Mereka menemukan restoran kecil itu secara tidak sengaja. Senja itu adalah senja pertama mereka di Singapura, dan mereka sedang berjalan di dekat pantai ketika, didorong secara naluri, mereka masuk ke jalan kecil dan kebetulan melewati tempat itu.
Restoran itu berupa bangunan satu lantai yang dikelilingi oleh dinding bata setinggi pinggang, dengan taman berisi pohon-pohon palem kecil dan lima meja kayu. Bangunan utamanya yang diplester dicat dengan warna merah muda cerah. Setiap meja memiliki payung yang warnanya telah memudar, terbuka di atasnya. Masih terlalu awal, dan tempat itu nyaris kosong. Hanya ada dua pria tua berambut pendek, tampaknya orang Tionghoa, duduk saling berhadapan, minum bir, dan makan berbagai camilan tanpa berkata apa pun. Mereka sama sekali tidak berbicara satu sama lain. Di tanah dekat kaki mereka, seekor anjing hitam besar berbaring dengan lelah, matanya setengah tertutup. Sebuah jejak uap yang hampir tak terlihat keluar dari jendela dapur, membawa aroma masakan yang menggoda. Suara ceria para juru masak terdengar dari dalam, bersama dengan suara benturan panci dan wajan. Daun-daun palem di pohon, bergetar oleh angin sepoi-sepoi, terlihat jelas di bawah matahari yang hampir tenggelam.
Si wanita berhenti, menikmati pemandangan tersebut.
"Bagaimana kalau kita makan malam di sini?" tanyanya.
Si pria membaca nama restoran di pintu masuk dan mencari menu. Tapi tidak ada menu yang dipajang di luar. Dia berpikir sejenak.
"Hmm. Aku tidak yakin. Kamu tahu kan, makan di tempat yang kita tidak yakin di negara asing."
"Tapi aku punya indera keenam soal restoran. Aku selalu bisa mencium tempat yang benar-benar bagus. Dan yang ini pasti hebat. Aku jamin itu. Kenapa kita tidak mencobanya?"
Pria itu memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Dia tidak tahu jenis makanan apa yang mereka buat di sini, tapi harus diakui, aromanya memang cukup menggoda. Dan restoran itu sendiri punya daya pikatnya tersendiri.
"Tapi menurutmu ini higienis?"
Wanita itu menarik lengannya.
"Kamu terlalu sensitif. Jangan khawatir. Kita sudah terbang jauh-jauh ke sini, jadi kita harus sedikit lebih berani. Aku tidak mau makan di restoran hotel setiap hari. Itu membosankan. Ayo, coba saja."
*
Setelah masuk, mereka menyadari bahwa tempat itu berspesialisasi dalam hidangan kepiting. Menu ditulis dalam bahasa Inggris dan Tionghoa. Sebagian besar pelanggan adalah penduduk lokal, dan harganya cukup terjangkau. Menurut menu, Singapura memiliki puluhan jenis kepiting, dengan lebih dari seratus macam hidangan berbahan dasar kepiting.
Pasangan muda-mudi itu memesan bir Singapura, dan setelah melihat-lihat pilihan yang tersedia, mereka memilih beberapa hidangan kepiting untuk dibagi. Porsi makanannya besar, bahan-bahannya segar, dan bumbunya pas.
"Ini benar-benar enak," kata pria itu, terkesan.
"Tuh kan? Apa kubilang? Sudah kubilang aku punya kekuatan untuk menemukan restoran yang terbaik. Sekarang kamu percaya kan?"
"Ya, aku harus mengakuinya," jawab pria muda itu.
"Kekuatan seperti ini benar-benar berguna," kata wanita itu. "Kamu tahu, makan itu jauh lebih penting daripada yang kebanyakan orang pikirkan. Ada saat dalam hidupmu ketika kamu benar-benar butuh sesuatu yang super lezat. Dan ketika kamu berdiri di persimpangan itu, seluruh hidupmu bisa berubah, tergantung pada pilihanmu—restoran yang enak atau yang mengerikan. Ini seperti—apakah kamu jatuh di sisi pagar yang ini, atau di sisi yang lain."
