Saturday, December 6, 2008

Teroris





23.59, malam yang hening.

“Ustadz Abdurrahman...?”

“Ya, saya sendiri. Ada apa?”

“Saya sudah memasang dua buah bom di pesantren Anda...”

“Hah!? Apa kamu bilang? Jangan bercanda, ya!!!”

“Saya tidak bercanda, Ustadz...”

“Ah, sudahlah! Sebaiknya kamu jangan mengganggu tidur saya dengan lelucon yang tidak lucu itu!”

“Baiklah, kalau Ustadz tidak percaya, saya akan segera meledakkan bom yang pertama...”

DDHHHAAAAAAARRRRRRRR!!!!!!

“Hei... hei... heiii... !”

“Tenanglah Ustadz! Yang tadi cuma ledakan kecil. Yang rusak mungkin cuma WC dan kamar mandi milik Ustadz...”

“Di mana bom yang kedua?”

“O... Saya tak akan memberitahukannya... Saya hanya akan memberitahukan bahwa bom yang kedua akan saya ledakkan satu jam lagi, dan ledakannya tentu lebih besar dari yang tadi...”

Tuut... tuut... tuut...

7 hari yang lau, 18.00, di Malik 15
“Mi, ayo cepat kita mandi! Waktu ke Mushalla cuma tinggal 15 menit!” Ajak Ilham saat ia sudah selesai membuat game yang ia beri nama ‘TERORIS’ dengan 3 buah laptopnya.
“Ya, ya, tunggu! Di mana kita mandi?” Sahut Armie sambil membereskan perangkat-perangkat elektronik dan bahan-bahan kimia.
“Di kolam Zaid. Ayo cepat!”
Mereka pun berjalan ke kolam Zaid dengan tangan memegang gayung yang berisi sabun dan celana mandi. Tak lama mereka sampai di kolam Zaid, karena kolam itulah yang paling dekat dengan asrama mereka. Namun puluhan santri lain sedang antri untuk mengisi air ke gayung dari kran yang hanya satu-satunya.
“Wah, bakal terlambat kita kalau ikutan antri di sini,” komentar Armie.
“Ya sudah, kita ke kolam Talhah saja...”
Ternyata kolam Talhah pun menampilkan pemandangan yang tak jauh berbeda dengan di kolam Zaid tadi. Mereka lalu ke kolam Abwab, dan lagi-lagi mereka menemukan pemandangan serupa.
“Uii, Armie! Ilham! Lajui mandi, kada usah talalu banyak pikir, kaina talambat ka Mushalla!” Suara Ihsan menyadarkan mereka dari keputusasaan (sulit mandi saja putus asa, mana mungkin!).
“Ham, gimana kalau kita mandi di belakang kantor?”
“Bodoh! Di sana mana ada airnya!!”
“Pipa yang menuju ke WC kita potong, gimana?”
“Kalo gitu, berarti WC di pondok ini yang bisa dipakai untuk santri cuma tinggal WC Rulip!!!”
Sejenak Armie berpikir.
“Ah, kamu tenang saja! Sebentar lagi kita juga akan dibuatkan WC baru...”
“Tahu dari mana kamu , Mi ?”
“Pokoknya kamu tenang saja...”
“Baiklah, daripada tidak mandi.”
*** ***
Di asrama Uqala.
“Geeeng, duit kau masih banyak tidak?” Tanya Mikel sambil menusukkan jarum ke lengannya sendiri. Tubuhnya dia sandarkan di dinding.
Enggeng menghembuskan asap dari mulut dan hidungnya. “Wayahini aku kada baduit jua tahulah?!” Jawab Enggeng. Lalu dia kembali menghisap Marlboronya.
DDHHHAAAAARRR !!!!!
“Bunyi apa pula itu, Geng?”
“Kada tahu jua, tapi suaranya matan rumah Mudir.”
Enggeng, sang ketua IKPPF itu segera mematikan rokoknya, lalu keluar dari asramanya. Begitu membuka pintu, Ustadz Abdurrahman, Mudir Pon Pes Al-Falah, sudah berdiri di depannya.
“Kenapa, Ustadz? Tadi tu bunyi napa?” Seloroh Enggeng dengan terburu-buru.
“Itu bunyi bom! Meledaknya di kamar mandi rumah saya. Kata pelakunya, bom yang satunya akan dia ledakkan satu jam lagi!”
“Di mana bum nang sabutingnya tih, tadz?”
