Saturday, January 18, 2014

Andai Ini Hanya Sebuah Cerpen

Kamu tersentak, linglung. Teman-temanmu ramai mengumpulkan fotokopi slip pembayaran uang semester pada ketua kelas. Kamu, yang baru sadar beberapa hari lagi ujian akhir semester, dan setiap akan ujian fotokopi slip pembayaran pasti diperlukan, cepat mengeluarkan ponsel. Pesan singkat kamu kirim pada saudaramu.

“Kak, tolong ambilkan slip pembayaran uang semester dengan Mama.”
“Ya, nanti pulang kerja,” jawab saudaramu cepat.
Setiap ada yang ingin kamu ambil dari rumah orangtuamu kamu memang biasa minta tolong pada saudaramu. Tempat kerja saudaramu dekat dengan rumah orangtuamu. Dan rumah saudaramu tidak terlalu jauh dari kota tempatmu kuliah, setidaknya ada jarak yang kamu hemat ketimbang harus pulang ke rumah orangtuamu hanya untuk mengambil sesuatu.
Kamu sedikit lega. Nanti sore kamu akan mengambil slip itu ke rumah saudaramu, lalu memfotokopinya. Besoknya langsung menyerahkan fotokopi slip tadi ke Pembimbing Akademik untuk ditukar dengan memo, dan memo itu akan langsung diserahkan hari itu juga ke bagian evaluasi untuk ditukar dengan Kartu Ujian. Ya, tidak akan ada masalah, semua akan baik-baik saja.
Pulang kuliah, sore itu kamu lekas ke kos dan mengganti baju. Ponsel kamu tinggal di kos, baterainya nyaris habis. Lagipula ke rumah saudaramu tak akan lama, pikirmu. Pulang ke kos, baterai akan penuh lagi. Kamu meluncur ke rumah saudaramu.
“Mana, Kak?” suaramu seperti buru-buru.
“Apaan?” Dahi saudaramu berkerut, kamu sedikit curiga.
“Slip.. slip pembayaran...,” tegasmu.
“Astagfirullah ...”
Kamu tak perlu lagi mendengar apa yang dikatakan saudaramu selanjutnya. Kamu sudah bisa menebaknya: lupa, benar-benar lupa, karena ini, padahal sudah itu, tidak diingatkan, pertanyaan memangnya untuk apa, semprotan mengapa saat sudah dekat ujian baru mempersiapkan, dan sebagainya.
Kamu tak perlu mendengar semua itu. Yang kamu perlukan slipnya. Tidak ada pilihan lain bagimu kecuali ke rumah orangtuamu.
Kamu tiba di rumah orangtuamu. Pada ibumu, kamu jelaskan semuanya. Tapi kamu tak bisa begitu saja mengambilnya dan langsung kembali ke kota, ke kos. Itulah alasan lain kenapa kamu selalu menitip jika ada yang ingin diambil: orangtuamu tak pernah mengizinkan kamu terlalu sebentar di rumah. Terlalu capek, kata ibumu. Besok pagi saja kembali ke kota, sarannya. Saran yang lebih seperti perintah.
Tapi kamu bersikeras. Kamu akan pulang malam ini juga, tegasmu pada kedua orangtuamu. Ada beberapa pekerjaan di kota yang kamu tinggalkan, terangmu pada mereka. Dan juga ponselmu ditinggal di sana, tambahmu pada diri sendiri. Kamu sudah tak bisa hidup jika tanpa ponsel.
Malam itu listrik padam, dan gerimis, dan petir. Kamu makan malam bersama keluargamu. Lalu membantu adikmu mengerjakan PR. Pojok hatimu kadang mensyukuri ponsel tidak dibawa, sehingga tak ada yang bisa mengganggu kebersamaanmu dengan mereka. Tapi kamu, tetap ingin pulang. Sekali lagi, kamu sudah tak bisa hidup jika tanpa ponsel.
Hujan, kata ibumu. Kamu punya jas hujan, jelasmu. Bahaya pulang, kata ayahmu. Tak apa, katamu.
Dan kamu tetap kembali ke kota. Pesan ‘hati-hati’ dari ibumu sudah cukup bagimu sebagai tanda izinnya. Sepanjang jalan kamu mengingat lagi beberapa percakapanmu dengan ayahmu selama di rumah tadi. Akhir-akhir ini kamu mulai berkomunikasi lagi dengan ayahmu. Tak banyak, memang. Tapi itu sudah cukup, setelah bertahun-tahun kamu nyaris tak pernah berkomunikasi dengannya, dan kalaupun ada hanya berupa pertengkaran. Kali ini harus mengalah, katamu pada dirimu sendiri, untuk kesekian kalinya. Kecerdasan emosimu sudah lebih baik dari dulu-dulu. Harus mengalah, tegasmu lagi.
Sepanjang perjalanan itu benar-benar gelap. Langit gelap, gerimis, dan listrik masih padam. Hanya sesekali terang, oleh kilatan petir.

