Cerpen Haruki Murakami: Kaho

Cerpen Haruki Murakami: Kaho



"Aku sudah berkencan dengan banyak wanita sepanjang hidupku," kata pria itu, "tapi harus kukatakan aku belum pernah melihat yang sejelek dirimu."
Ini terjadi setelah mereka memakan hidangan penutup, sambil menunggu kopi disajikan.
Butuh beberapa saat bagi kata-katanya untuk meresap. Tiga, mungkin empat detik. Pernyataan itu muncul begitu saja, dan Kaho tidak bisa langsung membaca maksudnya. Saat pria itu mengucapkan kata-kata yang blak-blakan dan mengejutkan itu, dia tersenyum sepanjang waktu. Senyum yang lembut dan ramah. Tidak ada sedikit pun nada humor dalam ucapannya. Dia tidak sedang bercanda; dia benar-benar serius.
Satu-satunya cara yang terpikirkan oleh Kaho untuk bereaksi adalah mengambil serbet dari pangkuannya, melemparkannya ke atas meja, mengambil tasnya dari kursi di sampingnya, berdiri, dan, tanpa sepatah kata pun, meninggalkan restoran. Itu kemungkinan besar akan menjadi cara terbaik untuk menghadapi situasi tersebut.
Namun entah mengapa Kaho tidak bisa. Salah satu alasannya—yang baru terpikir kemudian—adalah karena dia benar-benar terkejut; alasan kedua adalah rasa ingin tahu. Dia marah—tentu saja. Bagaimana mungkin dia tidak marah? Namun, lebih dari itu, dia ingin tahu apa sebenarnya yang ingin dikatakan pria ini kepadanya. Apakah dia benar-benar seburuk itu? Dan apakah ada sesuatu di balik ucapannya?  
"Menyebutmu yang terjelek mungkin sedikit berlebihan," pria itu menambahkan setelah jeda. "Tapi kamu memang wanita paling biasa yang pernah aku temui, itu sudah pasti."  
Kaho mengerutkan bibirnya dan diam-diam mengamati wajah lelaki itu, matanya terpaku padanya.
Kenapa pria ini merasa perlu mengatakan hal seperti itu? Dalam kencan buta (seperti ini), kalau kamu tidak suka dengan orang yang kamu temui, bukankah cukup dengan tidak menghubunginya lagi setelahnya? Mudah saja. Mengapa harus menghina langsung di depan wajahnya?  
Pria itu mungkin sepuluh tahun lebih tua dari Kaho, tampan, dengan pakaian yang bersih dan rapi. Dia bukan tipe Kaho, meskipun terlihat seperti berasal dari keluarga baik-baik. Wajahnya fotogenik—itu mungkin cara paling tepat untuk menggambarkannya. Tambahkan beberapa sentimeter pada tinggi badannya, dan dia bisa saja menjadi aktor. Restoran yang dipilihnya pun nyaman dan bergaya, dengan hidangan yang lezat dan mewah. Dia bukan tipe yang cerewet, tetapi cukup baik dalam menjaga percakapan tetap mengalir—dan tidak ada momen canggung sama sekali. (Anehnya, saat Kaho mengingatnya kemudian, dia tidak bisa mengingat apa yang mereka bicarakan.) Selama makan malam, Kaho mulai merasa nyaman dengannya. Dia harus mengakuinya. Dan kemudian, tiba-tiba—ini. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?  
"Kamu mungkin merasa ini aneh," katanya dengan suara tenang, setelah dua cangkir espresso diantar ke meja mereka. Seolah-olah dia bisa membaca pikiran Kaho. Dia menjatuhkan gula batu kecil ke dalam espressonya dan mengaduknya pelan. "Kenapa aku menghabiskan makan malam sampai akhir dengan seseorang yang aku anggap jelek—atau mungkin lebih tepatnya, yang wajahnya tidak aku suka? Setelah meminum gelas pertama anggur, aku seharusnya bisa langsung mengakhiri malam ini. Bukankah membuang waktu satu setengah jam untuk makan malam tiga hidangan adalah hal yang sia-sia? Dan kenapa, di penghujung malam, aku harus mengatakan sesuatu seperti ini?"  
Kaho tetap diam, menatap wajah pria di seberang meja. Tangannya meremas serbet di pangkuannya dengan erat.  
"Aku pikir itu karena aku tidak bisa menahan rasa ingin tahu," kata pria itu. "Mungkin aku ingin tahu apa yang dipikirkan oleh wanita yang benar-benar biasa sepertimu, bagaimana hidupmu dipengaruhi oleh hal itu."  
Dan apakah rasa ingin tahu itu terjawab? pikir Kaho. Tentu saja, dia tidak mengatakannya dengan lantang.  
"Dan apakah rasa ingin tahuku terjawab?" tanya pria itu, setelah menyeruput kopinya. Tidak ada keraguan di sini: dia bisa membaca pikirannya. Seperti trenggiling yang menjilati sarang semut hingga bersih dengan lidahnya yang panjang dan tipis.  
Pria itu menggeleng sedikit dan meletakkan cangkirnya kembali ke tatakan. Dan menjawab pertanyaannya sendiri. "Tidak, tidak terjawab."  
Dia mengangkat tangannya, memanggil pelayan, dan membayar tagihan. Dia menoleh ke Kaho, membungkuk sedikit, lalu langsung keluar dari restoran. Dia bahkan tidak menoleh belakang.  

