Ketika aku mencapai dasar tangga beton sempit, aku mendapati diriku berada di sebuah koridor lurus ke depan yang tampak membentang tanpa akhir—sebuah koridor panjang dengan langit-langit begitu tinggi hingga jalannya terasa lebih seperti saluran pembuangan kering daripada sebuah koridor. Tidak ada dekorasi sama sekali. Itu adalah koridor sejati, sepenuhnya koridor, dan tidak ada apa-apa selain koridor.
Pencahayaan di sana redup dan tidak merata, seolah-olah cahaya itu sendiri baru saja mencapai tujuannya setelah mengalami serangkaian insiden buruk yang mengerikan. Cahaya itu harus menembus lapisan debu hitam tebal yang melapisi tabung-tabung lampu neon yang dipasang dengan jarak tidak beraturan di sepanjang langit-langit. Dari lampu-lampu itu, satu dari tiga lampu sudah mati. Aku hampir tidak bisa melihat tanganku di depan wajahku. Tempat itu sunyi. Satu-satunya suara di lorong suram itu adalah bunyi langkah sepatu tenisku yang anehnya terdengar datar saat menyentuh lantai beton.
Aku terus berjalan: dua ratus meter, tiga ratus meter, mungkin setengah mil, tanpa berpikir, hanya berjalan, tanpa waktu, tanpa jarak, tanpa perasaan bahwa aku bergerak maju dengan cara apa pun. Tetapi aku pasti melakukannya. Tiba-tiba aku berdiri di sebuah persimpangan berbentuk huruf T.
Persimpangan berbentuk huruf T?
*
Aku mengeluarkan kartu pos kusut dari saku jaketku dan membiarkan mataku menelusuri pesannya: "Berjalan lurus menyusuri koridor. Di tempat koridor itu berpotongan tegak lurus dengan koridor lain, kau akan menemukan sebuah pintu."
Aku menatap dinding di depanku, tetapi tidak ada tanda-tanda pintu, tidak ada petunjuk bahwa di sana pernah ada pintu, dan tidak ada indikasi bahwa suatu saat pintu akan dipasang di dinding ini. Itu hanyalah dinding beton biasa—polos dan sederhana, tanpa ciri khusus apa pun selain yang dimiliki dinding beton lainnya. Tidak ada pintu metafisik, tidak ada pintu simbolis, tidak ada pintu metaforis, tidak ada apa-apa. Aku meraba dinding itu dengan telapak tanganku sepanjang beberapa meter, tetapi tetap saja itu hanya dinding—halus dan kosong.
Pasti ada kesalahan, aku yakin.
Bersandar pada dinding itu, aku menghisap sebatang rokok. Lalu apa sekarang? Haruskah aku melanjutkan atau kembali?
Bukan berarti aku benar-benar meragukan jawabannya. Aku tidak punya pilihan. Aku harus melanjutkan. Aku sudah muak menjadi miskin. Muak dengan pembayaran bulanan, tunjangan mantan istri, apartemenku yang sempit, kecoa di bak mandi, kereta bawah tanah saat jam sibuk—muak dengan semuanya. Akhirnya, aku menemukan pekerjaan yang layak. Pekerjaannya akan mudah, gajinya luar biasa besar. Bonus dua kali setahun. Liburan musim panas yang panjang. Aku tidak akan menyerah sekarang—hanya karena kesulitan menemukan satu pintu sialan. Kalau pintunya tidak ada di sini, aku akan terus berjalan sampai menemukannya.
Aku mengambil koin sepuluh yen dari sakuku dan melemparnya ke udara. Gambar. Aku memilih koridor di sebelah kanan.
Lorong itu berbelok dua kali ke kanan, sekali ke kiri, menuruni sepuluh anak tangga, lalu belok kanan lagi. Udara di tempat itu mengingatkanku pada Jell-O rasa kopi: dingin dan terasa aneh, seolah lebih padat dari seharusnya. Aku memikirkan gaji yang akan kuterima, sejuknya ruang kantor ber-AC. Memiliki pekerjaan adalah hal yang luar biasa. Aku mempercepat langkah dan terus menyusuri koridor.
