Cerpen Haruki Murakami: Muntah 1979

Cerpen Haruki Murakami: Muntah 1979


Berkat bakatnya yang langka dalam mencatat diari tanpa pernah melewatkan satu hari pun, dia bisa mencatat tanggal pasti kapan muntah-muntahnya dimulai dan kapan itu berhenti. Kejadian itu dimulai pada 4 Juni 1979 (cuaca cerah) dan berakhir pada 14 Juli 1979 (cuaca mendung). Aku mengenal ilustrator muda ini sejak dia membuat ilustrasi untuk sebuah cerita yang kuterbitkan di sebuah majalah.  


Dia beberapa tahun lebih muda dariku, tapi kami sama-sama hobi mengumpulkan piringan hitam jazz lawas. Hal lain yang dia sukai adalah tidur dengan pacar atau istri teman-temannya. Selama bertahun-tahun ini sudah cukup banyak yang dia tiduri, dan dia sering menceritakan petualangannya kepadaku. Bahkan, dia pernah beberapa kali melakukannya saat temannya sedang membeli bir atau mandi selama kunjungan mereka.  

"Kamu harus melakukannya secepat mungkin, dengan sebagian besar pakaian masih dipakai," katanya. "Seks biasa bisa terasa lama dan bertele-tele, kan? Jadi, sekali-sekali coba kamu ambil pendekatan yang benar-benar berlawanan. Itu memberikan perspektif baru. Seru."  

Tentu saja, seks terburu-buru seperti ini bukan satu-satunya jenis seks yang menarik baginya. Dia juga bisa menikmati seks dengan cara yang lambat dan klasik. Namun, tidur dengan pacar atau istri teman-temannyalah yang benar-benar membuatnya bergairah.  

"Aku sama sekali tidak bermaksud menikung teman-temanku, mengkhianati, menipu, atau semacamnya. Tidur dengan wanita mereka justru membuatku merasa lebih dekat dengan mereka. Semacam menjalin kekeluargaan. Dan ini, toh hanya seks. Tidak menyakiti siapa pun selama tidak ketahuan."  

"Itu tidak pernah ketahuan?" tanyaku. 

"Tidak, tidak pernah." Dia tampak sedikit terkejut dengan pertanyaanku. "Selama kamu tidak memiliki keinginan bawah sadar untuk mengungkap apa yang kamu lakukan, hal-hal seperti ini tidak akan ketahuan. Ya, kamu memang harus berhati-hati untuk tidak melakukan atau mengatakan apa pun yang bisa membuat temanmu curiga. Dan kamu harus menetapkan aturan yang sangat jelas sejak awal, memastikan wanita itu tahu bahwa ini hanya permainan untuk kesenangan, bahwa kamu tidak akan terlibat atau menyakiti siapa pun. Tentu saja, kamu tidak mengatakannya secara langsung seperti itu."  

Aku sulit mempercayai bahwa hal semacam ini bisa dilakukan dengan mudah, tetapi dia tidak tampak seperti tipe orang yang membual hanya untuk terlihat hebat, jadi aku mulai berpikir mungkin dia benar.  

"Dan akhirnya, kebanyakan wanita memang sedang mencari hal semacam ini. Suami atau kekasih mereka—dalam hal ini, temanku—biasanya jauh lebih baik dariku: lebih tampan, misalnya, atau lebih pintar, atau memiliki penis yang lebih besar. Tapi wanita-wanita itu tidak peduli soal hal-hal begituan. Mereka baik-baik saja selama pasangan mereka cukup normal, baik hati, dan ada semacam pemahaman di antara mereka. Yang mereka inginkan adalah seseorang yang tertarik pada mereka di luar kerangka statis sebagai 'pacar' atau 'istri'. Itu aturan paling dasar dalam semua ini. Tentu saja, pada tingkat yang lebih dangkal, motif mereka beragam."  

"Misalnya?"  