*

Sejujurnya, sejak kecil Kaho tidak pernah terlalu peduli pada penampilannya. Wajah yang dilihatnya di cermin tidak tampak baginya sebagai sesuatu yang cantik ataupun jelek. Wajah itu tidak membuatnya kecewa, juga tidak membuatnya senang. Ketidakpeduliannya terhadap wajahnya berasal dari keyakinan bahwa penampilannya tidak memengaruhi hidupnya sama sekali. Atau mungkin lebih tepatnya, dia tidak pernah punya kesempatan untuk tahu apakah penampilannya berpengaruh atau tidak. Dia adalah anak tunggal, dan kedua orang tuanya selalu memberinya kasih sayang yang tampaknya tidak ada hubungannya dengan seberapa cantik atau tidaknya ia.  
Selama masa remaja, Kaho tetap tidak peduli pada penampilannya. Kebanyakan teman perempuannya sibuk memikirkan penampilan mereka dan mencoba berbagai trik riasan untuk memperbaikinya, tapi dia tidak memahami dorongan itu. Dia hanya menghabiskan sedikit waktu di depan cermin. Satu-satunya tujuannya adalah menjaga tubuh dan wajahnya tetap bersih dan rapi. Dan itu tidak bukanlah tugas yang sulit.  
Dia bersekolah di SMA negeri yang muridnya campuran laki-laki dan perempuan, dan dia memiliki beberapa pacar. Jika anak-anak laki-laki di kelasnya diminta memilih teman sekelas perempuan favorit mereka, dia tidak akan pernah menang—dia bukan tipe seperti itu. Namun, entah bagaimana, di setiap kelas yang dia masuki, selalu ada satu atau dua anak laki-laki yang menunjukkan ketertarikan padanya. Kaho sama sekali tidak tahu apa yang membuat mereka tertarik padanya.  
Bahkan setelah lulus SMA dan mulai berkuliah di jurusan seni di Tokyo, dia jarang kekurangan pacar. Jadi, dia tidak pernah merasa perlu khawatir tentang apakah dia menarik atau tidak. Dalam pengertian itu, bisa dibilang dia cukup beruntung. Dia selalu merasa aneh bahwa teman-temannya yang jauh lebih cantik darinya sering kali terobsesi pada penampilan mereka, bahkan ada yang sampai menjalani operasi plastik mahal. Kaho sama sekali tidak bisa memahami hal itu.  
Jadi, ketika, tak lama setelah ulang tahunnya yang ke-26, seorang pria yang belum pernah dia temui sebelumnya dengan blak-blakan mengatakan bahwa dia jelek, Kaho merasa sangat bingung. Alih-alih merasa terkejut atas ucapannya, dia justru merasa resah dan kebingungan.  

