Sunday, January 8, 2017

Yang Seperti Waktu


Hidup itu sampah. Bau amis yang kau cium saat berjalan di pasar ikan. Kotoran anjing yang ia tinggalkan di bawah tiang listrik. Sebagaimana kematian, siapa yang peduli soal kehidupan?
Aku pernah membaca sebuah puisi. Saat itu aku baru bangun, dan tidak tahu harus melakukan apa. Wanita yang malam tadi mengajakku tidur di apartemennya ini masih meringkuk di atas kasur dengan napas teratur dan mata yang masih terpejam. Selimut putih dengan bahan lembut menutupi sebagian tubuhnya.
Mataku merayapi kamar ini. Malam tadi, karena sedikit mabuk, aku tak sempat memerinci apa-apa yang ada di kamar ini, bahkan aku baru sadar kalau cat temboknya berwarna biru muda. Mataku berhenti pada deretan buku yang berjajar rapi pada rak bertingkat tiga. Aku bangkit dan mendekat untuk membaca judul yang tertera di punggung buku-buku itu. Semuanya hampir sama saja, abstrak. Maka kupilih dengan sembarang. Dan rupanya itu buku puisi. Aku sudah lupa siapa penulisnya, juga judul buku itu. Namun aku ingat dua baris puisi yang kubaca:
Kepada rahasia, hidup menceritakan dirinya
Serta waktu-waktu yang tak pernah jadi miliknya

***


Ia suka es krim. Kadang, sebelum menemuinya aku mampir di minimarket dan membeli dua bungkus es krim. Aku harus cepat sampai di rumahnya agar es krim itu tidak keburu meleleh. Lalu kami akan mengobrol di taman kecil halaman belakang rumahnya, kadang tertawa, sambil menyantap es krim di tangan kami masing-masing. Jika ingin nongkrong di luar, ia juga selalu mengajakku ke kafe khusus es krim. Ia juga suka memakai parfum Jessica Parker.
Matanya tidak simetris. Mata kanan selalu lebih membuka ketimbang yang kiri, namun itu tak akan disadari kecuali jika kau memandangi matanya secara dekat dan cukup lama. Lagipula, ia sangat manis, terlebih saat tersenyum.
Aku suka menikmati es krim sambil menatap wajah manisnya, juga kedua matanya yang tidak simetris itu.

***

Aku duduk di balkon. Seorang bocah, sendirian, sedang bermain gelembung sabun. Aku tidak kenal bocah itu. Mungkin anak tetangga. Entahlah. Sudah lama kepedulianku pada lingkungan tempatku tinggal tidak ada lagi. Mungkin karena aku sering berpindah-pindah.
Matahari sore terasa hangat dan nyaman. Angin lembut menyentuh kulitku. Di seberang rumah tempatku tinggal, sebuah rumah sedang dibangun. Beberapa tukang bangunan sedang mengerjakannya. Bunyi palu dan bor yang beradu dengan material bangunan terdengar berisik. Gelembung-gelembung sabun berterbangan. Barangkali, hidup seperti gelembung sabun. Penuh warna, berkilau, melayang, lalu pecah.
Dari banyak sore yang pernah kulewati di balkon ini, kupikir ini sore indah.

***

“Aku punya cita-cita. Kamu mau tahu?” katanya pada suatu sore di bulan Desember.
Kami sedang memandangi hujan dari dalam mobil. Mobil itu berhenti di tepi jalan, sesaat ketika hujan mulai turun. Kukira ia takut menyetir saat hujan, namun aku tidak menanyakannya. Kami diam saja di dalam mobil. Ekor mataku menangkap senyumnya, dan matanya tampak berbinar.
“O ya? Kukira semua yang kamu inginkan sudah terwujud.”
“Jangan nyinyir begitu.”
“Baiklah, katakan cita-citamu.”
“Aku ingin menjadi anak-anak.”
Aku tertawa.
“Menjadi anak-anak bisa main hujan, tanpa perlu malu.”
Aku tidak ingat bagaimana ketika itu aku memikirkannya. Segera saja kubuka pintu mobil dan keluar. Seketika tetes-tetes hujan menyerbuku.
“Hei, mau ke mana?”
“Ayo,” kataku. “Kita main hujan.”
Ia tersenyum lebar dan segera menyusul. Kami duduk di kap mobil, sambil menyanyi lagu-lagu anak.
Hujan masih deras. Kami benar-benar basah kuyup. Tapi hatiku terasa hangat.

