Sunday, June 24, 2012

Tugas Mengarang

Ini dia masalahku, aku mendapat tugas mengarang dari guru Bahasa Indonesia, Pak Budi. Besok, hari Senin sudah harus dikumpul. Bila tidak, maka tanpa segan guru galak itu akan memberi hukuman. Hukumannya bisa apa saja, namun satu kesamaannya: memalukan! Pak Budi seperti tak pernah kehabisan ide dalam mencari hukuman yang sungguh memalukan, misalnya menungging di depan pintu kelas selama jam pelajaran beliau dengan mulut dijejali rumput. Benar-benar memalukan! Tapi lihatlah, sudah dua jam aku duduk di hadapan komputer namun tetap saja lembar dalam microsoft word itu masih putih bersih, satu huruf pun tak ada yang bisa kukarang.
Aha, iya! Sebuah ide tiba-tiba mendarat di kepalaku. Jari-jariku pun mulai bermain.

Pada suatu hari |

Duh, tapi apa? Memangnya kenapa dengan suatu hari? Pada suatu hari terjadi apa? Oleh siapa?
Pointer itu berkedip-kedip, menunggu huruf selanjutnya yang ingin kuketik. Kebingungan lagi-lagi melanda, berkuasa, menjadi raja dalam kepalaku. Hingga lima belas menit, kebingungan itu tak juga sampai pada ujungnya. Kini layar monitor berubah menampilkan screen saver.
Aku bukan seorang perempuan, karenanya tentu aku tak pandai dalam hal karang-mengarang ini. Kalaupun ada laki-laki yang lihai mengarang, pastilah dia itu orang pintar, dan meski SMA-ku itu adalah SMA unggulan, tapi tetap saja aku bukan termasuk dalam golongan itu.
Kucoba mengalihkan pandangan, ke luar jendela. Sebuah sungai membentang di hadapan mata, sungai keruh yang kini bukan lagi sebagai jalur transportasi, melainkan jalur sampah. Hanya enceng gondok yang tetap setia tinggal di atasnya dari dulu. Beberapa ekor burung elang bermanufer dengan indah di ketinggian sana, mungkin mengintai ikan di sungai yang akan menjadi mangsanya untuk makan siang hari ini. Di seberang sungai, rumah-rumah ditancapkan sekehendak hati. Di seberang itu sudah masuk wilayah Kota Banjarmasin, bukan lagi Kabupaten Barito Kuala seperti dimana aku duduk ini. Handil Bakti, nama desa tempatku tinggal ini, sebuah desa di pinggiran kota seribu sungai, Banjarmasin.
Bicara soal sungai, sebenarnya kabupatenku ini, Barito Kuala jauh lebih banyak memiliki sungai ketimbang Banjarmasin. Sungai Barito, menjadi induk semua sungai yang mengalir di Kalimantan Selatan ini. Sungai yang konon paling besar di Indonesia. Siapa yang punya? Barito Kuala!
Tidak ada apa-apa di luar sana. Aku kembali menekuri layar monitorku. Mouse kugeser agar screen saver itu hilang. Kuhapus tiga kata tadi, karena tak mungkin bisa diteruskan. Kini lembaran itu kembali putih bersih.
Jlep…
Stabilizer, monitor, CPU, keyboard dan mouse tiba-tiba mati mendadak, listrik padam! PLN sialan!
Kutunggu beberapa menit. Belum juga nyala. Kutunggu lagi, hingga kini sudah lewat dari menit yang ke-30. Aku bosan!
Ah, sebaiknya aku jalan-jalan keluar. Siapa tahu ada ide cerita yang bisa kupungut, kuracik-racik, lalu kuolah, hingga jadilah karangan. Haha… Semoga saja.
Jaket kupasang. Kuambil pulpen dan sebuah buku saku, kumasukkan dalam kantung jaket. Hebat sekali gayanya.
“Ma, ulun1 jalan-jalan…!” Teriakku pada Ibu yang sedang bikin pisang goreng.
“Iya, tapi jangan lawas2…!” balas beliau dari dapur.