*

Editor Kaho, seorang wanita bernama Machida, adalah orang yang mengenalkannya dengan pria itu. Machida bekerja di sebuah penerbit kecil di Kanda yang sebagian besar menerbitkan buku anak-anak. Dia empat tahun lebih tua dari Kaho, memiliki dua anak, dan menyunting buku anak-anak yang dibuat Kaho. Buku bergambar Kaho tidak terlalu laris, tetapi ditambah dengan pekerjaan lepas membuat ilustrasi untuk majalah, dia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Saat kencan itu, Kaho baru saja putus dengan seorang pria seusianya yang sudah lebih dari dua tahun berkencan dengannya, dan dia merasa sangat terpuruk. Perpisahan itu meninggalkan rasa yang tidak enak. Sebagian karena itu juga, pekerjaannya tidak berjalan dengan baik. Mengetahui situasi itu, Machida mengatur kencan buta untuknya. Mungkin ini bisa jadi penyegaran yang kamu butuhkan, katanya.  
Tiga hari setelah Kaho bertemu pria itu, Machida meneleponnya.  
"Jadi, bagaimana kencannya?" dia langsung bertanya tanpa basa-basi.  
Kaho memberikan jawaban samar, "Hmm," menghindari jawaban langsung, lalu balik bertanya. "Sebenarnya dia orang seperti apa sih?"  
Machida menjawab, "Sejujurnya, aku juga tidak tahu banyak tentang dia. Semacam teman dari teman, gitu. Seingatku dia hampir berusia empat puluh, lajang, dan bekerja di bidang investasi atau semacamnya. Dia berasal dari latar belakang keluarga yang baik, dan ahli dalam pekerjaannya. Tidak punya catatan kriminal, sejauh yang aku tahu. Aku pernah bertemu dia sekali dan berbicara selama beberapa menit. Menurutku dia tampan dan kelihatannya cukup menyenangkan. Memang sih, dia agak pendek. Tapi Tom Cruise juga nggak terlalu tinggi, kan? Meski aku juga belum pernah ketemu Tom Cruise langsung."  
"Tapi kenapa pria yang tampan, menyenangkan, dan ahli dalam pekerjaannya harus sampai repot-repot ikut kencan buta?" tanya Kaho. "Bukankah dia seharusnya punya banyak wanita yang mau berkencan dengannya?"  
Machida berkata, "Kurasa begitu. Dia sangat cerdas, efisien dalam pekerjaannya, tapi aku dengar kepribadiannya agak aneh. Aku sengaja tidak menyebutkan itu sebelumnya, karena aku tidak mau kamu punya prasangka buruk sebelum bertemu dengannya."  
"Agak aneh," Kaho mengulang kata-kata itu. Dia menggelengkan kepala. Bisakah itu benar-benar disebut hanya agak aneh?  
"Apakah kalian bertukar nomor telepon?" tanya Machida.  
Kaho terdiam sejenak sebelum menjawab. Bertukar nomor telepon? "Tidak, kami tidak melakukannya," jawabnya akhirnya.  

*

Tiga hari kemudian, Machida meneleponnya lagi.  
"Aku menelepon soal Tuan Sahara yang tampan. Kamu bisa bicara?" katanya. Sahara adalah nama pria yang menjadi teman kencan butanya. Pengucapannya sama seperti nama gurun pasir. Kaho meletakkan pena gambarnya dan memindahkan gagang telepon dari tangan kiri ke tangan kanan. "Tentu, silakan."  
"Tadi malam dia meneleponku," kata Machida. "Dia bilang dia ingin bertemu kamu lagi, dan bertanya apakah kalian bisa bicara. Dia terdengar cukup serius."  
Kaho tidak bisa menahan rasa terkejutnya dan terdiam sesaat. Dia ingin bertemu aku lagi supaya kami bisa bicara? Kaho hampir tidak percaya apa yang didengarnya.  
"Kaho-chan," kata Machida, terdengar khawatir. "Kamu mendengarku?"  
"Iya, aku mendengar," jawab Kaho.  
"Sepertinya dia menyukaimu. Jadi, apa yang harus aku sampaikan padanya?"  
Akal sehat mengatakan dia harus menolak. Bagaimanapun, pria itu sudah mengatakan hal-hal mengerikan langsung di depan wajahnya. Kenapa dia harus bertemu lagi dengan orang seperti itu? Tapi pada titik ini, Kaho belum bisa mengambil keputusan. Beberapa keraguan berkumpul di kepalanya, semuanya bercampur aduk.  
"Boleh aku memikirkannya dulu?" tanyanya pada Machida. "Aku akan meneleponmu lagi."  

