Wednesday, March 8, 2017

Dua Tamu Agung


Sudah lebih satu jam kami menunggu di masjid pesantren. Duduk berdesakan, berebut udara. Keringat membanjiri wajah. Kipas angin di atas kepalaku, yang entah sudah berapa tahun usianya, barangkali setua masjid ini, berputar terseok-seok, menderit, mencoba memberi sedikit kesegaran. Tapi udara yang panas membuat putaran kipas angin itu seperti sia-sia.
Gemuruh suara santri yang saling mengobrol terdengar dari segala penjuru. Staff keamanan berkali-kali memberikan teguran lewat pengeras suara supaya kami tidak ribut. Namun santri mana yang masih bisa tenang kalau satu jam lebih menunggu dalam suasana gerah begini?

Si gendut Ansor, yang duduk tepat di depanku, menggunakan sampul kitab yang isinya entah di mana, untuk mengipasi tubuhnya. Sebanyak-banyaknya peluhku, tak ada apa-apanya dibanding keringat si Ansor. Baju gamis putihnya basah seperti baru kehujanan. Sementara aromanya, tak usah ditanya lagi, perpaduan antara asam jawa, kentut, ikan asin, jengkol, dan sedikit air seni kucing, semerbak, menyebar dengan ganasnya dalam radius puluhan meter. Jauh berbeda dengan Ansor, Duan justru dengan damainya tidur sambil bersandar di tiang tanpa peduli keributan dan hawa panas di sekelilingnya. Kepalanya sesekali terantuk, membuka mata sesaat, lalu tidur lagi begitu tahu yang ditunggu masih juga belum datang. Sementara Isur, tampak serius menggambar entah apa di dinding masjid yang catnya sudah memudar, menampilkan warna cat sebelumnya. Mungkin ada puluhan lapis cat di dinding itu, supaya masjid yang sudah berpuluh-puluh tahun tak pernah direnovasi ini tetap terlihat kinclong. Isur sendiri memang hobi menggambar. Kapanpun di mana pun, menggambarlah yang dilakukannya. Kepadaku, ia pernah menjelaskan bahwa nanti ia mau jadi komikus. Aku tak tega mengatakan bahwa ia sebenarnya sama sekali tidak berbakat dalam hal itu.
Itay tak bisa diajak ngobrol. Ia lagi tenggelam dalam dalam novel yang sedang ia baca, novel murahan yang biasa dijual di pasar malam. Novel itu sudah lusuh, akibat terlalu banyak santri yang telah meminjamnya. Aku yakin, pemilik novel itu tidak akan lagi bisa dilacak siapa, dan tentu saja, si pemilik novel pasti juga tidak bisa melacak di tangan siapa novel itu saat ini.
Setelah Ashar begini harusnya aku main bola di lapangan, bukannya menjadi kue kukus begini. Selama empat tahun aku menuntut ilmu di pesantren, belum pernah kami dikumpulkan di masjid hanya untuk  menunggu berjam-jam seperti ini. Walaupun, kegiatan kami sehari-hari sebenarnya tidak jauh-jauh dari masjid. Salat berjamaah lima waktu kami lakukan di masjid, waktu antara Magrib dan Isya kami habiskan dengan pembacaan Alqur’an dan pengajian bersama ustazd-ustazd di masjid, setiap pagi, kami melaksanakan salat dhuha di masjid, setiap malam Jumat, atau lebih tepatnya Jumat dinihari, kami melakukan qiyamul-lail di masjid, setiap malam Rabu, kami melaksanakan pembacaan syair-syair maulid, belum lagi kegiatan-kegiatan peringatan hari besar Islam yang setiap tahun kami laksanakan di pesantren, juga di masjid. Seharusnya kami sudah terbiasa berada di masjid. Sayangnya, tidak untuk kali ini. Tidak untuk menunggu selama ini. Ujar sebuah puisi di madding, tidak ada menunggu yang menyenangkan. Di dalam masjid sudah serupa berada di dalam panci tertutup yang sedang dipanaskan.
Lalu tiba-tiba...
Tang tang tang... Dung dung dung
Tang tang tang tang dung... Tang tang tang dung
Dung tang tang... Tang dung tang tang...
Lalu shalawat melantun meriah.
Sebagian kami sontak berdiri, mengintip dari jendela. Sebagian lagi berseru "Datang! Sudah datang!"
Tarian hadrah dari santri-santri kelas dua tsanawiyah yang sudah latihan selama berminggu-minggu mengiringi langkah kaki dua tamu agung. Wajah dua orang tamu agung itu tampak tersenyum bahagia. Mereka mengenakan songkok hitam. Sementara baju mereka dibalut jas bermotif sasirangan, kain khas suku Banjar. Saat mereka memasuki masjid, mendadak udara terasa lembut dan menyegarkan. Ansor menghentikan usahanya mengipas tubuh. Duan terbangun dari tidurnya dan bahkan tidak berkedip lagi. Isur cepat-cepat mengabadikan dua tamu agung itu dalam buku gambarnya. Mereka yang duduk di depan pintu, berebut untuk bersalaman dan mencium tangan dua tamu agung. Andai tidak dihentikan secara paksa oleh staff keamanan, tentu dua tamu agung itu tidak akan bisa sampai ke mihrab imam. Memet, sambil mengisap kembali ingus yang perlahan keluar, tampak bahagia sekali karena sempat memegang dan mencium tangan salah seorang dari dua tamu agung itu.
Syukurlah, akhirnya datang juga. Mudahan acaranya cepat selesai, supaya masih sempat main bola.
