Wednesday, May 25, 2016

Aku Hanya Seorang Sial yang Seringkali Beruntung (Part 1)

Aku memang bukan seorang yang pintar, aku tahu itu. Selama kuliah, IP-ku selalu buruk. Nilai-nilaiku tidak pernah memuaskan (kecuali mata kuliah Agama Islam). Aku tidak pandai mengingat istilah-istilah medis, nama-nama bagian anatomi, golongan-golongan obat, diagnosa-diagnosa keperawatan, apalagi cara kerja tiap sistem dan organ tubuh. Aku orang yang selalu memilih tempat duduk di barisan paling belakang, sebab aku tahu, jika di depan aku pasti mengantuk, sementara bila duduk di belakang aku juga tetap mengantuk, tapi setidaknya aku bisa tidur, hingga jam kuliah berakhir.
Saat wisuda sarjana, IP-ku hanya sedikit di atas angka tiga: 3,08. Aku ingin menyandang selendang cumlaude, namun aku tahu, itu tidak cocok untuk bahuku. Selama profesi ners, aku bukan hanya seorang yang tidak becus soal teori, tapi juga seorang yang malas mengerjakan tugas-tugas yang diberikan pembimbing klinik dan akademik. Ketika wisuda dan angkat sumpah profesi ners, ketika IP teman-temanku yang jauh lebih bodoh dari aku pun bisa 3,4, IP-ku hanya 3,18, dan aku tidak benar-benar merasa kecewa. Itu memang sudah selayaknya.


Tapi aku orang yang beruntung, dan aku sangat menyadarinya. Beberapa hal buruk sering menimpaku, dan aku berhasil melewatinya, berkat campur tangan keberuntungan. Waktu kelas empat SD, aku pernah tersengat listrik dan nyaris mati dalam hitungan menit, beruntung seorang teman menyadarinya (meski agak terlambat), dan menarik kabel yang dengan erat kupegang tanpa aku bisa berbuat apa-apa. Aku pernah melanggar peraturan yang membuatku hampir dikeluarkan dari pondok pesantren tempat aku sekolah dulu, tapi beruntung sang Ustadz mengampuni. Aku pernah mengalami kecelakaan lalu lintas hebat, di jalan tol yang sering dilewati truk-truk besar. Tungkaiku memang terluka parah, sementara motorku rusak, tapi beruntung: kepalaku baik-baik saja, dan ban truk-truk itu tak ada satu pun yang mengenai tubuhku. Aku pernah ketiduran di rumah saat ujian akhir semester, lantas terbangun saat jam ujian mata kuliah kedua. Beruntung, si dosen pengawas baik hati, dosen sama yang mengawas di ujian pertama. Ia menanyakan alasanku terlambat, memberiku kesempatan untuk tetap mengerjakan soal-soal di ujian mata kuliah pertama, dan yang lebih ajaib lagi: mengampuniku saat mendapati aku membuka kerpean.
Dan banyak lagi.
Namun di balik itu semua, tentu saja, keberuntungan terbaikku adalah menjadi anak ibu dan ayahku.

