Tuesday, January 6, 2015

Batu Belah Batu Bertangkup

Batu Belah Batu Bertangkup
Aku seperti melihat diriku yang lain di dalam cermin. Diriku yang ranum dan belum mengerti apa-apa. Namun saat mengulurkan tangan meraih bayanganku sendiri, aku selalu dihempas oleh masa lalu. Ingin sekali aku menembus ke balik dinding kaca, menjabat tangan seseorang yang teramat kukasihi dan membawanya kembali ke tempat ini. Namun hanya gigil tangis dan penyesalan yang tak berkesudahan selalu melucuti setiap jengkal ingatan. Aku rindu. Rindu sekali.

***


Aku belum belajar arti sebuah kehilangan. Seperti ketika Ibu kehilangan Ayah. Seandainya aku sudah dewasa saat itu, mungkin aku bisa berbagi pundak kepada Ibu. Bukan sebaliknya, aku seperti belati yang mengoyak jantung ibuku sendiri. Seandainya bisa, aku ingin mengadu kepada Yang Maha Kuasa. Mendatangi gua yang telah menelan ibuku dan meminta pertanggungjawaban darinya.
Ayah meninggalkanku di usia masih tujuh tahun. Kesedihan Ibu masih belum berarti apa-apa untukku. Saat Ibu berhasrat menghibur dirinya dengan pergi ke sungai untuk mencari ikan tembakul, aku dan Kak Inur ikut serta. Sementara ibu dan Kak Inur berbekal tangguk untuk menangkap ikan tembakul yang sesekali berlompatan ke darat, aku hanya bermain di dalam lumpur. Sampai akhirnya aku mendengar suara kegembiraan Ibu karena ada beberapa ikan yang didapat berukuran lebih besar dari yang lainnya.
“Pastilah banyak telurnya!” pekik Ibu dengan wajah sumringah. “Sudah lama Ibu ingin makan telur ikan tembakul,” gumamnya menunjukkan wajah penuh hasrat. Tak ada alasan aku memedulikan ucapannya itu. Terbayang olehku hanyalah secepatnya kembali ke rumah dan menyantap masakan Kak Inur.
Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya diam saja ketika Kak Inur terus mengajak Ibu bercanda. Sesekali ia membuat cerita lucu sehingga membuat Ibu terpingkal-pingkal. Aneh, pikirku. Padahal sebelum Ibu memutuskan mengajak kami pergi ke sungai, mereka terlihat sedang menangis. Tapi apa peduliku, karena aku memang belum belajar arti peduli.
Sampai di rumah, Ibu langsung berbagi tugas. Kak Inur menyiangi ikan dan memasaknya. Sedangkan Ibu pergi ke hutan untuk menambah persediaan kayu bakar yang hampir habis. Aku sendiri hanya mendapat pesan agar tidak bermain jauh-jauh dari rumah.
“Jika Ibu belum pulang sementara kalian sudah lapar, tidak perlu menunggu Ibu. Makanlah duluan, tapi sisakan Ibu telurnya sedikit,” pesan Ibu kepada Kak Inur saat di dapur.