Larut malam lagi aku pulang
Langit gelap
Gerimis beranak pinak.

Kamu tiba-tiba saja teringat puisi itu, yang kamu tulis bertahun-tahun lewat. Namun segera buyar ketika mendadak lampu motormu mati. Kamu gugup. Kamu tepuk-tepuk, nyala lagi. Sebentar kemudian mati lagi. Kamu tepuk lagi. Lalu nyala lagi.

***

Pagi ini semua akan beres. Tiba di kampus kamu langsung mencari papan pengumuman untuk melihat kumulasi absensi. Hasil kumulasi absensi itu baru ditempel hari ini. Kamu mencari namamu, dan langsung terpaku melihat kehadiran di mata kuliah Keperawatan Maternitas hanya 80%.
Ingatanmu cepat menjelajah, yang ini kamu tidak akan melupakannya. Waktu itu kelas gabungan, dan langsung dua jam kuliah. Itu artinya dari jam 8 pagi sampai jam setengah 12 siang kamu tak akan bisa keluar. Kamu belum sarapan waktu itu, dan yakin tak akan sanggup menahan lapar hingga setengah 12 siang. Kebetulan dosen Keperawatan Maternitas, Bu Yuli, belum datang. Kesempatan, pikirmu. Meskipun sangat berisiko, karena jika Bu Yuli sudah masuk ke ruangan, kamu tak akan diizinkan lagi masuk. Tapi hanya sarapan tak akan butuh waktu lama, pikirmu. Kamu ke warung makan. Sarapan sebentar. Lalu kembali lagi ke lokal dan, seperti kesialan hanya diciptakan untukmu, Ibu Yuli sudah dengan manisnya duduk di depan kelas, lengkap dengan senyumnya. Kamu pun hanya bisa pulang ke kos dan memikirkan hikmah apa saja yang mungkin kamu dapat dari peristiwa itu.
Kini pikiranmu kembali pada hasil kumulasi absen yang sekarang ada di depanmu. Sesuai yang tertera di sana, kehadiran 75%-85% berarti harus menghubungi koordinator mata kuliah bersangkutan untuk mendapat tugas. Koordinator Keperawatan Maternitas ialah Pak Julianto. Kamu langsung menemui Pak Julianto di kantornya, dan Pak Julianto memperlihatkan padamu apa-apa saja yang harus kamu kerjakan, ditulis tangan, di atas kertas folio bergaris:

KEPERAWATAN INTRA NATAL
a. Pengkajian Kala I, II, III, IV
b. Periksa dalam
c. Melakukan persiapan persalinan
d. Monitoring janin
e. Menolong persalinan/asuhan persalinan normal
f. Episiotomi dan repair perineum

“Paling satu hari selesai,” komentar Pak Julianto. “Hari ini kamu kerjakan, besok kamu kumpul,” tambahnya sambil tersenyum.
“Besok Bapak ada?”
“Ya, sampai sore insya Allah Bapak ada di sini.”
Kamu pun pulang ke kos, dan mulai mengerjakan tugas itu. Berjam-jam. Baru point “a”, sudah 5 halaman folio. Kamu tak bisa membayangkan akan sebanyak apa yang kamu tulis itu nantinya. Jarimu semakin lemas, tulisanmu semakin parah.
Kamu istirahat, lebih tepatnya kerja: mengunggah foto buku-buku terbaru, menyetor uang buku, menyiapkan buku-buku pesanan, mengirimnya. Selesai semua itu kamu mencatat lagi. Hingga malam, dan hanya sesekali istirahat karena ada beberapa pelanggan ke rumahmu mengambil buku. Point ‘b” dan “c” selesai.
Malamnya kamu harus kerja lagi, mentransfer sejumlah uang untuk buku-buku pesanan dan mengantar buku ke pelanggan. Pulang ke kos, tubuhmu benar-benar lelah. Tapi kamu tetap paksakan mencatat. Hingga jam 2 dini hari, kamu ketiduran. Padahal point “d” saja belum selesai.

