Orang Hidup Sibuk Sekali




Soe Hok Gie pernah menulis, nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, dan yang kedua dilahirkan tapi mati muda.

Saya membaca ini sudah lama sekali, sewaktu masih kuliah. Saat itu saya tidak begitu merenungkannya. Saya berpikir barangkali dia menulis itu hanya karena dorongan pesimisme, atau hasil dari paham nihilisme, atau hanya malas saja, atau sebagai pemicu agar para pemuda berani berjuang tanpa takut mati. Entahlah. Dunia memang sakit, tapi lahir, hidup, dan mati beda hal lagi. Manusia butuh berjuang, sesakit apa pun dunia.

Lalu hari ini, setelah malam tadi membaca tentang Daniel Kahneman yang euthanasia satu tahun lalu (sungguh hebat sistem 2 Anda, pak Kahneman!), saya merenungkannya lagi. 

Saya membayangkan bagaimana puluhan juta sel sperma berjuang untuk menyatu dengan sel telur. Hanya satu yang berhasil. Yah, meskipun pada kasus lain terkadang ada dua atau tiga, atau bahkan tidak ada yang berhasil. Lalu si pemenang mendapat hadiah kehidupan. Sebuah anugerah. Berkah. Rahmat. Puluhan juta sisanya yang gagal tersingkir dari siklus kehidupan sebagai pecundang. Tapi benarkah hidup adalah karunia? Atau jangan-jangan ia justru bencana? Bagaimana jika puluhan juta sisanya itulah yang sebenarnya paling beruntung di sini?

Saya lalu membayangkan seorang guru mata pelajaran paling membosankan sedang berdiri di hadapan puluhan murid. Saat itu jam dua siang. Murid-murid sudah mengantuk dan kelelahan. Papan tulis di kelas itu penuh tulisan. Sang guru bilang butuh satu orang untuk menghapus papan tulis. Tapi tidak ada murid yang mau bergerak jadi sukarelawan. Akhirnya si guru menunjuk seorang murid yang badannya paling tinggi. Dengan terpaksa si murid tertinggi tadi berdiri dan maju ke depan. Murid-murid lain merasa lega, dan dalam hati bergumam: alangkah beruntungnya aku....

Sedangkan hidup, tentunya jauh lebih sulit dari sekadar menghapus papan tulis. Banyak sekali tugas yang dibebankan pada mereka yang 'diberkahi' kehidupan ini. Orang hidup harus makan makanan sehat, harus rajin olahraga, harus buang air, harus menjaga keberlangsungan spesies, menjaga koloni, harus bekerja, harus belajar fisika, harus bayar pajak, harus menabung, harus menuruti atasan, harus beli baju, harus posting foto di sosmed, harus punya rumah, harus membaca berita terkini, harus percaya Tuhan, harus mengimani Nabi-Nabi, harus beribadah, harus liburan, harus bangun pagi, harus tidur, harus melahirkan, seorang ibu harus menyusui bayi, seorang bayi harus menyusu, umur satu tahun harus bisa berdiri, harus bisa bilang mama-papa, dua tahun harus bisa membadakan warna merah, warna kuning, warna hijau, harus bisa menyanyi balonku ada lima, tujuh tahun harus bisa menulis dan membaca, harus mencurahkan cinta, harus mencari makna kehidupan, harus jadi orang sukses, harus jadi orang baik, bahkan seringkali harus jadi orang jahat, harus mencuri, harus korupsi, harus menipu, harus menjilat, harus bahagia, harus bersedih. Alangkah sibuk. Alangkah berat. Sulit menyebut semua itu sebagai anugerah.

Dan untuk apa semua itu? Kehidupan setelah kematian? Untuk surga? Bagaimana dengan mereka yang tidak dijanjikan surga? Betapa sialnya. Anda mengerjakan banyak tugas untuk kelangsungan spesies Anda hanya untuk dihukum di neraka. Dan bagaimana jika tidak ada kehidupan setelah kematian manusia, sebagaimana (mungkin) tidak ada kehidupan setelah kematian burung, kucing, gajah, dinosaurus, pohon, jamur, lumut, bakteri, atau virus (betapa ramainya surga kalau semua makhluk hidup bangkit lagi!)?

Maka bisa jadi, nasib terbaik, memang, adalah tidak pernah dilahirkan, dan yang kedua dilahirkan tapi mati muda.

Comments