Sunday, September 11, 2011

Buku Terakhir



ADLAN
Huft, akhirnya sampai juga di rumah Mas Harie, setelah tadi hampir setengah jam keliling-keliling Banjarbaru dan bertanya sana-sini lokasi Komplek Wira Pratama II, nomor G 17. Mas Harie rupanya juga sudah menungguku di beranda rumah. Kulihat jam di HP, sudah pukul 12.20, berarti hampir dua jam perjalanan dari rumah kakakku di Handil Bakti. Syukurlah ada jalan tembus yang baru satu tahun ini selesai (namun sudah banyak kubangan air besar lantaran truk-truk yang berseliweran sekehendak hati atau mungkin karena kualitas aspalnya yang rendah, buah dari korupsi). Kalau tidak, pastilah akan memakan waktu lebih lama lagi, dan akibatnya aku tidak akan sempat ke kampus sore ini untuk ikut latihan paduan suara.
“Masuk, Lan!” Mas Harie segera menyambutku dengan senyum.
“Inggih Mas.”

“Gampang aja kan nyari rumahnya?”
“Lumayan, he.”
Aku duduk di sebuah kursi panjang. Rumah beliau cukup ideal, tidak kecil namun tidak terlalu besar. Tidak terlalu mewah, namun tidak sederhana. Lokasinya cukup nyaman, masih banyak pepohonan di sekitarnya. Seperti daerah Kota Banjarbaru umumnya, saat musim hujan di sini tidak mudah banjir, karena datarannya tinggi. Tidak seperti Banjarmasin ataupun di kabupatenku, Barito Kuala yang selalu membuat titian di halaman rumah bila bulan semakin mendekati Desember. Aku cukup tahu banyak tentang Kota Banjarbaru karena setelah tamat SD aku langsung sekolah di kota ini sampai tamat Aliyah.
“Lumayan apa?”
“Lumayan susah, hehe…”
Istri beliau membawakan segelas teh.
Harie Insani Putra atau yang biasa dipanggil Mas Harie, aku mengenal beliau sebagai ketua komunitas blogger Kalimantan Selatan yang aku juga bergabung di sana. Setidaknya setiap ada “kopi darat” kami selalu bertemu dan berbincang-bincang, namun baru pertama kali ini aku ke rumah beliau. Saat “kopi darat” di rumah beliau beberapa bulan yang lalu aku kebetulan ada acara keluarga, jadinya tidak bisa berhadir.
Adapun mengapa sekarang aku ke rumah beliau ialah sebuah ujung dari pencarianku akhir-akhir ini yang selalu berbuah nihil. Aku mencari sebuah buku kumpulan cerpen berjudul “Perempuan yang Memburu Hujan” untuk kuberikan pada seorang gadis yang kucintai, temanku sekampus. Dia pernah bilang bahwa sangat suka dengan hujan. Bahkan katanya bila hujan turun dia sering keluar rumah dan membiarkan tubuhnya dibasahi tetesan air.