"Misalnya, balas dendam pada suami yang selingkuh, kebosanan, atau kepuasan semata karena berhasil menarik perhatian pria lain. Hal-hal seperti itu. Aku hanya perlu melihat mereka untuk tahu. Ini bukan soal mempelajari teknik. Ini murni bakat bawaan. Kamu punya atau tidak."  

Dia sendiri tidak memiliki pacar tetap.  

Seperti yang kukatakan, kami sama-sama kolektor piringan hitam, dan kami sesekali bertemu untuk bertukar koleksi. Kami mengoleksi jazz dari tahun lima puluhan dan awal enam puluhan, tetapi minat kami cukup berbeda sehingga kami selalu menemukan sesuatu untuk ditukar. Aku lebih fokus pada musisi West Coast yang kurang dikenal, sedangkan dia menyukai rekaman-rekaman akhir dari musisi yang lebih terkenal seperti Coleman Hawkins atau Lionel Hampton. Jadi, jika dia memiliki Pete Jolly Trio rilisan Victor dan aku punya Vic Dickenson rilisan Mainstream, kami senang menyebutnya pertukaran yang adil. Kami akan menghabiskan hari dengan minum bir, mendengarkan pertunjukan, memeriksa kondisi piringan hitam, dan bertransaksi.  


*


Sehabis salah satu sesi barter piringan hitam kami, dia menceritakan tentang muntah-muntahnya. Kami sedang berada di apartemennya, minum wiski. Percakapan kami berpindah dari musik ke wiski, lalu ke pengalaman mabuk.  

"Aku pernah muntah setiap hari selama empat puluh hari. Setiap hari tanpa jeda. Tapi bukan karena minum, ya. Dan aku juga tidak sakit. Aku cuma muntah tanpa alasan sama sekali. Begitu terus selama empat puluh hari berturut-turut. Benar-benar sesuatu."  

Mual dan muntah pertamanya terjadi pada 4 Juni. Episode khusus ini tidak sepenuhnya mengejutkan karena malam sebelumnya dia sudah minum banyak wiski dan bir. Selain itu, seperti biasa, dia juga tidur dengan istri temannya malam itu—malam tanggal 3 Juni.  

Jadi, ketika dia memuntahkan seluruh isi perutnya ke dalam toilet pada pukul delapan pagi tanggal 4 Juni, rasanya bukan sesuatu yang tidak wajar. Bahkan, ini adalah pertama kalinya dia muntah karena minum sejak masa kuliah. Setelah menekan tuas flush, dia mengirimkan hasil pencernaan yang tidak menyenangkan itu ke saluran pembuangan, duduk di mejanya, dan mulai bekerja. Dia tidak merasa sakit sama sekali. Malahan, dia menghadapi pekerjaannya hari itu dengan semangat khusus. Kerjaannya berjalan lancar, dan pada siang hari, dia sudah merasa lapar lagi.  

Dia membuat sendiri sandwich ham dan timun, lalu menelannya dengan sekaleng bir. Setengah jam kemudian, gelombang mual kedua menyerangnya, dan dia memuntahkan seluruh sandwich itu ke toilet. Potongan roti dan ham yang basah mengambang di permukaan air toilet. Meski begitu, dia tetap tidak merasa sakit. Dia hanya muntah. Rasanya seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya, jadi dia berlutut di toilet, lebih karena penasaran, lalu semuanya keluar dari perutnya seperti pesulap mengeluarkan burung merpati atau bendera dari topinya.  

"Aku sudah sering merasakan mual sebelumnya—di masa kuliah, saat aku minum gila-gilaan, atau kadang-kadang di bus—tapi ini benar-benar berbeda. Aku bahkan tidak merasakan perutku mual seperti biasanya. Rasanya seperti perutku mendorong makanan keluar tanpa rasa atau perlawanan apa pun. Tidak ada yang sakit, dan tidak ada bau menyengat. Jadi, aku mulai merasa aneh. Maksudku, ini bukan hanya sekali, tapi dua kali. Ini mulai mengkhawatirkanku, jadi aku memutuskan untuk berhenti minum untuk sementara waktu."  