"Menarik," kata pria itu. “Ternyata hidup bisa semenakutkan gitu, ya?”
"Betul sekali," jawab wanita itu, sambil mengacungkan jarinya dengan nakal. "Hidup itu sesuatu yang menakutkan. Lebih dari yang bisa kamu bayangkan."
Pemuda itu mengangguk. "Dan kita kebetulan jatuh di sisi dalam pagar, bukan?"
"Tepat sekali."
"Baguslah kalau begitu," kata si pria dengan tenang. "Kamu suka kepiting?"
"Mm, aku selalu suka kepiting. Bagaimana denganmu?"
"Suka. Aku tidak keberatan makan kepiting setiap hari."
"Poin baru yang kita ternyata sama," katanya sambil tersenyum lebar.
Pria itu tersenyum, dan keduanya mengangkat gelas mereka untuk bersulang lagi.
"Besok kita harus ke sini lagi," katanya. "Pasti tidak banyak tempat seperti ini di dunia. Maksudku, ini sangat lezat—dan lihat harganya."
*
Selama tiga hari berikutnya, mereka makan malam di restoran kecil itu. Paginya, mereka pergi ke pantai untuk berenang dan berjemur, lalu jalan-jalan menyusuri kota dan membeli suvenir di toko kerajinan lokal. Setiap malam pada waktu yang sama, mereka kembali ke restoran kecil di gang, mencoba berbagai hidangan kepiting, lalu kembali ke kamar hotel mereka untuk bercinta dengan santai, kemudian tertidur dengan lelap tanpa mimpi. Setiap hari terasa seperti surga. Si wanita berusia dua puluh enam dan mengajar bahasa Inggris di sekolah menengah khusus perempuan. Sementara si pria berusia dua puluh delapan dan bekerja sebagai auditor di sebuah bank besar. Hampir seperti keajaiban mereka bisa berlibur pada waktu yang sama, dan mereka ingin menemukan tempat di mana tidak ada yang mengganggu mereka, di mana mereka bisa benar-benar menikmati waktu bersama. Mereka berusaha menghindari topik apa pun yang bisa merusak suasana dan momen berharga mereka.
Pada hari keempat—hari terakhir liburan mereka—seperti biasa, mereka makan kepiting di malam hari. Sembari menyendok daging dari kaki kepiting dengan alat logam, mereka berbicara tentang betapa berada di sini, berenang setiap hari di pantai, makan kepiting sampai puas di malam hari, membuat kehidupan di Tokyo terasa tidak nyata dan sangat jauh. Hampir semua yang mereka obrolkan adalah tentang liburan ini. Terkadang, keheningan meliputi makan malam mereka, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Namun itu bukanlah keheningan yang tidak menyenangkan. Bir dingin dan kepiting panas mengisi kekosongan itu dengan baik.
Mereka meninggalkan restoran dan berjalan kembali ke hotel, lalu seperti biasa, menutup hari mereka dengan bercinta. Cinta yang tenang, tetapi memuaskan. Mereka berdua mandi dan segera tertidur.
Namun, tidak lama setelah itu, si pria muda terbangun dengan perasaan tidak enak. Dia merasa seperti menelan awan keras. Bergegas dia ke kamar mandi, membungkuk di atas toilet, lantas memuntahkan isi perutnya. Perutnya penuh dengan daging kepiting putih. Dia tidak sempat menyalakan lampu, tetapi dalam cahaya bulan yang mengambang di atas laut, dia bisa melihat isi toilet. Dia menarik napas dalam-dalam, menutup mata, dan membiarkan waktu berlalu. Kepalanya kosong, dan dia tidak bisa membentuk satu pikiran pun. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu. Gelombang mual berikutnya menyerangnya, dan lagi-lagi dia memuntahkan apa pun yang tersisa di perutnya.