***

Aku yakin, dia akan sangat suka dengan buku Perempuan yang Memburu Hujan itu, karena dia juga suka membaca. Namun terakhir aku melihat –kurang lebih satu tahun yang lalu—buku itu adanya di toko buku Riyadh, Banjarbaru. Saat itu pun di toko buku lain jelas sudah tidak ada karena buku itu terbit tahun 2007.
Dan sekarang sepertinya di toko buku Riyadh pun juga tidak ada. Tapi tak apa, di mana lagi aku mencari kalau bukan di situ. Demi cinta, apapun harus kulakukan. Di toko buku itulah satu-satunya harapanku yang tersisa. Maka sepulang kuliah hari Sabtu (hari itu cuma satu mata kuliah), tanpa pulang ke rumah, aku segera meluncur ke Banjarbaru.
Sampai di depan toko buku Riyadh aku langsung naik tangga. Toko itu berada di lantai dua. Aku juga masih ingat di rak mana buku itu dulu bertengger. Tapi sialnya, sudah jeli sekali aku mencari, tetap saja buku itu tidak ketemu. Kucari di rak-rak lain siapa tahu sudah berpindah, tapi tetap, buku itu tidak juga tampak. Cukup lama aku mondar-mandir di toko buku yang tidak terlalu besar itu, sampai-sampai penjaganya heran dan menghampiriku.
“Mencari buku apa?”
“E…. Perempuan yang Memburu Hujan. Masih ada lah?”
“Buku apa itu?”
“Kumpulan cerpen, penulisnya Sandi Firly dan Harie Insani Putra.”
“Kumpulan cerpen amun kada salah di sebelah sini.” Penjaga toko buku itu lalu berjalan ke sudut sebelah kiri. Kuikuti. Dicarinya buku yang kumaksud. Aku juga ikut mencari. Tetap, buku itu tidak ada.
“Wah, kayaknya sudah habis bukunya.”
“Oh… ya sudah mun kaitu…”
Aku pun pulang, ke Handil Bakti. Istirahat.
Itu pencarianku yang pertama. Aku belum menyerah. Ini soal cinta! Besoknya, hari Ahad, aku mencari buku itu lagi. Kali ini ke penerbitnya langsung. Ah, kenapa baru malam tadi aku terpikir akan hal itu?! Dan kalaupun tidak ada juga, aku sudah mendapatkan alternatif berikutnya: ke penulisnya langsung!
Buku itu diterbitkan oleh Tahura Media, sebuah media untuk membantu para sastrawan Kal Sel menerbitkan karya mereka. Kantornya tidak terlalu jauh, di Banjarmasin saja. Tepatnya di Jalan Sultan Adam. Kebetulan bosnya, Bang Hajri juga kenalanku. Kami akrab di blog (walaupun beliau bukan anggota komunitas blogger Kal Sel), selain itu aku juga pernah meminta beliau menjadi pembicara dalam seminar menulis cerpen yang kami laksanakan di sekolahku dulu.
Aku ke sana pagi, sekitar jam sepuluh. Rupanya Bang Hajri hari itu tidak ada, yang ada cuma anak buah beliau.
“Oke, tunggu. Silakan duduk. Biar saya carikan dulu di gudang,” kata anak buah beliau itu setelah kujelaskan tujuanku.
Agak lama, sepertinya juga sudah tidak ada.
“Tidak ada lagi dek, soalnya buku itu memang sudah lama. Tahun 2006 kalo nggak salah. Eh, tapi tunggu, biar saya tanya bos dulu, siapa tahu di rumah beliau ada.”
Orang itu segera memencet beberapa tombol telpon yang terletak di meja. Beberapa percakapan sempat kudengar: sudah tidak ada.
Dengan ramah orang itu minta maaf karena buku yang kucari itu tidak ada. Bukan kesalahan juga, pikirku. Justru akulah yang salah karena mencari buku yang sudah lama terbit. Sempat juga dia menawarkan buku-buku lain yang baru terbit tahun ini. Tapi karena uangku (selalu) sedikit, dan uang yang ada ini sudah ‘dialokasikan’ untuk buku Perempuan yang Memburu Hujan, jadinya tak mungkin aku membeli buku-buku yang ditawarkannya itu.
Aku pulang. Rencanaku berikutnya sudah jelas, yaitu log in di facebook dan mengirim pesan ke Mas Harie untuk menanyakan perihal buku beliau itu. Sebenarnya buku itu ditulis oleh dua orang, yaitu Mas harie dan Sandi Firly. Masing-masing tujuh cerpen, sehingga semuanya ada 14 cerpen.
Perempuan yang Memburu Hujan yang menjadi judul buku itu ialah judul salah satu cerpen karya Sandi Firly. Aku pernah bertemu beliau saat beliau menjadi pembicara dalam seminar penulisan cerpen yang diadakan di UNLAM. Kata beliau, cerpen itu terinspirasi saat beliau pergi ke kantor beliau, kantor sebuah koran lokal. Saat itu hujan, dan orang-orang segera menepi untuk menghindar dari serangan hujan tersebut. Beliau berpikir, kenapa orang-orang dengan hujan saja takut. Kenapa hujan justru dihindari, padahal itu sebuah berkah yang turun dari langit.
Dua hari, barulah pesanku mendapat balasan dari Mas Harie. Ah, ternyata memang tidak percuma aku menjadi anggota Kayuh Baimbai, nama komunitas blogger itu.
“Kalo nggak salah, di rumahku masih ada 3 eksemplar.”
Yes! Langsung kubalas lagi pesan itu, “Insya Allah hari Sabtu ulun ke rumah pian.”