“Pelakunya tidak mau memberi tahu. Makanya, kamu cepat bangunkan para santri dan para Ustadz. Suruh mereka keluar, siapa tahu bomnya ada di dalam asrama santri atau di dalam rumah Ustadz! Saya akan menelpon Polisi dan TNI. Kamu cepat ya!”
Enggeng pun sibuk membangunkan anak buahnya di asrama Uqala. Mereka berbagi tugas. Ada yang membangunkan lewat mic. Ada yang ke asrama Malik-Malikan, ke asrama Ashaburrasul, Abwab, Ashab Kalbar, Hamzah, Ja’far, Pintu dan belakang. Ada yang ke rumah-rumah Ustadz dan ada juga yang melapor ke putri.
Dan berubahlah malam yang hening itu menjadi malam yang begitu mencekam. Teriakan demi teriakan terdengar di sana-sini. Semua wajah penghuni komplek Pon Pes Al-Falah menunjukkan kecemasan yang sangat.
Poloisi dan TNI berdatangan. Puluhan penjinak bom mereka kerahkan. Para penjinak bom itu berpencar. Ada yang ke rumah-rumah Ustadz, ke asrama-asrama santri, ke lab komputer, ke perpustakaan, ke kantor, dan yang paling banyak ke Mushalla, karena Mushalla yang baru selesai dibangun itu sangat besar kemungkinannya dipasangi bom.
Kecemasan, ketakutan, kengerian, kemarahan, kebencian, kepanikan, semuanya menyatu di tengah malam ini.
Semua orang digiring untuk berkumpul di lapangna sepak bola, karenan kemungkinan tempat itu dipasang bom sangat kecil. Enggeng, sang ketua IKPPF itu beserta Pani, ketua bidang keamanan, tampak paling sibuk di sana.
Sudah tiga puluh menit para aparat keamanan mencari bom itu, namun benda menakutkan itu belum juga ditemukan. Sementara waktu yang diberitahukan tinggal belasan menit saja.
“Tanaang!!! Tenang!!! Semuanya tenang! Bom itu pasti akan ditemukan dan berhasil dijinakkan sebelum meledak. Kita berdo’a saja.” Suara Mudir terdengar lantang di antara ribuan keributan.
Sementara itu, di belakang asrama Talhah, di tengah kegelapan dan kesunyian,
“Nah Ilham, tugas kamu sekarang ialah kencing di samping WC itu,” jelas Armie seraya menunjuk ke samping WC Rulip.
“Untuk apa? Aku nggak paham maksud kamu!” Protes ilham.
“Ah, kamu tenang saja! Cuma kencing, apa susahnya?”
“Kamu sendiri kan bisa?”
“Kencing itu keahlianmu. Aku hari ini sudah dua kali kencing, jadi nggak bisa lagi.”
“Terus, kamu ngapain?”
“Aku di sini saja. Aku ingin memotret Ustadz Abdurrahman yang dihujani kotoran-kotoran santri.” Diperlihatkan Armie kamera digitalnya.
“Maksud kamu ini apa???”
“Oke, bom yang kedua kupasang di WC itu...”
“Hah !? Ja... jadi....”
“Ya, teroris yang membuat keributan ini adalah aku.”
“Aku tidak menyangka...”
“Kamu jangan su’u zhon dulu! Tujuanku ini baik, supaya beliau tahu bagaimana sulitnya mendapatkan air dan betapa susahnya kecing atau berak.”
“Tunggu dulu, kamu tahu dari mana bahwa beliau bakalan ke sini?”
“Aku sudah melakukan riset selama dua minggu. Menurut hasil risetku, Usadz Abdurrahman selalu kencing setiap tengah malam pada jam satu. WC dan kamar mandi di rumah beliau sudah rusak, sedangkan numpang kencing di WC Ustadz yang lain rasanya tidak mungkin, karena terlalu jauh, jadi kemungkinan besar beliau akan kencing di WC Rulip ini. Tapi WC ini semua pintunya sudah kukunci dari dalam. Saat beliau tahu bahwa semua pintu tidak bisa dibuka, beliau pasti akan berpikir untuk menirumu, yaitu kencing di samping WC sambil berdiri. Waktu itu, kamu harus sudah selesai kencingnya dan gayungnya tinggal di atas kolam. Namun ledeng sudah kumatikan. Air di dalam kolam juga sudah kukuras. Jadi tak ada pilihan lain bagi beliau kecuali kencing tanpa istinja di samping WC itu. Saat itulah tombol pada detonator ini kutekan,” jelas Armie panjang lebar. Ilham hanya manggut-manggut, itu pun setelah ia sadar bahwa penjelasannya sudah selesai.
