Friday, December 17, 2010

Lelaki yang Terus Menangis

31 Desember 2004
Aku adalah lelaki yang terus menangis. Semua karena Ayah.
Satu minggu yang lalu, aku dan teman-teman sekelas sudah berencana menghabiskan tahun baru di Pantai Batakan. Ke sana, kami harus patungan 50 ribu perorang untuk bayar mobil pick up yang akan kami sewa. Tapi begitu hari ini tiba, Ayah malah melarangku ke sana. Bukan, bukan karena mengkhawatirkan keselamatanku yang telah SMA ini, melainkan karena beliau tak mau memberiku uang untuk aku bisa sedikit mencicipi kebahagiaan.

Begitulah, sejak kecil aku selalu menderita dengan kepelitan Ayah ini, padahal beliau adalah seorang PNS, pegawai Kecamatan, demikian pula Ibu. Dan sebenarnya yang perlu dibiayai hanyalah aku seorang. Kakak perempuanku sudah punya keluarga, suaminya cukup kaya. Adikku, Salma, dia masih 5 tahun. Keperluannya hanyalah makan dan mainan.
Ah, mainan, sejak kecil aku juga jarang sekali dibelikan mainan, lebih-lebih kakakku, dan berlanjut lagi pada Salma. Mereka punya uang, tapi pelit. Lebih tepatnya Ayah yang pelit. Ibu sebenarnya sering ingin membelikan kami sesuatu, tapi Ayah selalu melarangnya.
Ditabung? Tidak! Baru kemarin beliau beli HP baru, mengganti HP lamanya yang sebenarnya tak ada masalah.
Sejak sore tadi, jalan raya di depan rumahku ramai oleh kendaraan roda dua. Keramaian itu makin menjadi ketika malam hari. Bisa kupastikan, rata-rata tujuan mereka adalah Kota Banjarmasin yang jaraknya sekitar 20 km dari rumahku.
Hanya keramaian kendaraan roda dua itulah yang bisa kurasakan malam tahun baru ini. Aku menangis. Biarlah kau menganggapku lelaki yang cengeng. Jika kau yang merasakannya sendiri, kau akan tahu betapa pantasnya keadaanku ini untuk ditangisi.
Malam yang sangat membosankan. Acara di TV juga ikut-ikutan membosankan, semuanya menayangkan langsung konser besar yang mereka adakan, memperdengarkan suara-suara sumbang nan melengking dari para vokalis. Benar-benar membosankan. Kubayangkan teman-temanku yang saat ini tengah rebahan di tengah keramaian pantai sambil mendengarkan musik-musik disko dan menyaksikan indahnya kembang api. Membayangkan itu, tangisku semakin deras.

31 Desember 2005
Aku adalah lelaki yang terus menangis. Semua karena Ayah.
Jauh hari Risa sudah mengajakku jalan-jalan ke Banjarmasin pada malam tahun baru. Namun aku tak bisa berjanji pada cinta pertamaku itu. Ya, aku sudah punya pacar sekarang, hampir enam bulan, tanpa sepengetahuan orangtuaku tentunya. Akan berakhir semuanya bila mereka sampai tahu bahwa aku pacaran.
Tak mungkin aku mengiyakan ajakannya, sebab sepertinya tak mungkin orangtuaku mengizinkan keluar rumah, terlebih lagi memberiku uang untuk itu. Dan yang paling membuat hal itu tidak mungkin ialah aku tidak punya motor. Tak mungkin aku ke Banjarmasin pakai sepeda Phoenixku, mana mungkin pula Risa, anak orang kaya itu mau.
Ah, tidak. Aku bisa saja sebenarnya meminjam motor milik Gabau, tetanggaku sekaligus teman bermainku sejak kecil. Aku juga sudah bilang padanya, dan ia tak keberatan, asal bensinnya digantikan. Tapi seperti dugaanku, Ayah tak mengizinkanku keluar rumah malam tahun baru ini, tak mau memberiku uang, lebih tepatnya.
Ibu yang kasian padaku sudah mencoba merayu Ayah agar mau mengizinkanku, namun beliau tetap saja pada keputusannya. Yang ada malah beliau semakin marah-marah. Tak ada gunanya sama sekali, ujar beliau.
Kau tahu apa yang terjadi dengan Risa? Hari ini ia memutuskanku! Sial… Semuanya gara-gara Ayah, gara-gara sifat kikirnya. Sementara bulan lalu, beliau sudah ganti HP lagi. Aku hanya bisa menangis memikirkan itu semua, menangis, dan menangis.
Sudahlah, mungkin Risa memang tak cocok denganku. Dia terlalu kaya untukku, tak ada yang bisa kulakukan untuk membahagiakannya. Barangkali nanti akan ada penggantinya yang benar-benar mau menerimaku apa adanya.