Namun, muntah ketiga datang tepat keesokan paginya. Belut yang dia makan malam sebelumnya dan muffin Inggris dengan selai jeruk yang dia makan pagi itu keluar dari perutnya hampir utuh.  

Dia sedang menyikat gigi ketika telepon berbunyi. Dia mengangkat gagang telepon dan mendengar suara seorang pria menyebut namanya sebelum sambungan terputus.  

"Itu pasti suami atau pacar salah satu wanita yang pernah kamu tiduri, kan?" tanyaku.  

"Tidak mungkin," katanya. "Aku mengenal suara mereka semua. Ini jelas suara yang belum pernah kudengar sebelumnya. Dan ada nada tidak menyenangkan di dalamnya. Aku mulai menerima telepon seperti ini setiap hari. Dari tanggal 5 Juni sampai 14 Juli. Kamu sadar kan, ini hampir persis bersamaan dengan periode muntahku?"  

"Oke, tapi aku tidak melihat hubungan antara telepon iseng itu dengan muntahmu."  

"Aku juga tidak," katanya. "Itu sebabnya aku masih merasa terganggu dengan semuanya. Pokoknya, setiap telepon selalu sama. Telepon berbunyi, dia menyebut namaku, lalu menutup telepon. Sekali sehari, setiap hari, tapi aku tidak pernah tahu kapan—pagi, sore, atau tengah malam. Tentu saja, aku bisa saja tidak menjawab telepon, tapi aku dapat pekerjaan dari sana, dan kadang-kadang ada cewek yang meneleponku juga."  

"Ya, aku mengerti..." kataku.  

"Dan bersamaan dengan telepon-telepon itu, rasa mual terus berlanjut tanpa satu hari pun jeda. Kurasa aku muntah hampir semua makanan yang kumakan. Lalu aku merasa lapar dan makan lagi, lalu memuntahkan semuanya lagi. Itu lingkaran setan. Tetap saja, aku berhasil mempertahankan, katakanlah, satu dari tiga makanan—mungkin cukup untuk tetap hidup. Kalau aku muntah tiga kali sehari, mungkin aku sudah butuh infus."  

"Kamu tidak pergi ke dokter?"  

"Tentu saja pergi. Aku pergi ke rumah sakit di dekat rumah, cukup besar. Mereka mengambil rontgen dan tes urin. Kemungkinan kanker cukup besar, jadi mereka memeriksa tubuhku dengan baik. Tapi mereka tidak menemukan apa pun yang salah. Aku terlihat sehat sekali. Akhirnya, mereka memberiku obat untuk 'kelelahan lambung kronis' atau mungkin stres. Mereka menyarankan untuk tidur lebih awal, bangun lebih pagi, mengurangi alkohol, dan tidak memikirkan hal-hal kecil. Tapi siapa yang mereka bodohi? Aku tahu tentang kelelahan lambung kronis: kamu harus idiot kalau tidak menyadari kamu mengidapnya. Rasanya berat di perut, ada rasa panas, nafsu makan hilang. Tapi ini tidak. Aku cuma muntah begitu saja. Aku selalu lapar, dan pikiranku jernih. Dan soal stres? Aku tidak punya itu. Memang, pekerjaanku banyak, tapi tidak sampai membuatku tertekan, dan urusan perempuan tidak ada masalah. Aku bahkan berenang dua atau tiga kali seminggu. Kupikir aku sudah melakukan semuanya dengan benar, bukan?"  

"Kedengarannya begitu," kataku.  

"Aku cuma muntah, itu saja," katanya.  

Setelah dua minggu seperti itu, dia memutuskan sudah cukup dan memutuskan untuk istirahat dari pekerjaan. Meskipun muntah tidak bisa dihentikan, setidaknya dia ingin menjauh dari telepon. Dia menginap di hotel dan menghabiskan hari dengan menonton TV dan membaca. Awalnya, perubahan suasana tampak berhasil. Dia bisa mencerna sandwich daging panggang dan salad asparagus yang dipesannya untuk makan siang. Lalu, di ruang teh hotel, dia makan pai ceri dan minum kopi hitam tanpa masalah.  