***

Kali ini, aku ingin bercerita tentang keberuntunganku yang lain. Ini dimulai sejak tiga bulan lalu, di mana aku, seperti rata-rata teman satu angkatan yang lain, adalah seorang pengangguran. Aku berada pada dunia yang sesungguhnya, pada hutan rimba di mana semua orang adalah pesaing, di mana satu posisi pekerjaan (sebagai perawat) diperebutkan oleh ratusan bahkan ribuan pengangguran lainnya. Tidak ada lagi teman, yang ada hanya lawan. Informasi adalah barang berharga, dan sebisa mungkin harus tetap menjadi rahasia. Seperti sebuah gang buntu, aku belum memiliki STR (surat tanda register, semacam SIM-nya perawat), bahkan ikut Uji Kompetensi pun belum. Aku tidak memiliki orang dalam di rumah sakit, juga tidak berminat pada acara tapal-manapal.
Seperti teman-teman yang lain, aku pun mencoba mengirim surat lamaran ke beberapa rumah sakit. Tidak beberapa, sebenarnya. Hanya tiga. Dan satu ke klinik. Tapi panggilan tak kunjung datang. Tidak adanya STR tentu menjadi penghambat utama. Akan tetapi, menunggu STR juga hal yang nyaris sia-sia. Uji Kompetensi masih lama, masih berbulan-bulan, setelah itu pun harus menunggu lebih dari satu bulan untuk tahu hasilnya, jika tidak lulus harus mengulang lagi enam bulan setelahnya, jika lulus, tetap harus menunggu STR diterbitkan yang lamanya bisa sampai satu tahun.
Untuk menjadi perawat, ada jalan panjang yang seperti tak ada ujung.
Aku mencoba mencari pekerjaan lain. Kuliah perawat tak mesti harus jadi perawat, kan? Kataku dalam hati. Kuliah perawat biayanya sangat mahal, jika ingin jadi yang lain mending tidak usah kuliah perawat dari dulu, kata sisi hatiku yang lain. Ya, kalau ingin profesi di luar perawat, kapan pun ada lowongan, tapi lowongan sebagai perawat tidak setiap hari ada. Aku harus fokus mengirim lamaran ke rumah sakit dulu.
Dan hari itu, Rabu, 24 Februari, tepat tiga bulan yang lalu, aku memasukkan berkas-berkasku yang tersusun rapi, lengkap dengan Surat Lamaran-nya dalam amplop besar, memasukkan amplop besar itu dalam ransel, lalu berangkat ke sebuah rumah sakit swasta di daerah martapura. Saat aku berangkat, aku tahu, doa orangtuaku juga ikut serta menemaniku.

***

Sebenarnya, inisiatif untuk mengirim lamaran ke rumah sakit tersebut tidak seketika datang. Sebelumnya aku dan seorang teman sudah bersepakat untuk barengan mengirim berkas ke sana, tapi masih belum memastikan kapan. Beberapa hari kemudian, aku menanyakan lagi untuk memastikan, dan ternyata si teman sudah ke sana duluan. Ini dia yang kumaksud dengan "tidak ada lagi teman, yang ada hanya lawan". Aku pun segera menyiapkan berkas-berkas. Besoknya, aku pun berangkat. Menyusul ketertinggalan. Inilah hari itu...