***

“Kuliah di mana sekarang?”
Hah… Lamunanku buyar seketika. Minum teh setelah kecapekan memang sangat nikmat.
“Di STIKES Muhammadiyah, Banjarmasin.”
“Oh, yang dekat Rumah Sakit Islam itu ya?”
“Inggih.”
“Hari ini nggak kuliah?”
“Tadi cuma satu mata kuliah, jadi pulang kuliah langsung ke sini. Tapi sore ini ke kampus lagi, soalnya ada latihan paduan suara.”
“Paduan suara?”
“Inggih, buat acara wisuda kakak tingkat. Semua anak semester satu wajib ikut latihan semuanya.”
“Oh… Eh, buat apa nyari buku itu?”
Aku cuma tersenyum. Tak mungkin kujelaskan pada beliau bahwa tujuan semua ini ialah cinta. Ah, cinta, memang tak pernah waras.
“Kada, cuma buat memiliki.”
“Oh, buat ngoleksi ya…”
“Inggih…”
“Tunggu, kuambilkan dulu ya.”
Tak berselang lama beliau kembali. Melihat buku yang kucari-cari dengan susah payah itu, hatiku langsung mekar. Tiba-tiba terselip di dada sepucuk kerinduan, kerinduan pada seorang gadis yang akhir-akhir ini selalu memenuhi ruang pikiranku. Aku langsung merencanakan, sore ini sepulang latihan paduan suara akan kuajak ia jalan-jalan. Tak usah terlalu jauh, cukup ke siring saja. Pulang dari siring, di muka kostnya, barulah kuserahkan buku itu. Aku juga sudah memikirkan kata-kata apa yang akan kuucapkan nanti, “Buat kenang-kenangan. Mudahan kamu suka.” Hahay, romantis sekali!

***

Latihan paduan suara kali ini aku tak bisa konsentrasi. Perhatianku seluruhnya tertuju pada gadis itu, gadis cantik yang saat pertama mengenalnya langsung melelehkan seluruh isi dadaku. Namun ternyata hal itu berakibat buruk. Seorang kakak tingkat rupanya sedang mengontrol siapa saja yang tidak menyanyi. Aku lalu disuruh ke depan. Untungnya tidak hanya aku seorang. Ada enam orang yang juga bernasib sial. Kami pun dimarahi, disuruh nyanyi, dimarahi, terus dimarahi lagi, dan terakhir dimarahi lagi. Ah, malu rasanya, terutama pada gadis itu. Tapi biarlah, hal-hal memalukan semacam ini sudah sering kualami.
Selesai latihan, aku langsung mengiriminya SMS, mengajaknya jalan-jalan ke siring.
Lama aku menuggu, namun tidak dibalasnya juga SMS itu. Aku masih menunggu, bahkan sampai orang-orang sudah pulang semuanya. Sampai aku menyerah. Sudahlah, mungkin dia lagi sibuk. Saat ini pasti dia sudah berada di kost. Aku tak boleh mengganggunya.
Kunyalakan motor. Tidak langsung pulang, tapi ke siring. Sendiri.
Duduk di tepi sungai sambil memandangi riak-riaknya yang memantulkan warna jingga senja dan merasakan angin yang semilir cukup membuat hati nyaman. Sayangnya sungai bukan lagi menjadi jalur transportasi utama. Sungai saat ini tidak lain hanyalah tempat pembuangan sampah-sampah orang kota. Sampah-sampah non organik itu hanyut, sebagian menumpuk–sampai berton-ton, lantas menghalangi aliran air. Bila musim hujan, air sungai itu setia memberi balasan. Ia ikut melintas di jalan raya, mobil dan motor yang melintas di jalan akan kotor dibuatnya. Cuma menunggu waktu, sampai rumah dan gedung yang menjadi sasaran berikutnya.
Hampir usai senja, barulah SMS-ku tadi dibalas.
“Maaf, ulun tidak bisa. Sekarang ulun lagi mencari makan.”
Segera kubalas.
“Kapan pulangnya?”
“Kayaknya masih lama.”
Uh… keadaan memang sering tak sesuai harapan, lerlebih bagi orang pas-pasan sepertiku. Tidak lama aku beranjak. Sebelum pulang mampir dulu di kostnya. Kemudian pulang, setelah sebelumnya mengiriminya SMS.
“Ada sesuatu untukmu, kugantung di pagar kost. Mudahan kamu suka.”