*

Akhirnya, Kaho memutuskan untuk bertemu Sahara sekali lagi, Sabtu sore itu. Mereka sepakat untuk bertemu di siang hari, untuk waktu yang singkat, tanpa makan atau minum alkohol, di tempat yang tenang untuk berbicara, tetapi masih ada orang lain di sekitar—ini adalah syarat-syarat Kaho, yang disampaikan Machida kepadanya.  
"Syarat yang aneh untuk kencan kedua," komentar Machida. "Kamu sangat berhati-hati."  
"Sepertinya begitu," jawab Kaho.  
"Kamu tidak menyembunyikan kunci inggris di tasmu, kan?" kata Machida, lalu tertawa riang.  
Itu mungkin bukan ide yang buruk, pikir Kaho.  

*

Terakhir kali mereka bertemu, Sahara tampak seperti sedang dalam perjalanan pulang dari kantor, mengenakan setelan jas gelap dan dasi yang bagus. Tapi kali ini, dia memakai pakaian kasual akhir pekan—jaket kulit cokelat tebal, jeans slim, dan sepatu boots kerja yang sudah tampak usang. Kacamata hitam terselip di saku dadanya. Penampilannya cukup stylish.  
Kaho tiba sedikit lebih lambat dari waktu yang disepakati, dan ketika dia sampai di lobi hotel, Sahara sudah ada di sana, sedang mengetik pesan di ponselnya. Ketika dia melihat Kaho, sebuah senyuman tipis muncul di bibirnya, dan dia menutup penutup kulit ponselnya. Ada sebuah helm motor di kursi di sebelahnya.  
"Aku naik BMW 1800cc," kata Sahara. "Dari semua motor BMW, yang ini punya kapasitas mesin tertinggi, dan suaranya paling bagus, paling bertenaga."  
Kaho tidak mengatakan apa-apa. Aku sama sekali tidak peduli kamu naik motor BMW, sepeda roda tiga, atau gerobak sapi, gumamnya dalam hati.  
"Kupikir kamu sama sekali tidak tertarik dengan motor, tapi aku hanya mau menyebutkannya saja. Sekadar info," tambah Sahara.  
Orang ini tahu benar cara membaca pikiranku, pikir Kaho lagi.  
Seorang pelayan datang, dan Kaho memesan kopi. Sahara memesan teh chamomile.  
"Ngomong-ngomong, kamu pernah ke Australia?" tanya Sahara.  
Kaho menggeleng. Dia belum pernah ke Australia.  
"Kamu suka laba-laba?" tanya Sahara, membuat gerakan kipas di udara dengan kedua tangannya. "Arachnida? Yang berkaki delapan?"  
Kaho tidak menjawab. Dia sangat benci laba-laba, lebih dari apa pun, tetapi dia tidak berniat mengungkapkannya.  
Sahara berkata, "Waktu aku ke Australia, aku melihat laba-laba seukuran sarung tangan baseball. Hanya melihatnya saja sudah membuatku merinding. Membuatku gemetar. Tapi orang lokal justru menyambut mereka masuk ke rumah. Kamu tahu kenapa?"  
Kaho tetap diam.  
"Karena mereka aktif di malam hari dan memakan kecoak. Mereka semacam serangga yang bermanfaat. Tapi tetap saja, bayangkan punya laba-laba yang memakan kecoak. Aku selalu takjub dengan betapa pintar dan megahnya struktur rantai makanan ini."  
Kopi dan teh herbal mereka datang, dan untuk beberapa saat keduanya duduk diam di depan minuman mereka tanpa berbicara.  
"Kupikir kamu pasti merasa agak aneh," kata Sahara setelah beberapa menit, dengan nada formal. "Bahwa aku ingin bertemu kamu lagi seperti ini."  
Lagi-lagi Kaho tidak menjawab. Dia tidak berani.  
"Dan aku harus bilang, aku benar-benar terkejut kamu mau bertemu aku lagi," kata Sahara. "Aku merasa bersyukur, tapi aku heran kamu mau menyetujui ini setelah hal kasar yang aku katakan. Tidak—apa yang aku katakan bahkan lebih dari kasar. Itu penghinaan yang tidak termaafkan, yang menginjak-injak martabat seorang wanita. Ketika aku mengatakan itu pada wanita, sebagian besar dari mereka tidak pernah mau bertemu aku lagi. Dan itu memang wajar, sebenarnya."  
