Saturday, February 7, 2009

Memoar Dakwah

Hujan berdebaman, memukul-mukul atap seng asrama, menciptakan komposisi suara menakjubkan. Kulirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari. Ini momen yang sangat nyaman untuk menyedekapkan tubuh dalam selimut lantas menyusuri alam mimpi, semestinya. Teman-teman seasrama tampaknya juga sudah terlelap semua. Namun aku, dari tadi belum juga bisa tidur. Berkali-kali kubalikkan badan, tapi tetap saja rasanya tidak ada posisi yang pas.
Aku bangkit. Bila sulit tidur seperti ini biasanya aku akan menulis apa saja di buku catatan harian. Dan kenangan-kenangan masa lalu kemudian akan berkelebatan, menari-nari dalam kepalaku. Yang paling sering muncul adalah peristiwa tiga tahun silam, di mana saat itu aku masih santri baru di pesantren ini. Aku sendiri biasanya juga tak pernah bosan menulis kembali kejadian itu, hingga kantuk benar-benar tak lagi bisa kutahan.

***
“Kenapa wajahmu lesu begitu, Min? Kita harus semangat!” Suara Kak Muhsin menyadarkanku dari lamunan.
“Ah, tidak apa-apa, Kak. Saya cuma berpikir, kapan dakwah kita ini bisa berhasil. Dari dulu tidak ada satu orang pun yang mau datang. Bahkan sudah sering sekali kita kena marah, padahal kita mengajak kebaikan!”
“Ha… ha… Ini masih mending, Min. Sebelum kamu masuk dulu, warga sekitar pernah berbondong-bondong ke pesantren kita. Mereka mau merobohkannya! Mereka menganggap pesantren kita itu pesantren yang sesat! Syukur waktu itu Pak RT dan Pak Lurah bisa menenangkan warga. Iya kan, Man?” Kata kak Muhsin santai.
“Iya. Sampai sekarang pun mungkin masih banyak yang menganggap kita ini sesat,” tambah Kak Rahman.
Aneh, berbaju gamis putih dan bersorban serta mengajak orang ke Mushalla kenapa dianggap sesat? Bukankah itu yang dilakukan Rasulullah? Lalu bagaimana dengan remaja-remaja mereka yang naik motor kesana-kemari dengan sang pacar?
Kami bertiga terus berjalan menuju rumah berikutnya, yaitu rumah Pak Sulaiman. Malam ini bulan cukup terang, bulan di tanggal 14 Muharram.
Ketika sampai, seperti biasa, Kak Muhsin yang jadi juru bicara mengetuk pintu, sedangkan aku dan Kak Rahman cukup di halaman rumah saja.
Pak Sulaiman membukakan pintu.
“Assalamu ‘alaikum, Pak…,” ucap Kak Muhsin memulai pembicaraan sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Wa ‘alaikumussalam…,” jawab Pak Sulaiman seraya menyambut uluran tangan Kak Muhsin.
“Seperti malam Sabtu biasanya, Pak, kami ke sini ingin silaturrahmi sekaligus mengajak bapak shalat isya berjamaah di Mushalla kami dan mengikuti ceramah setelahnya,” tutur Kak Muhsin dengan wajah manis.
Juga seperti biasa, “Wah, kayaknya tidak bisa, saya sibuk.”
“Sudah ya Pak, kami permisi dulu. Kalau bisa datang sebaiknya datang.”
“Iya, insya Allah.”
“Assalamu ‘alaikum,” kembali Kak Muhsin menyalami pak Sulaiman.
“Wa ‘alaikumussalam…”
Rumah Pak Sulaiman itu adalah rumah terakhir yang kami kunjungi. Di sebelah sana sebenarnya masih ada satu rumah lagi, tapi kami belum pernah ke sana, sebab rumah itu terpisah jauh dengan rumah warga yang lain.
“Kak Muhsin, bagaimana kalau kita ke rumah yang di sana juga?” usulku sembari menunjuk rumah yang letaknya menyendiri di ujung jalan sana. “Kita kan belum pernah ke sana, siapa tahu penghuninya mau datang ke pesantren kita.”
“Baiklah, kita coba saja,” putus Kak Muhsin.
***
“Assalamu ‘alaikum…,” kata Kak Muhsin sambil mengetuk pintu.
“Wa ‘alaikumussalam…,” terdengar sahutan dari dalam, menyusul kemudian derap langkah kaki.
Pintu dibuka. Seorang laki-laki separuh baya tampak di ambang pintu.
“Eh, masuk! Ayo masuk!” ajak laki-laki itu.
“Tidak usah, Pak. Kami di luar saja,” tolak Kak Muhsin dengan sopan.
“Ah, jangan! Ayo masuk semuanya!”
Kami pun tak kuasa menolak.
