Saturday, January 30, 2016

Hanif dan Magnet Kesayangannya

Hanif tertelan magnet. Magnet berbentuk koin tersebut adalah mainan kesayangannya yang selalu ia bawa ke mana saja.
Ceritanya, saat itu ia dan Salma, kakaknya yang baru kelas 1 SD dititipkan dengan tetangga. Sejak lebih dari satu minggu ini ibunya, kakakku, ikut kursus menyetir setiap sore. Sementara ayah mereka baru pulang dari kantor jam 7 malam. Maka mau tidak mau kakakku harus membayar tetangga agar mau dititipkan mereka berdua selama ia kursus menyetir.
Saat di rumah tetangga itulah, Hanif yang iseng memasukkan magnetnya ke mulut, digelitiki oleh kakaknya. Dalam keadaan digelitiki, magnet itu sontak tertelan, tersangkut di kerongkongan, lalu masuk ke perut, ke lambung. Hanif menangis. Demikian pula Salma.
Kakakku yang saat itu sedang kursus menyetir tidak langsung mengetahui kejadian tersebut karena si tetangga tidak memiliki nomor teleponnya. Saat ia pulang, barulah ia tahu. Menurut si tetangga, magnet tersebut sebenarnya sudah ia singkirkan, namun Hanif mengambilnya lagi.