***

Kamu bangun kesiangan. Selesai sarapanmu yang telat itu kamu melanjutkan lagi. Itu sudah pukul 9. Satu jam sudah pagi itu kamu mengerjakan, dan merasa tak sanggup lagi serta tidak tahu harus berbuat apa, kamu telepon Khaidir, temanmu satu kelas yang juga mendapat tugas Keperawatan Maternitas. Kamu mengeluhkan apa yang sudah kamu lakukan. Ia tertawa, katanya ia sudah pulang kampung, urusannya sudah beres, tugasnya sudah ia selesaikan kemarin, tinggal menunggu hari ujian. Kamu semakin mengumpat.
“Kata Pak Julianto, hari ini beliau tidak ada di kantor, kalau mau hari ini ngumpulnya sama Ibu Izma,” katanya menjelaskan. Kamu tak peduli dengan kata-katanya itu, kemarin Pak Julianto sudah bilang “insya Allah ada di sini sampai sore”.
“Buat apa kamu banyak-banyak mencatat, toh tidak diperiksa juga,” tambahnya lagi di telepon, disusul dengan tawa.
“Ya mau gimana lagi!” umpatmu.
“Sudah, kumpul saja seadanya,” sarannya.
Telepon kamu tutup. Kata-kata Khaidir kamu benarkan. Tapi buat jaga-jaga, kamu kerjakan point “f”. Sementara point “e” kamu lewati.
Selesai itu, kamu cepat ke kampus. Benar kata Khaidir, Pak Julianto tidak ada. Kamu benar-benar kacau, namun segera ingat ada nama ibu Izma tadi disebut Khaidir. Informasi yang tidak kamu sangka akan bermanfaat. Kamu temui Ibu Izma. Beliau bingung soal tugas itu. Kamu jelaskan kenapa kamu bisa sampai pada beliau, yang tidak tahu menahu itu. Beruntung Ibu Izma percaya dengan penjelasanmu. Lembaran-lembaran folio yang penuh tulisan dan keringatmu itu beliau bubuhkan tanda tangan di halaman paling depan, tanpa sedikit pun membaca apa yang sudah kamu tulis. Kamu tidak tahu harus senang atau kecewa. Ah, setidaknya dengan ini aku jadi menguasai KEPERAWATAN INTRA NATAL, pikirmu.
Selanjutnya kamu tinggal menemui Pembimbing Akademik, Pak Firman, untuk meminta memo. Dan seperti biasa, beliau tidak ada. Kamu pulang, setelah sebelumnya mengirim pesan singkat pada Pak Firman, menanyakan kapan beliau bisa ditemui.
Banyak yang harus kamu kerjakan. Hari ini order buku luar biasa banyak. Kamu harus ke beberapa gudang buku dan mengepaknya.
Sampai habis shalat Jumat, Pak Firman belum juga memberi kabar. Kamu ke Tiki dulu mengirim buku-buku pesanan, lalu ke kampus. Di sana, Pak Firman masih tidak ada, seperti yang sudah kamu perkirakan. Kamu tanyakan masalah ini pada bagian evaluasi. Katanya kamu bisa meminta memo pada pengganti Pembimbing Akademik, yaitu Ibu Isna.
“Ibu Isna-nya tidak ada juga, gimana?” tanyamu.
“Ah, tadi dia ada kok.”
Kamu pun menunggu di depan kantor. Kamu tidak tahu Ibu Isna itu yang mana, kamu cuma tahu mejanya, tepat di samping kanan pintu masuk, dan tidak ada seseorang di balik meja itu. Hari itu di depan kantor dosen cukup ramai oleh orang-orang yang juga menunggu. Kamu sesekali menengok lewat pintu, namun meja di samping kanan itu masih juga kosong.
Beruntung ada kenalanmu yang juga menunggu, setidaknya kamu punya teman ngobrol. Teman-teman dari lokal yang sama denganmu juga mulai berdatangan, sama-sama ingin menukar fotokopi slip pembayaran dengan memo. Namun seperti kamu, mereka juga tidak tahu Ibu Isna itu yang mana.