***

Setiap kali aku ingin menceritakan kisah pilu masa laluku, aku selalu tak bisa menahan isak tangis. Kisah itu selalu dimulai oleh keganasan tuah Gua Batu Belah Batu Bertangkup yang terkenal. Gua yang memisahkan aku dan ibuku. Tak seorang pun yang berhasil keluar dari sana. Masih kuingat dengan jelas saat aku dan Kak Inur mengejar Ibu yang meluapkan segala kemarahannya dengan memasuki gua itu.
Kak Inur terus berteriak memanggil Ibu agar mengurungkan niatnya. Tak jelas bagiku kenapa Kak Inur terus berusaha menyalahkan dirinya. Kak Inur kemudian menangis. Sementara aku masih meninggalkan isak tangis dengan napas yang menderu karena lelah berlari mengikuti langkah Kak Inur.
Bagiku menangis adalah menangis. Aku belum bisa mengerti apa saja yang bisa membuat orang harus menangis. Aku hanya tahu satu hal, itu adalah ketika Ibu memarahiku. Setelah pulang dari hutan sambil memikul kayu bakar dengan cara mengikatnya dengan kain bahalai yang melilit di punggungnya, Ibu menyusul kami di dapur. Aku senang Ibu sudah pulang. Walau saat itu aku belum bisa memaknai arti kesejukan hadirnya seorang Ibu, aku selalu melihat kegembiraan wajah anak-anak seusiaku ketika melihat ibunya pulang ke rumah.
Aku gembira tanpa harus memikirkan sebabnya. Seperti rasa lapar yang kuderita karena Kak Inur ternyata memutuskan agar kami menunggu Ibu untuk makan bersama. Tapi setelah aku desak dengan merengek-rengek karena tak bisa lagi menahan lapar, akhirnya Kak Inur mengizinkan aku makan lebih dulu. Tanpa memedulikan Kak Inur yang tersenyum melihatku dengan lahap menyantap ikan tembakul beserta telurnya, aku telah menghabiskan jatah makananku dengan sangat rakusnya. Entah kenapa hari itu aku masih merasa lapar. Apalagi rasa telur tembakul masakan Kak Inur masih menari-nari di lidahku.
Kusodorkan kembali piring seng ke hadapan Kak Inur. Aku belum bisa menterjemahkan isyarat wajahnya saat itu. Kulihat ia ragu-ragu menerima piring dari tanganku.
“Ya sudah, kalau kau masih lapar, makan saja punya kakak,” ucapnya menawarkan kepadaku.
Dengan senang hati kulahap makanan jatah Kakak. Caraku menghabiskan makanan piring kedua tak secepat piring pertama. Setelah tandas, perutku sudah mulai terasa kenyang. Namun wangi masakan telur ikan tembakul membuatku ingin merasakannya lagi. Tanpa nasi. Tanpa memikirkan seberapa banyak yang sudah kumakan, aku meminta kepada Kak Inur untuk memberikannya kepadaku lagi. Kulihat masih ada sisa di dalam mangkuk. Aku masih kuat untuk menjejalkannya ke dalam perutku.
Kak Inur sempat menampik tanganku ketika meraih mangkuk. Ia melarangku mengambilnya karena itu jatah Ibu. Aku berusaha meerebutnya dari tangan Kak Inur. Mengikutinya dari belakang saat ia ingin menyimpannya ke atas lemari. Dengan tubuh mungilku tentu saja sulit untuk aku meraihnya.