Kebanyakan dari mereka—Kaho mengulangi kata-kata itu dalam pikirannya. Itu membuatnya terkejut.  
"Kebanyakan dari mereka?" katanya, berbicara untuk pertama kalinya. "Maksudmu, kamu sudah mengatakan hal yang sama ke semua wanita yang kamu temui? Maksudmu..."  
"Benar sekali," Sahara mengakui dengan mudah. "Aku mengatakan hal yang persis sama ke semua wanita yang aku temui: ‘Aku belum pernah melihat orang sejelek kamu.’ Biasanya saat kami sedang menikmati makan malam dan hidangan penutup baru saja disajikan. Dalam hal seperti ini, waktu adalah segalanya."  
"Tapi kenapa?" tanya Kaho dengan suara kering. "Kenapa kamu harus melakukan hal seperti itu? Aku tidak mengerti. Kamu menyakiti orang tanpa alasan? Kamu menghabiskan waktu dan uang hanya untuk menghina mereka?"  
Sahara memiringkan kepalanya sedikit dan berkata, "Kenapa—itulah pertanyaan sebenarnya. Terlalu rumit untuk dijelaskan. Sebagai gantinya, kenapa kita tidak bicara tentang efek dari pernyataan seperti itu. Yang selalu mengejutkanku adalah reaksi para wanita yang aku katakan hal itu. Kamu mungkin berpikir bahwa, setelah mendengar kata-kata mengerikan seperti itu langsung di wajah mereka, kebanyakan orang akan marah besar, atau tertawa saja. Dan memang ada orang yang seperti itu. Tapi tidak banyak, sebenarnya. Mayoritas wanita... hanya merasa terluka. Dalam, dan untuk waktu yang lama. Untuk beberapa kasus, mereka mengucapkan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang sulit dimengerti."  
Keheningan menyelimuti mereka untuk sementara waktu. Setelah beberapa saat, Kaho memecahkannya. "Dan kamu bilang kamu menikmati melihat reaksi itu?"  
"Tidak, aku tidak menikmatinya. Aku hanya merasa itu aneh. Bagaimana wanita-wanita yang jelas-jelas cantik, atau setidaknya di atas rata-rata, ketika diberi tahu bahwa mereka jelek, betapa luar biasa gelisah atau terluka mereka."  
Kopi yang belum dia sentuh, uapnya yang naik perlahan, mulai mendingin.  
"Aku pikir kamu sakit," kata Kaho tegas.  
Sahara mengangguk. "Kurasa begitu. Kamu mungkin benar. Aku mungkin sakit. Bukan untuk membenarkan diriku, tapi di mata orang yang sakit, dunia ini bahkan lebih sakit. Betul, kan? Dengar—sekarang ini orang sangat keras menentang standar kecantikan. Kebanyakan orang dengan lantang mencela kontes kecantikan. Sebut kata ‘wanita jelek’ di depan umum dan kamu akan dipukuli. Tapi lihat TV. Dan majalah. Mereka penuh dengan iklan kosmetik, operasi plastik, dan perawatan spa. Bagaimanapun kamu melihatnya, itu standar ganda yang konyol dan tidak masuk akal. Sebuah lelucon, sungguh."  
"Tapi itu tidak membenarkan menyakiti orang lain tanpa alasan, kan?" balas Kaho.  
"Ya, kamu benar," kata Sahara. "Aku memang sakit. Itu fakta yang tidak bisa disangkal. Tapi, tergantung bagaimana kamu melihatnya, menjadi sakit juga bisa menyenangkan. Orang yang sakit punya tempat khusus mereka sendiri yang hanya bisa dinikmati oleh mereka. Seperti Disneyland bagi orang-orang yang terganggu. Dan, untungnya bagiku, aku punya waktu dan uang untuk menikmati tempat itu."  
Tanpa berkata apa-apa, Kaho berdiri. Sudah waktunya untuk mengakhiri ini. Dia tidak bisa lagi berbicara dengan pria ini.  
"Tunggu sebentar," kata Sahara pada Kaho ketika dia berdiri. "Bisa kah kamu memberiku sedikit lagi waktumu? Tidak lama kok. Lima menit saja cukup. Aku ingin kamu tetap di sini dan mendengarkanku."  