***

“Kamu suka puisi?”
Rupanya wanita itu sudah bangun. Ia bangkit dan berjalan membelakangiku. Di punggungnya kulihat tato berupa tulisan dengan huruf Thailand.
“Terakhir aku membaca puisi saat masih sekolah,” jawabku sekenanya.
Ia mengambil bajunya yang tergeletak di lantai dan lantas memasangnya.
“Boleh aku tahu apa arti tulisan Thailand itu?”
Ia berpaling ke arahku. Wajahnya lebih jelas daripada malam tadi. Rahangnya tampak kukuh, seperti laki-laki. Wajahnya cantik, dan jelas, lebih tua dariku. Mungkin tiga puluhan.
“Kamu benar ingin tahu?”
Sebenarnya tidak juga. Hanya pertanyaan spontan. Kebiasaan bertanya secara spontan itu muncul sejak jadi mahasiswa keperawatan dulu, saat praktik di rumah sakit. Pembimbing klinis biasanya suka dengan mahasiswa yang aktif, maka aku pun rajin bertanya.
“Tentu saja. Apa artinya?” tanyaku.
“Sahabat.”
“Sahabat?”
“Ya. Aku dulu punya seorang sahabat. Kami punya cita-cita yang sama: pergi ke Thailand. Maka kami berdua mendatangi tukang tato dan sama-sama bikin tato ini.”
Ia duduk di sampingku. Aku mengubah posisiku dan memeluknya dari belakang.
“Kamu punya cita-cita?” tanyanya.
Aku diam sejenak. Sejurus kemudian berhamburan bayangan tetes-tetes hujan di kaca mobil, senyum manis seorang perempuan, aroma parfum Jessica Parker.
“Ya, aku punya. Menjadi anak-anak.”
Ia terbahak, dan berbalik. Kini kami saling berhadapan.
“Coba tunjukkan, kamu masih anak-anak atau sudah dewasa!”
Ia memelukku. Kami saling berpelukan.

***

Jika hidup adalah perjalanan, maka aku tengah tersesat, dan depanku hanya ada jurang.
Senja merambati langit. Para tukang bangunan di seberang rumah sudah berhenti bekerja. Bocah laki-laki tadi telah dipaksa ibunya untuk pulang. Langit jingga ini pulalah yang kulihat di luar jendela kamarnya di rumah sakit.
Di rumah sakit itu pula aku pertama mengenalnya. Waktu itu, aku perawat yang memasang iv chateter di punggung tangannya untuk terapi kemo. Aku tahu, kanker otak tidak akan memberinya waktu yang lama untuk menikmati apa yang dinamakan kehidupan, jika memang hal itu bisa dinikmati.
“Walau tidak lama, aku merasa cukup.” Itu kalimat terakhir yang bisa kudengar. Setelah itu aku keluar ruangan, memberi waktu untuk ia bersama keluarganya, juga untuk menghirup angin segar.
Aku mengundurkan diri sebagai perawat keesokan harinya. Setelahnya, hidup benar-benar tidak ada artinya.
Ah,iya, aku sudah ingat judul puisi itu, Tidak Ada yang Seperti Waktu.  []

Loktabat Selatan, 9-12-2016, 01.00
(Radar Banjarmasin, Minggu, 8 Januari 2017)

No comments:

Post a Comment