Aku menangis. Kak Inur mencoba untuk menghiburku kalau besok masih ada waktu untuk mencarinya lagi ke sungai. Dia berjanji akan memasakkannya untukku lebih banyak lagi. Tapi aku tak peduli. Aku menginginkan telur ikan tembakul di dalam mangkuk. Mengenai esok, itu urusan lain lagi. Aku sengaja menangis sejadi-jadinya. Meraung dan bergulingan di lantai. Dengan wajah murung, Kak Inur akhirnya memberikan mangkuk itu kepadaku.
Untuk ketiga kalinya, aku menyantap masakan Kak Inur dengan lahap. “Sedap..!” seringaiku saat menghabiskan telur tembakul terakhir sembari mengusap perut.
Kuperhatikan Kak Inur hanya diam. Ia menjawab sekenanya saat kuajak bicara tentang janjinya untuk mencari telur ikan tembakul esok hari.
“Terimakasih, Kak. Masakanmu enak. Besok lagi ya!” Dengan perut kenyang aku menyandarkan punggungku ke daun pintu. Aku sempat terkejut ketika pintu itu kemudian bergerak. Ternyata Ibu mendorongnya dari luar. Aku bergeser membiarkan Ibu masuk dengan membawa kayu bakar di gendongannya.
“Apakah kalian sudah makan?” tanya Ibu dengan wajah letih. Kak Inur masih tetap diam. Aku kemudian memberitahu Ibu kalau masakan Kak Inur luar biasa enak. Ibu tersenyum dan itu adalah senyum terakhir yang kulihat sebelum ia menanyakan telur tembakul.
“Ibu jadi tidak sabar mencicipi telur tembakul masakan Inur!” Ucapnya segera duduk di meja makan dan meminta Kak Inur segera menyiapkannya.
Aku melihat wajah cemas Kak Inur. Dengan terbata-bata dan menahan rasa takut akhirnya Kak Inur berbicara juga. “Anu.... eee... Pekan menghabiskannya, Bu.” Kak Inur memandang ke arahku. “Sudah Inur larang, tapi Pekan terus memaksa,” lanjut Kak Inur menunjukkan tiga piring yang telah kosong.
Tak pernah kulihat Ibu semarah itu. Wajah Ibu memerah. “Aduh Pekan...!!! Tadi kan Ibu sudah pesan untuk menyisakan walau cuma sedikit?! Kamu tidak kasihan ya sama Ibu?! Kalian berdua memang tidak sayang sama Ibu! Buat apa Ibu terus merawat kalian jika kalian saja tidak sayang dengan Ibu. Ibu lebih baik pergi!” Bentak Ibu marah dengan urat leher yang mengencang.
Aku tak mengerti. Bukankah masalahnya cuma telur tembakul? Yang sudah-sudah Ibu tak pernah marah meski aku menghabiskan makanannya.
Namun Ibu rupanya tak main-main. Ia tumpahkan amarahnya dengan melempar ketiga piring seng yang diletakkan Kak Inur di atas meja. Kami tersentak. Ibu berbalik, bergegas ke pintu dan membukanya, lalu berlari.
Aku bingung. Aku panik. Aku sedih. Kak Inur segera mengejar. Ia berteriak-teriak memanggil Ibu. Aku pun berlari menyusul Kak Inur. Air mataku berjatuhan, tanpa tahu alasannya.