***

INTAN
“Cerpen mana yang paling kamu suka?”
Demikian tanya lelaki itu, memulai perbincangan lewat SMS malam ini. Aku baru selesai mandi saat membaca SMS-nya itu. Mungkin sudah dikirim cukup lama.
“Chantika dan Bola Matanya sama Perempuan yang Memburu Hujan”.
Demikian balasan yang segera kukirim. Aku memang sudah selesai membacanya, seperti yang kukatakan padanya sore tadi seusai gladi bersih untuk acara wisuda kakak tingkat di Gedung Sultan Suriansyah.
Jujur saja, aku jadi merasa tak nyaman saat beberapa hari yang lewat tak bisa memenuhi ajakannya jalan-jalan ke siring, terlebih saat dia malah memberiku sebuah buku. Buku yang sangat aku suka, Perempuan yang Memburu Hujan, karena aku memang sangat menyukai hujan, seperti yang sudah ia ketahui. Aku lupa, bagaimana ceritanya sampai dulu aku memberitahunya soal itu. Aku tak pernah memikirkan itu, tapi ternyata dia justru mengingatnya dan mempersiapkan kejutan ini untukku.
Lebih merasa tidak nyaman lagi aku karena tadi, baru saja dia menyatakan lewat SMS kalau dia jatuh cinta denganku. Memang, aku tidak terlalu terkejut akan hal ini. Dari kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya selama ini, dari tulisan-tulisan di blognya, dari puisi-puisinya, dari SMS-SMS-nya, juga dari status-status di facebooknya yang selalu di-update itu, semuanya telah menjelaskan akan hal ini. Hanya saja saat ini aku bingung, jawaban apa yang akan kuberikan. Aku memang menyukainya, sebagai seorang teman, hanya sebatas itu, tak lebih. Dan kalaupun lebih, jelas aku tak bisa karena orangtuaku melarangnya, juga mengingat keadaanku yang selalu diproteksi oleh mereka dan keluargaku yang lain.
“Ulun sangat terkejut membacanya. Ulun senang, tapi maaf, ulun belum bisa memberi jawaban sekarang.” Akhirnya hanya itu jawaban yang kuberikan.
“Jawaban untuk apa? Aku tidak bertanya, apalagi meminta. Aku sadar dengan keadaanku. Aku cuma menyatakan perasaanku, itu saja.”
Ah, bahkan ia salah sangka, menganggap jawabanku itu karena keadaannya.

***

Lagi-lagi aku membuatnya kecewa. Cuma kata maaf yang bisa kuberikan sebagai balasan. Kali ini aku semakin merasa bersalah terhadapnya.
Malam tadi, sekadar mengisi perbincangan malam –lewat SMS, kukatakan padanya bahwa malam ini tidak ada bintang.
“Suka bintang?”
Tanya dia seketika itu. Tentu saja aku sangat menyukai bintang. Lalu kujelaskan padanya bagaimana aku sampai sangat menyukai bintang, sebuah kenangan. Itu perbincangan malam tadi.
Dan tiba-tiba, saat ini, sore ini, dia sudah ada di depan kostku. Katanya dia mau mengajakku jalan-jalan. Namun yang pasti membuatnya kecewa ialah: aku sekarang tidak di kost! Saat ini aku sedang di pasar mencari baju-baju untuk butik milik ibuku. Rencananya hari Minggu nanti baju-baju itu akan kukirim. Ah, mungkin dia bukan hanya kecewa, tapi marah. Sekali lagi, hanya maaf yang bisa kuberikan.
Tapi SMS-nya berikutnya benar-benar tak bisa kusangka. Aku terkejut, sangat terkejut. Sedikitpun aku tak pernah menduganya.
“Ada sesuatu untukmu, kugantung di pagar kost. Mudahan kamu suka.”
Ah, aku penasaran. Apa lagi yang diberikannya untukku. Di samping itu aku merasa tambah bersalah, karena untuk yang kedua kalinya tak bisa memenuhi ajakannya, dan dia justru memberiku sesuatu, sebuah hadiah.
Aku bergegas menyelesaikan tugas dari ibuku ini. Setelah semuanya selesai, aku langsung pulang ke kost. Sebuah plastik menggantung di pagar kostku. Kubuka isinya. Sebuah buku. Buku kumpulan cerpen, penulisnya Jamal Suryanata. Judul buku itu: Bintang Kecil di Langit yang Kelam!