Kaho ragu selama beberapa detik, lalu duduk kembali. Dia sebenarnya tidak mau, tapi ada sesuatu dalam suara pria itu yang sulit dia tolak.  
"Apa yang ingin aku katakan padamu adalah bahwa reaksimu berbeda dari siapa pun," kata Sahara. "Ketika kamu diserang dengan kata-kata mengerikan itu, kamu tidak panik, tidak merespons dengan marah, tidak menertawakannya, dan tidak terlihat terlalu terluka karenanya. Tanpa membiarkan emosi-emosi klise itu menguasaimu, kamu hanya memandangku. Seolah-olah kamu sedang mempelajari bakteri di bawah mikroskop. Kamu satu-satunya yang pernah bereaksi seperti itu. Aku terkesan. Dan aku berpikir, kenapa wanita ini tidak merasa terluka? Jika ada sesuatu yang benar-benar bisa melukainya, lalu apa itu?"  
"Jadi kamu melakukan ini," kata Kaho, "mengatur pertemuan-pertemuan rumit ini, berulang kali, hanya untuk melihat reaksi wanita? Hanya itu?"  
Pria itu mengangguk pelan. "Tidak terlalu banyak sebenarnya. Hanya ketika ada kesempatan. Aku tidak pernah menggunakan aplikasi kencan atau semacamnya. Hal-hal yang terlalu sederhana itu membosankan. Orang-orang yang aku kenal memperkenalkan aku, dan aku hanya bertemu wanita yang latar belakangnya aku ketahui. Pendekatan kuno, seperti perjodohan, adalah yang terbaik. Metode lama. Itu yang aku anggap menarik."  
"Dan kemudian kamu menghina wanita itu?" kata Kaho.  
Sahara tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, yang segera menghilang. Dia menaruh tangannya di depan dadanya, menatapnya untuk beberapa saat. Seolah-olah memeriksa apakah ada perubahan di garis-garis telapak tangannya.  
"Aku bertanya-tanya apakah kamu mau ikut naik motor denganku," katanya sambil menatap ke atas. "Aku membawa helm tambahan untukmu. Cuaca hari ini bagus, dan kita bisa menikmati jalan-jalan santai. Aku baru saja melewati 5000 kilometer di odometerku, dan mesin yang sangat dibanggakan BMW itu sudah disetel dengan sempurna."  
Kemarahan yang tak terbendung mendidih dalam diri Kaho. Sudah cukup lama sejak terakhir kali dia merasa semarah ini. Atau mungkin ini pertama kalinya. Kita bisa menikmati jalan-jalan santai? Apa yang dia pikirkan? 
"Aku tidak mau," kata Kaho, menahan emosinya, suaranya setenang mungkin. "Kamu tahu apa hal nomor satu yang ingin aku lakukan sekarang?"  
Sahara menggeleng. "Apa itu?"  
"Menjauh darimu, sejauh mungkin. Dan membersihkan kotoran yang menempel di diriku."  
"Aku mengerti," kata Sahara. "Memang begitu. Yah, kurasa kali ini aku harus menyerah menikmati jalan-jalan. Tapi menurutmu gimana? Kamu pikir keinginan untuk menjauh dariku itu akan berhasil?"  
"Apa maksudmu?"  
Di suatu tempat, seorang bayi menangis. Pria itu melirik ke arah suara itu, lalu menatap Kaho langsung.  
"Sebentar lagi, aku rasa kamu akan mengerti," katanya. "Begitu aku tertarik pada seseorang, aku tidak melepaskannya dengan mudah. Dan mungkin ini mengejutkan bagimu, tapi, dalam hal jarak, kita sebenarnya tidak sejauh itu, kamu dan aku. Lihat, orang-orang tidak bisa melarikan diri dari struktur rantai makanan itu. Tidak peduli seberapa besar mereka tidak ingin melihatnya, bahkan jika mereka tidak ingin terlibat dengannya. Memakan sesuatu dan dimakan adalah dua sisi dari koin yang sama. Depan dan belakang, kredit dan debit. Begitulah dunia ini. Kita mungkin, aku rasa, akan bertemu lagi di suatu tempat."  