Namun, pada malam hari telepon di kamar hotelnya berbunyi. Suara yang sama menyebut namanya, lalu sambungan terputus.  

"Tapi kamu tidak memberitahu siapa pun kamu di hotel, kan?" tanyaku.  

"Tidak, kecuali perempuan yang kutiduri."  

"Mungkin dia memberitahu orang lain."

"Memangnya buat apa ia melakukan itu?"

Benar juga sih.

"Setelah telepon itu, aku muntah semua makanan di perutku. Ikan, nasi—semuanya. Seolah-olah telepon itu membuka pintu dan menciptakan jalan bagi mual untuk masuk ke dalamku. Ketika selesai muntah, aku duduk di tepi bak mandi dan mencoba mengatur pikiranku. Dugaan pertamaku adalah telepon itu hanyalah lelucon pintar atau tindakan iseng yang jahat. Aku tidak tahu bagaimana mereka tahu aku ada di hotel, tetapi jika mengesampingkan hal itu, aku pikir mungkin ini hanya trik yang dimainkan seseorang padaku. Kemungkinan kedua adalah telepon itu cuma halusinasiku. Awalnya ini terdengar konyol bagiku, tetapi menganalisis situasi dengan lebih tenang, aku tidak bisa mengabaikan kemungkinan itu begitu saja. Mungkin aku mengira mendengar telepon berdering, dan ketika aku mengangkat gagang telepon, aku pikir aku mendengar suara yang menyebut namaku, tetapi sebenarnya tidak ada apa-apa sama sekali. Secara teoretis, hal semacam itu bisa terjadi, kan?"

"Yah, kurasa mungkin saja..."

"Aku menelepon meja depan dan meminta mereka memeriksa apakah ada telepon yang baru saja masuk ke kamarku, tetapi mereka tidak bisa membantu. Sistem mereka mencatat semua panggilan keluar, tetapi tidak ada catatan sama sekali untuk panggilan masuk. Jadi aku tidak punya petunjuk apa-apa. Malam itu di hotel menjadi semacam titik balik bagiku. Di situlah aku mulai memikirkan hal ini lebih serius—mual dan telepon itu—dan ide bahwa keduanya mungkin saling terkait, entah sepenuhnya atau sebagian, aku tidak tahu. Tetapi aku mulai merasa bahwa aku tidak bisa terus menganggapnya enteng seperti sebelumnya. Aku menginap dua malam di hotel itu, tetapi bahkan setelah aku kembali ke apartemen, muntah dan telepon itu tetap berlanjut seperti sebelumnya. Aku sempat menginap di rumah teman beberapa kali untuk melihat apa yang akan terjadi, tetapi telepon itu selalu menemukanku—dan selalu ketika aku sendirian di rumah mereka. Tidak perlu dikatakan, semua ini mulai membuatku merinding, seperti ada sesuatu yang tak terlihat berdiri di belakangku, mengawasi setiap gerakanku: sesuatu yang tahu persis kapan harus meneleponku dan kapan harus menekan jari di tenggorokanku. Ketika kamu mulai memiliki pikiran seperti ini, itu adalah tanda awal skizofrenia, kamu tahu."

"Mungkin," kataku, "tapi tidak banyak penderita skizofrenia yang khawatir kalau dirinya skizofrenia, kan?"