Entah berapa jam sudah kalian menunggu, mungkin dua, mungkin tiga, masih saja tidak ada seseorang yang duduk di balik meja itu. Hingga datang teman kalian yang lain, teman yang di kelas termasuk orang-orang pintar lagi rajin. Seseorang dari kalian menanyakan padanya tahukah Ibu Isna itu yang mana.
“Itu ibunya ada di dalam, yang pendek-pendek,” katanya dan segera berlalu. Kalian pun saling menyumpah karena sama-sama tidak ada yang tahu. Bisa jadi Ibu Isna sudah lama ada di kantor, hanya saja tidak duduk di kursinya!
Kalian masuk ke kantor. Dan kebingungan.
“Yang mana ibunya?” kalian saling bertanya, dan menyesal kenapa tadi tidak sekalian minta tunjukkan dengan si orang pintar lagi rajin tadi.
Kalian tidak ada yang berani bertanya, kalian takut jika itu ditanyakan pada salah seorang dosen yang ada di sana kalian akan mendapati komentar: masa dosen sendiri tidak tahu!
Kamu, kamu tak bisa diam saja. Kamu sudah terlalu lama menunggu, ini tinggal sedikit lagi. Jangan sampai... jangan sampai.... Kamu bahkan tidak berani membayangkan masalah apa lagi yang akan menyambutmu.
Yang pendek-pendek, demikian informasi yang kamu dapat tadi. Otakmu cepat bekerja. Sebagian besar dosen di ruangan itu kamu sudah kenal. Hanya sedikit yang tidak. Dari yang sedikit itu kamu mengelemenasi yang laki-laki. Lalu dari dosen-dosen perempuan, kamu mencari “yang pendek-pendek”. Sulit mengetahui tinggi mereka dalam posisi duduk. Tapi kamu tidak akan membuang-buang waktu. Kamu, diikuti teman-temanmu, memberanikan diri mendekati salah seorang dosen, yang menurutmu cukup disebut “pendek-pendek”.
“Mau mengambil memo,” katamu pada dosen itu.
“Memo?” tanyanya.
“Iya, memo,” katamu.
“Memangnya dengan siapa?” tanyanya.
Kamu mulai curiga. Sepertinya pilihanmu salah.
“Ya dengan ibu,” katamu mencoba meyakinkan, entah untuk siapa.
Kamu tidak ingin menyebut nama Ibu Isna, karena jika ibu itu memang Ibu Isna, sama saja mengatakan kamu tidak tahu dengan dosen sendiri. Dan jika ibu itu bukan Ibu Isna, setidaknya kamu masih bisa bilang “Oh, ternyata bukan dengan ibu ya”. Kalimat itu tentu lebih tidak memalukan jika dibanding, “Oh, ternyata ibu bukan Ibu Isna ya.”
“Iya, maksudnya dengan ibu siapa?”
Kali ini kamu tidak bisa lagi tidak menyebutkan nama itu.
“Ibu bukan Ibu Isna...!”
Kamu melangkah mundur. Kali ini tubuhmu terasa tidak lagi memiliki tulang.
Sebelum tubuh itu benar-benar ambruk, kamu lihat ibu dosen di depanmu mengarahkan telunjuknya.
“Nah, yang itu Ibu Isna.”

***

Kamu melangkah meninggalkan kantor. Melewati orang-orang yang ramai menunggu. Selesai sudah, selesai sudah, ucapmu dalam hati. Hanya demi selembar kertas ini, katamu lagi pada diri sendiri. Andai ini hanya sebuah cerpen, bisa jadi sekarang kamu merobek kartu ujian itu lalu membuangnya.

4 comments:

  1. wah bagus sekali mas cerita nya. Sangat menginspirasi saya. Terimaakasih atas share nya ya :)

    ReplyDelete
  2. menginspirasi dr segi mananya? :D

    ReplyDelete
  3. Hahahaha.....aku pang kada pikir panjang, menanyakan nama langsung ke orangnya...supan banar...wkwk

    ReplyDelete
  4. itu masih bisa dimaklumi.... daripada sok kenal, tapi salah...

    ReplyDelete