Friday, March 4, 2011
Secangkir Teh di Malam yang Berkabung
Biar kupinjam lelah penatmu yang tergulir pada paragraf-paragraf yang belum selesai
Tua menghitung waktu demi waktu berlumur teh
Karena giliranmu telah sampai di titik kulminasi paling rindu
Seperti kata dalam benakmu
Seperti bias senja, sebelum hujan satu persatu membasuh hatimu
Lantas, pertanyaan lama itu bisu kembali
Dan sungai menggiring senja ke muara
Kemudian, diam-diam aku melipat malam!
Mandastana, feb 11
(Dimuat di harian Media Kalimantan, edisi Minggu, 3 April 2011 dan dibukukan dalam antologi puisi Teriakan Bisu)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Berbicara mengenai destinasi wisata Kalsel , maka saya pikir Kotabaru adalah jawaban terbaik. Begitu banyaknya tempat-tempat yang memukau ma...
-
Aku berusia 32 tahun sedangkan dia 18... Jika kau berpikiran seperti itu maka akan terkesan konyol. Aku baru berusia 32 tahun, sementara...
-
Kemarin postingan saya berjudul "Jihad Luar Biasa" masuk koran Banjarmasin Post. Sebenarnya postingan itu postingan lama, dan se...
Melipat malam.......belalipat kesahnya leh...haha
ReplyDeleteHoho. . .
ReplyDeletemantap puisinya! tapi, andai (kahandukku aja pang) judulnya jadi "Secangkir Teh di Malam Berkabung", tanpa "yang" pasti lebih mantap lagi....
ReplyDeleteKakak, ajarin Denuzz dong cara "melipat malam" ... :D
ReplyDeleteSalam sayang dari BURUNG HANTU... Cuit... Cuit... Cuit...
Na, itu perlu banyak latihan, haha. . .
ReplyDeleteOke deh bang. Makasih banyak buat masukannya. Ulun akan belajar menghilangkan kebiasaan "yang", haha. . .
ReplyDelete