Wednesday, July 2, 2014

Ketika Besar Nanti, Aku Ingin Menjadi Seperti Ayah

Orangtuaku adalah orang yang terhormat di kampung, Ayah seorang kepala desa, dan Ibu memiliki kios di depan rumah. Orang-orang sering mendatangi Ayah untuk membicarakan sesuatu. Sering kulihat mereka selalu pulang dengan memberikan uang pada Ayah sebagai tanda terimakasih. Kios kami, yang dijaga oleh Ibu, tak pernah sepi dari pembeli, karena letaknya tepat di pinggir jalan raya. Paling tidak, orang singgah untuk mengisi bensin.
Di belakang rumah kami membentang sebuah sungai, entah di mana ujungnya. Sungai itu tidak terlalu besar, tapi orangtuaku selalu melarangku berenang. Kata mereka, di sana ada buaya. Aku pun tak bisa berenang saat masih kecil. Orangtuaku juga tidak pernah mengizinkan aku main sepak bola. Kata mereka, itu akan membuatku sakit. Tapi yang lebih membuatku jengkel adalah aku tidak pernah dibelikan mainan. Mereka selalu beralasan tidak punya uang. Maka mainan yang aku punya hanyalah sebuah radio rusak yang kutemukan di gudang serta bola kasti yang hanyut di sungai dan tersangkut di antara rerumputan.
Saat mulai sekolah, pelajaran pertama ialah tentang cita-cita. Kata Bu Suratmi, setiap orang harus punya cita-cita. Lalu ia meminta kami masing-masing menyebutkan cita-cita kami. Ketika sampai pada giliranku, aku bingung. Aku tidak tahu apa cita-citaku.
Bisa saja sebenarnya aku meniru jawaban Yudi, ingin jadi pilot. Toh jawabannya itu juga meniru jawaban Ihin. Tapi itu artinya aku berbohong, karena aku tidak ingin jadi pilot. Terlalu repot. Atau meniru jawaban Marsini, cita-citanya ingin jadi guru. Tapi kalau kujawab seperti itu aku juga berbohong, sebab aku juga tidak ingin jadi guru. Guru tidak pernah ada yang kaya. Jawaban Arifin sebenarnya cukup keren, jadi dokter. Katanya, biar bisa menolong orang. Tapi aku juga harus berbohong kalau kujawab seperti itu karena aku tidak ingin jadi dokter. Dokter pasti harus selalu melihat darah, sedangkan aku takut darah. Kalau Jumanto, katanya ia ingin jadi nelayan supaya setiap hari bisa melihat laut. Kampung kami memang jauh dari laut, dan di sini tentu tidak ada yang jadi nelayan. Tapi setahuku nelayan juga tidak ada yang kaya. Kalaupun aku harus berbohong, aku tidak akan meniru Jumanto.
Tapi aku tidak akan berbohong walau bagaimanapun, karena kata Ayah kita tidak boleh berbohong. Aku bertanya pada Ayah kenapa kita tidak boleh berbohong, Ayah hanya bilang pokoknya kita tidak boleh berbohong. Ibu yang kemudian memberi penjelasan, kata Ibu berbohong itu tidak baik, dan yang tidak baik itu akan membuat kita nanti masuk neraka. Jadi aku lebih baik menjawab tidak tahu karena aku memang belum tahu apa cita-citaku daripada nanti aku masuk neraka. Aku pernah membaca buku tentang siksa neraka. Ah tidak, maksudku melihat-lihat gambarnya. Nah, di gambarnya itu neraka sangat mengerikan. Ada yang ditusuk dari kepala sampai pantat, ada yang dibakar, ada yang diadu, dan kalau yang berbohong itu lidahnya ditarik panjang-panjang lalu dipotong, tumbuh lagi, dipotong lagi. Benar-benar mengerikan.
Tapi karena aku sekolah, sedikit demi sedikit akhirnya aku mengetahui bahwa orangtuaku sering membohongiku. Dengan sekolah, aku tahu kalau main bola ternyata justru membuat tubuh bugar, demikian kata Pak Ali, guru olahraga di sekolah.
Aku juga tahu kalau ternyata di sungai tidak ada buaya. Aku tahu ketika pulang sekolah aku diajak teman-temanku berenang di sungai. Jelas aku menolak.
“Nanti dimakan buaya,” kataku.
Mereka langsung menertawakanku. “Di sungai sini mana ada buaya!”