Akhirnya, sebuah pintu tampak di depan. Dari kejauhan, pintu itu terlihat seperti perangko tua yang lusuh, tetapi semakin aku mendekat, semakin pintu itu tampak seperti pintu—hingga tidak ada lagi keraguan.
Aku berdeham, lalu mengetuk pintu itu pelan dan mundur selangkah untuk menunggu jawaban. Lima belas detik berlalu. Tidak ada apa-apa. Aku mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras, lalu mundur untuk menunggu lagi. Tetap tidak ada jawaban.
Di sekelilingku, udara perlahan menjadi kental, seperti mulai membeku.
Didorong oleh rasa gelisah, aku melangkah maju untuk mengetuk untuk ketiga kalinya ketika pintu itu terbuka tanpa suara, begitu alami, seolah-olah angin bertiup dan membukanya, meskipun tentu saja tidak ada kaitannya dengan alam. Suara klik dari saklar terdengar lebih dulu, kemudian seorang pria muncul di hadapanku.
Usianya sekitar pertengahan dua puluhan, mungkin dua inci lebih pendek dariku. Rambutnya yang baru dicuci masih meneteskan air, dan satu-satunya pakaian yang dikenakannya adalah jubah mandi berwarna merah marun. Kakinya sangat putih, dan telapak kakinya sekecil anak kecil. Wajahnya kosong seperti lembaran latihan menulis, tetapi mulutnya memancarkan senyum kecil yang tampak meminta maaf. Dia sepertinya bukan orang jahat.
"Maaf, kau memergokiku sedang mandi," katanya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Mandi?" Aku melirik jam tanganku secara refleks.
"Ini peraturan. Kami harus mandi setelah makan siang."
"Oh, begitu."
"Boleh aku tahu keperluanmu?"
Aku mengeluarkan kartu pos dari saku jaketku dan menyerahkannya padanya. Dia mengambilnya dengan ujung jari, berusaha agar tidak membasahinya, lalu membacanya beberapa kali.
"Kurasa aku terlambat lima menit," kataku. "Maaf."
Dia mengangguk dan mengembalikan kartu itu padaku. "Hmmm. Jadi, kau akan mulai bekerja di sini?"
"Benar."
"Aneh, aku belum dengar ada pegawai baru. Aku harus memberitahukanmu pada atasanku. Itu tugas utamaku, kau tahu. Tugasku hanya membuka pintu dan memberitahukan kedatangan orang pada atasan."
"Baiklah. Kalau begitu, bisakah kau memberitahukanku?"
"Tentu. Asal kau memberi tahuku kata sandinya."
"Kata sandi?"
"Kau tidak tahu ada kata sandi?"
Aku menggeleng. "Tidak ada yang memberitahuku soal kata sandi."
"Kalau begitu, aku tidak bisa membantumu. Atasanku sangat ketat soal itu. Aku tidak diizinkan membiarkan siapa pun masuk tanpa mengetahui kata sandi."
Semua ini benar-benar baru bagiku. Aku mengeluarkan kartu pos dari sakuku lagi dan mempelajarinya, tapi sia-sia. Tidak ada apa pun tentang kata sandi di situ.
"Mungkin mereka lupa menuliskannya," kataku. "Petunjuk menuju tempat ini juga sedikit membingungkan. Kalau kau mau memberitahukan kedatanganku pada atasanmu, aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Aku sudah diterima bekerja di sini mulai hari ini. Aku yakin atasanmu tahu soal itu. Kalau kau mau mengumumkan kedatanganku…"
"Itu sebabnya aku butuh kata sandinya," katanya, sambil merogoh-rogoh untuk mencari rokok, hanya untuk menyadari bahwa jubah mandinya tidak memiliki kantong. Aku memberinya salah satu rokokku dan menyalakannya dengan korekku.
"Terimakasih, kau baik sekali," katanya. "Sekarang, kau yakin tidak bisa mengingat apa pun yang mungkin merupakan kata sandi?"
