Sunday, February 12, 2017

Foto di Puncak


Aku tidak benar-benar sedang tidur ketika Tri menepuk bahuku dua kali.
“Waktunya summit attack, bro!”
Meski sudah mengenakan baju tebal, udara dingin pegunungan masih seperti leluasa memelukku. Aku bangun perlahan sambil mengucek mata. Kulihat arloji, tepat pukul satu dini hari. Aku bangkit, keluar dari tenda dan mencari air minum.
“Dimajukan ya, bro?” Aku mencuci muka. Jika menurut jadwal, harusnya summit attack satu jam lagi.
“Iya, soalnya banyak pemula yang ikut,” jawab Tri sambil memasang head lamp.
Kemudian terdengar seseorang berteriak, mengajak berkumpul.
Aku cepat memilih barang-barang yang harus dibawa dan memasukkan dalam ransel kecil: air minum, kamera, P3K, makanan ringan. Wajah kututup masker. Kupasang kaca mata dan head lamp. Lalu berkumpul dengan kerumunan.
Seseorang memimpin doa bersama.
“Tos.. tos..!”
Kami pun mengumpulkan tangan dan bersama-sama meneriakkan “Puncak Rinjani!”

Dari Plawangan, perjalanan mendaki kembali dimulai. Medan berat dan menanjak menyambut kami. Baru setengah jam rasa lelah mulai terasa. Kami kadang berhenti sejenak, lalu segera berjalan lagi.
“Ayo, semangat! Tinggal setengah perjalanan lagi,” kataku pada pendaki yang berkali-kali mengeluh dan bilang akan balik ke tenda saja.
Setelah lima jam, pemandangan yang menakjubkan pun mulai tampak. Sinar matahari berebut menerobos cakrawala. Akhirnya aku tiba di puncak gunung tercantik di Indonesia. Puncak Rinjani. Tampak Danau Segara Anak yang diapit perbukitan di bawah sana. Kabut berangsur menipis, membuka hamparan Pulau Lombok yang terbentang luas. Sementara gumpalan-gumpalan awan putih tampak di bawah kami yang membuatku rasanya seperti berada di dunia lain.
Teriakan-teriakan kemenangan terdengar. Aku duduk menyelonjorkan kaki, menahan diri untuk tidak mengeluarkan kamera sementara kulihat orang-orang berebut saling memotret dan selfie. Aku ingin, untuk sejenak menikmati ini semua dengan mataku sendiri.
Dari kejauhan, tampak puncak Gunung Tambora di Sumbawa dan Gunung Agung di Bali, dua puncak yang sudah kutaktukkan. Tampak pula pulau-pulau kecil di sisi yang lain. Sinar matahari terasa menerpa wajahku. Suara orang-orang terasa memudar dari pendengaranku. Aku seperti hanya seorang diri. Lalu kenangan-kenangan itu pun menyedotku.
Sejak awal masuk kuliah, aku mulai bergabung dengan organisasi pecinta alam. Aku mendaki puncak-puncak tinggi, memasuki hutan-hutan sepi. Aku mendatangi tempat-tempat yang baru yang memanggilku. Ibu, satu-satunya orang yang masih kumiliki, seringkali memarahiku saat aku pulang ke rumah, yang itu jarang sekali kulakukan. Ia kesal karena uang yang ia berikan untuk biaya kuliahku justru kugunakan untuk jalan-jalan. Maka aku kemudian mencari uang sendiri, kadang dengan menjadi tour guide, mengirim tulisan ke majalah-majalah wisata, jualan peralatan mendaki, meminjam uang dengan teman—yang tak pernah kubayar. Aku keluar dari organisasi pecinta alam seiring dengan tidak pernahnya lagi aku menginjakkan kaki di kampus. Bila tidak ada uang, aku biasanya mendatangi Tri di kostnya dan menggeledah makanan apa saja yang ada di sana.