***

Aku seperti melihat diriku yang lain di dalam cermin. Diriku yang ranum dan belum mengerti apa-apa. Sosok dalam cermin itu adalah Dayah, buah hatiku bersama Kak Ridwan.
Ah, Kak Ridwan. Mengapa kau begitu cepat pergi? Mengapa kita tidak bersama-sama menyaksikan masa-masa pertumbuhan anak tunggal kita? Menyaksikannya bertambah dewasa hari demi hari, bertambah mengerti akan perasaannya dan perasaan orang lain.
Kini, semua seperti terulang lagi. Hanya saja, akulah kini yang menempati posisi sebagai Ibu. Seperti Ayah dulu, Kak Ridwan dipanggil Yang Maha Kuasa. Kepergiannya meninggalkan sedih yang mengiris, dan daftar hutang pada juragan Sarman, si lintah darat. Satu-satunya yang tersisa dan masih bisa diharapkan adalah rumah yang kami tempati sekarang ini. Itu pun jika terpaksa, aku akan menjual rumah ini untuk membayar hutang suamiku. Uang sisanya akan kugunakan untuk menyewa rumah dan melanjutkan hidup bersama Dayah.
Sekarang aku tahu bagaimana rasanya kehilangan, perasaan ketika dulu Ibu ditinggal Ayah. Rasa sakit begitu menggigit. Aku tahu bagaimana rasanya. Aku tahu kenapa Ibu dan Kak Inur menangis hari itu. Seperti halnya diriku yang tak mampu menahan rasa tangis. Dengan cepat kuusap air mataku yang masih mengalir di setiap lekukan pipi. Aku tak ingin di dalam diri Dayah yang masih begitu putih, merasakan pahit getir yang dirasakan oleh ibunya.
“Dayah perlu kertas lagi, Ma! Ada kapal yang harus diberangkatkan segera.”
“Buat apa, Dayah?” tanyaku memerhatikan sebagian pakaian Dayah telah basah. “Ibu sudah melarangmu agar tidak mandi hujan.”
Dayah tak menggubris kalimat terakhirku. Baginya kertas jauh lebih penting. “Untuk membuat kapal-kapalan, Bu. Tadi Dayah sudah membuatnya, tapi tenggelam,” sahut Dayah dengan suara cadelnya. Dayah yang begitu lucu dan menggemaskan selalu saja mampu membuatku tersenyum. Dialah kini satu-satunya pelipur lara dan sepi yang menyayat.
“Ibu tidak punya kertas, Dayah. Kau tidak harus membuatnya dengan kertas,” jawabku agar Dayah berhenti merengek-rengek. Akh, tunggu dulu. “Kau bilang sudah membuat kapal-kapalan. Lalu dari mana kau mendapatkan kertas, Dayah?” tanyaku penasaran.
“Dapat di lemari, Ma...”
Di lemari? Ya Tuhan! Aku panik. Dengan tergesa-gesa aku kembali menuju lemari kaca dan membukanya. Deg! Jantungku mendesir. Di kepalaku seperti ada yang berputar-putar. Dayah telah mengambil surat tanah untuk kapal-kapalan.
Dengan langkah cepat aku menghambur ke luar rumah. Hujan masih menyisakan tanah basah. Setelah berusaha mencari, kutemukan sisa kapal-kapalan kertas yang telah basah dan sobek di setiap lipatan kertasnya. Kuambil kapal-kapalan itu dan berharap masih bisa diselamatkan. Namun aku merasa hancur ketika bagian bawah kapal-kapalan kertas itu telah robek dan tulisannya pun tak dapat lagi dibaca.
Aku menangis dalam hujan. Luruh bersama tetes-tetes air sambil membayangkan juragan Sarman akan menyita rumah kami. Aku tak bisa lagi menjualnya dengan harga yang pantas.
Kali ini aku membiarkan Dayah melihat ibunya sedang menangis sesenggukan. Aku tak bisa lagi menyembunyikannya. Entah sejak kapan ia berdiri di mulut pintu sambil menatapku dengan wajah polosnya.
Sesekali terdengar guntur menggelegar. Ada kekuatan lain memaksa diriku untuk mengucapkan sesuatu. Ingin sekali rasanya agar guntur itu melumat tubuhku segera.
“Kenapa berdiri di sana, Bu? Di mana kertas yang kuminta?”
Amarah yang menggelegak seperti menggantikan rasa dingin dalam tubuhku. Ingin sekali rasanya kutumpahkan semua amarahku kepada gadis kecil di depan situ. Namun ada kekuatan lain yang membuatku tak berdaya melakukannya. Dengan cepat aku berlari dan menenggelamkan Dayah dalam pelukanku. Tangisku merembesi rambutnya yang dikepang dua.
Kini aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Surat tanah itu kini telah hancur. Kudekap Dayah lebih erat. Menciumi pipinya. Mendekapnya lagi.
“Ibu berjanji akan mencarikanmu kertas sebanyak mungkin, Dayah,” ucapku menahan isak tangis dalam hati yang remuk. Saat kupandangi matanya yang berkaca-kaca, aku seperti kembali melihat diriku yang begitu ranum saat mengejar Ibu ketika berlari menuju Gua Batu Belah Batu Bertangkup.
Kutuntun Dayah masuk ke dalam rumah. Memberinya pakaian kering. Menyisir rambutnya dengan pelan. Setelah aku berganti pakaian, kubaringkan Dayah di tempat tidur dengan berhati-hati.
Walau Dayah tak mengerti apa yang terjadi, namun aku yakin Dayah dapat merasakan ketika aku menyelimuti tubuhnya dengan pelukan. Kelak ia akan tahu bahwa aku telah mengandaikan hatiku seperti Batu Belah Batu Bertangkup yang lain. Walau terbelah, aku telah menangkupkan semuanya di dalam hatiku. Aku akan selalu menjaga dan menyayangi setiap harta yang telah tersimpan di dalamnya. Di situ ada Ibu, Ayah, Kak Inur, suamiku dan Dayah, anakku. []

Banjarbaru, 14 Oktober 2013

(Media Kalimantan, Minggu, 4 Januari 2015)

No comments:

Post a Comment