Saturday, December 6, 2008

Catatan Senja





Senja di sungai Barito selalu tampak indah. Aku tak pernah bosan menikmati lukisan alam yang demikian memukau ini. Ketenangan dan kedamaian menyatu dalam keindahan desa Anjir di senja ini.

Dari atas jembatan Barito Kuala yang panjangnya satu kilometer lebih ini, mataku bisa menangkap dengan jelas gerak matahari yang turun di balik pepohonana galam di tepi sungai. Sungai Barito jadi menguning kemerahan, serupa sungai emas. Memukau. Satu kedipan pun tak akan kubiarkan demi menikmati pesona senja ini, karena hanya di menit-menit senja sajalah rasanya berton-ton bebanku berubah menjadi kapas, atau bahkan jadi udara.

Dari surau di samping sungai sana, adzan menggema. Mengganti waktu senja menjadi malam. Waktuku berakhir. Perlahan langkahku meningalkan jembatan menuju rumahku yang punya segudang masalah.

Dalam langkah itu, masalahku kembali menjadi besi, berton-ton. Terbayang di benakku kejadian dua hari yang lalu, ketika aku memukuli orang yang meludahi sandalku. “Awas kamu, nanti akan kubalas!!!” Ancaman yang sebenarnya sudah sangat sering kudengar dari orang-orang yang berurusan denganku.

Juga terbayang kejadian kemarin, saat aku tak sengaja memecahkan hiasan dari kaca milik teman sekelasku, Dewi. Padahal hiasan itu adalah hadiah ulang tahun dari pacarnya. Katanya, benda itu cuma dijual di jogja. Dengan apa aku menggantinya?

Arif juga marah sekali denganku. “Hutang kamu yang kemarin saja belum kamu bayar, malah mau hutang lagi!!! Bukan kamu saja yang perlu uang, aku juga perlu!!!” Katanya siang tadi.

Aku terus bejalan sampai di depan rumahku. Ah, mungkin lebih tepatnya gubuk.

Krrrreeeeettt.....

Terdengar suara dari engsel pintu yang sudah diselubungi karat saat pintu itu kubuka, seolah menjerit. Tahu aku datang, adik perempuanku yang baru lima tahun langsung menyerbuku.

“Boneka Berbie-nya sudah kakak belikan?” Tanyanya dengan penuh harap. Terlalu banyak harapan yang digantungkannya padaku, namun tak satu pun yang bisa kuwujudkan.

“Tadi tokonya tutup. Besok saja, ya?” Terpaksa aku berbohong. Ah, kebohongan apa lagi kah yang akan kusuguhkan padanya besok.

Dia berlalu tanpa menjawab, mungkin dia sudah bosan. Aku ke dapur mendekati ibu.

“Beras kita tinggal setengah liter, nak. Tadi Bu Ziah ke rumah menagih hutang,” keluh ibu. Semenjak ayah meninggal akibat dibunuh oleh orang yang sampai sekarang masih tidak diketahui pelakunya, ibu selalu saja mengeluh, dan tentu saja aku yang jadi pendengar setia keluhan beliau.

Untunglah ibu belum terlalu tua, sehingga masih bisa mengurus kedai teh , dan bila musim panen tiba, aku dan ibu bisa mengerjakan sawah orang. Dari situlah kami hidup, dan aku bisa sekolah.

Di luar sana, gelap mulai menebarkan kelamnya. Burung malam di hutan belakang rumah sana telah beterbangan mencari makan. Suara mereka gaduh, seakan semuanya sedang bergembira menunggu purnama.

***

Seperti biasa, mataku tak pernah bisa melewatkan pukauan yang tak mungkin terlukiskan ini. Warna jinga yang terpancar dari rona matahari kian memperteduh suasana, memendar pada gemericik air, melimbah di hamparan sungai bak kristal terbias cahaya.

Senja baru saja mementaskan tarian perpisahannya, merubah langit jadi keemasan. Berdenyar-denyar. Bagai selembar kain sutera raksasa yang bergetar dihembus angin.

Sungguh indah ciptaan Allah ini. Ya, Allah... Sudah lama sekali nama itu menghilang dari kepalaku. Tato naga di pergelanganku menegaskan kalu sekarang betapa jauh aku dengan pemilik nama itu.

Senja kian menua. Angin menerbangkan gema adzan dari moncong mic surau di pinggir sungai. Magrib. Ada asa yang membuncah di hatiku. Aku pun berjalan menuju surau. Mungkin sekaranglah saatnya aku kembali mendekat.

Beberapa langkah setelah aku menuruni jembatan, dua orang bertubuh besar tiba-tiba menyergapku dan membawaku masuk ke hutan galam. Aku berontak, namun tubuh mereka terlalu besar untuk bisa kulawan. Di mana keahlian silat yang kuperoleh selama tujuh tahun?

Di dalam hutan sudah menunggu seorang yang masih kuingat wajahnya. Orang yang kupukuli beberapa hari yang lalu. Segenggam cemas menyelinap dalam dada.

“Hayya ‘alas sholaaaaaaah..........” Adzan masih mengalun lantang.

Orang itu kemudian mengeluarkan belatinya. Tanpa bicara satu kata pun, dia melayangkan mata belatinya ke perutku.

“AAAA....!” Aku menjerit. Meringis. Darah segar deras mengalir saat dia mencabut belatinya.

Tak puas dengan satu tusukan, orang itu lalu menghujaniku dengan tikaman-tikaman belatinya sampai tak bisa lagi kuhitung berapa lubang darah yang dia ciptakan di tubuhku. Pandanganku remang.

Ya Allah, hutangku masih banyak. Jangan matikan aku....!

“Allaahu akbar... Allaa...hu akbar, laa...ilaa...ha illallaa...h....”

Adzan pun berakhir lirih bersama berakhirnya pandanganku. []

No comments:

Post a Comment