Aku hanya bisa menggelengkan kepala.
"Aku juga tidak suka hal remeh-temeh seperti ini, tapi atasan pasti punya alasannya. Kau paham maksudku? Aku tidak tahu seperti apa dia. Aku belum pernah bertemu dengannya. Tapi kau tahu bagaimana orang-orang seperti itu—mereka punya ide-ide aneh. Jangan ambil hati, ya."
"Tidak, tentu saja tidak."
"Orang sebelumku membiarkan seseorang masuk karena merasa kasihan. Orang itu mengaku 'hanya lupa' kata sandinya. Dia langsung dipecat saat itu juga. Dan kau pasti tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan akhir-akhir ini."
Aku mengangguk. "Jadi, bagaimana?" tanyaku. "Bisa beri aku petunjuk? Sedikit saja."
Bersandar di pintu, pria itu menghembuskan asap rokok. "Maaf. Itu melanggar aturan."
"Ayolah. Apa salahnya memberi petunjuk kecil?"
"Ya, tapi kalau sampai ketahuan, aku akan mendapat masalah besar."
"Aku tidak akan memberitahu siapa pun. Kau juga tidak. Bagaimana mereka bisa tahu?" Ini masalah serius bagiku. Aku tidak akan menyerah begitu saja.
Setelah ragu-ragu sejenak, pria itu mendekat ke telingaku dan berbisik, "Kau siap mendengarnya? Baiklah, ini kata sederhana yang berkaitan dengan air. Sesuatu yang pas di tanganmu, tapi tidak bisa kau makan."
Sekarang giliranku untuk memikirkannya.
"Apa huruf pertamanya?"
"B," jawabnya.
"Blewah," aku mencoba menebak.
"Salah," katanya. "Dua lagi."
"Dua lagi apa?"
"Dua tebakan lagi. Kalau salah lagi, selesai. Maaf, tapi aku sudah melanggar aturan dengan memberi petunjuk sejauh ini. Aku nggak bisa terus membiarkanmu menebak-nebak."
"Dengar, aku benar-benar menghargai kesempatannya. Tapi bagaimana kalau kau beri petunjuk lagi? Misalnya, berapa huruf kata itu."
Dia mengernyit. "Lalu kau pasti minta aku menyebutkan seluruh kata itu."
"Tidak, aku tidak akan melakukan itu. Aku cuma ingin tahu berapa hurufnya."
"Baiklah. Tujuh," katanya dengan mendesah. "Ayahku selalu bilang: 'Beri seseorang bantuan kecil, dia akan meminta lebih banyak lagi.'
"Maaf. Sungguh."
"Pokoknya, tujuh huruf."
"Ada hubungannya dengan air, pas di tangan, tapi tidak bisa dimakan."
"Benar."
"Dimulai dengan B dan terdiri dari tujuh huruf."
"Betul."
Aku memusatkan pikiranku pada teka-teki itu. "Belibis," akhirnya aku berkata.
"Salah." Dia menambahkan, "Lagi pula, belibis itu bisa dimakan."
"Kau yakin?"
"Mungkin. Rasanya mungkin tidak enak," tambahnya dengan keyakinan yang kurang mantap. "Dan ukurannya tidak pas di tangan."
"Pernahkah kau melihat belibis?"
"Tidak," katanya. "Aku tidak tahu apa-apa tentang burung. Apalagi burung air. Aku tumbuh di tengah Tokyo. Aku bisa menyebutkan semua stasiun di Jalur Yamanote secara berurutan, tapi aku belum pernah melihat belibis."
Tentu saja aku juga belum pernah. Aku bahkan tidak tahu aku tahu kata itu sampai aku mendengar diriku sendiri mengatakannya. Tapi "belibis" adalah satu-satunya kata tujuh huruf yang bisa kupikirkan yang sesuai dengan petunjuknya.
"Pasti 'belibis'," aku bersikeras. "Burung kecil seukuran telapak tangan yang rasanya begitu buruk sehingga anjing pun tidak mau memakannya."