Seperti biasa, sebelum acara dimulai, ayat-ayat suci dibacakan. Inas, temanku satu asrama itu selalu dipercaya untuk melantunkan ayat-ayat suci Alqur’an. Dia berdiri ke belakang podium yang telah dihias dengan kain batik dan membenarkan letak pecinya. Ujung sorban hijau yang menjuntai ia lempar ke belakang bahunya. Dia memang seorang qori yang sering mendapat undangan. Entah berapa uang yang ia terima sebagai qori kali ini, tapi yang jelas, uang itu pasti berakhir menjadi pulsa yang akan dia pakai untuk menelepon pacarnya di pondok putri.
Inas mengakhiri bacaannya. Sekarang giliran Kiai kami yang mengambil alih acara. Beliau selalu saja berhasil membuat kami kagum dengan pidatonya, dengan siraman motivasinya, supaya kami belajar dengan sungguh-sungguh, agar menjadi orang besar, dan nantinya bisa menjadikan kedua orangtua kami bangga. Kiai sering berpesan bahwa setamatnya menuntut ilmu di pesantren, tidak semua kami harus menjadi ustazd atau kiai seperti beliau. Pesantren tidak mendidik kami agar menjadi seorang ustazd atau kiai saja. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan di luar sana. Yang  terpenting adalah, menjadi apapun kami kelak, kami akan menjadi seorang saleh yang senantiasa menjunjung tinggi ajaran agama Islam. Nasihat dan motivasi semacam itu beliau sampaikan setiap pagi selepas salat dhuha, sebelum kami masuk kelas untuk belajar. Entah motivasi apalagi yang akan disampaikannya kali ini.
Kiai memberikan pengantar dan ucapan selamat datang pada kedua tamu agung dan rombongan. Dalam sambutan itu, sambil guyon, Kiai secara halus memasukkan kode agar jangan lupa memberikan sumbangannya untuk pesantren. Kiai juga menjelaskan bagaimana banyaknya santri di pesantren kami ini, bahkan yang terbanyak di Kalimantan Selatan.
Kiai juga memberi pesan pada para santri agar jangan ragu-ragu untuk bermimpi setinggi-tingginya, serta melakukan upaya untuk mewujudkannya, agar bisa jadi seperti dua tamu agung ini.
"Bermimpilah setinggi langit, lalu berusahalah mewujudkannya. Kalaupun nanti jatuh, maka jatuhnya di antara bintang-bintang. Kalau tidak ada usaha, maka kalian akan di bumi selamanya." Pimpinan pesantren kami ini, memang seorang motivator ulung! Sepertinya aku pernah membaca kalimat itu, tapi entah di mana. Mungkin kata-kata Gusdur.
Kiai tak lupa memuji kedua tamu agung itu. Bahwa hanya pasangan merekalah yang berkunjung ke pesantren kami. Bahwa salah satu dari mereka adalah seorang yang religius setengah mati. Kiai mengatakan betapa orang ini rajin datang ke pengajian seorang ulama besar di Kalimantan Selatan. Sedang tamu yang satunya lagi, adalah seorang pengusaha dermawan tanpa tandingan. Pembangunan masjid, musalla, pesantren dan tempat keagamaan lainnya; tak pernah luput dari sumbangan beliau. Bahkan sebuah masjid besar dinamai dengan nama beliau.
“Bayangkan jika nanti mereka terpilih?”  kata Kiai sebelum mengakhiri pidatonya.
Sekarang sampailah pada giliran si tamu agung untuk berpidato. Mereka berdua berdiri, salah satu berpidato mewakili yang lain. Dia membuka pidatonya dengan salam, tahmid dan shalawat yang dibaca dengan begitu fasih, seakan itulah yang dibacanya setiap waktu.
Dia berpesan agar para santri mengingat nama dan nomor urut mereka, dan mencoblosnya dalam pilkada nanti. Namun bagi santri yang belum sampai umur untuk mencoblos, setidaknya menyuruh orangtuanya untuk mencoblos mereka berdua.
Tiba-tiba dia terdiam sejenak dalam pidatonya. Matanya berkeliling memperhatikan. Ke atas, ke samping, ke belakang. Aku tidak mengerti apa maksudnya.
“Jika kami terpilih nanti, kami akan membangun ulang masjid ini.” Satu kalimat pendek itu saja sudah cukup untuk mengundang teriakan dan tepuk tangan dari para santri, Kiai dan ustazd-ustazd.
“Allaahu akbar!” temanku Duan yang tukang tidur itu bertakbir.
Ansor melempar sampul kitab yang tadi dijadikannya kipas, kepalanya  menengadah, mulutnya mengucap “Alhamdulillah” sebelum kedua telapak tangannya mengusap wajah. Kulihat ekspresi kebahagiaan di sana. Tidak lama lagi, masjid yang membuat gerah dengan kipas angin yang nyaris tidak berputar tidak akan ada lagi, digantikan dengan masjid yang sejuk dan membuat betah berlama-lama di dalamnya.
“Nanti akan kita pasang AC di dinding-dindingnya,” timpal tamu agung yang satunya lagi.
“Allaahu akbaar!” kembali Duan bertakbir.
Diam-diam, aku turut mengagumi tamu agung kami ini. Kepekaan dan kepeduliannya  terhadap pesantren sudah jelas. Kiai sendiri mengakui kemuliaan pribadi mereka. Apa lagi yang bisa diragukan? Umurku memang belum cukup untuk mencoblos, tapi saat pulang kampung nanti akan kusuruh Abah dan Mama untuk mencoblos mereka, juga kakak-kakakku, kakak iparku, juga keluargaku yang lain.