*

Seharusnya aku tidak pernah bertemu pria ini lagi, pikir Kaho. Dia yakin akan hal itu saat dia melangkah cepat menuju pintu keluar. Ketika Machida meneleponku waktu itu, aku seharusnya membuatnya jelas. "Tidak, terima kasih," seharusnya aku bilang. "Aku tidak ingin bertemu orang itu lagi."  
Rasa penasaran. Rasa penasaranlah yang membawaku ke sini. Aku rasa aku ingin tahu apa sebenarnya tujuan pria ini, apa yang dia inginkan. Aku rasa aku ingin mengetahuinya. Tapi itu kesalahan. Dia menggunakan rasa penasaran sebagai umpan untuk menarikku dengan cerdik, seperti laba-laba.  
Punggungnya merinding. Aku ingin pergi ke tempat yang hangat, pikirnya. Keinginannya tak bisa lebih kuat lagi. Sebuah pulau selatan, dengan pantai berpasir putih. Berbaring di sana, menutup mata, mematikan pikiranku, dan membiarkan sinar matahari membasuhku.  

*

Beberapa minggu berlalu. Tentu saja, Kaho ingin secepat mungkin menyingkirkan segala pikiran tentang pria itu, Sahara, dari benaknya. Menyingkirkan episode tak berarti ini—hal yang sama sekali tak ada hubungannya dengan hidupnya—ke suatu tempat yang tak akan pernah dia lihat lagi. Namun, saat dia bekerja di mejanya pada malam hari, wajah pria itu tiba-tiba muncul di pikirannya, tak terduga. Dengan senyuman samar, dia memandang tanpa alasan pada jari-jari panjang dan lembutnya.
Dia mulai menghabiskan lebih banyak waktu di depan cermin, jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Dia berdiri di depan cermin kamar mandi, memeriksa setiap detail wajahnya dengan hati-hati, seolah-olah memastikan ulang siapa dirinya. Dan dia menyadari bahwa dia tidak terlalu tertarik pada semua itu. Ini jelas wajahnya, tetapi dia tidak menemukan apa pun yang menentukan bahwa wajah itu harus miliknya. Dia bahkan mulai iri pada teman-temannya yang telah melakukan operasi plastik. Mereka tahu—atau setidaknya percaya bahwa mereka tahu—bagian wajah mana, yang diubah melalui bedah, akan membuat mereka lebih cantik, lebih puas dengan penampilan mereka.
Hidupku sendiri mungkin sedang melakukan balas dendam yang cerdik padaku, dia tak bisa berhenti memikirkan hal ini. Ketika saatnya tiba, hidupku mungkin hanya akan mengambil apa yang menjadi utangku. Kredit dan debit. Kaho menyadari bahwa jika dia tidak pernah bertemu pria itu, Sahara, dia tidak akan pernah berpikir seperti ini. Dia mungkin telah menunggu dengan sabar, selama ini, agar aku muncul di depannya, pikirnya. Seperti laba-laba besar yang menunggu mangsanya dalam kegelapan.

*

Sesekali, sebuah motor besar melaju cepat di jalan di luar apartemennya larut malam, saat semua orang sedang tidur. Setiap kali dia mendengar deru rendah yang kering, detak drum mesin itu, tubuhnya bergetar sedikit. Napasnya menjadi berat, dan keringat dingin mengalir dari ketiaknya.
"Aku membawa helm tambahan untukmu," kata pria itu.
Dia membayangkan dirinya duduk di belakang motor BMW itu. Dan dia membayangkan ke mana mesin bertenaga itu akan membawanya. Ke tempat seperti apa motor itu akan membawaku?
"Dalam hal jarak, kita sebenarnya tidak terlalu jauh, kamu dan aku," kata pria itu.