"Hei, tunggu sebentar," katanya. "Tidak peduli apa yang kau katakan: 'belibis' bukan kata sandinya. Kau bisa berdebat sesukamu, tapi kata yang kau sebutkan salah."
"Tapi itu sesuai dengan semua petunjuk—berhubungan dengan air, pas di tangan, tidak bisa dimakan, tujuh huruf. Itu sempurna."
"Ada satu hal yang salah."
"Apa itu?"
"'Belibis' bukan kata sandinya."
"Kalau begitu, apa itu?"
Dia menahan diri. "Aku tidak bisa memberitahumu."
"Karena itu tidak ada," kataku dengan nada sedingin mungkin. "Tidak ada kata tujuh huruf lain untuk sesuatu yang berhubungan dengan air, pas di tangan, tapi tidak bisa dimakan."
"Tapi ada," dia memohon, hampir menangis.
"Tidak ada."
"Ada."
"Kau tidak bisa membuktikannya. Dan 'belibis' memenuhi semua kriteria."
"Aku tahu, tapi tetap saja, mungkin ada anjing di suatu tempat yang suka makan belibis seukuran telapak tangan."
"Baiklah, kalau kau begitu pintar, katakan di mana kau bisa menemukan anjing seperti itu. Jenis anjing apa? Aku ingin bukti konkret."
Dia mengeluh dan memutar matanya.
Aku melanjutkan: "Aku tahu segalanya tentang anjing, tapi aku belum pernah—sama sekali belum pernah—melihat anjing yang suka makan belibis seukuran telapak tangan."
"Rasanya separah itu?" dia merintih.
"Sangat buruk. Sangat buruk. Jijik!"
"Kau pernah mencicipinya?"
"Tidak pernah. Kau pikir aku mau memasukkan sesuatu yang menjijikkan seperti itu ke mulutku?"
"Ya, aku rasa tidak."
"Bagaimanapun, aku ingin kau memberitahukan kedatanganku pada atasanmu," aku menuntut. "'Belibis'."
"Aku menyerah," katanya sambil mengeringkan rambutnya lagi dengan handuk. "Aku akan mencobanya. Tapi aku yakin itu tidak akan berhasil."
"Terima kasih," kataku. "Aku berhutang budi padamu."
"Tapi, katakan padaku," katanya. "Benarkah ada belibis seukuran telapak tangan?"
"Ya. Tanpa keraguan. Mereka ada di suatu tempat," jawabku, meskipun aku sendiri tidak tahu bagaimana kata itu bisa muncul di kepalaku.
*
Belibis seukuran telapak tangan itu mengelap kacamatanya dengan kain beludru dan menghela napas lagi. Geraham kanannya yang bawah berdenyut kesakitan. Ke dokter gigi lagi? pikirnya. Aku tidak tahan lagi. Dunia ini benar-benar melelahkan: dokter gigi, laporan pajak, cicilan mobil, AC yang rusak… Ia membiarkan kepalanya bersandar ke sandaran kursi berlapis kulit, menutup matanya, dan memikirkan kematian. Kematian begitu sunyi seperti dasar lautan, manis seperti mawar di bulan Mei. Akhir-akhir ini, belibis itu sering memikirkan kematian. Dalam benaknya, ia melihat dirinya menikmati istirahat abadinya.
"Di sini berbaring belibis seukuran telapak tangan," demikian bunyi tulisan yang terukir di batu nisannya.
Saat itu juga, interkomnya berbunyi.
Ia berteriak marah ke perangkat itu: "Apa!"
"Ada seseorang ingin bertemu Anda, Tuan," terdengar suara dari penjaga pintu. "Katanya dia akan mulai bekerja di sini hari ini. Dia tahu kata sandinya."
Belibis seukuran telapak tangan itu mengerutkan kening dan melihat jam tangannya.
"Terlambat lima belas menit." []
Cerpen ini saya terjemahkan dari terjemahan Inggris oleh Jay Rubin dengan judul Dabchick dalam kumpulan cerpen Blind Willow, Sleeping Woman (Murakami, Haruki, London: Vintage, 2006)
Comments
Post a Comment