***

Hari-hari setelah kedatangan tamu agung itu, kami tak bisa berhenti membicarakan mereka. Koran dinding selalu penuh setiap hari. Berita tentang kedua tamu agung itu menjadi yang pertama kami cari. Jika ada berita tentang pasangan calon yang lain, itu hanya akan berakhir menjadi bahan olok-olokan kami.
Staff ibadah yang bertugas memimpin kegiatan ibadah di masjid, berinisiatif untuk melakukan salat hajat dua raka’at setiap hari selepas salat Magrib, mendoakan agar pasangan calon walikota kebanggaan kami terpilih, sedang pasangan calon yang lain kalah.
Saat hari pencoblosan, kami bahagia sekali, karena hari itu sekolah diliburkan, dan mereka yang cukup umur diizinkan keluar pondok ke TPS terdekat. Dengan sombongnya, mereka menunjukkan jari mereka yang telah dicelupkan ke tinta, bahkan ada yang mencelup ketiga jarinya, karena pasangan andalan kami nomor urut tiga.
Sepanjang hari itu, pembicaraan di asrama hanya seputar perolehan suara!
Dari koran keesokan harinya kami tahu bahwa dua tamu agung kami itu menang suara dalam penghitungan cepat. Kami bahagia sekaligus bangga. Saat hasil real qount diumumkan beberapa hari setelahnya, nama kedua orang andalan kami itu kembali memperoleh suara terbanyak. Kami bahagia sekali. Meskipun kami tidak memiliki kepastian, apakah akan benar-benar ada AC di masjid kami. []


Radar Banjarmasin, Minggu, 5 Maret 2017

No comments:

Post a Comment