*

Enam bulan setelah kencan buta yang aneh itu, Kaho menulis buku anak-anak baru. Suatu malam, dia bermimpi dirinya berada di dasar laut yang dalam, dan ketika terbangun dia merasa seolah-olah tiba-tiba dilempar ke permukaan, melayang dari dasar laut. Dia langsung menuju mejanya dan menulis cerita itu. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.
Cerita itu tentang seorang gadis yang pergi mencari wajahnya. Pada suatu titik, gadis itu kehilangan wajahnya; seseorang telah mencurinya saat dia sedang tidur. Jadi dia harus melakukan sesuatu untuk mendapatkannya kembali.
Namun dia sama sekali tidak ingat seperti apa wajahnya dulu. Dia bahkan tidak tahu apakah wajah itu cantik atau jelek, bulat atau tirus. Dia bertanya pada orang tuanya, saudara-saudaranya, tetapi entah bagaimana tak ada yang bisa mengingat seperti apa wajahnya. Atau mungkin tak ada yang mau memberitahunya.
Jadi gadis itu memutuskan untuk memulai perjalanan mencari wajahnya sendirian. Untuk sementara, dia menemukan sebuah wajah yang cocok untuknya, dan menempelkannya di tempat wajahnya seharusnya. Tanpa wajah apa pun, orang-orang yang dia temui di sepanjang perjalanan akan menganggapnya aneh.
Gadis itu berjalan ke seluruh dunia. Mendaki gunung tinggi, menyeberangi sungai dalam, melintasi gurun luas, dan berhasil melewati hutan liar. Dia yakin bahwa jika dia menemukan wajahnya, dia akan langsung mengenalinya. Karena ini adalah bagian penting dari keberadaanku, katanya pada dirinya sendiri. Saat dia melakukan perjalanan, dia bertemu banyak orang, dan mengalami berbagai pengalaman aneh. Dia hampir diinjak kawanan gajah, diserang laba-laba hitam besar, hampir ditendang oleh kuda liar.
Waktu berlalu lama saat dia berjalan ke mana-mana, memeriksa banyak wajah, tetapi dia tidak pernah menemukan wajahnya sendiri. Yang dia lihat selalu wajah orang lain. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dan sebelum dia menyadarinya, dia tidak lagi seorang gadis kecil melainkan seorang wanita dewasa. Apakah dia tidak akan pernah bisa menemukan wajahnya lagi? Dia jatuh ke dalam keputusasaan.
Saat dia duduk di ujung tanjung di negeri utara, menangis dalam keputusasaan total, seorang pemuda tinggi dengan mantel bulu muncul dan duduk di sampingnya. Rambut panjangnya melambai lembut tertiup angin dari laut. Pemuda itu menatap wajahnya dan, dengan senyum lebar, berkata: "Aku belum pernah melihat wanita dengan wajah seindah wajahmu."
Pada saat itu, wajah yang dia tempelkan telah menjadi wajah aslinya. Semua pengalaman, emosi, dan pemikiran yang dia alami telah bersatu untuk menciptakan wajah itu. Itu adalah wajahnya, dan hanya miliknya. Dia dan pemuda itu menikah, dan hidup bahagia di negeri utara itu.
Entah kenapa—dan Kaho sendiri tidak tahu mengapa—buku ini tampaknya membangkitkan sesuatu dalam hati anak-anak, terutama gadis-gadis remaja awal. Para pembaca muda ini dengan penuh semangat mengikuti petualangan dan cobaan gadis itu saat dia menjelajahi dunia luas untuk mencari wajahnya. Dan ketika, pada akhirnya, gadis itu menemukan wajahnya dan menemukan kedamaian batin, para pembaca menghela napas lega. Tulisan Kaho sederhana, ilustrasinya simbolis, berupa gambar garis monokrom.
Dan kisah itu—proses menulis dan mengilustrasikannya—membawa semacam penyembuhan emosional bagi Kaho sendiri. Aku bisa hidup di dunia ini sebagai diriku sendiri, apa adanya, dia menyadari. Tidak ada yang perlu ditakuti. Mimpi yang dia lihat di dasar laut telah mengajarkannya itu. Kecemasan yang dia rasakan di tengah malam semakin memudar. Meskipun dia tak bisa mengatakan kecemasan itu hilang sepenuhnya.
Buku itu terjual dengan stabil melalui dari mulut ke mulut, dan mendapat ulasan bagus di surat kabar. Machida sangat senang.
"Aku rasa buku anak-anak ini mungkin menjadi best-seller jangka panjang. Aku hanya punya firasat seperti itu," kata Machida. "Gayanya benar-benar berbeda dari buku-bukumu yang lain, yang awalnya membuatku terkejut. Tapi aku penasaran, dari mana kamu mendapatkan ide untuk buku ini?"
Setelah memikirkan sejenak, Kaho menjawab. "Dari tempat yang sangat gelap dan dalam," katanya.[]


Cerpen ini diterjemahkan dari terjemahan Inggris oleh Philip Gabriel yang dimuat di The New Yorker tanggal 8 dan 15 Juli 2024.

Comments