Dalam paniknya, kakakku menelepon suaminya, yang kemudian segera pulang. Dengan sebuah motor, empat beranak itu meluncur ke IGD rumah sakit terdekat, rumah sakit milik pemerintah. Beberapa mahasiswa koas berpraktik di sana. Menurut mereka, anak tersebut harus ke spesialis THT. Karena di rumah sakit tersebut poli THT hanya buka pagi sampai siang, maka sebaiknya dibawa lagi besok saja.
Anakku tertelan magnet, dan disuruh datang besok saja?! 
Empat beranak itu lalu berangkat ke klinik dokter spesialis THT, namun ketika di depan klinik, kakakku ragu.
Magnet itu sudah tertelan, sudah ke perut, untuk apa lagi ke spesialis THT?
Mereka pun lalu memutuskan ke rumah sakit swasta. Dari IGD, Hanif dirujuk ke dokter spesialis bedah. Di rumah sakit swasta tersebut memang terdapat klinik spesialis yang buka malam hari. Dari sana, Hanif dibawa ke ruang radiologi untuk di-rontgen. Hasil rontgen menunjukkan posisi magnet tersebut di lambung.
Lalu dokter tersebut menjelaskan bahwa magnet tersebut kemungkinan besar nantinya akan keluar dengan sendirinya lewat BAB, mungkin beberapa hari, atau mungkin beberapa minggu. Mendengar penjelasan tersebut, mereka lega.
Dokter tersebut lalu menceritakan tentang pasien anak lain yang tertelan kunci, orangtuanya mendesak untuk dioperasi, tapi dokter tersebut menyarankan untuk menunggu saja sampai kunci tersebut keluar sendirinya. Dan setelah 13 hari, kunci itu pun keluar bersama dengan kotoran.
Dokter itu juga berpesan agar membawa lagi Hanif ke sini lima hari kemudian baik magnet itu sudah keluar ataupun belum.
Lalu lima hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh ketegangan bagi keluarga tersebut. Setiap Hanif akan “e-e”, ibunya menyiapkan kantong plastik untuk menampung kotoran yang keluar. Tahi tersebut kemudian diubek-ubek untuk memeriksa apakah di sana ada magnet. Tapi setelah lima hari, benda yang ditunggu-tunggu tersebut tidak juga menampakka diri.
Sesuai anjuran dokter, mereka kembali membawa Hanif ke dokter sebelumnya. Perut Hanif kembali di-rontgen untuk mengetahui sudah di mana posisi magnet tersebut. Tapi ternyata magnet itu masih di tempatnya sebelumnya, di lambung.
Dokter lalu menanyakan bagaimana warna BAB Hanif. Ibunya menjawab warnanya coklat gelap. Dokter menjelaskan bahwa berarti sudah terjadi perdarahan pada lambung. Lalu dokter menjelaskan apabila sudah lebih dari empat hari benda tersebut tidak berpindah dari lambung, berarti benda itu memang sulit melewati lambung. Ditambah dengan adanya perdarahan, maka dikhawatirkan bila semakin lama akan membuat lambung bolong. Maka dokter pun menyarankan untuk dilakukan operasi.
Hal itu membuat kakakku dan kakak iparku merinding. Membayangkan putera mereka yang baru TK harus dibedah perutnya, bagaimana tidak nelangsa?
Namun karena itu memang jalan terbaik, saran itu pun disetujui. Operasi direncanakan dua hari kemudian, pada malam hari. Kakakku yang mengabarkanku hal tersebut memintaku untuk mengantar dan menjemput Salma sekolah selama Hanif dalam perawatan.
***
Pagi hari menjelang operasi, barulah orangtuaku kuberitahu bahwa Hanif akan dioperasi. Aku dan kakakku sengaja tidak memberitahu mereka secepatnya mengenai operasi ini karena ibuku gampang panik.
“Ya sudah, kamu secepatnya antarkan air ini ke rumah kakakmu, siapa tahu masih sempat. Air ini dimintakan pamanmu pada ‘tuan guru’ di Rantau. Kata pamanmu, orang-orang yang pernah tertelan logam selalu berhasil keluar setelah minum air doa dari beliau,” kata Abah.
Aku bingung. Setahuku tidak ada keluargaku dari Rantau yang baru datang. “Siapa yang mengantarkan dari Rantau?”
“Tidak diantarkan. Cuma ‘dibacai’ dari jarak jauh. Yang penting sudah diniatkan,” terang Ibu.
Aku sudah mafhum jika orang mendatangi ‘tuan guru’ membawa air, air itu kemudian dibacakan doa oleh si ‘tuan guru’ sesuai dengan hajat orang yang datang tadi, selesai membaca doa, biasanya si ‘tuan guru’ meniupkan napasnya ke air tadi. Air ini lalu diminumkan ke orang yang bersangkutan. Aku mafhum, karena tetangga kami sendiri adalah salah seorang ‘tuan guru’ yang setiap hari tak pernah sepi dari ‘klien’. Tapi dengan air yang didoakan dari jarak jauh semacam ini, aku merasa cukup ganjil.
“Nah, kalau air dalam botol yang satu ini dari Julak,” jelas Ayah. Yang ia maksud dengan Julak adalah tetangga kami yang kuceritakan tadi. “Air ini sebagian dituang ke piring dan dicampur minyak, lalu dioleskan ke perutnya Hanif. Jelaskan itu pada kakakmu. Cepat antar ke rumah kakakmu sekarang juga!”