***

Memang betul “jalan-jalan”, karena dari rumah tadi aku hanya jalan kaki. Sekalian olahraga dan biar tidak ada sesuatu yang terlewatkan, pikirku. Motor kutinggal, bensin mahal, jadinya lumayan buat penghematan, hehe…
Aku berjalan di pinggir jalan raya, menyusuri pinggiran kota yang tak kalah ramainya ini. Matahari sore masih menyisakan panas tengah hari tadi. Mobil dan motor berseliweran, berlomba-lomba menyumbang karbondioksida buat memperpanas bumi. Debu berterbangan kesana-kemari. Begitu pula dengan sampah, bertebaran di sana-sini.
Para pedagang kaki lima mulai membuka dagangan mereka di sepanjang bibir jalan. Ada roti bakar Bandung, martabak telor, keripik Purwokerto, fried chicken Malang, susu kedelai Bayu CS, terang bulan Bandung, pentol, pisang goreng keju, aneka gorengan, empek-empek Palembang, dan macam-macam. Warung-warung makan Sea Food dan warung-warung “tanpa nama” juga mulai buka.
Ah, bisakah semua itu dijadikan karangan? Kurasa tidak. Harus ada sebuah kejadian yang terjadi, sesuatu yang unik, bukan sesuatu yang biasa-biasa saja seperti halnya suasana sore yang sangat biasa ini.
Kini aku sampai di terminal, nama terminal ini diambil dari nama desanya, Terminal Handil Bakti. Ini merupakan terminal utama Kabupaten Barito Kuala, angkot yang datang dari Banjarmasin berikut para penumpangnya yang ingin ke pelosok-pelosok di Barito Kuala, singgahnya di sini. Penumpang itu kemudian berganti angkot. Tinggal pilih, ada jurusan Sungai Gampa, Marabahan, Anjir, bahkan Kapuas. Atau bisa juga memakai jasa para tukang ojek yang banyak mangkal di sini. Demikian pula sebaliknya, bila dari Barito Kuala ingin naik angkot ke Banjarmasin, juga harus mampir di sini untuk kemudian berganti angkot.
Meski ini sebuah terminal, namun suasananya begitu sepi. Terminal ini hanya benar-benar hidup dari jam 8 sampai jam 10 pagi, setelahnya hanya sepi, apalagi sudah sore begini. Maklum, namanya juga desa. Belum lagi sekarang ini orang lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi. Wajarlah bila Amang Ibak, sopir angkot jurusan Handil Bakti-Marabahan yang rumahnya tak jauh dari rumahku itu, hidupnya tak pernah makmur, apalagi sekarang anaknya sudah tiga.
Di belakang loket pembelian tiket jurusan Sungai Gampa dan Marabahan, para sopir angkot asik bermain domino. Botol kaca menggantung di telinga sebagian mereka sebagai hukuman karena kalah permainan. Di sebelahnya, kios yang merangkap warung teh tampak sepi. Dari raut wajah penjaganya yang tampak lesu, sepertinya kios ini sepi pembeli. Angkot yang kesepian, kios yang kesepian, terminal yang kesepian.
Namun bisakah semua ini dijadikan karangan? Sepertinya juga tidak. Di sini tidak ada kejadian yang menarik, bahkan tak terjadi apa-apa!
Aku duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu ulin3, tempat biasa para penumpang menunggu keberangkatan. Di samping kiriku ada seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor. Capek rasanya dari tadi jalan kaki. Kuselonjorkan kakiku. Kulirik seorang wanita paruh baya di sampingku itu. Wajah penuh make-up dan lipstik itu gelisah, sesekali ia melirik HP-nya. Tampaknya sudah terlalu lama menunggu. Parahnya, tak ada penumpang lain selain dia. Sedangkan angkot hanya akan berangkat jika penumpang sudah mencapai angka 12.
“Mau kemana, tante?” Aku mencoba berdialog dengan wanita di sampingku itu, siapa tahu bisa dapat ide buat dikarang.
Dia menoleh ke arahku. Wajah gelisahnya lesu.
“Mau ke Marabahan…”
“Oh… Dari mana?”
“Dari Pasar Hanyar.”
Tampaknya tante ini tak suka diajak bicara. Tapi biarlah, yang penting aku bisa dapat ide. Toh aku juga tak akan bertemu lagi dengannya.
“Ke Marabahan mau pulang atau apa?” tanyaku lagi.
Tak langsung menjawab.
“Menjenguk suami…”
“Oh….” jawabku dengan sebuah senyum, agar tampak manis, sehingga orang ini mau terus berbincang denganku.
Tapi itu bukan berarti aku mengerti. “Menjenguk suami” adalah kalimat yang tak biasa, seperti ada sesuatu di baliknya. Kenapa suami harus ditengok? Bukankah setiap hari biasanya suami dan istri itu ngumpul di rumah? Apa itu artinya tante ini dan suaminya jarang berkumpul? Atau yang dimaksud itu mantan suami? Kenapa pula mantan suami mesti dijenguk? Sakit parah? Apa istrinya yang baru tidak bakalan marah? Atau jangan-jangan yang ingin dijenguk itu sebetulnya anak-anaknya yang dulu dia lahirkan namun diasuh oleh suaminya?
“Hm, kalau boleh tahu, kok suaminya mesti dijenguk?”