"Benar, kamu benar. Dan tidak ada kasus yang diketahui tentang hubungan antara skizofrenia dan muntah. Setidaknya, itulah yang dikatakan psikiater kepadaku di rumah sakit universitas. Mereka bahkan tidak mau memeriksaku. Mereka hanya menerima pasien dengan gejala yang jelas. Setiap kereta di jalur Yamanote mungkin berisi 2,5 hingga 3 orang dengan gejala seperti milikku, kata mereka: mereka tidak memiliki fasilitas untuk merawat semuanya. Aku harus membawa keluhan muntahku ke dokter penyakit dalam dan keluhan panggilan teleponku ke polisi. Tapi seperti yang mungkin kamu tahu, ada dua jenis kejahatan yang polisi tidak mau repot-repot: telepon usil dan sepeda yang dicuri. Ada terlalu banyak kasus, dan sebagai kejahatan, ini terlalu sepele. Operasi kepolisian akan lumpuh jika mereka terlibat dalam setiap kasus. Mereka tidak mau mendengarkanku. Telepon iseng? Apa yang dikatakan orang itu padamu? Namamu? Hanya itu? OK, isi formulir ini dan hubungi kami jika ada hal yang lebih buruk terjadi. Hanya sejauh itu mereka mau membantu. OK, kataku, tetapi bagaimana mungkin orang itu tahu persis di mana aku setiap saat? Mereka tidak menganggapku serius. Dan aku tahu mereka akan mengira aku gila jika aku terlalu bersikeras. Jelas, aku tidak akan mendapatkan bantuan dari dokter atau polisi atau siapa pun. Aku harus mengurus semuanya sendiri. Ini menjadi jelas bagiku pada hari kedua puluh sejak 'telepon muntah' dimulai. Aku menganggap diriku cukup tangguh, baik secara fisik maupun mental, tetapi pada titik ini, aku mulai goyah."

"Semua baik-baik saja dengan pacar temanmu itu?"

"Hampir semua. Kebetulan temanku pergi ke Filipina selama dua minggu untuk urusan bisnis, jadi kami berdua sangat menikmati waktu bersama."

"Kamu tidak mendapatkan panggilan saat bersamanya?"

"Tidak ada sama sekali. Aku bisa memeriksa diari, tetapi kurasa itu tidak pernah terjadi. Panggilan hanya datang ketika aku sendirian. Begitu juga dengan muntah. Jadi aku mulai bertanya-tanya: mengapa aku begitu sering sendirian? Sebenarnya, aku mungkin rata-rata lebih dari dua puluh tiga jam sehari sendirian..."

Dia menuangkan lebih banyak wiski ke gelasnya, mengaduknya dengan jarinya, dan menyesapnya. "Jadi aku mulai berpikir serius. Apa yang akan aku lakukan mulai sekarang? Akankah aku terus menderita dengan telepon usil dan muntah?"

"Kamu bisa saja mendapatkan pacar. Milikmu sendiri."

"Aku tentu saja memikirkannya. Aku berumur dua puluh tujuh saat itu, bukan usia yang buruk untuk punya pasangan tetap. Tapi aku bukan tipe pria seperti itu. Aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku tidak bisa membiarkan diriku dikalahkan oleh sesuatu yang sebodoh dan tidak berarti seperti mual dan telepon, hingga mengubah seluruh cara hidupku seperti itu. Jadi aku memutuskan untuk melawan. Aku akan melawan sampai setiap ons kekuatan fisik dan mentalku habis."

"Wow."

"Tolong katakan, Tuan Murakami, apa yang akan kamu lakukan?"  

"Entahlah," kataku. "Aku tidak tahu." Itu memang benar: aku tidak tahu.  

"Telepon dan muntah itu berlanjut lama setelah itu. Aku kehilangan berat badan yang luar biasa banyak. Tunggu sebentar—ini dia: Pada 4 Juni, beratku 64 kilo. 21 Juni, 61 kilo. 10 Juli, wah, 58 kilo. 58 kilo! Untuk tinggiku, itu hampir tak terbayangkan! Tidak ada pakaian yang muat lagi. Aku harus memegang celanaku saat berjalan."  

"Boleh tanya satu hal: kenapa tidak sekalian pasang mesin penjawab otomatis atau semacamnya?"  