***

Aku tiba di rumah sakit tersebut, memarkir motor dengan rapi, melepas helm dan jaket, berkaca di spion, merapikan rambut dengan tangan, dan tersenyum. Hari belum terlalu siang. Aku berjalan masuk, menuju resepsionis. Pada petugas, aku bertanya di mana menyerahkan surat lamaran, sang petugas menjawab titipkan di pos satpam. Aku pun berjalan keluar, menuju pos satpam, masih dengan senyum percaya diri. Tidak ada satpam di posnya, kosong, dan ketika petugas parkir mencoba membukanya, pos itu terkunci. Sang petugas parkir menjelaskan bahwa saat itu para satpam sedang rapat. Aku bertanya kapan kira-kira selesai. Petugas parkir menjawab mungkin sekitar satu jam. Waktu yang cukup lama untuk menunggu dengan hanya berduduk.
Maka aku kembali ke motorku, memasang jaket dan helm, menghidupkan motor, lalu keliling-keliling sambil main game Ingress. Aku sampai di salah satu jalan di Kota Banjarbaru, di sana aku melihat sebuah rumah sakit swasta, kecil saja, tapi tetap saja itu rumah sakit. Aku memperlambat laju motorku dan membaca nama rumah sakit itu sambil mengulang-ulangnya dalam hati agar tidak lupa.
Sudah satu jam lebih keliling-keliling, aku kembali ke rumah sakit yang satpamnya sedang rapat tadi. Saat aku sampai, satpamnya sudah ada di posnya. Aku menjelaskan maksudku, menyerahkan amplop besar berisi berkas-berkasnya, menulis namaku di buku besar yang disediakan, mengucapkan terimakasih banyak, dan beranjak.
Kemudian, aku jalankan motorku ke rumah sakit swasta yang di Banjarbaru tadi karena aku sudah lupa apa namanya. Setelah memastikan namanya (sebut saja namanya Mawar), aku mencari rumah makan. Perutku lapar. Tapi tujuan utamaku ke rumah makan bukan sekadar makan, melainkan menyiapkan berkas-berkas (yang memang selalu siap dalam tas, salah satu insting pengangguran) dan menulis Surat Lamaran untuk Rumah Sakit "sebut saja namanya Mawar" tadi.
Menulis Surat Lamaran dengan terburu-buru sungguh tidak mudah. Tapi entah mengapa, sesuatu dalam hatiku berkata: ini terasa sangat benar, aku sepertinya sedang melakukan sesuatu yang sangat benar.
Suara itu sangat jelas, seolah terdengar oleh telingaku sendiri, dan berulang-ulang.
Melihat aku yang lama sekali berada di rumah makan itu, padahal makanan dan minuman sudah tandas, seorang pelayan mendatangiku dan memerhatikan apa yang kukerjakan. Ia seorang lelaki muda yang tampaknya penuh semangat dan terbuka pada segala kemungkinan. Buktinya, ia langsung bertanya apakah aku akan masuk polisi, setelah melihat aku yang tampak menyiapkan berkas-berkas. Aku terkejut dan bingung dengan pertanyaannya. Bagian mana dari postur tubuhku dan raut wajahku yang menandakan aku seperti akan masuk polisi? Tapi tentu saja, ia pemuda yang terbuka pada segala kemungkinan, dan tentunya, penuh semangat. Kujawab bukan, dan demi ramah tamah kujelaskan aku ingin mengajukan lamaran ke rumah sakit, sebagai perawat.
Usai beres semuanya, aku segera ke Rumah Sakit Mawar. Pada petugas parkir yang sepertinya merangkap sebagai security, aku katakan bahwa aku ingin mengantar surat lamaran, sebagai perawat, dan kutanyakan apakah aku bisa menitipkannya padanya saja.
Si petugas parkir yang merangkap security itu menjawab tentu saja bisa. Ia menerima amplop berisi berkasku, aku berterimakasih, dan ia langsung masuk ke dalam. Aku bersiap pulang. Sebelum aku sempat beranjak, ia sudah kembali, dan bilang padaku bahwa berkasku sudah sampai ke tangan "bos".
Aku berterimakasih sekali lagi lantas berlalu.
Di depan museum Banjarbaru, aku mampir. Di sana, temanku saat di pondok dulu, Fauzan, menjual bingkanya: Al-Fataa: Bingka Bakar Urang Banua. Ia penjual kue bingka yang sukses, dengan kue bingka yang kujamin paling enak sebanua, dan karena bingka hanya ada di banua, maka kujamin itu bingka terenak di dunia. Kepadaku, ia berbagi kisah suksesnya, juga kegagalan-kegagalan yang pernah dialaminya dalam menciptakan bingka paling enak yang tiada duanya. Cukup lama kami ngobrol. Selain memberiku cerita yang luar biasa (semoga suatu saat aku bisa menuliskannya), ia juga memberiku potongan harga. :)
Setelah bersalaman, aku pulang, ke Handil Bakti, ke rumah saudaraku. 
Sudah agak sore saat aku sampai. Aku mengambil ponselku yang sejak dari rumah sakit tadi kutaruh dalam tas. Sebelum ponsel itu mati karena baterainya yang sudah low, aku sempat melihat ada lima panggilan tak terjawab. Semuanya dari satu nomor, nomor telepon rumah atau telepon kantor. Ini pertanda baik. Sepertinya, dari salah satu rumah sakit yang telah kukirimkan Surat Lamaran. Aku gugup. Darah di jantungku seperti meletup-letup. Sialnya ponselku keburu mati. Membuat perasaanku makin campur aduk. Dengan cepat aku mengisi dayanya. Beberapa menit, langsung kunyalakan lagi. Segera kutelepon balik nomor tadi.
"Rumah Sakit Mawar... Ada yang bisa dibantu?"
Wow! Benar, dari rumah sakit. Tanganku gemetaran. Napasku seperti orang habis berlari.
"Ini Mbak,... tadi saya... mendapat panggilan... dari nomor ini,.... tapi tidak... bisa... ngangkat karena.... lagi di jalan...."
Tidak ada sahutan. Seseorang di seberang sana seperti sedang bingung. Maka kukatakan, "Saya... Zian,... Mbak."
"Oh, iya. Ini kamu posisi di mana?"
"Di Handil Bakti, Mbak."
"Di mana itu? Daerah Banjarmasin, ya?"
"Ya, bisa dibilang seperti itu Mbak." (Sebenarnya, secara administratif Handil Bakti bukan lagi Banjarmasin, melainkan Barito Kuala. Tapi letaknya tepat berbatasan dengan Banjarmasin. Jadi, ya, bisa dibilang seperti itu.)
"Kalau gitu, besok bisa tidak kamu ke sini untuk interview?"
"Iya, bisa Mbak. Bisa!"
"Sekitar jam sembilan. Bisa?"
"Iya, bisa Mbak. Bisa!"
Seketika itu, aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Wawancara! Itu hal yang luar biasa. Sebuah jalan menuju dunia kerja.
Saudaraku yang mendengar itu semua mengucap doa dan syukur. Sementara, aku kembali bersiap.
"Mau ke mana?" tanya saudaraku.
"Ke Banjarbaru lagi, nginap di rumah teman, supaya besok tidak terlambat."