31 Desember 2006
Aku adalah lelaki yang terus menangis. Semua karena Ayah.
Ayah, beliau beli motor baru dengan kredit. Sebuah motor bebek model terbaru.
Beliau semakin suka marah-marah. Sehari bisa sampai lima kali. Sebentar-sebentar beliau mengeluh (sambil marah-marah) soal biaya ujian akhirku yang lumayan besar, karena termasuk untuk membeli kunci jawaban. Semuanya diatur pihak sekolah, kami tinggal bayar 500 ribu rupiah.
Namun uang sebesar itu, di mata pelit ayahku, terasa semakin besar saja jumlahnya. Salah sedikit saja beliau akan marah. Setiap siang aku harus ke sawah, katanya untuk mengganti pengeluaran besar yang telah beliau berikan untukku. Malamnya, aku harus belajar, tak boleh tidak, katanya beliau sudah membiayaiku sangat mahal jadinya aku tidak boleh bila tidak lulus UN nanti.
Belajar setelah siangnya capek karena seharian berkubang di sawah adalah sesuatu yang sangat terpaksa, terlebih jika mengingat UN nanti aku juga bakalan mendapat kunci jawaban.
Salma sekarang juga sudah sekolah, yang artinya perlu biaya lagi. Hal ini juga semakin memicu kemarahan Ayah. Aku semakin tak mengerti saja dengan Ayah. Gajinya hampir 3 juta perbulan, dan Ibu 2 juta. Apa sulitnya mengeluarkan uang 500 ribu demi kesuksesan anak?!
Malam ini, kuhabiskan waktu untuk belajar di kamarku yang remang, karena Ayah tak mau mengganti lampunya dengan yang lebih terang. Merayakan malam pergantian tahun tak sedikitpun terlintas di pikiranku. Itu hanya akan menambah kecewaku yang sudah kian menumpuk.
Ah, sangat sulit hidup dengan ayah seperti ini. Wajar saja dulu kakakku senang sekali saat menikah. Ia tak mau kuliah, tak bisa, barangkali. Menangis, hanya menangis yang bisa kulakukan, sepanjang malam ini. Mungkin memang begitulah caraku merayakan malam tahun baru.

31 Desember 2007
Aku adalah lelaki yang terus menangis. Semua karena Ayah.
Di atas kasurku yang semakin usang dimakan waktu ini, kutumpahkan semua kesedihanku. Malam ini, kembali aku hanya bisa menghabiskan waktu di kamar sambil menangis.
Aku sudah kuliah, di STIKES Banjarmasin. Setiap hari aku bolak-balik dari kampungku ke Banjarmasin dengan sebuah motor yang dibelikan Ayah enam bulan lau, sebuah motor bekas dan jelek yang mesinnya saja bahkan sudah pernah dibongkar. Meski 4 tak, asapnya mengepul dari knalpot sebanyak yang ia suka. Begitu malunya aku saat berhenti di lampu merah atau di parkiran kampus.
Aku jua tak diizinkan mengkos. Kata Ayah, biayanya akan lebih mahal lagi. Ah, mahal kata beliau. Padahal tiap hari beliau cuma memberiku uang paling banyak 10 ribu. Uang 10 ribu itu harus bisa kukelola agar bisa membeli bensin (yang harganya kian naik), membayar fotokopian diktat, dan makan siang. Bagaimanapun lihainya, tentu saja tak cukup. Soal keperluan kuliah lain seperti laptop, jangan harap aku bisa memilikinya.
Sementara itu, yang membuatku semakin tak bisa menahan air mata, HP Ayah sudah dua. Satu CDMA, dan satunya GSM yang bisa langsung 2 kartu. Minggu lalu beliau membeli yang 2 kartu itu.
Kemarahan Ayah selama aku kuliah ini semakin menjadi-jadi. Kau tahu, ternyata biaya kuliah di STIKES Banjarmasin ini adalah yang paling mahal se-Kalimantan Selatan. Minimal lima juta persemester, tak ada yang menandingi!
Uangku benar-benar habis saat ini. Uang tabungan juga sudah lama habis, kemudian semenjak kuliah ini tak pernah lagi bisa kuisi. Semuanya karena Ayah!

