Tuesday, December 7, 2010

Gadis Ungu



Luar biasa! Aku bahkan hampir tak percaya bahwa aku sekarang bisa kuliah, menjadi seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama di Banjarmasin. Ah, baik sekali Tuhan. Dulunya hal itu kumasukkan dalam kategori terlampau mustahil dalam daftar angan-anganku. Namun sekali lagi, Tuhan sangat baik, Dia robohkan tembok kepelitan ayahku yang selama ini menghalangiku buat bermimpi itu.
Bicara soal ayah, beliau adalah seorang guru SD di desa tempat kami tinggal. Beliau juga punya lahan sawah yang sebenarnya harus aku kerjakan setamat dari pesantren beberapa bulan yang lalu. Satu hal yang paling mencolok dari beliau yaitu pelit!
Alah…., memangnya peduli apa aku dengan itu?! Sekarang kenyataannya adalah aku bisa kuliah, seorang mahasiswa! Maka alangkah baiknya kunikmati saja euforia ini. Kenyataan lain lagi ialah, bahwa kegembiraan ini tak hanya selesai di sini. Berkat jadi mahasiswa aku juga, secara misterius, dipertemukan Tuhan denganmu, seorang gadis cantik berkerudung ungu. Denganmulah hatiku tiba-tiba terjerat, aku jatuh cinta. Dan, kalau boleh aku mengatakan ini, kau pun sebenarnya juga demikian. Cuma tebakanku saja memang, tapi cuma itu yang bisa kusimpulkan saat ini, di mana sekarang aku tengah berdua denganmu di Pantai Jodoh, demikian orang Banjarmasin menyebut tempat ini. Sebuah siring di depan Kantor Gubernur Kal Sel yang membatasi Sungai Martapura dan telah disulap menjadi taman. Di tempat ini biasanya pasangan kekasih menghabiskan waktu mereka.

Kau masih ingat? Kedekatan ini mulanya dari pengarahan ospek. Kita para mahasiswa baru dibagi dalam beberapa kelompok, kebetulan aku satu kelompok denganmu. Saat itulah aku bertemu dan berkenalan denganmu.
“Upi,” ucapku memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangan.
“Sari,” jawabmu seraya menyambut sodoran tanganku.
Hoho…., aku sudah bisa bersalaman dengan cewek bukan muhrim rupanya, padahal aku tahu sekali bahwa hal itu dilarang.
“Asalnya dari mana?” Kucoba lebih akrab.
“Muara Teweh, Kal Teng.”
“Oh….”
Rupanya Sari ya namamu dan dari Muara Teweh asalmu.
“Pian?”
Eh, kau pakai kata ‘pian’, sebuah kata halus dalam bahasa Banjar yang artinya ‘kamu’, tanda penghormatan. Tapi aku tidak akan memakai kata ‘ulun-pian’ terhadapmu, cukup ‘aku-kamu’ saja, supaya tidak tampak dibuat-buat dan kau kenal aku apa adanya.
“Marabahan, tidak terlalu jauh dari Banjarmasin.”
Demikianlah semua ini berawal. Aku, kau dan teman-teman satu kelompok lainnya jadi tambah akrab saja, sebab kita mau tak mau harus kerja sama buat mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa selama masa ospek.
Sayangnya, cepat sekali rasanya ospek itu berlangsung. Cuma tiga hari, dan tanpa terasa sudah selesai. Kupikir lebih lama akan lebih baik, walaupun kita hanya akan disuruh-suruh dan dimarahi panitia, tapi bersama denganmu bagiku adalah sesuatu yang istimewa. Yang selanjutnya membentang di depan hanyalah libur panjang berhubung bertepatan dengan Ramadhan.
Namun tiga hari itu sudah cukup untukku lebih mengenalmu. Kau suka memanggil teman yang lain dengan sebutan kakak, baik itu cowok maupun cewek, entah itu lebih muda atau lebih tua, tentunya tak terkecuali denganku, jadinya kau memanggilku Kak Upi. Selain itu aku juga tahu bahwa kau dan ungu adalah keserasian, serta keanggunan. Bukan hanya kerudungmu yang ungu, bajumu juga terkadang ungu, HP-mu warna ungu, tasmu ungu, bingkai kaca matamu ungu, pun dengan jam tangan yang selalu melingkar di pergelangan tangan kirimu. O iya, ternyata sandalmu juga tak lepas dengan warna ungu.
Meski libur, selama Ramadhan itu sent items dan inbox selalu penuh dengan namamu: Gadis Ungu. Setiap malam kita SMS-an. Aku semakin kenal saja denganmu, seorang anak orang kaya, anak pertama, pintar, dan baik. Apa lagi kurangnya?