Dan betul saja, tak lama setelahnya sang Mudir datang.
“Beliau sudah datang, cepat Ham! Suasananya gelap, jadi kamu nggak akan bisa dikenali,” paksa Armie sambil mendorong tubuh Ilham.
Terpaksa Ilham melaksanakan apa yang dikatakan Armie, dan Armie segera bersembunyi di balik kolam. Tangan kanannya memegang kamera dan tangan kirinya memegang detonator.
Rencana Armie berjalan lancar. Saat Ilham selesai kencing dan meninggalkan gayung di kolam, Ustadz Abdurrahman mengambil gayung yang ditinggalkan itu.
“Ah, sial! Airnya tidak ada sedikit pun!” Maki beliau dengan lirih.
Tak ambil pusing, beliau langsung ke samping WC dan,
DDDHHHHHAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRR !!!!!!!!!!!!!!!
Tak ayal, semua tinja santri yang mulanya terpendam dengan tenang di tempat penampungannya kini berhamburan dan menghujani Ustadz Abdurahman yang berada paling dekat dengan WC itu. Terpaksa beliau bersabar merasakan kotoran yang berlumuran di sekujur tubuh dan luka-luka akibat ledakan tadi.
Cahaya blitz dari kamera kemudian menyilaukan pemandangan ustadz Abdurrahman.
“Hei.. siapa di sana? Cuhh.. cuhh...,” bentak beliau sambil meludah, karena tinda juga memenuhi mulut.
Armie segera kabur meninggalkan sang Mudir Pon Pes Al-Falah itu yang terpaksa membersihkan kotoran-kotoran yang melekat di tubuh dengan air got.
Di asrama Malik 15,
“Ilham... !! Lihat ini, Ham!” teriak Armie sambil mengacungkan kamera digitalnya. “Sudah kuputuskan, bahwa aku nanti akan jadi fotografer saja,” sambungnya dengan senyum yang lebar. Cuma mereka berdua yang ada di asrama itu, yang lainnya masih di lapangan.
“Foto yang bagus. Mungkin kamu memang berbakat,” komentar Ilham agak malas, “Tapi ma’af Mi, aku bukan sahabat yang bisa dipercaya.”
Pintu asrama terbuka. Tiga orang polisi bertubuh besar dengan pakaian pelindung yang lengkap segera masuk. Polisi yang lain berjaga di luar.
“Sekali lagi aku minta ma’af...” lirih Ilham dengan air mata yang tak bisa ia bendung.
Armie ditangkap tanpa ada perlawanan. Ia tersenyum, lalu berkata, “Sudah kuduga, kamu lebih menyukai kebaikan daripada persahabatan. Aku salut.”
*** ***
Dua hari kemudian, di pagi yang lebih cerah dari pagi sebelumnya, di bawah naungan pohon akasia, seorang remaja sedang membaca koran sambil tersenyum. Dia membaca berita yang berjudul ‘Santri Teroris Kabur!’
Di bawah judul itu tertulis:
Teroris muda yang baru dua hari mendekam di sel berhasil kabur. Jeruji besi di mana dia dikurung bengkok. Polisi masih menyelidiki bagaimana caranya jeruji berdiameter 7 cm itu bisa bengkok.
“Ha... ha... ha.. Ternyata dua cairan ini berguna juga,” kata remaja itu sambil memutar-mutar dua botol kaca.

24-7-8

Mudir : Pengasuh Pondok Pesantren
Istinja: Mencuci bekas buang air
Su’u Zhon: Buruk Sangka

No comments:

Post a Comment