Sunday, February 19, 2017

Kematian Cerpen


Penulis itu tersenyum sendiri karena mendapat ide bagus lagi. Dibukanya program pengolah kata dan mulai mengetik kata demi kata. Jari-jarinya begitu lincah seperti penari balet. Isi otaknya seperti mengalir deras, melewati bahunya, tangannya, lalu ke ujung-ujung jarinya, berpindah ke keyboard, kemudian muncul di layar monitor. Kali ini ia yakin cerpennya akan selesai, tidak akan seperti yang sudah-sudah. Ia tegang begitu cerpennya mencapai baris terakhir halaman pertama.
Lewat… lewat… lewat….

Dan begitu pointer mencapai pojok halaman, jari-jarinya tiba-tiba berhenti. Arus desar tadi mendadak surut. Idenya karam.
Ia geram, ingin ia lempar laptopnya ke lantai, ingin ia benturkan kepalanya ke dinding, ingin ia potong jari-jarinya dengan pisau. Tapi semua hanya ingin. Ia tertunduk. Kedua tangannya ia silangkan di atas meja dan membenamkan wajahnya di sana.
Ini sudah yang kesekian kalinya cerpennya tak selesai dan kesemuanya tak pernah lebih dari satu halaman. Semuanya.
Akhirnya ia menegakkan tubuhnya lagi. Ia simpan cerpen tak selesainya itu di folder “Cerpen Belum Selesai”. Di folder itu sudah ada lebih dari dua ratus berkas. Di samping folder itu sebenarnya sudah ia siapkan folder lain dengan nama “Cerpen Sudah Selesai”. Ia enggan membukanya karena tahu isinya pasti kosong.
Ia mematikan laptopnya lalu beranjak menuju kasur. Begitu akan menjatuhkan tubuhnya di kasur, ia terdiam. Tidak, malam ini aku tidak boleh menyerah. Malam ini akan berbeda dari malam-malam sebelumnya. Aku tidak akan tidur hingga setidaknya bisa menulis lebih dari satu halaman. Ah, tidak. Aku tidak akan tidur sampai cerpenku selesai! Sampai jam berapa pun, sampai berapa hari pun. Aku tidak akan berdiri dari kursi itu sebelum cerpenku rampung!
Guntur tiba-tiba menggelegar, penulis itu terloncat dari tempatnya berdiri. Lalu menyusul bunyi tetes-tetes hujan di atap rumahnya.
Setelah tenang dari keterkejutan ia ke dapur untuk merebus air lalu menyeduh kopi. Ditaruhnya cangkir kopi itu di atas meja tepat di samping laptopnya. Dinyalakannya lagi laptop yang beberapa tombol di keyboardnya sudah tidak berfungsi itu—sehingga ia menyambungkannya dengan keyboard eksternal. Beberapa menit ia tunggu, layar tak juga mau menyala. Ia colokkan charger kalau-kalau baterainya yang habis. Setelah beberapa menit ia coba menghidupkan lagi, tapi laptop itu tetap tak menuruti kehendak tuannya.
Ia bingung, padahal sebelumnya tidak pernah seperti ini. Mungkinkah karena laptop ini sudah sangat tua dan sekarang adalah waktu ajalnya? Ia pikir sepertinya laptop ini harus dibawa ke tempat service, kalau perlu malam ini juga, agar ia bisa secepatnya menulis cerpen, hingga selesai. Saat ia akan berdiri dari kursinya, ia terdiam, lalu kembali duduk. Tidak, aku tidak boleh beranjak dari kursi ini. Aku sudah berjanji tidak akan meninggalkan kursi ini sebelum aku menyelesaikan sebuah cerpen. 
Ia ingin mengambil buku tulis dan pulpen, tapi kedua benda itu sayangnya tidak ada di meja, seingatnya ia taruh dalam tas. Sementara tas itu berada di atas kasur. Aku tidak boleh ke situ. Aku tidak boleh beranjak dari kursi ini. Aku tidak boleh melanggar janjiku.
Maka yang bisa ia lakukan hanyalah mencoba menyalakan laptop itu berulang kali.

***

Hingga pagi, benda mati itu masih saja ia coba hidupkan, tapi si laptop tidak juga menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Tapi ia tidak mau menyerah. Ia terus mencoba sambil berdoa. Ia coba menghidupkan laptop itu dengan posisi dibalik, ia coba dengan memiringkan laptop itu, ia coba meniup-niupnya dan menepuk-nepuk bawahnya.
Entah berapa hari, layar laptop akhirnya membuka matanya perlahan. Satu menit kemudian, laptop sudah siap menjalankan tugas seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Penulis itu begitu gembira sampai-sampai ingin melompat tapi segera mengurungkannya karena itu berarti melanggar janjinya untuk tidak beranjak dari kursi itu sebelum menyelesaikan sebuah cerpen.
Ia sejenak memejamkan mata dan membaca doa dalam hati. Ia buka kembali matanya lalu memandu kursor membuka halaman kosong. Ah, bagaimana kalau aku melanjutkan salah satu cerpen belum selesaiku saja supaya lebih cepat selesai? 
Lalu ia memindah kursor ke folder “Cerpen Belum Selesai”. Ia klik folder itu dua kali dengan cepat untuk membukanya. Saat terbuka, kedua mata penulis itu seperti ditarik paksa ke dalam. Ini tidak bisa dipercaya!