Blm ngntuk y ka?

Aku paham betul, bila kau sudah bertanya seperti itu artinya kaulah yang sudah ngantuk.

Blm, aq msh segr ko…
Km udh ngntuk y?
Klo udh ngntuk y udh

Tak lama kau membalas lagi.

Ulun jg blm ngntuk ko’

Ya, meskipun kau juga tak mau mengakuinya. Tapi aku selalu punya cara agar percekcokan soal ngantuk ini berakhir dengan damai.

Km istrht dlu aj, nnti bsk
bngunnya ksiangn, g’
smpat shur

Lalu kau mengirim balasan lagi.

Y udh, met bbo y ka…
Mmpi indh…

Aha, suka sekali aku membaca kata bobo itu, terkesan manis dan… manja!
*****
Akhirnya selesai juga libur panjang, saatnya bertemu kembali denganmu, Gadis Ungu, setelah benih-benih cinta itu tumbuh dan subur di hatiku. Tapi karena beda lokal, kita jarang bertemu. Kau di B, dan aku di C. Bila kau sedang jam pulang, aku jam masuk, begitu pula sebaliknya.
Hari itu hari Minggu, aku menjemputmu di kost. Hari sebelumnya kau bilang mau ke Gramedia, kutawarkan diri mengantarmu. Kau mau. Dan jadilah hari Minggu itu aku memboncengmu pakai motor ke Gramedia yang ada di Duta Mall. Sekalian saja jalan-jalan keliling Banjarmasin sampai sore. Kau jarang ke Banjarmasin, jadinya kau masih kurang tahu tentang lokasi-lokasi di Banjarmasin.
“Nah, di sini namanya Pantai Jodoh,” jelasku saat kita sudah berada di siring di depan Kantor Gubernur Kal Sel, rute terakhir jalan-jalan kita hari itu.
“Sungai di depan kita ini namanya Sungai Martapura,” terangku lagi.
Wajahmu yang cantik itu menunjukkan kesan kagum. Siring sekaligus taman kota yang diberi nama Pantai Jodoh ini memang ditata sedemikian rupa biar cocok buat nongkrong.
Kau tak banyak berkata-kata. Segera kau mencari posisi duduk di sebuah batang yang terbuat dari kayu ulin. Dari sana bisa leluasa melihat Sungai Martapura sambil menjulurkan kaki ke sungai.
Ah, indah sekali rasanya hari itu. Memandang riak sungai, perahu, kelotok, ilung, elang. Ingin rasanya kunyatakan cintaku padamu saat itu, bahwa cintaku sudah mengakar kuat, namun entah mengapa lidahku terasa kelu.
Biarlah. Kurasakan saja indahnya hari itu tanpa harus ada sesuatu yang mungkin akan merusaknya. Ya, sangat mungkin kau menolak cintaku ini, dan barangkali kau cuma menganggapku teman biasa dan tidak ada artinya.
Gerimis satu persatu jatuh. Tak lama lagi akan berubah menjadi hujan lebat. Kuantar kau pulang ke kost.
*****
Sesudah acara jalan-jalan itu, kita jadi lebih sering jalan, pakai motorku tentunya. Kau suka sekali bila diajak ke Pantai Jodoh atau siring di depan Mesjid Sabilal. Teman-temanku di kampus juga sudah tahu dengan kedekatan ini.
“Kapan jadian nih?” Amrullah, nama temanku yang bertanya ini, kebetulan dia juga dari Muara Teweh, sama denganmu.
“Masih belum…”
“Waduh lama amat! Duluan orang baru tahu rasa!!”
Ya, aku sadar akan hal itu, namun sulit kujelaskan masalahku ini. Terlalu rumit, agaknya. Namun bila disederhanakan akan menjadi seperti ini: Kau cantik, sedangkan aku, belum pernah ada yang bilang ganteng dan sering dibilang berwajah kampungan. Kau kaya, orangtuamu seorang polisi, sedang orangtuaku hanyalah seorang guru SD berpangkat rendah yang pelit. Bila perlu uang, kau tinggal mencolokkan kartu ATM-mu ke mesin, keluar uang ratusan ribu. Sedang aku, bila ada keperluan harus menunggu sampai orangtuaku gajian dan itu belum tentu dikasih. Kau biasa jalan-jalan pakai mobil, dan aku hanya punya motor. Kau pintar, di sekolahmu dulu kau ambil jurusan IPA, kau juga hebat Bahasa Inggris, sedangkan aku hanyalah tamatan pesantren yang dengan pelajaran fisika saja tidak tahu itu pelajaran apa. Bahasa Inggris, tak usah ditanya, yang aku tahu cuma Yes, No, dan I Love You. Modal akademikku hanyalah ijazah paket C!