Ruang tamu rumah ini cukup luas. Tidak ada kusri dan meja, namun lantainya dilapisi karpet tebal berwarna hijau.
Beliau lalu berjalan ke belakang, mungkin menyuruh istri beliau membuatkan teh.
“Tidak usah repot-repot, Pak! Kami cuma sebentar,” cegah Kak Muhsin.
“Ah, tidak papa…” Beliau terus berjalan ke belakang.
Sungguh sambutan yang luar biasa! Besar harapanku Bapak ini mau mengikuti shalat isya berjamaah dan ceramah. Aku sangat yakin.
Tak lama beliau kembali.
“Begini Pak, kami ini dari pesantren Tahfizul Qur’an Nurul Hidayah.”
“O… Yang dekat jembatan itu, ya?”
“Betul, Pak. Kami ke sini ingin silaturrahmi. Nama saya Muhsin, ini Rahman, dan ini Amin. Kalau kami boleh tahu, nama pian siapa, Pak?”
“Oh, kalau nama saya Yusuf. Kebetulan, anak saya yang laki-laki juga sekolah di pesantren. Sekarang dia sudah kelas tiga tsanawiyah.”
Istri Pak Yusuf membawakan empat cangkir teh dan dua piring kue. “Silakan diminum….,” kata istri beliau.
“Iya, terima kasih, Bu,” kali ini Kak Rahman yang bersuara.
“Di pesantren mana, Pak?” tanya Kak Muhsin.
“Pesantren Al-Falah.”
“O, yang di Banjarbaru itu kan?”
“Iya, benar.”
“Kapan dia pulang?”
“Wah, saya juga kurang tahu. Biasanya dua bulan sekali.”
Perbincangan terus berlanjut, sampai akhirnya kak Muhsin mengajak Pak Yusuf shalat isya berjamaah dan mendengarkan ceramah.
“Aduh, sepertinya tidak bisa. Saya ada pekerjaan.”
Selalu begitu! Ada saja alasan. Harapan besarku runtuh seketika. Keyakinanku lenyap, seperti listrik padam.
Kami pun tak lama pamit. Adzan isya tinggal sepuluh menit lagi. Bergegas kami kembali ke pondok.
***
Malam Sabtu ini kami kembali ke rumah Pak Yusuf. Dan lagi-lagi kami disambut dengan hangat.
“Anak Bapak yang di Al-Falah itu sudah pulang?” tanya Kak Muhsin.
“Belum, mungkin satu bulan lagi.”
Ya, anak Pak Yusuf yang nyantri di Al-Falah itulah lagi satu-satunya harapan kami. Hanya dia.
Minggu-minggu berikutnya pun kami ke rumah Pak Yusuf lagi dan menanyakan kepulangan anaknya.
Memang benar, satu bulan setelahnya anak Pak Yusuf yang kami tunggu-tunggu itu pulang. Bahkan dia sendiri yang membukakan pintu. Kutaksir usianya tak jauh berbeda denganku.
“Insya Allah!” jawab anak Pak Yusuf yang ternyata bernama Ridho itu dengan pasti setelah kak Muhsin menjelaskan maksud kami.
“Kalau bisa sekarang saja ikut kami jalan kaki. Tidak terlalu jauh juga,” Kak Rahman menawarkan.
“Baiklah, saya mau ganti baju dulu.”
Akhirnya, ada juga yang tergerak hatinya, atau lebih tepatnya digerakkan Allah. Akan kuingat baik-baik hari yang paling bersejarah ini.
Kami saling berkenalan dengannya. Satu malam saja dia sudah menjadi teman akrab kami. Dan yang paling akrab dengannya tentu saja aku. Kami bahkan sempat berbagi pengalaman bagaimana tinggal di pesantren.
Namun euforia tersebut hanya berlangsung satu malam. Kedatangan Ridho itu adalah kunjungan yang pertama dan juga terakhir kalinya.
Waktu itu, sepulang dari pesantren kami, sebuah mobil truk bermuatan batu bara dengan kecepatan tinggi menyerempet tubuh Ridho yang berjalan di sisi kiri jalan. Katanya, tubuhnya terpelanting sejauh lima meter! Truk itu kabur. Tabrak lari!
Setelah itu, tak lagi kulihat ada yang datang ke sini.[]


Malik 2, 30 Oktober 2008

(Serambi Ummah, Jumat, 17 Juni 2011)

4 comments:

  1. yaH..TRUK BATUBARA SAMPE SEKARANG TERUS UGAL-UGALAN..KAYAK SETAN AJA KALO LAGI JALAN..mdh2n tmn km diterima disisi-Nya

    ReplyDelete
  2. @ KisahdoktermudaIni cuma cerpen bos ai.@ The Dark Side of LifeWah, rami tu. Oleh-olehnya pang?

    ReplyDelete
  3. [...] baru kuketahui. Sontak saja tabloid tersebut menyedot perhatianku, karena aku pernah mengirimkan cerpen pada redaksinya. Sesudah mengirim cerpen itu setiap Jumat aku beli Serambi Ummah, berharap cerpenku [...]

    ReplyDelete