Saturday, September 20, 2014

Cerpen Malam Jumat


Pagi Jumat kali ini kupikir akan seperti pagi-pagi Jumat yang lalu. Aku mengambil kiriman-kiriman karya di kotak mading, memilih mana yang layak muat, lalu menempelnya di mading. Tidak ada yang berubah sebagaimana kegiatan-kegiatan lain di pesantren ini yang semua waktunya sudah diatur. Sama membosankannya seperti wajah para santri. Tapi ternyata aku keliru.
Pagi ini, aku dikejutkan dengan sebuah kiriman karya berupa cerpen yang ditulis dengan sangat menakjubkan. Ini sungguh menggangguku. Dan sialnya, penulis cerpen ini tidak mencantumkan namanya, bahkan sekadar nama samaran ataupun inisial.
Selama ini, semenjak aku pertama jadi santri hingga sekarang aku di tahun terakhir dan menjadi pengurus mading sekaligus ketua asrama, hanya aku seorang di pesantren ini yang belajar menulis cerpen. Setidaknya, akulah satu-satunya orang yang serius belajar menulis cerpen. Aku rela melanggar peraturan dengan keluar pondok demi berguru pada cerpenis-cerpenis handal di kota ini. Aku telah membaca ratusan bahkan mungkin ribuan cerpen. Aku tahu betul mana cerpen bagus, dan mana cerpen jelek. Aku melahap semua buku-buku sastra di perpustakaan pesantren. Aku tekun mempelajari panduan-panduan menulis cerpen baik dari buku maupun internet. Bahkan, aku telah berkali-kali menamatkan membaca KBBI demi memperbanyak penguasaan kosa kata. Semua itu demi cita-citaku yang agung: menjadi cerpenis hebat.
Tapi, meski telah melakukan semua itu, entah apa penyebabnya, aku tak pernah sekalipun berhasil menulis walau satu cerpen. Itulah yang membuatku sangat terganggu dengan cerpen ini. Aku tak akan segusar ini jika seandainya ini hanya cerpen jelek, seperti yang selalu kuterima. Sebab kalau hanya cerpen jelek, aku pun pasti bisa membuatnya. Dan siapakah penulis misterius ini?
Cerpen yang ditulisnya berjudul 'Jam yang Menuju Diam'. Bukankah itu sangat memukau? Tidak klise. Apalagi untuk para santri yang tak tahu apa-apa tentang cerpen. Cerpen ini menceritakan tentang jam dinding di kelas, tentang semua hal yang pernah terjadi pada jam dinding itu, benda yang menjadi pusat perhatian saat jam pelajaran terakhir. Diceritakannya bagaiman para ustadz sering terkecoh karena ulah santri yang sengaja mempercepat jam tersebut. Ya, cerita yang sederhana. Tapi bahasanya, teknik berceritanya, metafora-metafora yang digunakan si penulis, sungguh luar biasa!
Aku benar-benar iri. Bagaimana mungkin di pesantren ini ada yang bisa menulis dengan pencapaian estetik sehebat ini? Aku tak percaya ini memang karya santri. Bisa jadi ini hanya jiplakan, itulah kenapa si penulis enggan mencantumkan namanya. Takut jika nanti ketahuan. Untuk memastikan itu, aku browsing lewat hape yang kubawa diam-diam karena membawa barang elektronik tentunya dilarang di pesantren ini, terutama hape. Kucoba mengetik setiap kalimat yang tertulis dalam cerpen misterius ini di mesin pencari. Semuanya nihil.
Atau, bisa juga ia menjiplaknya dari sebuah buku. Tapi aku sudah membaca ribuan cerpen dari ratusan buku kumpulan cerpen, aku ingat semuanya, tak ada yang seperti ini. Kecuali kalau memang kebetulan aku belum membacanya.
Lalu kubaca lagi cerpen itu. Ceritanya memang sangat khas pesantren tempat kami belajar. Jam di kelas kami memang selalu diperlakukan seperti itu. Meski berat, harus kuakui cerpen ini memang karya orisinil, sebab selain santri di pesantren ini tak mungkin bisa menceritakan persis seperti itu. Berarti, siapapun dia, penulisnya adalah penulis yang hebat. Orang biasa yang hanya iseng menulis tak akan bisa memikirkan hal sesepele jam dinding menjadi cerita yang luar biasa, terlebih diceritakan dengan teknik yang menawan begini.
Semakin memikirkan cerpen tersebut, semakin aku penasaran siapa yang telah menulisnya. Setelah berpikir panjang, akhirnya aku menemukan cara agar mengetahuinya. Akan kubuat pengumuman di mading. Kepada si penulis cerpen tersebut agar mendatangiku ke asrama untuk mengambil hadiah berupa tiga buah buku kumpulan cerpen. Aku yakin cara ini akan berhasil. Saat bertemu nanti, sepertinya aku harus jujur mengakui kehebatannya. Berbagai cara akan kugunakan agar ia mau bercerita bagaimana bisa menulis cerpen sebagus itu. Diam-diam, aku akan belajar darinya, tentu saja.