Maka yang ada padaku sekarang adalah bimbang, antara tetap seperti ini atau kunyatakan saja perasaan itu. Bila tetap seperti ini, aku bisa terus berada di dekatmu tanpa ada beban, kecuali cinta itu sendiri. Jika kunyatakan cintaku, aku belum tahu apa jawabanmu, yang pasti kau punya banyak alasan untuk menolaknya. Aku sadar betul akan hal itu.
*****
Kebimbangan itu berlanjut sampai saat ini, di Pantai Jodoh ini. Matahari tak lagi sepanas siang tadi. Cahaya kemerahannya memantul di sungai yang beriak-riak.
“Kamu suka tempat ini?” tanyaku memecah keheningan, di tengah kebisingan jalan raya.
Angin sore berhembus pelan. Menerbangkan daun-daun yang berjatuhan serta membelai kerudung ungumu. Syahdu.
“Ya.”
Kembali hening. Namun tidak dengan hatiku. Hatiku gemuruh. Mendesak. Ada sesuatu yang harus segera dikeluarkan.
“Sari, boleh aku jujur?”
“Ya?”
Jantungku tidak terkontrol lagi.
“Aku cinta kamu…”
Sebenarnya aku ingin pakai bahasa Inggris, I love you, tapi khawatir salah mengucapkannya dan kau tertawakan. Lebih takutnya lagi bila nanti juga kau jawab dengan bahasa Inggris, sebab aku pasti tidak mengerti.
Kau diam sesaat, tidak ada kesan kaget. Mungkin hal semacam ini sudah biasa kau alami. Lalu tersenyum.
“Ulun juga…”
Apa??? Benarkah yang kudengar itu???
“Sungguh?” Kucoba memastikan.
Kau mengangguk, masih dengan senyum tadi. Cantik sekali.
Hah, aku benar-benar tidak percaya! Semudah itu rupanya. Tubuhku seperti melayang di udara.
“UPI….!!!!! CEPAT BANGUN…!!!!! AMBILKAN AIR DI SUNGAI DUA EMBER…!!!!!” Suara ibu!
Aku megap-megap. Kepingan-kepingan kesadaranku perlahan terkumpul. Sambil mengucek mata, kulihat jam. Astagfirullah… sudah jam tujuh!
Rupanya malam tadi aku tidur nyenyak sekali. Setelah shalat isya aku langsung tertidur lantaran siangnya seharian berkubang lumpur di sawah, mengangkut rumput-rumput yang sudah busuk yang biasa kami sebut kumpai. Kumpai itu sangat berat sebab bercampur dengan air. Dan pekerjaan tersebut belum selesai, hari ini harus dilanjutkan lagi kalau tak mau merasakan kemarahan ayah.
Huh, semuanya tadi ternyata cuma mimpi. Tentu saja, sampai kapanpun tak mungkin aku dikuliahkan orangtuaku, dibelikan motor, apalagi dibolehkan keluyuran.
Aku segera bangkit, mengambil dua buah ember, lalu berjalan ke sungai sekalian untuk berwudhu. Terpaksa shalat subuh kali ini qada’an. Saat shalat, wajah cantik Gadis Ungu dalam mimpi tadi masih saja terbayang. Seperti sudah terpahat dalam kepala.
*****
Sesudah hari itu, di mana saja; di jalan, di pasar, di Mesjid atau di warung, bila kulihat seseorang dengan kerudung atau pakaian berwarna ungu, aku selalu menghampirinya lantas mencocokkan wajahnya, berharap itu adalah kamu, Gadis Unguku. Meskipun yang akhirnya terus kudapati ialah berbeda. Bila ada kesempatan, aku ke Banjarmasin pakai angkot dan singgah di Pantai Jodoh untuk menghabiskan waktu, barangkali akan menemukanmu di sana. Aku yakin, suatu saat kau akan kutemukan![]