"Karena aku tidak ingin lari, tentu saja. Kalau aku melakukannya, itu seperti mengakui kekalahan pada musuh. Ini adalah perang kehendak! Entah dia yang kehabisan tenaga atau aku yang akan jatuh. Aku menerapkan pendekatan yang sama dengan muntah. Aku memutuskan untuk menganggapnya sebagai cara diet yang ideal. Untungnya, aku tidak kehilangan kekuatan otot secara ekstrim, dan aku bisa terus bekerja dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Jadi aku mulai minum lagi. Aku minum bir untuk sarapan dan minum banyak wiski setelah matahari terbenam. Aku tetap muntah mau aku minum atau tidak, jadi untuk apa peduli? Rasanya lebih baik minum, dan semuanya terasa lebih masuk akal. Jadi aku ambil uang dari rekening tabungan dan membuat jas serta dua pasang celana yang pas dengan bentuk tubuh baruku. Melihat diriku yang begitu kurus di cermin penjahit, aku cukup suka dengan apa yang kulihat. Kalau dipikir-pikir, muntah itu bukan masalah besar. Itu jauh lebih ringan daripada wasir atau kerusakan gigi, dan lebih sopan daripada diare. Tentu saja ini relatif. Selama masalah nutrisi teratasi dan tanpa ada kemungkinan itu karena kanker, muntah pada dasarnya tidak berbahaya. Maksudku, di Amerika mereka bahkan menjual obat pencahar untuk penurunan berat badan."  

"Jadi, yang kamu katakan," kataku, "muntah dan telepon berlanjut hingga 14 Juli, benar begitu?"  

"Secara teknis—tunggu sebentar—secara teknis, muntah terakhirku terjadi pada 14 Juli pukul sembilan tiga puluh pagi ketika aku memuntahkan roti panggang, salad tomat, dan susu. Telepon terakhir datang pukul sepuluh dua puluh lima malam itu ketika aku sedang mendengarkan Concert by the Sea karya Erroll Garner dan minum Seagram’s VO. Praktis, kan, menyimpan catatan harian seperti ini?"  

"Memang praktis," kataku setuju. "Tapi kamu bilang, setelah 14 Juli, kedua hal itu berhenti tiba-tiba?"  

"Begitulah," katanya. "Seperti di film Hitchcock The Birds. Kamu buka pintu keesokan harinya dan semuanya hilang. Mual, telepon iseng: aku tidak pernah mengalaminya lagi. Berat badanku langsung naik lagi ke 63 kilo, dan jas serta celana baruku masih tergantung di lemari. Mereka seperti suvenir."  

"Dan orang di telepon—dia hanya mengatakan hal yang sama, dengan cara yang sama, sampai akhir?"  

Dia menggelengkan kepala sedikit dan menatapku agak samar. "Tidak sepenuhnya," katanya. "Telepon terakhirnya berbeda. Pertama, dia menyebut namaku. Itu bukan hal baru. Tapi kemudian dia menambahkan, ‘Apakah kamu tahu siapa aku?’ Setelah itu, dia hanya menunggu tanpa mengatakan apa-apa. Aku juga diam. Itu berlangsung sekitar sepuluh hingga lima belas detik, tanpa ada yang mengucapkan kata-kata. Lalu dia menutup telepon, dan satu-satunya suara yang terdengar adalah nada sambung."  

"Benarkah, itu yang dia katakan? ‘Apakah kamu tahu siapa aku?’"  

"Ya, begitulah, persis. Dia mengucapkannya perlahan: ‘Apakah kamu tahu siapa aku?’ Aku sama sekali tidak ingat suara itu. Setidaknya di antara orang-orang yang pernah aku temui selama lima atau enam tahun terakhir, tidak ada yang memiliki suara seperti itu. Aku rasa bisa jadi itu seseorang dari masa kecilku, atau seseorang yang hampir tidak pernah kuajak bicara, tapi aku tidak bisa berpikir apa yang mungkin telah kulakukan untuk membuat seseorang seperti itu membenciku, dan aku tidak sebegitu populernya sampai-sampai ada ilustrator lain yang akan membenciku. Tentu saja, seperti yang kubilang, hati nuraniku tidak sepenuhnya bersih dalam hal percintaan, aku akui itu. Aku bukan bayi yang tidak tahu apa-apa setelah hidup dua puluh tujuh tahun. Tapi aku mengenal semua suara orang-orang itu. Aku akan mengenalinya dalam sekejap."  