Aku tetap ngotot. Seperti kata Ayah, di sungai ada buaya. Tanpa diduga, mereka mendorongku sangat kuat hingga aku tercebur ke sungai. Awalnya aku panik, karena aku belum bisa berenang. Beruntung masih di pinggir sehingga tidak dalam. Saat teman-temanku ikut menceburkan dirinya aku jadi tenang. Ternyata, di sungai memang tak ada buaya!
Kutebak, orangtuaku dulu melarang aku berenang di sungai dan bermain bola karena tidak mau repot menjagaku. Untungnya aku sekarang sudah sekolah, yang artinya aku sudah besar, jadi orangtuaku tidak perlu lagi memikirkan bagaimana menjagaku.
Aku juga tahu mereka sebenarnya punya banyak uang, tapi terlalu pelit untuk membelikanku mainan (aku kenal istilah pelit itu dari Bu Dewi, guru agama). Tapi aku diam saja. Ayah akan langsung marah kalau aku teriak-teriak atau menangis. Atau melakukan apa saja yang tidak disenanginya.
Tapi Ayah dan Ibu tetap saja suka membohongiku. Ibu mengatakan baju yang ia belikan adalah baju paling bagus, tapi sebenarnya baju itu sangat jelek, seperti baju orang tua. Ayah mengatakan tidak bisa mengantarku ke pantai, karena katanya ia sibuk, padahal ia seharian hanya bermain-main dengan ayam-ayam peliharaannya. Kebohongan mereka sangat kelihatan.
Karena aku sekolah, maka aku semakin pintar, setidaknya dalam hal berhitung. Aku lebih sering mengamati Ibu dan Ayah. Aku menguping pembicaraan Ayah dengan para tamunya, atau pembicaraannya lewat ponsel. Saat itu ada orang datang dari kota menanyakan soal tanah. Tanah itu bukan milik Ayah, tapi telah dititipkan pemiliknya kepada Ayah jika ada yang ingin membeli. Kepada orang kota tadi Ayah mengatakan harganya lima puluh juta. Orang kota tadi menawarkan empat puluh lima juta. Ayah berjanji akan membicarakan hal itu pada pemiliknya, kemudian mereka saling bertukar nomor ponsel sebelum orang kota itu pamit. Saat orang tadi pulang ke kota, Ayah menelepon seseorang, dan mengatakan bahwa ada yang menawar tanah dengan harga empat puluh juta.
Aku sering juga menyimak pembicaraan Ibu lewat para pembeli kios. Ibu bercerita pada para pembelinya kalau aku dan Ayah lahap sekali makan jika dengan sambal cap burung pipit. Bahkan kata Ibu, kami pernah tidak makan dengan lauk, hanya dengan sambal cap burung pipit. Kami makan dua piring, cerita Ibu. Padahal, aku dan Ayah tidak ada yang suka dengan sambal itu. Cuma Ibu yang nafsu makannya bertambah dengan sambal itu. Para pembeli itu tanpa pikir panjang langsung membeli sambal cap burung pipit.
Kupikir, Ibu dan Ayah sebenarnya adalah pembohong hebat. Dari mereka, aku juga menyadari bahwa berbohong itu menguntungkan. Aku memulai kebohonganku pada teman-temanku, aku berhasil. Dan selanjutnya pun selalu berhasil. Erma mengembalikan buku yang baru satu hari ia pinjam di perpustakaan sekolah karena kukatakan penjaga perpustakaan mencari buku itu, padahal karena aku ingin membacanya juga. Despi membuang permen lolipop yang baru ia beli sebelum sempat membuka plastiknya karena kuberitahu kalau permen itu mengandung ganja. Pak Pardi yang memberitahuku, kataku agar ia percaya. Despi langsung percaya. Permen yang ia buang itu kuambil, kataku supaya tidak ada yang memakannya. Permen itu akan kuserahkan pada ayahku yang kepala desa, tambahku. Pulang sekolah, permen itu kumakan.
Setelah banyak temanku berhasil kukelabui, barulah aku berani berbohong pada orangtuaku. Pada Ibu aku minta uang jajanku dilebihkan untuk beli buku gambar. Uang itu kubelikan snack. Saat pulang, Ibu menanyaiku mana buku gambarnya, dengan wajah murung kujawab uang itu tercecer. Ibu memarahiku karena aku tidak hati-hati, tapi itu tak apa. Yang penting Ibu percaya dengan ceritaku. Aku tidak berani minta apa-apa pada Ayah, nanti ia marah. Aku cuma membohonginya ketika aku pulang sore, kujelaskan bahwa ada kerja kelompok. Ayah percaya. Aku sebenarnya bermain domino seharian di rumah temanku.