Ketika dia membuka mata, dia melihat gumpalan putih dari apa yang dia muntahkan mengapung di air toilet. Jumlah yang sangat besar. "Sial, banyak sekali kepiting yang kumakan!" pikirnya, setengah kagum. Makan sebanyak ini hari demi hari—tidak heran aku sakit. Bagaimanapun, ini terlalu banyak kepiting. Dua atau tiga tahun jatah kepiting dalam empat hari.
Saat dia menatap, dia menyadari bahwa gumpalan yang mengapung di toilet tampak sedikit bergerak. Awalnya dia pikir itu hanya imajinasinya. Cahaya bulan yang redup pasti menciptakan ilusi. Sesekali awan yang lewat menutupi bulan, membuat semuanya, untuk sesaat, lebih gelap dari sebelumnya. Pria muda itu menutup matanya, menarik napas panjang perlahan, dan membuka matanya lagi. Itu bukan ilusi. Gumpalan daging itu jelas bergerak. Seperti kerutan yang berputar-putar, permukaan daging itu menggeliat. Pemuda itu berdiri dan menyalakan lampu kamar mandi. Dia mendekati gumpalan daging itu dan melihat bahwa yang bergetar di permukaan adalah cacing-cacing kecil yang tak terhitung jumlahnya. Cacing-cacing kecil yang warnanya sama dengan daging kepiting, jutaan jumlahnya, menempel di permukaan daging.
Sekali lagi dia memuntahkan semuanya dari perutnya. Tapi tidak ada yang tersisa, dan perutnya seolah mengkerut hingga sebesar kepalan tangan. Empedu hijau pahit keluar, diperas dari ususnya. Tidak puas dengan ini, dia menelan obat kumur dan memuntahkannya kembali. Dia menyiram isi toilet, menyiram berulang kali untuk memastikan semuanya hilang. Lalu dia mencuci wajahnya di wastafel, menggunakan handuk putih segar untuk menggosok keras sekitar mulutnya, dan menyikat giginya dengan saksama. Dia meletakkan tangannya di wastafel dan menatap bayangannya di cermin. Wajahnya terlihat tirus, berkerut, kulitnya berwarna seperti tanah. Dia tidak percaya ini benar-benar wajahnya. Dia tampak seperti pria tua yang kelelahan.
Dia meninggalkan kamar mandi, bersandar di pintu, dan melihat ke kamar tidur. Pacarnya sedang tidur di tempat tidur, terlelap. Dengan wajah yang tenggelam dalam bantal, ia mendengkur pelan, tidak menyadari apa yang telah terjadi. Seperti kipas yang lembut, rambut panjangnya menutupi pipi dan bahunya. Tepat di bawah tulang belikatnya ada dua tahi lalat kecil, berjajar seperti sepasang kembar. Punggungnya menunjukkan garis tegas bekas berjemur dengan pakaian renang. Cahaya bulan yang keputihan menembus tirai dengan tenang, bersama suara monoton ombak yang menghantam pantai. Di meja samping tempat tidur, angka hijau pada jam alarm bersinar. Tidak ada yang berubah. Kecuali sekarang, kepiting itu ada di dalam dirinya—malam itu mereka berbagi hidangan yang sama. Hanya saja dia tidak menyadarinya.
Pemuda itu duduk di kursi rotan dekat jendela, menutup matanya, dan bernapas perlahan dan teratur. Menghirup udara segar ke dalam paru-parunya, membuang udara usang. Berusaha menghirup sebanyak mungkin udara ke dalam tubuhnya. Dia ingin semua pori-porinya terbuka lebar. Seperti jam antik di ruangan kosong, jantungnya berdetak keras dan kering.
Menatap pacarnya yang sedang tidur, dia membayangkan cacing-cacing kecil yang tak terhitung jumlahnya berada di dalam perutnya. Haruskah dia membangunkannya dan memberitahunya tentang ini? Bukankah seharusnya mereka melakukan sesuatu? Tidak yakin apa yang harus dilakukan, dia berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk tidak melakukannya. Itu tidak akan ada gunanya. Ia tidak menyadari apa pun. Dan itulah masalah utamanya.
