Biar waktu lebur sebagai debu
menganak sungai dan bekas rumah dari kertas
angin sore, menulis diary tentang kekasih
cuma radio dan kata
kita kan berjumpa juga
habis malam, habis kabut
menderu di atas aspal
Al fatihah sampai habis Yasin
suara kita sesak, tersengal dalam cerpen
kau menjudulinya Piano
(Puisi ini dimuat di harian Media Kalimantan, edisi Minggu, 3 April 2011 dan dibukukan dalam antologi puisi Teriakan Bisu)
Wew. . . .puisi tingkat tinggi....(orang awan nyata kd paham),,tp kdd jua pang yang mengharuskan supaya paham..haa, ,
ReplyDeleteBujur tu, kdd jw yg manyuruh paham, haha. . .
ReplyDeleteTapi mun soal tingkat tinggi, q kd stuju am, q kan masih pemula. . .
Wayoo. . .'pemula' jar (kesah mrendah pulang)hha..t'efek nah. . .hii,
ReplyDeleteahaiii radio...??
ReplyDeletemending dengerin aku pas siaran aja... :))
Efek apa tadih?
ReplyDeleteIya kah, di radio mana siaran?
ReplyDeletePuisi bagus and kreatif! Ilike it.
ReplyDeletePuisinya Piano, tapi koq sampai Yasin segala ya, bingung mau memahami puisinya.
ReplyDeletekok piano ya?
ReplyDeletehmmmm...............
Mkasih bang...
ReplyDeleteGak usah dipahami.... hoho
ReplyDeleteYa terserah donk...
ReplyDeleteE
ReplyDeletef
e
k
pemulanya...hoho
apa efeknya?
ReplyDeletePuisi kadang memang sulit dipahami, bagusnya ya pas sulit dipahami itu
ReplyDeletenice.
ReplyDeletemenyajikan sejuta imaji -
tidak juga.
ReplyDeletemakasih
ReplyDelete