***

Kamis, 25 Februari.
Wawancara berjalan lancar, dan santai. Ada tiga orang yang kuhadapi, semuanya perempuan. Hanya pertanyaan-pertanyaan biasa. Di mana tempat tinggal, bagaimana tinggal di Banjarbaru jika nanti kerja di rumah sakit ini, pengalaman kerja, saat kuliah pernah praktik di rumah sakit mana saja, bisa melakukan tindakan apa saja, berapa bersaudara, pekerjaan orangtua, sudah menikah atau belum (tentu saja belum), maukah digaji dengan angka sekian (berapapun aku tidak masalah, yang penting kerja), dan semacam itu.
Itu saja. Orang-orang yang mewawancaraiku bahkan sampai akhirnya bingung mau bertanya apa lagi.
Aku beruntung tidak ditanya hal-hal yang tak bisa aku jawab, misalnya "Apa yang saudara lakukan jika menemukan kasus begini begini...? Apa yang saudara pilih jika terjadi dilema begini begini..."
Ya, syukurnya tidak seperti itu.
"Ada yang ingin kamu tanyakan, Zian?" tanya salah seorang dari mereka.
"Mmm... Sepertinya tidak ada, Bu."
"Baiklah. Nanti besok, atau paling lambat hari Senin, kamu akan kami kabari."

***

Senin, 29 Februari.
Waktu menunggu datangnya hari Senin adalah waktu yang teramat panjang. Setiap hari, selalu kupastikan ponsel berada di dekatku dan baterainya penuh terisi. Dan siang itu, sang ponsel akhirnya mengeluarkan deringnya, mengalunkan nada yang indah sampai-sampai seluruh sel tubuhku merasakannya. Aku mengangkatnya dengan perasaan gembira, sekaligus gugup, sekaligus takut, sekaligus cemas. 
"Zian, besok kamu bisa datang ke sini?"
"Iya, bisa. Bisa!"

***

Selasa, 1 Maret.
Hari ini aku menandatangani kontrak kerja untuk tiga bulan. Jika kerjaku bagus, kontrak akan diperpanjang menjadi satu tahun, baru kemudian menjadi karyawan tetap. 
Kukira, hari ini hanya ada acara penandatanganan kontrak, maka dengan pedenya aku tidak sarapan. Rupanya, hari ini juga aku langsung bekerja.
Demikian. Aku bukan lagi seorang pengangguran.[]

No comments:

Post a Comment