Handil Bakti, 12 Nopember 2010

(Banjarmasin Post, Minggu, 12 Desember 2010)

12 comments:

  1. Wakakakakkk.... (minum kopi dulu aah,, 2 cangkir)..

    Cerpen yg luar biasa..!! Kata-katanya dalem,,sedalem sungai Martapura (mski aQ blm prnh mgukur dlm sngai it)...hha,
    Ada kekuatan di dalam cerpen ini, juga keharuan, pasrah, dan harapan. Lagi-lagi. .itu karena sebuah kata kerja yang lebih senang kusebut, 'thavay'... :D

    ReplyDelete
  2. Apa hubungannya lawan tapai?

    ReplyDelete
  3. Luar biasa. . Keren! Smga cpet ktemu dgn gadis ungu x ea. . . .

    ReplyDelete
  4. Makanya, lajui ke Bjm.

    ReplyDelete
  5. [...] cerpenku yang berjudul Gadis Ungu hari ini dimuat di Banjarmasin [...]

    ReplyDelete
  6. [...] Di jalan beli koran Banjarmasin Post, lengkap kebahagiaanku karena hari ini cerpenku yang berjudul Gadis Ungu dimuat, cerpen yang terinspirasi dari ‘seseorang’ yang begitu memikat hati ini.[] (foto [...]

    ReplyDelete
  7. Armie,sebelum membaca cerpenu yang berjudul "Gadis Ungu" ini aku menerawang mungkin jalur ceritanya akan unik seperti cerita cerpenmu dulu.Tapi setelah membacanya aku kecewa mengapa kamu memakai jalur yang klise bahkan monoton.(Bertemu,jatuh cinta,trus adekan penembakan,diterima,trus terbangun dari mimpi.)Ini sungguh sangat sering aku temukan gaya cerita seperti ini di majalah2 remaja.Sungguh berbeda dengan karakter kepenulisanmu.Idiomnya kurang maksimal,serta diksinya juga kurang ketat.kata metafor yg berambigu juga tak terlihat.Menurutku kamu lebih lihai di 'dialog' bukan di 'diksi'.Tapi aku kecewa karena di cerpen ini sangat sedikit aku temukan dialog,bahkan sangat banyak aku temukan diskripsi atau narasi yang datar2 saja.Aku harap cerpenmu selanjutnya lebih imajinatif dan inovatif seperti cerpen2mu dulu.

    O ya,Menurutku kamu terlalu bereuforia dengan judul “Gadis Ungu” ini.Apa lebihnya? Aku dengar untuk sampul Antologi cerpen kita menggunakan judul "Cerpen Ungu" ya? Kalau benar begitu menurutku dan anggota FPP lainnya judul itu sungguh kurang cocok,bayangkan buku Antologi yang notabex anak2 pesantren menggunakan judul 'Gadis' dan alur ceritanya tentang 'pacaran' agak tidak layak.Mohon untuk mengganti dengan judul yang 'lebih menggereget' agar menarik para calon pembeli.Mungkin itu saja dari aku,kurang lebihnya mohon ma'af. Salam.

    ReplyDelete
  8. sesekali lihat lah aku berkerudung ungu?
    mungkin aku orangnya...hahahaha
    gag koq..aku cuma pencinta warna ungu bukan gadis ungu.

    ReplyDelete
  9. hihi.... boleh lah... :)

    ReplyDelete
  10. hhaa :D
    pas banar u ketuju unguu ..

    U kd ingat pabila ,, tp smaLam u ad jua m.bacaa d.koran Banjarmasin Post ..
    SkaLii.ny p kh yng mengarang ??

    Bungas banar cerita.ny iihh ..
    Makin ketuju u membaca .. Hhee

    ReplyDelete
  11. Yup, semalam masuk bpost. Iya kah, hehehe.... baca ja tarus.

    ReplyDelete