kulama-lamakan agar bacanya tidak nanggung. (Aku sudah pernah bercerita bahwa aku punya kebiasaan BAB sambil baca buku, dan kebiasaan itu masih berlanjut hingga sekarang).
Sebagian lagi kubaca di emperan masjid samping rumah sakit tempatku bekerja sambil menunggu adzan zuhur (kalau aku dinas siang, jadi usai shalat zuhur langsung ke rumah sakit), atau adzan ashar (kalau dinas pagi, jadi pulang kerja, yang biasanya hampir pukul 3 sore, langsung ke masjid untuk shalat zuhur, lalu duduk menunggu adzan ashar).
Namun, di manapun itu, setiap aku membaca novel ini, entah mengapa selalu saja aku teringat kamu.
Aneh juga, padahal tidak ada satupun yang menghubungkan kita dengan novel ini. Kita tidak punya suatu momen yang berhubungan dengan novel ini. Bahkan kamu pastilah belum membaca novel ini, mungkin tahu pun tidak. Cerita dalam novel ini juga tidak ada yang mirip dengan cerita kita (kalaupun kita memang punya cerita). Tokoh-tokoh wanita di dalamnya juga tidak ada yang mirip dengan karaktermu. Jadi entahlah. Barangkali memang begitu kerja kenangan. Datang begitu saja, melalui sesuatu yang bahkan tidak ada sangkut pautnya.
Mungkin hal ini pula, bahwa 'setiap kali aku membacanya aku selalu teringat kamu' ini, yang membuatku belum bisa membaca novel lain. Walau telah berusaha sekuat tenaga melupakanmu, nyatanya, pada bagian terdalam diriku, aku ingin selalu mengingatmu.

Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, 24 Agustus 2017

No comments:

Post a Comment