Dunia terasa tidak seimbang. Dia bisa mendengar dunia berderak melalui orbit barunya. Sesuatu telah terjadi, pikirnya, dan dunia telah berubah. Segalanya tidak lagi teratur, dan tidak akan pernah kembali seperti sebelumnya. Semuanya telah berubah, dan yang bisa dilakukan hanyalah terus berjalan ke arah baru ini. Besok aku akan kembali ke Tokyo, pikirnya. Kembali ke kehidupan yang kutinggalkan di sana. Di permukaan, tidak ada yang berubah, tapi aku rasa aku tidak akan pernah bisa menjalin hubungan dengannya lagi. Aku tidak akan pernah bisa merasakan apa yang kurasakan tentangnya sampai kemarin, pemuda itu tahu. Tapi itu bukan segalanya. Kurasa aku tidak akan pernah bisa berdamai dengan diriku sendiri. Rasanya seperti kami jatuh dari pagar tinggi, ke sisi luar. Tanpa rasa sakit, tanpa suara. Dan ia bahkan tidak menyadarinya.
Pemuda itu duduk di kursi rotan hingga fajar, bernapas dengan tenang. Sesekali badai melanda malam, tetes hujan menghantam jendela seperti semacam hukuman. Awan hujan berlalu dan bulan menampakkan wajahnya. Lagi dan lagi. Tapi wanita itu tidak pernah bangun. Atau bahkan berguling di tempat tidur. Bahunya hanya sedikit bergetar beberapa kali, tapi hanya itu. Lebih dari apa pun, dia ingin tidur, tidur nyenyak, dan bangun untuk menemukan bahwa semuanya telah terselesaikan, bahwa semuanya seperti sebelumnya, berjalan lancar seperti biasanya. Pria itu tidak menginginkan apa pun selain jatuh ke dalam tidur yang dalam. Tapi tidak peduli sejauh apa pun dia mengulurkan tangan untuk menggapainya, tidur tetap berada di luar jangkauannya.
Pria muda itu mengingat malam pertama, ketika mereka melewati restoran kecil di gang itu. Dua pria Cina yang sudah tua menyantap makanan mereka dalam hening, anjing hitam dengan mata tertutup di kaki mereka, payung meja yang warnanya telah memudar. Bagaimana si wanita menarik lengannya. Semua itu terasa seperti sudah bertahun-tahun. Tapi itu baru tiga hari yang lalu. Tiga hari di mana, melalui kekuatan aneh, dia berubah menjadi salah satu pria tua suram itu. Semuanya terjadi di kota tepi laut yang sunyi dan indah, Singapura.
Dia mengangkat tangannya ke depan mata dan menatapnya dengan saksama. Dia melihat bagian belakang tangannya, lalu telapak tangannya. Tidak ada yang bisa menyembunyikan fakta bahwa tangan itu gemetar, meski hanya sedikit.
"Mm, aku selalu suka kepiting," dia bisa mendengar wanita itu berkata. "Bagaimana denganmu?"
Entahlah, pikirnya.
Hatinya terasa tertutup oleh sesuatu yang tak berbentuk, dikelilingi oleh misteri yang dalam dan lembut. Dia tidak lagi memiliki petunjuk sedikit pun ke mana hidupnya akan menuju, dan apa yang mungkin menantinya di sana. Tapi saat langit timur akhirnya mulai terang, dia tiba-tiba berpikir: Satu hal yang pasti, pikirnya. Ke mana pun aku pergi, aku tidak akan pernah makan kepiting lagi.[]
Cerpen ini diterjemahkan dari cerpen Haruki Murakami berjudul Crabs terjemahan Inggris oleh Philip Gabriel dalam kumpulan cerpen Blind Willow, Sleeping Woman
Comments
Post a Comment