***

Hari ini aku menunggu di asrama seharian. Hadiah yang kujanjikan sudah siap, namun belum juga ada yang datang mengambil. Barangkali besok, pikirku. Namun  tetap tidak ada yang datang dan mengakui kalau ia si penulis yang sedang kutunggu, bahkan hingga pagi Jumat berikutnya. Aku semakin penasaran!
Malam tadi setelah shalat Isya aku iseng memeriksa kotak mading, barangkali ia akan mengirim cerpen lagi untuk pekan ini. Tapi aku tak menemukannya, bahkan aku tidak menemukan satu pun karya berupa cerpen. Walau demikian, pagi Jumat ini aku mencoba mengecek kotak mading lagi. Dan kali ini jantungku berdebar hebat. Cerpenis misterius itu mengirimkan cerpennya lagi! Mungkin cerpen ini dikirim di atas jam 8 malam, bahkan mungkin tengah malam.
Cerpen baru ini ditulis dengan bahasa yang sangat puitis dan segar. Cerpen kali ini bahkan tak kalah baik dengan cerpen yang ia kirim sebelumnya. Ia ceritakan tentang santri putra yang menjalin kisah cinta dengan santri putri yang asrama mereka hanya dibatasi tembok tinggi berkawat. Mereka saling berkirim surat melalui buku tulis agar tidak mencurigakan. Di halaman buku tulis itulah surat itu mencatatkan perasaan, dan di halaman buku itu pula balasan diwakilkan. Buku itu lantas diantar oleh seorang kurir profesional yang punya tarif sendiri atas jasanya. Kurir itu seorang anak ustadz yang masih kecil sehingga bebas keluar masuk pesantren putra dan putri tanpa dicurigai satpam. Lalu diceritakannya pula bagaimana santri putra itu agar bisa mendengar suara kekasihnya. Kedua santri yang mabuk perasaan itu rela melanggar peraturan pondok pesantren. Mereka saling menyimpan hape dan sepakat digunakan pada jam-jam tertentu.
Aku sungguh kagum dengan cara penulis misterius itu bercerita. Seandainya ditulis oleh santri lain, pasti mereka akan menceritakan dengan cara yang biasa, mudah ditebak bahkan klise. Tapi penulis misterius itu seperti mengetahui bagaimana cerpen seharusnya ditulis. Bukan asal bercerita dan membuat pembacanya bosan.
Sudah empat kali aku membaca ulang cerpen misterius itu. Kali ini aku memerhatikan tema yang ditulisnya. Aku sungguh iri sekali. Apa yang ditulisnya juga pernah kulakukan. Aku bahkan juga pernah mencoba menuliskannya ke dalam cerpen. Sayangnya, hanya beberapa paragraf aku tak bisa lagi meneruskan cerpen itu, bingung memilih kalimat apa yang mesti kutuliskan. Namun ada satu hal yang membuatku semakin penasaran, mungkinkah ada santri lain yang memiliki cerita asmara sama persis denganku? Atau ia sengaja memperolokku setelah mengetahui kalau aku pernah berhubungan dengan salah seorang santriwati dengan cara yang kubilang sangat unik. Setahuku, hanya teman-teman terdekat yang tahu rahasia ini. Mungkinkah penulis misterius itu salah satu dari mereka? Tapi bisa juga mereka menceritakannya kepada santri lain, dan si penulis misterius itu mendengarnya. Akh..!