Aku bersiap sementara kedua orangtuaku berangkat ke sekolah untuk mengajar. Selesai bersiap, aku menyalakan motorku yang sudah dua hari ini tidak kunyalakan. Tapi sial, motorku tak mau nyala. Berbagai cara sudah kucoba, tapi tetap tidak bisa. Tetanggaku yang juga pamanku ikut membantu menyalakan, tapi masih saja tidak berhasil.
“Ya sudah, nanti Paman bantu dorongkan ke bengkel. Tapi Paman mau mengantarkan Liana dulu.”
Setelah pamanku mengantarkan anaknya ke sekolah, ia membantu membawa motorku ke bengkel. Di bengkel tersebut aku harus menunggu lama karena harus antri dengan motor-motor bermasalah lainnya, sementara montirnya hanya satu orang. Hampir pukul 11, barulah tiba giliranku. Di tangan si montir, sekali sentuh, motorku langsung nyala. Sialan…
Aku pun bergegas menyelesaikan misi yang aneh ini: mengantar air yang didoakan dari jarak jauh. Kupikir, kalaupun toh air ini manjur, Hanif hanya punya kesempatan sebentar untuk meminumnya, sebab pasti ia harus puasa delapan jam sebelum dilakukan operasi. Lagipula, untuk apa pula air ini? Malam ini toh Hanif juga dioperasi.
Sebelum berangkat, aku mendapat pesan dari kakakku yang menyuruh untuk langsung mengantar air tersebut ke rumah sakit khusus bedah, tempat Hanif nantinya akan dioperasi. Rumah sakit tersebut cukup jauh, sangat jauh, malah. Sesampai di sana, aku membuka HP dan mendapati pesan bahwa kakakku dan Hanif sekarang di rumah, tadi ke rumah sakit hanya utuk mendaftar. Maka aku pun lalu berbalik menuju rumah kakakku, demi menyelesaikan misi ini. Sungguh, air yang merepotkan!
Ketika tiba di rumah kakakku, aku menjelaskan prosedur pemberian air doa ini sebagaimana yang dijelaskan Ayah. Hanif meminum air dari dua botol itu, air dari dua ‘tuan guru’. Aku tidak bisa menebak bagaimana perasaan Hanif saat ini, saat-saat menjelang dioperasi. Ia anak yang kuat.
Sekitar pukul dua siang, Hanif dan kedua orangtuanya berangkat ke rumah sakit. Aku sendiri tidak ikut, aku berencana ke sana nanti saja, saat menjelang magrib.
***
Tepat saat azan magrib berkumandang, aku tiba di depan pintu kamar di mana Hanif dirawat. Aku masuk. Di sana ada Hanif yang sedang makan di atas ranjang, ibunya yang sedang memberi makan, ayahnya, Salma kakaknya, kedua orangtuaku (kakek-neneknya), dan lima orang ibu-ibunya yang beberapa saat kemudian barulah aku tahu mereka guru TK-nya.
Tunggu, Hanif sedang makan?
“Hanif tidak puasa? Bukannya mau operasi?” tanyaku.
“Ini Hanifnya sedang buka puasa. Kan sudah azan magrib,” jawab Kakakku dengan tersenyum.
Menurutku ini bukan lelucon. Makan sebelum operasi organ dalam tubuh tentu sangat membahayakan.
“Bukannya Hanif mau dioperasi? Kok diberi makan?”
“Dokternya yang menyuruh.”
Aku bingung. Tapi kemudian aku mendapat penjelasan bahwa Hanif tadi baru saja di-rontgen lagi untuk memastikan lokasi magnet sebelum dilakukan operasi. Dan ternyata lokasi magnet tersebut sudah turun, tinggal sedikit lagi akan keluar. Rencana akan diberikan perangsang melalui dubur untuk mengeluarkannya. Dokter yang menjelaskan hal tersebut merasa cukup bingung.
“Aneh ya Mbak, padahal biasanya kalau sudah empat hari berada di lambung berarti benda itu memang tidak bisa melewati lambung,” kata kakakku menirukan ucapan si dokter.
“Luar biasa, air tiupan jarak jauh…,” hanya itu komentarku akhirnya.
Yang terjadi selanjutnya adalah dua orang perawat masuk ke kamar. Hanif disuruh melepas celana dan berposisi nungging. Salah seorang perawat memasukkan cairan perangsang melalui lubang dubur. Hanif langsung bilang mau “e-e”. Ayahnya membawanya ke kamar mandi. Kantong plastik besar dibentangkan di lantai. Hanif BAB di atasnya. Ibunya memeriksa tinja si Hanif. Magnet berbentuk koin itu ditemukan. Ibunya girang. Semua senang. Hanif terdiam. Tampaknya ia trauma dengan magnet.


Pelajaran moral:
- Awasilah selalu anak Anda. Anak yang di luar pengawasan biasanya suka berbuat nekat.
- Penting untuk memberitahukan nomor HP Anda pada tetangga. Bayangkan, siapa yang akan memberitahu Anda jika terjadi apa-apa pada rumah Anda sementara Anda sedang tidak di rumah?
- Berbaktilah pada kedua orangtua, terutama kepada Ibu. Ia rela melakukan apa saja demi Anda, bahkan mengubek-ubek kotoran Anda.
- Nyalakan motor setiap hari meski tidak ingin ke mana-mana. Hal ini untuk menjaga accu motor tetap terisi listrik. Pelajaran moral yang ini kudapat dari montir bengkel.
- Jangan remehkan air doa, tidak terkecuali yang didoakan dari jarak jauh. Percayalah, apa saja bisa terjadi bila Tuhan berkehendak.
- Terakhir, jangan memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam mulut Anda. Ingat, Anda tidak tahu seseorang bisa menggelitik Anda kapan saja!

No comments:

Post a Comment