"Namun," kataku, "kamu harus mengakui bahwa tidak normal untuk berspesialisasi dalam tidur dengan pasangan temanmu."  

"Jadi, yang kamu katakan, Tuan Murakami, adalah bahwa perasaan bersalahku—perasaan yang bahkan tidak aku sadari—mungkin telah mengambil bentuk mual atau membuatku mendengar hal-hal yang tidak ada?"  

"Tidak, aku tidak mengatakan itu," koreksiku. "Kamulah yang mengatakannya."  

"Hmm," katanya, meminum wiski dan menatap langit-langit.  

"Dan ada kemungkinan lain," kataku. "Salah satu teman yang kamu tipu mungkin menyewa detektif swasta untuk mengikutimu dan meneleponmu untuk memberikan pelajaran atau memperingatkanmu untuk mundur. Dan mual itu mungkin hanya kondisi sementara yang kebetulan terjadi bersamaan dengan telepon."  

"Hmm," katanya lagi. "Kedua-duanya masuk akal. Kurasa itu sebabnya kamu seorang penulis dan aku bukan. Tapi tetap, kalau teori soal detektif itu benar, toh aku tidak berhenti tidur dengan wanita-wanita itu, tapi teleponnya tiba-tiba berhenti. Kenapa bisa begitu? Itu tidak cocok."  

"Mungkin orang itu bosan, atau dia kehabisan uang untuk terus menyewa detektif. Bagaimanapun, itu hanya teori. Aku bisa memberikan ratusan teori seperti itu. Masalahnya adalah teori mana yang siap kamu terima. Dan apa yang kamu pelajari darinya."

"Belajar darinya?" dia balas. Dia menempelkan dasar gelas wiskinya ke dahinya selama beberapa detik. "Apa maksudmu dengan ‘belajar darinya’?"  

"Bagaimana cara menghadapinya jika itu terjadi lagi, tentu saja. Lain kali mungkin tidak akan berakhir dalam empat puluh hari. Hal-hal yang dimulai tanpa alasan bisa berakhir tanpa alasan. Dan sebaliknya juga bisa benar."

"Itu kata-kata yang sangat kejam," katanya sambil tertawa. Setelah serius lagi, dia melanjutkan, "Tapi aneh. Sampai kamu baru saja mengatakannya, aku tidak pernah terpikirkan. Bahwa itu mungkin terjadi lagi. Kamu pikir itu akan terjadi?"  

"Bagaimana aku tahu?"  

Dengan sesekali memutar gelasnya, dia meminum wiski beberapa teguk. Ketika gelasnya kosong, dia meletakkannya di meja dan meniup hidungnya ke tisu.  

"Mungkin lain kali," katanya, "itu mungkin saja terjadi pada orang lain. Pada dirimu, misalnya, Tuan Murakami. Ketika itu, kamu pun mungkin tidak merasa bersalah juga, kurasa."  


*


Dia dan aku telah bertemu beberapa kali sejak saat itu untuk saling bertukar rekaman yang jauh dari avant-garde dan menikmati minuman, mungkin dua atau tiga kali setahun. Aku bukan tipe orang yang menyimpan catatan harian, jadi aku tidak bisa mengatakan dengan pasti. Untungnya, baik dia maupun aku belum pernah dikunjungi oleh rasa mual atau telepon-telepon tersebut sejauh ini.[]



Cerpen ini saya terjemahkan dari Nausea 1979 terjemahan ke Inggris oleh Jay Rubin dalam kumcer Blind Willow, Sleeping Woman

Comments