Tri adalah orang yang memiliki kegemaran sama denganku. Aku pertama mengenalnya ketika kami sama-sama akan ke Pantai Derawan. Ia membalas kirimanku di sebuah grup sosial media yang menanyakan adakah yang mau bareng berangkat dari kota tempatku tinggal menuju Pantai Derawan di Kalimantan Timur dua minggu ke depan. Maka kami pun sharing cost guna menghemat pengeluaran. Setelah itu kami cukup sering pergi bersama ke suatu tempat. Namun ia lebih beruntung dariku karena punya bisnis sendiri yang terus berjalan. Walau tidak membuatnya menjadi pengusaha kaya, namun setidaknya ia tidak pernah bingung soal mengisi perut tiga kali sehari.
Setelah semua pulau besar di Indonesia telah kujelajah, seperti kebanyakan pelancong lainnya, mimpi besarku adalah ke luar negeri. Aku mulai menabung dengan lebih ketat, bekerja apa saja siang malam, menahan diri untuk tidak bepergian. Selama nyaris enam bulan seperti itu, tabunganku cukup untuk ke luar negeri.
“Bro, ayo turun, nanti panas!” suara Tri menarikku dari lamunan.
Aku telah begitu lama melakukan perjalanan, dan sekarang saatnya aku harus pulang, kembali ke kampung halaman.
Aku berdiri dan dengan tergesa mengambil beberapa gambar sebagai kenangan. Matahari tampak mulai meninggi. Kulihat orang-orang sudah bersiap turun. Aku mengambil botol air minum, minum beberapa tegukan, dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Kumasukkan juga kamera dan head lamp yang sudah tidak diperlukan lagi.
Perjalanan turun cukup mengerikan karena banyak jurang yang saat mendaki tidak terlihat dan sekarang tampak jelas. Jurang-jurang itu seolah tanpa dasar. Sementara medan pasir sering membuat kaki terperosok. Namun setidaknya perjalanan turun tidak semelelahkan dan tidak selama saat naik. Ketika sampai kembali di perkemahan Plawangan, kami sarapan dan membereskan tenda. Perjalanan kami lanjutkan, menurun menuju Danau Segara Anak. Kami melewati lereng cadas. Dengan kemiringan sekitar 30 derajat, kami harus ekstra hati-hati. Sementara jalan dipenuhi batu dan kerikil.
Setelah menurun sekitar empat jam, kami sampai di Danau Segara Anakan, surganya Gunung Rinjani. Orang-orang segera mendirikan tenda. Aku berdiri sejenak, memandangi kecantikan tempat ini. Dari jauh, tanpak pula Gunung Baru yang begitu menawan.
Aku telah begitu lama melakukan perjalanan, dan sekarang saatnya aku harus pulang, kembali ke kampung halaman.
“Kamu baik-baik saja, bro? Kok melamun?” Tiba-tiba Tri sudah ada di depanku. Ia menjatuhkan ransel besarnya dan langsung merebahkan diri di atasnya.
“Bro, aku harus pulang.”
“Kapan?”
“Sekarang.”