***
Epilog
Matahari sedang menggila. Sementara pohon untuk sekadar berteduh sudah semakin tidak ada. Seolah tak peduli dengan semua itu, siang itu, di suatu sudut di kota Pontianak, seorang lelaki compang-camping tengah berjalan, terseok-seok. Di bahunya menggantung sebuah ransel. Hingga lelahnya sudah mencapai batas, barulah ia berhenti dan duduk. Dikeluarkannya sebuah buku tulis tebal dan sebuah polpen, lalu mulai menulis. Sudah banyak musim yang ia lewati selama perjalanannya, yang ia sendiri tak tahu akan berakhir kapan, barangkali sampai ceritanya benar-benar mendapat ending yang mutlak: ia mati.
Bayangan seorang gadis kembali berkelebat di pikirannya. Dulu sekali, gadis itu pernah bertanya padanya kapan namanya yang ada di cover depan buku. Sejak itu pertanyaan tersebut menggelayuti seluruh isi kepalanya, hingga tak ada hal lain lagi yang ia pikirkan. Ia bertekad, akan membuat sebuah novel karyanya sendiri agar gadis itu senang. Ya, gadis itu senang pun cukup, sebab ia sadar bahwa tak mungkin mendapatkan hati gadis itu. Ia tahu cinta tak bisa dibeli hanya dengan buku.
Dua halaman telah penuh dengan coretan-coretannya, kemudian ia melanjutkan perjalanan lagi, perjalanan tanpa arah.
Sementara itu, di pojok sebuah kamar yang cukup luas dan mewah, seorang wanita tak pernah mengakhiri air matanya. Di kamar itu menumpuk buku-buku yang pernah diberikan seorang lelaki yang kini telah menghilang, mengapungkan setumpuk sesal di dadanya.
Wanita itu cuma bisa menungu, menuggu, dan menunggu. Karena jauh di lembah hatinya, tanpa ia sadari, ia pun juga mencintainya.[]

Puntik Dalam, 12 Desember 2010

(Radar Banjarmasin, Minggu, 11 Sepetember 2011)

13 comments:

  1. tutur dalam karya ini sangat sederhana...dan mudah dicerna buat semua yg menyukai sebuah seni menulissalam hangat dari blue
    met lebaran
    p kabar

    ajarin blue menulis dong.............

    ReplyDelete
  2. Baik, blue sndiri gmna? Haha. . . Ayo kita sama2 belajar.

    ReplyDelete
  3. Cool :) Haha .. Dpat ide darimana tuh?

    ReplyDelete
  4. Nah, ya tu. Mun bkunjung, komen. Huhuhu. . . . Dri ksah nyata. . . (aduhai, supan nah)

    ReplyDelete
  5. Assalaamu'alaikum wr.wb, Zian..

    Subhanallah, saya sangat suka sekali membaca "Buku Terakhir" di atas. Benar2 menusuk hati dan dapat merasai gelojak jiwa yang di alami Zian. Hehehehe.. kisah nyata ya. Bagus, sangat bagus. Kisah nyata memberi rasa yang menakjubkan tika membaca. Sangat indah kerana coretannya dari hati dan tentu sekali hati juga yang bisa merasainya.

    Sungguh mengharukan apabila cinta kita hanya bisa di hati, tidak lancar dan ada halangannya. Sangat pedih sekali bila cinta tidak dapat direalisasikan. Sangat indah sekali dapat memberi sesuatu yang terbaik buat yang tercinta. Kita sanggup berkorban untuk menyenangkannya.

    Namun harus bersabar ya, mungkin ketidakmenjadian cinta Zian itu bukan suratannya. Namun dengan doa suratan itu bisa menjadi nyata. Maka berdoalah, kalau benar2 berlaku dalam hidup Zian. :D Mudahan. Aaamiin.

    Salam mesra selalu dari Sarikei, Sarawak.

    ReplyDelete
  6. Waalaikumussalam, Bunda...
    Senang sekali bila cerpen ini bisa menghibur bunda. Tidak sepenuhnya kisah nyata juga sih, tapi dibumbu-bumbui dikit, hehe...

    Insya Allah sabar :)

    Salam kembali dari Kalimantan Selatan....

    ReplyDelete
  7. Rasanya udah pernah kubaca nih..hihi

    ReplyDelete
  8. Eeh. Tpi q edit lg.

    ReplyDelete
  9. wah2... makin eksis ja kawan jadi penulis... hm ... q hndak jadi sastrawan arab nah ... doakan sukses... amiiin.... o ... ih. kalo ada karya qm yang terbit... kirim ke aq...

    ReplyDelete
  10. aku juga mau belajar lho bang............
    salam hangat dari kezedot dan blue..........

    ReplyDelete
  11. mantab, yg penting terus berkarya... handak sastrawan mana kah, hehe... kuliah dmna?

    ReplyDelete
  12. ceritanya bagus. ketika membacnya membawaku seolah-olah aku adalah pelaku dalam tulisan ini. boitier électronique voiture. Salam sukses. mudah-mudahan blog nya makin bnyak pengunjungnya

    ReplyDelete
  13. amin.... :)
    makasih kunjungannya...

    ReplyDelete