***

Saat si penulis membuka folder itu si penulis terkejut bukan main karena mendapati folder itu kosong. Kedua ratus lebih cerpen belum selesainya hilang tanpa sisa. Diserang virus komputerkah? 
Ia memang tidak terlalu paham soal komputer. Yang ia tahu hanyalah mengetik. Namun dulu ia pernah mengalami kehilangan berkas akibat virus komputer, tapi itu bisa dikembalikan setelah antivirus dijalankan. Maka kali ini pun ia mencoba hal yang sama.
Antivirus melakukan pemindaian data satu persatu untuk menemukan sesuatu yang mencurigakan. Sekitar satu jam pemindaian selesai, namun si antivirus bilang bahwa tidak ada satu pun virus ditemukan. Ia bingung.
Ia mencoba mengingat-ingat lagi apa yang mungkin bisa dilakukan. Aha, mungkin saja berkas-berkas cerpen belum selesaiku itu statusnya tersembunyi, dan untuk menampilkannya hanya perlu mengubah pengaturan menjadi “tampilkan berkas-berkas tersembunyi”. Ia pun lekas melakukannya. Dan, kedua ratus lebih berkas cerpen belum selesainya itu, tetap tidak ada di sana.
Akh! Pikirannya beraduk-aduk antara bingung, marah, kesal, dan menyesal karena tidak mengamankan datanya itu ke tempat penyimpanan lain. Tunggu, jangan-jangan ada di Recycle Bin.
Maka dibukanyalah Recyle Bin sambil merapalkan doa. Ada banyak berkas di dalamnya. Ia cermati satu persatu. Tapi ternyata tidak ada satu pun dari kedua ratus cerpen belum selesainya itu berada di sana.
Kali ini ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia benar-benar menyerah. Mungkin aku memang harus menulis lagi dari nol, pikirnya. Ia mencoba berpikir positif bahwa mungkin ini adalah cara Tuhan memberikan halaman baru dalam hidupnya, yaitu halaman dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya hingga cerpennya selesai.
Ia tidak tahu saat itu sudah pukul berapa ketika ia memutuskan untuk menulis cerpen baru lagi. Ia juga tidak peduli apakah saat itu siang atau malam. Bahkan, ia tidak ingat lagi saat itu hari apa dan tanggal berapa. Jari-jarinya mulai menari seperti sebelumnya. Kadang cepat, kadang perlahan. Ia tidak tahu cerita seperti apa yang akan ia tulis, tapi ia terus mengetik sesuatu yang terlintas di kepalanya. Semua yang terlintas di kepalanya itu tanpa ia sendiri sadari perlahan mulai membentuk alur cerita. Tokoh-tokoh bermunculan, bergerak, berjalan, bersuara, saling berdialog, berkonflik, dan hidup layaknya manusia sungguhan. Kadang ia berhenti sejenak karena lelah, lalu melanjutkannya lagi. Kali ini ia tidak peduli berapa baris atau halaman yang sudah ia tuangkan. Semua ia tumpahkan sehabis-habisnya tanpa memedulikan waktu hingga akhirnya tak ada lagi yang bisa dituliskan dan cerita benar-benar telah tuntas. Ya, cerpen itu selesai. Ia puas. Dan itu lebih dari senang. Tapi ia tidak melonjak-lonjak kegirangan. Ia tidak melompat. Tidak pula teriak-teriak.
Ia hanya mengecek berapa halaman cerpennya itu. Ternyata hanya ada tujuh halaman. Meski tidak sebanyak yang ia bayangkan, tapi menurutnya itu sudah lumayan karena ia akhirnya bisa memecahkan rekornya sendiri.
Ia simpan cerpen itu di folder “Cerpen Sudah Selesai”, folder yang sebelumnya tak pernah sekalipun ia buka. Saat membuka folder itu, ia kembali seperti tersengat listrik karena di dalamnya ada lebih dari dua ratus berkas yang sudah sangat ia kenali. Kedua ratus berkas lebih itu seperti menyapanya dan dengan santai bilang “Hai, lama tidak jumpa. Apa kabar?”
Pikirannya terguncang hebat. Ia tidak tahu harus berpikir apa, juga tidak tahu harus melakukan apa selain terdiam beberapa saat. Kemudian ia buka salah satu dari dua ratus lebih berkas cerpen belum selesainya itu. Ia kembali harus menahan anggota tubuhnya tidak terlepas karena ternyata isi berkas itu lebih dari satu halaman, dan ceritanya selesai. Segera ia buka berkas-berkas lain dan membacanya satu persatu. Kesemuanya lebih dari satu halaman, ada yang empat halaman, lima, enam, tujuh, bahkan delapan, dan semua ceritanya selesai, dengan berbagai gaya penutup.
Penulis itu tidak pernah berhasil memikirkan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia meninggal tak lama setelah menyelesaikan membaca kesemua cerpen itu karena sudah berhari-hari tidak makan dan minum. Laptop yang di dalamnya menyimpan berkas-berkas cerpen itu diwariskan pada keluarga dekatnya yang masih muda, yang segera memformat habis dan menginstall ulang laptop itu. Nama penulis itu tidak pernah dikenal siapa pun.

Puntik Dalam, 8-12-2015

Radar Banjarmasin, Minggu, 19 Februari 2017

2 comments:

  1. Menulis tentang penulis. Bagus sekali kak.
    Silakan sempatkan mampir ke blog saya pojokankamargelap.blogspot.com

    ReplyDelete