Saturday, March 4, 2017

Ke Loksado, Lagi #1: Bukit Palawan dan Benteng Madang


Aku habis dinas malam, yang artinya ada dua hari libur. Yang artinya, ini jadwal untuk pulkam, bertemu orangtua. Dari rumah sakit, aku pulang ke kost. Istirahat sejenak. Mandi. Berpakaian. Memasang tas. Menutup pintu kamar. Menggembok pintu kamar. Menyalakan motor. Motor berjalan pelan. Dari kostku di Jalan Bogor, aku sampai ke Jalan Nusantara, belok kanan, sampai ke jalan R.O Ulin, belok kiri, sampai ke Jalan A. Yani, aku dicegat lampu merah. Sekian belas detik, lampu berubah hijau. Motor kembali berjalan pelan. Aku belok kanan. Sial. Rumah orangtuaku di Marabahan (sebenarnya bukan Marabahan, tapi di Mandastana, kota Marabahan masih satu jam lagi dari Mandastana, tapi sedikit yang tahu Mandastana, maka kusebut saja Marabahan). Jadi aku seharusnya belok kiri.
Tapi aku malas memutar. Aku terus saja. Dan, plang! Dua jam kemudian, aku sudah tiba di Loksado (sebenarnya masih belum di Loksado, melainkan di Padang Batung, kecamatan yang akan kamu lewati jika kamu ke kecamatan Loksado).

Aku tiba di rumah kakak sepupuku di Desa Durian Rabung. Ah, tidak, belum sampai rumahnya. Aku tiba di warungnya. Kakak sepupuku dan suaminya, dan anaknya, tersenyum menyambutku. Aku langsung ditawarkan kopi, disuguhkan kue pais hangat dan pisang goreng panas.
"Ansari masih di sekolah, paling sebentar lagi pulang," kata kakak sepupu. Ansari adalah anak tertua sepupuku. Tiga tahun lebih muda dariku. Dengannya, aku biasa menjelajahi Loksado dan Padang Batung. "Sekarang dia di Tsanawiyah, tidak lagi kerja di SD, lumayan lebih banyak upahnya," tambah suami kakak sepupuku.
Begitulah, usai makan siang, aku dan Ansari menerobos jalan yang basah usai hujan, menuju Bukit Palawan, sekitar lima kilometer dari rumahnya.
Bukit Palawan ini, kata Ansari, mulai booming sejak satu bulan terakhir, lantaran panggung yang dibikin di pohon dan pemandangannya yang bagus. Panggung itu dibuat oleh remaja sekitar, dan dikelola oleh warga. Ada biaya masuk (5K), dan biaya parkir (2K). Kalau mau foto-foto di atas panggung itu, biasanya harus antri yang lama, apalagi kalau hari Minggu. Dalam hati aku bersyukur, ini bukan hari Minggu, dan bersyukur karena habis hujan jadi kemungkinan pengunjung tidak banyak.
Hanya sekian menit, kami sudah tiba di kaki Bukit Palawan yang berlokasi di Desa Mawangi, Kecamatan Padang Batung. Tepatnya di halaman sebuah SD, di sana pula kami memarkir motor. Perjalanan dilanjutkan dengan pendakian. Jalur pendakian sudah dibuat senyaman mungkin oleh pengelola, tanahnya sudah dibuat bertangga-tangga dengan disangga kayu dan batu. Di kiri dan kanan jalan menaik itu juga dibuatkan pegangan tangan. Tapi karena hari itu usai hujan, jalur pendakian itu cukup becek. Selama naik, kami berpapasan dengan pengunjung-pengunjung lain yang turun. Sekitar lima belas menit, kami sudah sampai di puncak bukit, dengan napas tersengal-sengal. Ah, tidak, Ansari tidak, hanya aku yang tersengal lantaran tidak pernah olahraga.
Di puncak bukit, ternyata ada warung, banyak bahkan, kendati saat itu hanya ada satu yang buka. Yang lain mungkin khusus hari Minggu atau hari lain yang kemungkinan banyak orang.
Saat kami tiba di puncak, rombongan pengunjung terakhir sudah bersiap akan turun, maka otomatis hanya tinggal kami berdua. Benar-benar nasib baik. Aku bisa foto-foto sepuasnya tanpa harus menunggu, dan tanpa ditunggu.


***

Aku sudah puas foto-foto,  saat itu pukul tiga sore. Kami duduk minum di warung yang buka tadi.
"Ri, kamu tahu Benteng Madang?" tanyaku.
"Tentu saja. Dekat dari sini, masih Kecamatan Padang Batung, kalau mau ke sana sekarang masih sempat."
"Boleh, tapi hapeku baterainya habis."
"Sama, hapeku juga. Ya sudah, berarti kita balik dulu ke rumah ngambil power bank, baru ke sana."
Kami pun turun. Sesuai rencana, balik ke rumah mengambil power bank, dan meluncur ke Benteng Madang.
Benteng itu berada di puncak bukit. Dari bawah, jalan tangga dengan jumlah ratusan bahkan mungkin ribuan anak tangga harus dinaiki untuk mencapainya.

Benteng ini merupakan peninggalan saat Perang Banjar pecah. Dibuat sebagai basis pertahanan pasukan Banjar menghadapi penjajahan Belanda.
Aku foto-foto di sana. Ansari tidak. Ia sudah terlalu sering ke sini.


Dari atas Benteng Madang ini (yang bisa dipanjat dengan suatu keahlian khusus), pemandangan Pegunungan Meratus dan persawahan warga tampak membentang, hijau, dan menawan. Kabut yang tercipta akibat air hujan yang menguap tampak di mana-mana. Indah sekali.

Kami turun, balik ke rumah, mandi, dan menghabiskan malam dengan istirahat (dan upload foto buat pamer).

No comments:

Post a Comment