Juga tak langsung menjawab.
“Ya kan suami, masa nggak dijenguk?!” jawabnya dengan judes. Namun wajah wanita itu kemudian tersenyum.
Ah, itu bukan jawaban. Tetap saja aku bingung. Aku mulai menduga-duga hal lain, berpikir sebaliknya. Mungkin saja yang ingin ditemuinya di Marabahan itu selingkuhannya. Ya, itu barangkali yang dimaksudnya dengan suami. Suami simpanan!
Eh, tapi bisa saja lebih jauh dari itu. Lebih jauh, bahkan dugaan itu baru saja terpikirkan olehku. Ya, mungkin saja. Jika melihat dandanannya yang seperti itu memang mungkin saja. Mungkin saja wanita ini sebenarnya adalah PSK yang ingin menemui pelanggannya!
Astagfirullah… Astagfirullah… Astagfirullah… Aku seharusnya tak boleh sangka buruk seperti itu. Tapi jujur saja, itulah yang kemudian terlintas di benakku.
“Emangnya jarang ketemu ya?” aku kembali bertanya.
Sumpah, aku benar-benar penasaran!
“Nggak juga sih. Tiap hari Minggu saya pulang ke rumah suami, terus hari Selasa pagi saya balik lagi ke Pasar Hanyar.”
“O… Tante kerja di sana ya?”
Aku sedikit dapat gambaran sekarang.
“Iya, usaha grosir. Sedangkan suami saya kerjanya di Marabahan. Anak-anak juga sekolahnya di Marabahan.”
“Biasanya kalau di Banjarmasin Tante pulangnya ke mana?”
“Ke rumah orang tua saya…”
“Oh…”
Aku mulai mengerti sekarang. Rupanya pikiranku saja yang tadi terlewat berlebihan. Kemudian kami pun terlibat dalam kebisuan. Hening, menyatu dengan keheningan terminal ini.
“Nggak dijemput suaminya ya Tante?” Aku tiba-tiba dapat ide lagi untuk ditanyakan.
“Nggak, suami saya kebetulan sibuk hari ini.”
“Oh…”
Kembali hening, benar-benar hening. Cukup lama, sampai ada sebuah angkot berwarna kuning yang menepi di depan kami dan menurunkan dua orang penumpangnya, muda-mudi, tampaknya sepasang kekasih. Angkot kuning berarti dari Banjarmasin, maka ada kemungkinan mereka berdua juga akan beli tiket jurusan Marabahan, sama seperti wanita paruh baya di sampingku ini. Benar dugaanku! Setelah membeli tiket jurusan Marabahan, lantas mereka duduk di samping kananku.
Televisi yang ada di dalam loket tiba-tiba menyala. Berarti listrik sudah nyala. Samar kulihat televisi itu menayangkan sebuah sinetron, kisah percintaan tentunya.
Pikiranku kemudian melayang kemana-mana. Wanita yang ingin menjumpai suaminya, sepasang kekasih muda-mudi, sinetron percintaan… Aha! Sekarang aku dapat ide sudah. Kenapa tidak kisah cinta saja yang kutulis buat tugas mengarangku? Walaupun klise, tapi cinta itu kan unik, tak pernah habis, bisa berkembang kemana-mana. Ada cinta yang ditinggal mati, ditinggal selingkuh, ada cinta yang terpaksa, cinta beda agama, ada cinta segi tiga, segi empat, segi lima, segi enam, cinta orangtua kepada anaknya, cinta lawan jenis, cinta sesama jenis, dan cinta-cinta yang lain. Huh, kenapa baru sekarang aku terpikirkan. Baiklah, aku harus pulang secepatnya.
Hari sudah senja, matahari akan beranjak meninggalkan desa Handil Bakti, jingga menghiasi langit, sebelum gelap akan benar-benar bertahta. Suara dari beberapa mesjid dan mushalla mulai menyeruak di udara.
Dengan naik ojek, aku pulang ke rumah. Pisang goreng buatan Mama sudah menanti di sana, siap disantap seusai shalat magrib nanti. Jalan raya semakin ramai, senja memang merupakan puncaknya, saat orang-orang pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Senja kali ini tampaknya begitu indah, bahkan para pedagang kaki lima semuanya tersenyum manis, semanis selai roti bakar Bandung.

***

Pagi ini teman-temanku sibuk. Mereka panik karena baru teringat bahwa ada tugas mengarang. Syukurlah Bahasa Indonesia mata pelajaran terakhir, sehingga mereka masih sempat googling, mencari cerita yang layak untuk dikumpul, mencopy-pastenya, lalu memprint. Sementara yang benar-benar sudah mengerjakan setahuku hanya aku dan Kara, siswi yang diam-diam aku menaruh hati padanya, sejak pertama kenal di kelas X B IPS dulu.
Kara gadis yang biasa, tapi bukankah cinta tak perlu penjelasan? Dan ketahuilah, bayangannyalah sebenarnya yang menari-nari di pelupuk mataku saat aku membuat tugas mengarang ini. [ ]

Mandastana, 2 Maret 2011
____________
1) Ulun (Banjar) = aku
2) Lawas (Banjar) = lama
3) Kayu Ulin = kayu khas Kalimantan, biasanya juga disebut kayu besi karena kekuatan dan kepadatannya melebihi besi

(Nominasi Lomba Menulis Cerpen dengan Tokoh Utama Pelajar)
(Melodi Cinta Putih Abu-abu, Leutika Prio, 2011)

No comments:

Post a Comment