Kemampuan berbohongku terus kuasah. Aku terus menggali ide-ide baru untuk kebohongan. Aku juga mempersiapkan kebohongan-kebohongan untuk situasi tertentu. Tapi ada saatnya ketika aku lupa mengerjakan PR karena seharian memanjat pohon rambutan dan aku tidak punya kebohongan yang dipersiapkan. PR itu berupa tugas mengarang. Teman-temanku mengumpulkan buku PR mereka ke meja guru. Pada jam istirahat Bu Sarniah memanggilku ke ruang guru. Ia menanyakan mana tugasku.
Aku tidak akan mengatakan bahwa tugasku tertinggal di rumah. Itu akan membuatnya menyuruhku pulang ke rumah sebentar untuk mengambil tugas itu. Lalu dengan spontan aku mulai bercerita. Kuceritakan, kemarin sore tugas itu sudah selesai kukerjakan. Aku ingin minta komentar tentang karanganku itu pada Ayah dan Ibu, tapi mereka sama-sama sibuk. Lalu aku pun bersepeda, membawa buku PR-ku ke rumah Kak Wahyu di seberang sungai. Kak Wahyu anak kuliahan, pasti ia bisa memberiku masukan supaya karanganku jadi lebih bagus. Karena sudah terlalu sore, aku bersepeda dengan kencang. Saat menyeberangi jembatan, tiba-tiba ada kucing di hadapanku. Aku langsung mengerem. Sepedaku berhenti mendadak, aku terpelanting. Beruntung aku tidak jatuh ke sungai dan hanya mengalami sedikit lecek. Kuperlihatkan luka lecek di tumit dan sikuku karena jatuh dari pohon rambutan. Lalu cerita kulanjutkan. Aku langsung bangkit dan mencari buku PR yang tadi terlepas ketika aku terpelanting. Ternyata buku itu kulihat jatuh ke sungai. Buku itu hanyut dan tak mungkin lagi kuselamatkan. Begitulah ceritanya, Bu, kataku.
Bu Sarniah terdiam, setelah cukup lama ia kemudian bertanya kenapa tidak aku kerjakan lagi saja malam harinya.
Kujelaskan kalau setiap malam aku ke surau untuk mengaji, dan biasanya langsung tertidur sepulang dari surau karena kelelahan. Sebelum Bu Sarniah bertanya lagi kenapa tidak pagi tadi saja kukerjakan sebelum berangkat sekolah, kujelaskan lagi bahwa pagi pun aku tidak bisa mengerjakan PR karena harus membantu Ibu menyapu rumah dan mencuci piring.
Ketika aku selesai bercerita Bu Sarniah kembali terdiam seperti tengah berpikir. “Kamu pengarang yang hebat,” katanya akhirnya. Aku tidak paham betul apa maksudnya pujian itu. Aku hanya bisa berbaik sangka bahwa Bu Sarniah tetap memberikanku nilai. Ia lalu mempersilakanku keluar.
Esoknya, Bu Sarniah memintaku ikut lomba mengarang antar SD se-kecamatan. Aku menang. Tentu saja, karena aku menjiplaknya dari karya pengarang hebat yang aku yakin para panitia belum pernah membacanya. Aku dapat banyak hadiah atas juara satu itu.
Saat kelas enam, di hari terakhir kami sekolah sebelum ujian, wali kelas kami, Pak Pardi membicarakan soal cita-cita. Aku jadi ingat ketika kelas satu dulu, di hari pertama sekolah, wali kelas kami yang waktu itu adalah Bu Suratmi juga membicarakan soal cita-cita. Seperti Bu Suratmi dulu, Pak Pardi juga meminta kami masing-masing menyebutkan cita-cita kami. Tapi tidak seperti dulu, kali ini aku sudah punya jawaban yang pasti. Ketika tiba giliranku, dengan mantap kukatakan: ketika besar nanti, aku ingin menjadi seperti Ayah. []

Sultan Adam, 28 Juni 2014

(Media Kalimantan, Minggu, 29 Juni 2014)
(Harapan 3 Lomba Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Tahun 2014 di Kabupaten Tapin)
(Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin 2014, Writing Revolution, 2014)

2 comments: