Wednesday, February 1, 2017

Danau Hatiwin dan Bukit Talikur, Tapin, Kalimantan Selatan: Tentang Teman dan Perjalanan

Dua Januari. Masih hari libur. Berbaring di kost seharian tentu akan membosankan. Maka pagi itu aku browsing, mencari destinasi yang memungkinkan untuk dijangkau dan yang kira-kira tidak akan terlalu banyak orang. Dari sebuah blog, aku menemukan Danau Hatiwin, di kabupaten Tapin. Lokasinya tidak jauh dari rumah Kamal. Maka Kamal pun kuhubungi, dan kebetulan, hari itu ia lepas dinas usai dinas malam.
Aku segera bersiap, dan meluncur dengan Scoopy merahku, seorang diri (maklum, jomblo). Mampir di Binuang untuk sarapan yang sangat terlambat sekalian menyapa teman lama, Ansyar. Yeah, sudah lama sekali tidak ketemu si gendut itu, saat ia resepsi aku juga tidak bisa menghadiri.
Sesuai dugaan, ia cukup sibuk saat aku tiba di toko bahan bangunannya.
"Masih menulis?" tanyaku. Jawabannya aku sudah tahu. Dengan kesibukannya sebagai bos di toko bahan bangunan keluarganya, serta lingkungan yang tidak mendukung, menulis barangkali adalah hal paling terakhir dalam prioritas kegiatannya.
Perjalanan berlanjut. Sampai di Makam Datu Sanggul. Di sana aku menunggu Kamal. Tidak lama ia datang. Kami langsung menuju Danau Hatiwin. Jalan aspal mulus. Hanya beberapa menit, kami sudah sampai. Tidak dipungut biaya seperserpun untuk masuk juga untuk parkir, alias gretong, kecuali kalau kamu nusuk pentol.

Sesuai harapan, tempat ini tidak ramai. Hanya ada beberapa pengunjung. Tidak seperti di Danau Seran dan Danau Caramin yang kudatangi hari sebelumnya (1 Januari) bersama keluarga, penuh sesak oleh pengunjung, seolah dua danau itu adalah Danau Manusia.
Di danau ini tersedia perahu-perahu kecil yang bisa kamu sewa, baik perahunya saja, ataupun sama om-nya (buat ngayuh, maksudnya). Harganya aku tidak tanya, tapi katanya 15 ribuan.
Dari penjelasan Kamal, danau ini awalnya sebuah bendungan untuk mengairi sawah-sawah warga transmigrasi yang dibuat pada zaman Soeharto. Seiring waktu, tampaknya penduduk sekitar lebih memilih menanam karet daripada bertanam padi. Dari Kamal pula, katanya beberapa bulan yang lalu danau ini masuk acara My Trip My Adventure. Wow!
"Ngapain mereka ke sini?"
"Lomba dayung."
Danau Hatiwin, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan
Perahu yang bisa disewa

Di Danau Tak Berbatas by Tim O'Brien
Di Danau Tak Berbatas oleh Tim O'Brien

Danau Hatiwin, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan
Model maksa

Danau Hatiwin, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan
Masih galau

Lebih satu jam kami ngobrol macam-macam, terutama tentang pekerjaan, masa depan, juga masa lalu. Kami juga membicarakan tempat-tempat menarik lainnya yang ada di Kabupaten Tapin. Blog di mana aku menemukan danau ini masih menjadi sumber referensi kami. Kutunjukkan padanya postingan mengenai Bukit Talikur. Puncaknya keren.
"Wah, bagus juga ya," komentar Kamal.
"Kita ke sana?"
"Boleh."
Hari masih terlalu panas. Aku dan Kamal ke rumahnya dulu untuk istirahat, dan numpang makan siang gratis. Lumayan.
Entah jam berapa, mungkin jam tiga, kami berangkat dengan motorku. Kami mengikuti petunjuk demi petunjuk dari blog tadi. Belokan demi belokan kami ambil, sempat pula terlewat beberapa kilometer untuk berbelok karena jalannya begitu kecil. Jalan yang kami tempuh semakin sulit, dan peradaban manusia semakin menjauh.
Bukit Talikur, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan
Bukan jalan untuk motor matic

Semakin jauh, jalan semakin tidak memungkinkan untuk dilalui dengan motor, namun tetap kami paksakan karena tidak ada pilihan lain lagi. Di beberapa tempat, aku yang duduk di belakang harus turun supaya tidak jatuh. Ada pula jembatan yang tidak diselesaikan pembuatannya karena jalan tersebut tidak dilalui lagi, alhasil motor harus kami angkat agar bisa melewatinya. Kubayangkan kerusakan apa saja yang akan kudapatkan di motorku sekembalinya ke Banjarbaru nanti. Untuk menemukan hal indah, kamu kadang memang harus banyak berkorban, broh.
Setelah melewati genangan lumpur yang tak terhitung jumlahnya, serta ratusan sumpah serapah atas jalan terkutuk tersebut, Bukit Talikur akhirnya tampak di hadapan kami.
Bukit Talikur, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan
Bukit Talikur, dari jauh sudah terlihat curamnya

Kami sudah akan mendaki sebelum menyadari bahwa air minum yang kami bawa hanya segelas air kemasan yang ada dalam tasku, tidak akan cukup membawa kami ke puncak bukit yang begitu curam itu. Aku mondar-mandir, dan menemukan beberapa botol air minum yang masih ada sisa airnya. Namun setelahnya, rintik-rintik hujan berjatuhan. Pendakian terpaksa kami tunda sesaat.
Setelah hujan reda, kami mulai mendaki. Menapaki batu-batu yang tidak merekat kuat di kecuraman yang sangat. Kami berdua bukanlah pendaki yang berpengalaman, serta tanpa ada satu pun alat pengaman. Aku sendiri bahkan hanya memakai sandal jepit. Maklumlah, mendaki bukit bukan tujuan yang kurencanakan sebelum berangkat.
Bukit Talikur, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan

Yang kami sadari adalah, sedikit kesalahan saja, akan fatal akibatnya.
Atas kesadaran itu, setelah 60% bukit Talikur telah kami daki, kami memutuskan berhenti. 40% sisanya, menurut Kamal, adalah mustahil. Terlalu sulit. Terlalu curam. Dan aku segera setuju.
Entah bagaimana, si penulis blog yang kami baca tersebut beserta teman-temannya bisa mencapai puncak bukit yang keren itu. Mungkin mereka menempuh rute lain. Entahlah. Tapi kami patut bersyukur, walau cuma hanya setengahnya, pemandangan dari tempat kami berhenti sudah sangat memukau. Hamparan sawah, hutan, serta deretan bukit dan pegunungan.
"Dua puluh tahun lagi, mungkin gunung-gunung itu tidak akan ada lagi," komentarku.
"Berubah jadi lubang galian batu bara!" sambung Kamal diiringi tawa.
Bukit Talikur, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan

Bukit Talikur, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan

Bukit Talikur, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan

Bukit Talikur, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan


***

Seturunnya dari Bukit Talikur, kami bertemu dengan seorang bapak yang sepertinya habis dari sawah. Senang sekali rasanya menemukan manusia lain. Kepada bapak itu, kami bertanya adakah jalan lain untuk keluar selain jalan yang kami lalui tadi.
"Ada." Bapak itu menunjukkan. "Yang kalian lalui tadi jalannya susah. Kalau yang ini mulus. Beraspal."
Mendengar jawaban itu, aku dan Kamal hanya bisa saling berpandangan.
Dan benar kata bapak tadi, sepanjang jalan pulang, jalan begitu mulus, beraspal, bahkan nyaris tidak ada lubang, tidak ada "lubak". Sepanjang jalan, kami mengutuki ketidaktahuan kami akan jalan yang satu ini, yang begitu mulusnya ini. Terlebih, kami mengutuki blog yang telah menunjukkan kami jalan jahannam tadi.
Jalan kedua ini ternyata bertemu dengan jalan yang menuju Goa Beramban, goa terpanjang di Kalsel, yang pernah kudatangi, juga dengan Kamal, ditambah dengan Tri. Ingat Tri, rasanya berbeda perjalanan kali ini tanpa ada Tri. Biasanya, setiap jalan-jalan, aku selalu dengan Tri. Kurang asik, karena tidak ada 'musuh' berdebat, saling mengolok dan menyolok.
Tapi bagaimanapun, perjalanan ini sungguh memuaskan.
Setiap perjalanan adalah sebuah cerita dengan pelajarannya sendiri. 
Perjalanan kali ini ditutup dengan secangkir teh hangat disertai kudapan di rumah pamanku dekat Bundaran Bungur. Kamal kuturunkan di rumah keluarganya dekat Makam Datu Sanggul (ada motornya di sana), dan aku meneruskan perjalanan ke tujuan utama perjalanan ini. Ya, pulang adalah tujuan utama setiap perjalanan.
Bukit Talikur, Rantau, Tapin, wisata Kalimantan Selatan
Tujuan utama setiap perjalanan adalah pulang.

No comments:

Post a Comment