Kadang, kamu teringat pada debar itu
Namun dingin yang menyublim
seperti membaca setiap cemasmu
tentang ingin yang enggan
"Pergi hanyalah satu kata," katamu
"Ruang segala napas menuju pulang," kataku
Namun dingin yang menyublim
seperti membaca setiap cemasmu
tentang ingin yang enggan
"Pergi hanyalah satu kata," katamu
"Ruang segala napas menuju pulang," kataku
Sesunyi itulah aku ingin mengenalmu,
lalu rahasia-rahasia kecilmu
Bahwa kau benci cuaca, cuaca apapun
dan kau akan sesak setiap menyentuh benda-benda berwarna pastel
dan berharap ada peluk setelah sepi yang setengahnya telah kau tanam
lalu rahasia-rahasia kecilmu
Bahwa kau benci cuaca, cuaca apapun
dan kau akan sesak setiap menyentuh benda-benda berwarna pastel
dan berharap ada peluk setelah sepi yang setengahnya telah kau tanam
dalam pot bunga di beranda rumahmu
Seperti itulah mata kita yang senang berciuman,
memahat waktu, melukis tanggal,
menggerimiskan sedih yang gelap, raung yang panjang
Sebab nasib akan berjalan di punggungmu,
dan berhenti sejenak di leherku
memahat waktu, melukis tanggal,
menggerimiskan sedih yang gelap, raung yang panjang
Sebab nasib akan berjalan di punggungmu,
dan berhenti sejenak di leherku
Atau celakalah kita, yang merindu sajak
Kemudian menatap langit, meratap jarak
Menunggu menit menjadi kelak
Kemudian menatap langit, meratap jarak
Menunggu menit menjadi kelak
(Puntik Dalam, 15.6.2017)
Keren seperti biasanya.
ReplyDeletemakasih ki.
Delete