***

Aku telah sampai di depan terminal Mandalika, Mataram. Segera kucari bis menuju bandara dan menaikinya. Di dalam bis, aku memesan tiket pesawat secara online lewat ponsel. Sementara pikiranku seperti telah kembali lebih dulu ke kampung halaman.
Aku telah begitu lama melakukan perjalanan, dan sekarang saatnya aku harus pulang, kembali ke kampung halaman.
Tapi, untuk apa aku pulang?
Ya, untuk apa aku pulang? Tidak ada lagi seseorang tempat aku harus pulang. Ibu, orang terakhir yang kumiliki di dunia ini, sudah meninggal dunia tiga bulan lalu. Aku masih ingat, saat itu Iwan, tetanggaku, temanku saat SMA, mengirim pesan lewat BBM, mengabarkan berita duka itu. Aku segera meneleponnya.
“Benarkah?! Di mana?! Kenapa?!”
“Di rumah, kejadiannya mendadak. Awalnya ibumu sehat-sehat saja. Lalu entah mengapa…”
Aku tidak mendengar lagi apa yang dikatakan Iwan selanjutnya. Dunia terasa berguncang. Genangan di mataku pecah. Aku menjerit sekeras-kerasnya.
Tapi aku saat itu tidak bisa pulang. Aku tidak bisa menghadiri pemakaman Ibu. Saat itu aku sedang di Phuket, di Thailand, di Luar Negeri. Tempat yang selama itu telah menjadi mimpiku. Bukan karena aku tidak ingin meninggalkan tempat ini, tapi aku juga tidak punya uang untuk kembali. Uang yang kubawa hanya kusiapkan untuk bisa sampai ke sana dan bertahan selama satu bulan. Sebelumnya aku sudah berencana untuk mencari kerja di sana selama masa visa—bahkan kalau perlu sampai dideportasi, mengumpulkan uang untuk pulang sambil sesekali menjelajah negeri itu. Sebelum memutuskan itu aku tahu pasti akan begitu sulit, namun seperti puncak-puncak gunung yang telah kutaklukkan, aku pun pasti bisa menaklukkannya.
Ketika kemudian aku kembali ke tanah air, aku tidak kembali ke rumah karena tahu tidak ada lagi yang bisa kutemui kecuali pusara. Aku memulai lagi perjalananku, petualanganku, penaklukkan-penaklukkanku. Aku kembali menjelajah tempat-tempat baru. Gunung, pantai, bukit, hutan, tebing, jurang, padang sabana, semua kembali memanggilku.
Ya, untuk apa aku pulang?
Sopir menghidupkan bis. Tanpa aku sadari penumpang sudah hampir penuh. Keringatku bercucuran. Ibu-ibu di sampingku mengipas-ngipas wajahnya yang penuh mike up. Terdengar suara-suara khas terminal. Pengamen menyanyikan lagunya. Bis bergerak perlahan, meninggalkan terminal.
Aku memeriksa layar ponsel. Rupanya tiket pesawat belum terlanjur kupesan. Beruntung sekali. Aku langsung meminta sopir bis berhenti. Aku turun dan menyerahkan lembaran sepuluh ribu rupiah pada sopir. Kupikir itu pasti cukup.
Ransel kusandang, dan aku lalu berjalan, kembali ke terminal. Syukurlah masih belum jauh. Sampai di terminal, aku mencari bis menuju Pantai Tangsi, satu dari sembilan pantai berwarna pink yang ada di dunia.

***

Aku cemas, di hadapanku Tante Winarti terbaring lemah. Kamar ini terasa begitu sunyi. Ibuku mengambil kompres di dahi Tante Winarti untuk menghangatkannya lagi. Kami tidak tahu Tante Winarti sakit apa, ia menolak dibawa ke rumah sakit. Katanya, ia hanya ingin berada di rumahnya, menunggu Tardi, anaknya pulang.
Aku begitu kasian dengan Tante Winarti. Keluarganya yang tersisa hanya Tardi, namun anaknya itu sekarang entah berada di mana. Aku telah berkali-kali minta izin Tante Winarti untuk memberi kabar tenang keadaannya pada Tardi agar ia pulang, namun Tante Winarti selalu melarang.
“Jangan! Biarlah ia pulang dengan keinginannya sendiri…”
Dulu, tiga bulan lalu, Tante Winarti pernah memintaku memberi kabar bohong pada Tardi bahwa dirinya meninggal. Mungkin hanya dengan begitu Tardi mau pulang, kata Tante Winarti saat itu dengan geram. Aku pun melakukan seperti yang diminta Tante Winarti. Tapi ternyata pendapat Tante Winarti salah. Meski sudah diberi kabar mengejutkan itu, Tardi pun tetap tidak pulang. Tidak pernah pulang.
Aku tersadar dari lamunan ketika Tante Winarti tiba-tiba sesak. Ibu panik. Aku segera menelepon ambulans. Setengah jam kemudian ambulan datang. Namun mereka terlambat, karena malaikat telah lebih dulu menjemput Tante Winarti. Tangannya masih memegang foto anaknya yang sedang berada di puncak, entah gunung apa namanya.

Puntik Dalam, 9-12-2015
Radar Banjarmasin, Minggu, 12 Februari 2017

No comments:

Post a Comment