31 Desember 2008
Tidak ada yang perlu kutangisi malam ini.
Meski aku hanya berdiam diri di rumah sambil mendengar lalu-lalang di jalan raya depan rumahku, tapi aku bahagia. Ini soal cinta.
Bulan Oktober yang lalu, tepatnya tanggal 20 pukul 14.32.05, aku resmi jadian dengan seorang gadis cantik di kampusku. Namanya Nana. Dia baik, sangat baik. Dan yang terpenting bagiku, dia tidak terlalu kaya, tidak jauh beda denganku, sehingga ia bisa mengerti aku dan menerimaku apa adanya, seperti keyakinanku dulu saat putus dengan Risa.
Tak perlu kuceritakan bagaimana orang sebaik itu bisa kudapatkan. Yang mungkin perlu kuceritakan ialah malam kemarin.
Aku sudah mempersiapkan semuanya demi malam kemarin itu, tak terkecuali soal uang. Satu bulan aku menabung hanya untuk malam itu. Segala sesuatunya sudah kususun dan kurencanakan serapi mungkin.
Aku meminta izin pada Ayah untuk pulang kuliah malam, karena ada kerja kelompok. Asal kau tahu, itu hanyalah kebohonganku. Sore sepulang kuliah, aku ke mesjid, ke kamar mandinya. Di sana aku mengganti baju seragamku (hampir semua sekolah kesehatan berseragam) dengan baju kaos dan celana jeansku satu-satunya yang telah kusiapkan dalam tas.
Hari itu, aku akan mengajak Nana nonton di bioskop. Aku tak memberitahukannya sebelumnya. Biar surprise, pikirku.
Setelah magrib, aku sudah tiba di depan kosnya dan mengiriminya SMS. Dia keluar dan terkejut dengan kedatanganku. Kuajak ia nonton di 21. Tentu saja ia tak menolak. Kukatakan padanya, sebenarnya aku ingin mengajaknya nonton pada malam besok, yaitu malam tahun baru, tapi tidak bisa, jadinya dipercepat.
Kau tentu tahu kenapa aku melakukannya malam kemarin. Ya, benar. Kalau malam ini, Ayah pasti curiga, dan tak mungkin mengizinkanku.
Malam ini, senyum kepuasan selalu menghiasi wajahku saat aku mengingat-ingat yang terjadi kemarin. Rencanaku berhasil dengan mulus.

31 Desember 2009
Inilah suasana kota di malam pergantian tahun itu. Ya, malam ini, untuk pertama kalinya, aku bisa menikmati malam tahun baru. Di sampingku ada Nana, menyempurnakan suasana yang ada.
Dari sore kami jalan-jalan ke tempat-tempat yang ia inginkan. Mulai dari siring, Duta Mall, Banyoe Café, dan lain-lain. Hingga malam ini, kami tengah duduk sambil memandangi indahnya kembang api yang menghiasi gelap malam. Berwarna-warni. Bunyi letusannya saling bersahutan memeriahkan suasana, seolah mencoba melawan dingin malam, bersaing dengan bunyi terompet. Orang-orang begitu ramai. Jalanan padat. Muda-mudi, berpasangan.
Tepat pukul 12 malam, suasana kian meriah. Begini rupanya malam tahun baru itu, sangat memesona!
Nana memang sedikit berubah, sekarang ia agak manja. Ini pun dia yang memintanya, meski aku juga sangat menginginkan malam seperti ini. Aku tak mungkin bisa menolak permintaan dari seorang gadis sebaik dan secantik dia. Kata-katanya yang halus memercikkan semangat di dadaku, semangat untuk bisa mewujudkan keinginannya yang katanya sudah sangat lama dipendamnya ini.
Ayah, tentu saja beliau tak mungkin mengizinkanku, apalagi memberiku uang untuk ini semua. Namun asal kau tahu, bila ada kemauan, pasti ada jalan. Demikian pepatah yang baru sekarang ini aku membenarkannya.
Tak ada yang perlu kutangisi untuk malam sesempurna malam ini. Aku hanya perlu menikmatinya, sambil memandangi wajah cantik di sampingku.