***

Kegelisahanku semakin menjadi-jadi. Jika semula aku hanya menduga kalau cerpenis misterius itu teman dekatku sendiri, sekarang aku bisa memastikannya. Setelah membaca cerpen ketiga yang dikirimnya pada malam Jumat berikutnya, bisa kupastikan ia adalah salah satu di antara mereka, teman-teman terdekatku. Buktinya cerpen ketiga kali ini persis menceritakan tentang diriku. Tokohnya seorang santri yang terpaksa nyantri agar tidak lagi dimarahi ibunya yang pemarah. Tapi ternyata meski sudah jauh dari ibunya, tokoh itu masih saja mendapat kemarahan ibunya ketika datang ke pesantren dan memergoki si tokoh tak ikut shalat berjamaah di mushalla. Aku ingin meremas kertas itu ketika selesai membacanya. Semua ini tentang diriku kemarin sore.
Ceritanya, aku tidur siang. Aku memang selalu mengantuk di siang hari, bagaimanapun aku harus tidur siang. Lalu adzan Ashar berkumandang. Aku terbangun sebentar, lalu melanjutkan tidurku. Kami para ketua asrama sedikit memiliki kebebasan untuk tidak shalat berjamaah. Peraturannya memang tidak boleh. Jika kami berani melanggar itu karena kami tahu tidak akan ada yang memberi hukuman. Selama ini kamilah yang menghukum para santri yang tak ikut shalat berjamaah.
Aku terbangun saat mendengar langkah kaki dan kegaduhan teman-teman dekatku sehabis dari mushalla. Bersamaan dengan datangnya mereka, ternyata ibuku juga datang. Aku tak tahu Ibu akan datang menjenguk. Ibu memang tak pernah bilang-bilang kalau mau datang. Melihat aku hanya tiduran di dipan, Ibu lantas marah besar di hadapan teman-temanku sendiri.
Siapa lagi yang tahu cerita itu kalau bukan penghuni asrama ini, teman-teman dekatku sendiri? Tapi masalahnya, tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa menulis cerpen!

***

Baiklah, tak peduli siapapun cerpenis misterius itu, harga diriku harus dikembalikan! Dengan semua yang telah kupelajari, harusnya akulah cerpenis terhebat di pesantren ini. Aku akan menulis cerpen malam ini. Aku telah lama sekali ingin menjadi cerpenis hebat, setidaknya, aku harus berhasil menulis satu cerpen yang bisa kubanggakan, yang bisa menyaingi karya si penulis misterius itu. Cerpen itu akan selesai malam ini, dan akan kupajang di mading besok pagi.
Kuambil kertas HVS dan pulpen. Kubuat secangkir kopi agar tidak mengantuk. Kudongakkan kepala agar bisa berpikir lebih cepat. Lalu aku seperti menceburkan diri dalam kepalaku sendiri, menyelam di kedalaman, mencari-cari ide untuk cerpen yang akan kutulis malam ini. Kemudian gelap.
Aku terbangun jam tiga dini hari. Kukucek mataku. Kemudian menguap. Di tanganku masih ada pulpen. Saat melihat kertas HVS di depanku, aku tersentak. Sebuah cerpen sudah tertulis rapi di sana. Aku bingung. Kuduga ini hanya mimpi, tapi ternyata tidak. Kubaca cerpen itu. Isinya cerita tentang seorang santri yang memiliki kepribadian ganda, yang selalu mengantuk pada siang hari karena kepribadian keduanya itu bangun setiap tengah malam, dan menulis cerpen setiap malam Jumat. []

Sultan Adam, Malam Jumat, 21-8-2014
(cerpen ini kupersembahkan untuk Bunda Ninin Susanti: Berhentilah mengurus mading! Menulislah, dan wujudkan mimpi itu!) 

(Radar Banjarmasin, 21-9-2014)

8 comments:

  1. Jadi, siapa penulis misteriusnya? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, mun km kda paham berarti cerpenku yg gagal. Sebagai penulis aku kd bisa menjelaskan lagi cerpenku atau membelanya. Itu d tangan pembaca ja lagi :D

      Delete
  2. sudah reward ur self, Zian?;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Komentar ini menjawab siapakah anonim yg mengomentari postingan2 ulun akhir2 ini, sebab hanya pian yang memberi saran ini: reward your self :)
      Makasih sarannya bu. Sudah bu, pasti. :D

      Delete
  3. saya orang baru di dunia ini, jadi suka ragu-ragu dan bingung harus nulis apa di kolom komentar, apalagi artikelnya demikian memukau, terutama kalimat jam menuju diam, jadi...saya bolehlah yah menyimak terlebih dulu cerpen malam jum'atnya sambil pengen kenalan...bolehkan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silakan dinikmati... semoga cerpen ini tak mengecewakan :)
      Salam hangat dari Banjarmasin.

      Delete
  4. Anak Ustadz sp tu ka? Sp ngrnnya?

    ReplyDelete