Wednesday, March 8, 2017

Ke Loksado, Lagi #2: Air Terjun Haratai


Hari kedua, Hari Jumat. Habis shalat Jumat barulah kami memutuskan untuk jalan-jalan lagi, yaitu ke Air Terjun Haratai.
Aku belum pernah kesana sebelumnya, padahal air terjun ini terkenal sudah sangat lama karena ketinggiannya yang mencapai kurang lebih 13 meter, ditambah dengan debit airnya yang selalu banyak.
Dari jalan utama, kami menyeberangi jembatan gantung, jalan kemudian berubah jadi jalan setapak yang sudah dicor semen, yang sudah rusak parah. Beruntung saat itu hari cerah, sehingga jalan tidak licin. Sepanjang jalan kami diiringi oleh suara gemerisik air sungai Amandit yang mengalir deras di antara bebatuan dan sejuknya hutan Loksado. Beberapa kali kami juga harus melewati jembatan gantung. Ada pula perkampungan kecil warga suku Dayak yang mengisi waktu senggang dengan mengupas kayu manis. Sekitar satu jam, Air Terjun Haratai tampil menyambut kami.


Dari jauh, suara air yang jatuh sudah terdengar. Dan aku terpana sesaat ketika air terjun itu tepat di depan mata. Karena musim hujan, debit airnya banyak sekali. Pada telaga di bawah air terjun itu, air tampak berputar-putar dan mengalir sangat deras. Sementara percikannya terasa seperti embun. Indah, dan mengerikan. 

Aku dan Ansari sepakat, bahwa berenang di sana, pasti sangat berbahaya. Kami mengurungkan niat kami untuk berenang, jadi kami hanya foto-foto. Aku berkeliling untuk mencari angle yang bagus. 

Setelah cukup lama, kulihat Ansari mepelas baju, dan memberanikan diri untuk bercebur. 
"Yakin?" tanyaku.
"Di pinggir sini saja."
Melihat Ansari asik mandi, aku tak bisa menahan godaan untuk ikutan menceburkan diri.
Air di telaga ini sangat dingin, seperti air es. Airnya yang deras juga berkali-kali hampir menyeretku. Akhirnya aku tak berani berlama-lama dan segera naik. Kalau terseret ke bawah, apalagi kalau sampai terputar-putar dalam arus di bawahnya, pasti akan sangat sulit meloloskan diri.



Puas menikmati (foto-foto) Air Terjun Haratai, kami pulang. Jalan pulang terasa lebih singkat. Saat tiba di rumah Ansari, jam sudah menunjuk angka lima. Aku minum kopi dan menyantap kue hangat yang tersedia. Habis tiga, aku berterima kasih pada sepupuku, suaminya, dan anak-anaknya, terutama Ansari, dan berpamitan untuk kemudian menginap di rumah keluargaku yang lain di Rantau. Besok siang, aku sudah dinas lagi. Liburan berakhir. Waktu terasa cepat berlalu. 

No comments:

Post a Comment