31 Desember 2010
Aku adalah lelaki yang terus menangis. Semua karena Ayah.
Setiap waktu yang kulalui, selalu saja aku menangis. Aku hanya bisa memegangi jeruji besi di depanku dengan kedua tangan. Bejo dan Cungkar yang satu bui denganku dan katanya sudah bertahun-tahun menghuni tempat ini, sudah dari tadi tertidur, setelah mereka bosan bermain domino. Dari sini, bisa kudengar letusan-letusan kembang api di luar sana. Sangat meriah, tampaknya.
Dinginnya malam menusuk-nusuk tubuhku hingga ke sumsum tulang. Tikus, cicak, dan nyamuk tak terhitung lagi banyaknya. Aku menghampar tikar purun yang minggu lalu baru saja dibelikan Ibu, kemudian mulai berbaring.
Bukan, bukan keadaan ini yang kutangisi. Bahkan aku merasa hal ini belumlah seberapa, belum bisa mengganti rasa menyesalku yang terlampau besar.
Sesal, hanya itu yang mengisi alam kepalaku. Tidak hanya untuk malam ini, tapi juga pada setiap malam dan siang yang kulewati. Pengetahuanku tentang dosa memanglah sedikit, namun aku tahu bahwa yang telah kulakukan satu tahun lalu adalah dosa terbesar yang aku sendiri tak bisa mengampuninya. Kesadaran yang baru aku dapatkan saat berada di sini.
Siang itu, satu tahun yang lalu, kurampas segepok uang dari lemari Ayah. Beliau langsung berusaha merebutnya lagi. Kemurkaannya membuatnya hanya bisa teriak-teriak. Tak jelas apa yang beliau teriakkan. Pikiranku saat itu hanya satu: Nana! Di samping itu, dendamku pada Ayah juga sudah begitu memuncak.
Tindakan besarku itu perlu banyak waktu untuk mempersiapkan dan memikirkan segala sesuatunya, termasuk sebilah belati yang saat itu dengan buasnya menembus perut Ayah. Jleb! Beliau tersungkur sambil memegang perutnya yang berlumur darah. Ayah meniggal. Aku lari, menjemput Nana, dan menikmati malam tahun baru untuk pertama kalinya.
Sesalku kian lengkap saat aku tahu bahwa segepok uang tersebut adalah tabungan Ayah selama beberapa tahun untuk membiayai kuliahku yang sangat mahal itu.
Menangis, kini hanya itu yang bisa terus kulakukan.[]


Handil Bakti, 17 Desember 2010, 22.47

(Hadiah Kecil untuk Orangtua, Hasfa Publisher, 2011)
(Hadiah Kecil untuk Orangtua, Leutika Prio, 2011)

12 comments:

  1. Menangis sampai kering air matanya

    ReplyDelete
  2. Wah, baru terpikir kalimat tersebut. Makasih. .

    ReplyDelete
  3. Tdk semua org yg d anggap kaya tdk co2k dgn org biasa. Krn d mata tuhan semua sama.

    ReplyDelete
  4. Di mata Tuhan memang sama, tapi di mata hamba beda.

    ReplyDelete
  5. Hedeeeehh...rupanya 'leleki' dalam cerpen ni banyak bisi stock banyu mata..
    Jaka dibagi-bagikan ja banyu matanya...jadi kada terus menangis.. :D

    ReplyDelete
  6. orangnya pamalar, jadi kada mau babagi...

    ReplyDelete
  7. Banyu mata ja dipalar..liwar..haha

    ReplyDelete
  8. haduuh, haduuh, kisah nyata kada niiih??

    ReplyDelete
  9. kisah karamput, jadi tenang ja, haha....

    ReplyDelete
  10. [...] dibukukan dalam atologi cerpen Melodi Cinta Putih Abu-abu (Leutika Prio), cerpen berjudul “Lelaki yang Terus Menangis” juga menyusul menjadi nominasi dalam Lomba Cerpen Peran Orangtua di Balik Kesuksesan Anak [...]

    ReplyDelete